Kembalinya Pendekar Rajawal 79
Karena ia lantas turun hendak memakai sepatu
dan ketika itulah dilihatnya pedang Kwe Hu menusuk tiba, Sambil mendengus
sebelah tangan Yo Ko meraih dan tangan yang lain terus menutuk dan memegang,
dengan mudah saja Siok-Ii-kiam itu dapat direbutnya.
Ber-turut-urut kecundang, Kwe Hu tambah
murka? dilihatnya di atas ranjang ada pula sebatang pedang, ia terus menubruk
maju dan merampasnya, segera pedang itu dilolosnya terus ditabaskan ke kepala
Yo Ko.
Seketika pandangan Yo Ko menjadi silau tidak
kepalang kagetnya melihat nona itu menabas-nya dengan Ci-wi-kiam, ia tidak
berani merebutnya dengan tangan, sebisanya ia angkat Siok- li-kiam untuk
menangkis.
Tak terduga karena dia habis sakit selama
tujuh hari, tenaga belum pulih, baru saja Siok li kiam terangkat sedikit segera
lengannya tidak sanggup terangkat lebih tinggi lagi.
Sementara itu tabasan pedang Kwe Hu sudah
tiba, “Trang”, kedua pedang beradu, Sioklikiam kutung menjadi dua. Kwe Hu
sendiri terkejut, sama sekali tak disangkanya Ci-wi-kiam itu begitu lihay.
Dalam keadaan unggul dan dendam atas tamparan Yo Ko tadi.
Kwe Hu pikir biarpun kubunuh kau juga rasanya
ayah-ibu takkan menyalahkan aku mengingat jiwa adikku juga dicelakai olehmu,
Ketika itu kaki Yo Ko juga terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai tanpa bisa
melawan lagi, hanya tangan kanan saja yang terangkat di depan dada untuk
menjaga diri, tapi sorot matanya sama sekali tiada menampilkan keinginan mohon
dikasihani Kwe Hu menjadi gemas, segera pedangnya ditabaskan lebih ke bawah
lagi….
Bagaimana akibat dari tabasan pedang
Kwe Hu itu merupakan kunci utama cerita ini maka untuk sementara ini kita
tinggalkan dahulu, Marilah kita kembali dulu pada Siao-liong-li ketika dia
menunggang kuda merah menyusul Yo Ko dan Kim-lun Hoat-ong, tapi dia telah
kesasar ke jurusan yang lain.
Kuda merah itu teramat cepat jarinya, sekejap
sudah belasan li jauhnya, ketika dia putar balik, sementara itu Yo Ko sudah
menghilang di lembah pegunungan itu.
Tanpa kenal lelah Siao-liong-li terus mencari
di sekitar Siangyang, Sampai tengah malam barulah ia mendengar suara raung
tangis Bu Sam-thong di kejauhan. Cepat Siaoliong-li mencari ke arah datangnya
suara, tidak lama dapatlah didengarnya suara pertempuran kedua saudara Bu,
menyusul terdengar pula suara bicara Yo Ko.
Tentu saja ia girang, ia kuatir Yo Ko
ketemukan musuh tangguh, maka ia ingin membantunya secara diam-diam saja,
segera ia turun dari kudanya, ia tambat kuda merah itu pada sebatang pohon,
lalu merunduk ke sana dan sembunyi di balik sepotong batu padas untuk mengintip
cara bagaimana Yo Ko menghadapi musuh.
Celakanya yang terdengar adalah ucapan Yo Ko
yang berulang-ulang menyatakan sudah dijodohkan dengan Kwe Hu, nona itu
disebutnya sebagai bakal isterinya, Kwe Ceng dan Oey Yong dipanggilnya ayah dan
ibu mertua. Didengarnya pula Yo Ko mengaku menerima ajaran ilmu silat secara
diam-diam dari Oey Yong, dilihatnya pula Yo Ko sangat marah kepada kedua
saudara Bu, serta melarang kedua anak muda itu kemudian menyebut nama Kwe Hu.
Begitulah setiap Yo Ko mengucapkan hal itu,
setiap kali pula Siao liong-Ii seperti disambar petir, pikirannya menjadi
kacau, dunia mendadak dirasakan seperti sudah kiamat.
Kalau orang lain, tentu akan timbul rasa
sangsinya melihat kata dan perbuatan Yo Ko itu sama berbeda, namun Siao-liong
li memang orang yang lugu, hatinya bersih, pikirannya sederhana, sedikitpun
tidak paham seluk beluk kepalsuan kehidupan manusia.
Biasanya Yo Ko juga tidak pernah membual
sedikitpun padanya sekalipun terhadap orang lain anak muda itu memang suka
juga, sebab itulah Siao-liong-li menaruh kepercayaan penuh terhadap apa yang
diucapkan Yo Ko.
Begitulah ketika melihat kedua Bu cilik bukan
tandingan NyoKo, Siao-liong-Ii yang sedang berduka dan menyesali nasibnya itu
tanpa terasa mengeluarkan suara tarikan napas panjang sebagaimana yang didengar
oleh Yo Ko itu sehingga dia hampir saja berseru memanggilnya. Pada saat itu
juga Siao-liong-li lantas pergi dengan berlinangan air mata.
Sambil menuntun kuda merah itu Siao-liong-li
berkeliaran semalaman di ladang sunyi itu, pikirannya kacau dan bingung.
Usianya sudah lebih 20 tahun, tapi selama
hidupnya berdiam di dalam kuburan kuno itu, seluk-beluk kehidupan manusia
sedikitpun tidak dipahaminya, hakekatnya jalan pikirannya masih polos dan
bersih seperti anak kecil. ia pikir: “Yo Ko sudah terikat jodoh dengan nona
Kwe, dengan sendirinya tak dapat menikahi diriku lagi. Pantas Kwe-tayhiap
suami-isteri berulang-ulang merintangi hasrat Ko-ji yang ingin menikahi aku,
Bahwa selama ini Ko-ji tidak memberitahukan padaku tentang ikatannya dengan
nona Kwe, tentunya karena dia kuatir aku akan berduka, Ai dia memang sangat
baik padaku.”
Begitulah lantaran dia juga mencintai Yo Ko,
walaupun dengan mata telinga sendiri mendengar anak muda itu mengatakan hendak
menikah dengan Kwe Hu, namun ia tidak dendam sedikitpun kepada anak muda itu,
ia hanya berduka dan menyesali nasibnya sendiri Malahan lantas terpikir lagi
olehnya: “Sebabnya Ko-ji tidak cepat-cepat membunuh Kwetayhiap untuk membalas
sakit hati kematian ayahnya, kiranya persoalan nona Kwe inilah yang membuatnya
bimbang, jika begitu tampaknya dia juga sangat baik kepada nona Kwe. Kalau
sekarang kuberikan kuda merah ini padanya, bisa jadi dia akan teringat lagi
kepada kebaikanku dan perjodohannya dengan nona Kwe mungkin akan terganggu
lagi. Rasanya lebih baik kupulang sendirian saja ke kuburan kuno itu, dunia
yang fana ini cuma membikin kacau dan membingungkan pikiranku saja.”
Setelah berpikir pula, akhirnya ia
membulatkan tekad, meski hatinya terasa disayat-sayat, cintanya kepada Yo Ko
terasa berat sekali untuk diputuskan, tapi terpikir pula olehnya menyelamatkan
jiwa anak muda itu terlebih penting.
Karena itulah malam itu juga dia pulang ke
Siangyang dan minta pertolongan Cu Cu-liu agar suka mengantarkan kuda merah
kepada Yo Ko yang masih berada di lembah sunyi itu.
Waktu itu Siangyang belum tenang kembali, Kwe
Ceng serta Oey Yong belum sehat pula, maka tugas pertahanan kota diurus oleh
Loh Yu-kah dibantu oleh Cu Cu-liu.
Di tengah kemelut itulah Siao-liong-li membawa
kuda merah datang pada Cu Cu-liu dan minta bantuannya mengantar kuda itu kepada
Yo Ko agar anak muda itu lekas pergi ke Coatcengkok dan menukar obat penawar
dengan bayi yang baru dilahirkan Oey Yong. Sudah tentu Cu Cu-liu merasa bingung
oleh penuturan yang tak diketahui awal mulanya itu, la, coba bertanya lebih
jelas, tapi Siao liong li sendiri sedang
kesal dan tidak ingin banyak bicara, dia
hanya mendesak Cu Cu-liu lekas berangkat, katanya kalau terlambat bisa jadi
jiwa Yo Ko akan melayang.
Sama sekali Siao-liong-li tidak pedulikan
bahwa waktu itu Kwe Hu juga berada di sebelah Cu Cu-liu, ia pikir adikmu itu
dibawa sementara ke Coat-ceng-kok, tentu tidak beralangan, apalagi demi
menyelamatkan jiwa bakal suamimu.
Biasanya Siao-Iiong-li dapat menguasai perasaanya,
suka atau duka jarang dipikirkan olehnya, tapi sejak jatuh cinta kepada Yo Ko,
segala ilmu menguasai perasaan sendiri yang dilatihnya sejak kecil hampir tak
dapat digunakan lagi, guncangan perasaannya bahkan jauh lebih hebat daripada
orang biasa.
Maka sesudah memberi pesan kepada Cu Cu liu
lantaran beberapa kali menyebut nama Yo Ko, tanpa terasa air matanya lantas
bercucuran, cepat ia lari kembali kekamar sendiri dan menangis sedih di tempat
tidur.
Biarpun Cu Cu-liu adalah seorang cerdik
pandai, tapi lantaran tidak tahu seluk-beluknya persoalan, uraian Siao-Iiong-li
yang tak keruan juntrungannya itu membuatnya bingung. Tapi ingat bahwa kalau
terlambat bisa jadi jiwa Yo Ko akan melayang”, ia pikir terpaksa harus cepat ke
lembah itu dan bertindak menurut keadaan di sana.
Tetapi ketika dia mau berangkat ternyata kuda
merah yang dibawakan Siao-liong-Ii itu sudah hilang, waktu ditanyakan penjaga,
katanya nona Kwe yang membawanya pergi. Ketika Kwe Hu dicari bayangan nona
itupun tak dapat diketemukan.
Karena menguatirkan keselamatan Yo Ko,
terpaksa Cu Cu-liu menunggang kuda lain dan membawa belasan anggota Kay-pang
menuju ke lembah yang ditunjuk Siao-liong-li itu. Di situ dilihatnya Yo Ko dan
ayah beranak keluarga Bu itu sama menggeletak tak bisa berkutik.
Cepat mereka dibawa pulang ke Siangyang dan
kebetulan paman gurunya, yaitu si paderi Hindu datang dari negeri Tayli, paderi
inilah yang menyadarkan Yo Ko dan lain-lain.
Begitulah Siao-liong-li terus menangis di
kamarnya, makin dipikir makin sedih, air matapun sukar dibendung lagi sehingga
membasahi baju dan tempat tidurnya, ia bermaksud mengambil saputangan untuk
mengusap air mata, tiba-tiba tangannya menyentuh Siok-li-kiam yang terselip di
tali pinggangnya.
Tiba-tiba timbul pikirannya akan memberikan
pedang itu kepada Kwe Hu agar nona itu dan Yo Ko benar-benar menjadi suatu
pasangan yang setimpal. Maklumlah, Siao-liong-li teramat cinta kepada Yo Ko,
segala apa yang bermanfaat bagi anak muda itu rela dilakukannya Karena itulah
ia lantas menuju ke kamar Kwe Hu.
Tatkala itu sudah lewat tengah malam, Kwe Hu
sudah tidur, Tanpa mcngetok pintu segala segera Siao-liong-ii membuka daun
jendela dan melompat masuk ke kamar serta membangunkan Kwe Hu serta mengatakan
“kalian memang pasangan setimpal sebagaimana diuraikan kembali oleh Kwe Hu
kepada Yo Ko itu. setelah menyerahkan Siok-li-kiam kepada Kwe Hu segeru
Siao-liong-li tinggal pergi.
Sudah tentu Kwe Hu terheran-heran dan
bertanya apa yang dimaksud, Namun Siao-Iiong li tidak menjawab terus melompat
keluar jendela pula.
“Kembalilah, Liong-kokoh!” cepat Kwe Hu
teriaknya sambil melongok keluar, tapi terlihat Siao-liong-li sudah melangkah
pergi tanpa berpaling pula.
Dengan menunduk kepala menahan rasa sedih
Siao-liong-li masuk ke taman bunga, bau bunga mawar yang sedang mekar mewangi
mengingatkan dia ketika bersama Yo Ko berlatih Giok-li-sim-keng diseling oleh
semak-semak bunga dahulu. Untuk berkumpul lagi seperti dahulu itu rasanya sukar
terjadi lagi.
Selagi melayang pikirannya, tiba-tiba dari
pojok rumah disebelah kiri sana ada seorang sedang ber-kata: “Kau sebentar2
mengucap Siao-liong-li, apakah kau tidak dapat berhenti menyebutnya?”
Keruan Siao-liong-li terkejut, ia heran
siapakah yang selalu menyebut namaku? Segera ia berhenti di situ untuk
mendengarkan lebih cermat.
Segera terdengar pula suara seorang lain
tertawa mengejek dan berkata: “Kau sendiri boleh berbuat, masakah aku tidak
boleh menyebutnya?”
Terdengar orang- pertama tadi -menjawab: “lni
adalah rumah orang lain, mata telinga teramat banyak kalau didengar orang lain,
ke mana lagi nama baik Coan-cin-kau kita akan ditaruh?”
“Hehe, ternyata kau masih ingat kepada nama
baik Coan-cin-kau kita?” jengek pula orang kedui tadi, “Hehe, malam itu di tepi
semak bunga mawar di Cong-lam-san, rasa nikmat naik surga itu …. Wah, hahahaha!”
Sampai disini ia hanya terkekeh2 saja dan tidak melanjutkan.
Siao-liong-Ii tambah kaget dan sangat curiga,
ia pikir apakah mungkin malam itu waktu Ko-ji melaksanakan cintanya padaku
telah dapat diintip oleh kedua Tosu ini?
Dari suara kedua orang itu Siao-liong-li
sudah tahu mereka adalah In Ci-peng dan Tio Ci-keng. Maka diam-diam ia
mendekati jendela rumah itu dan berjongkok di situ untuk mendengarkan lebih
Ianjut.
Sementara itu suara bicara kedua orang itu
berubah menjadi lirih, tapi jarak Siao-liong-li sekarang sangat dekat,
pendengarannya tajam pula, biarpun kedua orang bisik-bisik cara bicaranya juga
dapat didengarnya dengan jelas.
Terdengar Ci-peng lagi berkata: “Tio-suheng,
setiap hari siang dan malam kau selalu menyiksa aku, sebenarnya apa tujuanmu?”
“Kau sendiri paham, masakah perlu
kuterangkan?” jawab Ci-keng.
“Apa yang kau kehendaki dariku telah
kusanggupi aku cuma memohon urusan ini jangan kau sebut lagi, tapi makin lama
makin sering kau mengungkatnya, apakah sengaja hendak menyiksa aku sampai mati
seketika di depanmu sini?”
“Hm, akupun tidak tahu, yang jelas aku tidak
tahan dan harus kuucapkan,” jengek Ci-keng pula.
Mendadak In Ci-peng perkeras suaranya dan
berkata: “Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu? Yang benar kau cemburu, kau
cemburu padaku pada saat menikmati surga dunia itu.”
Ucapan Ci-peng ini sangat aneh, Ci-keng
ternyata tidak menjawab seperti hendak mengejek, tapi tak terucapkan.
Selang sebentar kembali Ci-peng bicara lagi:
“Ya, memang benar, malam itu di balik semak-semak bunga mawar itu dia tak bisa
berkutik karena Hiat-to tertutuk oleh Auyang Hong sehingga cita2ku dapat
terpenuhi. Ya, tidak perlu aku menyangkal didepanmu, andaikan tak kukatakan
padamu juga kau takkan tahu, betul tidak? Karena sudah terlanjur kuberitahukan
padamu, lalu kau terus menerus menggoda aku dan menyiksa pikiranku. Akan
tetapi, akan tetapi aku tidak menyesal, tidak, sedikitpun tidak menyesal….”
sampai akhirnya suaranya berubah menjadi halus dan lembut seakan-akan orang
sedang mengingat.
Sambil mendengarkan hati Siao-liong-li serasa
mendelung ke bawah, otaknya serasa mengingat “Masakah dia dan bukan Ko-ji yang
kucintai itu? Tidak, tidak mungkin pasti Ko-ji adanya, dia berdusta, dusta!”
Terdengar Ci-keng berkata pula dengan suara
kaku dingin: “Ya, dengan sendirinya kau tidak menyesal sedikitpun, sebenarnya
kau tidak perlu katakan padaku, akan tetapi saking senangnya karena kau telah
melakukan hal itu dan merasa perlu diutarakan pada seseorang. Nah, karena itu
akupun membicarakan hal itu padamu setiap hari, setiap saat aku mengingatkanmu,
tapi mengapa kau menjadi takut mendengarnya?”
Mendadak terdengar suara “blang-blung”
beberapa kali, kiranya Ci-peng mem-bentur2kan kepala sendiri pada tembok, lalu
berkata: “Baiklah, bicaralah, bicara lagi agar setiap orang di dunia ini tahu
semua, akupun tidak takut. .. .tidak… tidak…”
“O, Tio-suheng, aoa yang kau inginkan dariku
sudah kusanggupi, yang kumohon sukalah kau jangan mengungkapnya lagi.”
Dalam waktu yang singkat saja ber-turut-urut
Siao-liong-li mendengar dua pertanyaan yang membuat hancur hatinya, seketika
dia berdiri termangu-mangu di luar jendela, meski dapat mendengar jelas
pembicaraan Ci-peng dan Ci-keng itu, tapi arti percakapan mereka itu seketika
sukar dipahami.
Sementara terdengar Ci-keng lagi berkata dengan
tertawa: “Orang beragama seperti kita ini sekali kejeblos harus dapat
mengendalikan diri agar bisa kembali kearah yang terang, bahwa senantiasa aku
mengingatkanmu akan nama Siao-liong-li supayai kau menjadi biasa mendengarnya
dan kemudian menjadi jemu, dari jemu menjadi benci, ini kan maksud baikku untuk
menyelamatkanmu dari jalan tersesat.”
“Dia adalah jelmaan bidadari manabisa kujemu
dan benci padanya?” ujar Cipeng, Habis ini mendadak suaranya berubah keras:
“Hm, tidak perlu kau bicara muluk-muluk, pikiranmu yang keji dan berbisa
masakah aku tidak tahu? Yang benar adalah kau iri kepadaku, kedua karena kau
dendam pada Yo Ko, kau ingin mengungkapkan peristiwa ini untuk menghancurkan
kehidupan mereka guru dan murid, menyesal selama hidup.”
Hati Siao-liong-li berdetak keras demi
mendengar nama Yo Ko disebut, tanpa terasa iapun menggumam pelahan nama anak
muda itu dan timbul semacam perasaan bahagia yang tak terhingga, dia berharap
kedua Tosu akan terus membicarakan si Yo Ko, asal ada orang menyebut nama anak
muda itu maka gembiralan hatinya.
Terdengar Ci-keng juga perkeras suaranya dan
berkata dengan gemas: “Hm, kalau aku tak dapat membikin anak jadah itu sekarat,
hm, rasanya tak terlampias dendamku ini. Cuma.. cuma…”
“Cuma ilmu silatnya teramat tinggi dan kita
bukan tandingannya begitu bukan?” jengek Ci peng. “ltuIah belum pasti,” kata Ci
- keng. “Sedikit ilmu silat colongannya yang liar itu kenapa mesti di-herankan?
In-sute, boleh kau lihat saja. suatu ketika kalau dia kepergok olehku, hm,
tentu dia akan tahu rasa, tidak nanti kubiarkan dia mati dengan enak saja,
kalau bukan kedua biji matanya tentu akan kukutungi kedua tangannya agar mati
tidak hidup tidak, tatkala mana nonamu si Siao-liong-li itu boleh
menyaksikannya supaya senang hatinya.”
Siao-liong-li bergidik mendengar itu, kalau
waktu biasa tentu dia sudah menerjang ke situ dan menghabisi jiwa kedua orang
itu, tapi sekarang pikirannya lagi bingung, kaki tangan terasa lemas tak
bertenaga. .
Sementara itu In Ci-peng sedang mendengus
“Hm, kau cuma mimpi kosong belaka, ilmu silat golongan kita rasanya sukar
menandingi ilmu silat golongan liar macam mereka itu.” “Keparat, kau ada main
dengan Siao-liong-li, lantas ilmu silatnya juga kan puji setinggi langit,”
damperat Cikeng.
Rupanya Ci-peng sudah kenyang dihina selama
ini, sekarang iapun tidak tahan lagi, segera ia balas membentak: “Apa katamu?
Kau punya perasaan tidak, jadi manusia harus tahu batas-batas tertentu.”
Ci-keng merasa titik kelemahan orang sudah
tergenggam dalam tangannya, asalkan hal itu di-umumkan di Tiong-yang-kiong,
akibatnya In Ci-peng pasti akan dijatuhi hukuman mati, sebab itulah dia
menghina In Ci-peng dengan segala macam cara dan selama ini Ci-peng tak berani
melawan Sedikitpun.
Tapi sekarang Ci-peng ternyata berani
melawannya dengan kata-kata kasar, ia menjadi gusar, mendadak ia melangkah maju
terus menggampar.
Ci-peng tidak menduga sang Suheng akan
menghantamnya, cepat ia menunduk, “plok”, dengan tepat kuduknya yang kena
tampar.
Betapapun Ci-keng adalah jago kelas satu dari
Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja pukulanya itu cukup berat, tubuh
Ci-peng sempoyongan dan hampir jatuh terjerungkup.
Saking gemasnya ia cabut pedang dan balas
menusuk.
Tapi Ci-keng sempat mengegos ke samping dan
mengejek: “Bagus, ternyata kau berani bergebrak dengan aku.” Segera iapun
mencabut pedangnya dan balas menyerang.
“Setiap hari kau menyiksa aku, paling-paling
juga Cuma mati, biarlah sekarang kau bunuh aku saja dan bereslah segalanya,”
ucap Ci peng dengan geram.
Habis itu ia terus melancarkan serangan, Dia
adalah murid tertua Khu Ju-ki, kepandaiannya dengan Tio Ci-keng tidak berbeda
banyak, apa yang mereka pelajari juga sama, maka sebenarnya sukar dibedakan
unggul dan asot. Tapi lantaran dendamnya sudah menumpuk, yang diharapkan
sekarang biarlah mati bersama saja.
Akan tetapi Ci-keng mempunyai perhitungan
lain, dia tidak mau mencelakai jiwa Ci-peng, sebab itulah setelah dua-tiga
puluh gebrakan, akhirnya Ci-keng sendiri malah terdesak ke pojok kamar.
Dengan sendirinya suara pertengkaran kedua
Tosu itu segera diketahui anggota Kay-pang yang dinas jaga dan cepat pula
dilaporkan kepada Kwe Hu. Lekas-lekas nona itu mendatangi tempat itu,
dilihatnya Siao-liong-li berdiri di luar jendela, ia lantas menyapanya:
“Liong-Kokoh!”
Siao liong-Ii berdiri termangu-mangu saja di
situ seperti tidak mendengar teguran Kwe Hu itu.
Tentu saja Kwe Hu heran, iapun tidak lantas
masuk kerumah itu melainkan ikut berdiri di situ, maka terdengarlah suara
olok-olok dan sindiran kasar Ci keng sambil menangkis serangan Ci-peng, setiap
ucapannya semuanya menyangkut diri Siao-liong-li.
Sebagai nona muda yang sopan, Kwe Hu merasa
tidak pantas berdiri di situ mendengarkan kata-kata kotor kedua orang yang
bertempur di dalam rumah itu, segera ia bermaksud tinggal pergi saja.
Tapi dilihatnya Siao-liong-li tetap berdiri
terkesima, kata-kata kotor kedua orang itu seakan-akan tak dihiraukan-nya sama
sekali, Kwe Hu menjadi heran, ia coba tanya dengan suara pelahan: “Apakah betul
apa yang mereka katakan itu?”
“Aku… akupun tidak tahu.” jawab
Siao-liong-li dengan bingung, “Tampaknya memang begitu.” .
Seketika timbul perasaan menghina dalam hati
Kwe Hu, ia mendengus sekali terus tinggal pergi tanpa bicara lagi.
Ci-peng dan Ci-keng tergolong jago silat
pilihan, meski dalam pertempuran sengit selera mereka mendengar ada suara orang
bicara diluar, “Trang” begitu kedua pedang beradu terus ditariknya kembali
bersama dan serentak bertanya: “Siapa itu?”
“Aku,” jawab Siao-liong-li.
Seketika seluruh badan Ci-peng merinding, ia
menegas dengan suara gemetar “Kau? Kau siapa?”
“Siao-liong-li!”
Begitu nama ini diucapkan, bukan saja In
Ci-peng terkesima seperti patung, bahkan Ci-keng juga kaget setengah mati dan
menggigil ketakutan.
Dengan mata kepala sendiri Ci-keng
menyaksikan betapa Siao-liong-li telah mengobrak-abrik Tiong-yang-kiong, sampai
paman gurunya yang lihay seperti Hek Tay-thong juga kalah dan hampir saja mati
bunuh diri.
Sama sekali ia tak menduga bahwa
Siao-liong-li juga berada di Siangyang, ia pikir ucapannya sendiri tadi besar
kemungkinan telah didengar semua oleh si nona. Seketika ia menjadi ketakutan
setengah mati dan entah cara bagaimana harus melarikan diri.
Perasaan In Ci-peng aneh luar biasa sehingga
tak terpikir olehnya akan menyelamatkan diri, sebaliknya ia terus membuka daun
jendela, Dilihatnya di situ berdiri seorang perempuan jelita berbaju putih,
siapa lagi kalau bukan Siao-liong-li yang dirindukannya siang dan malam itu.
“Kau….kau” Ci-peng menegas dengan melongok
“Benar, aku.” jawab Siao-liong-li. “Apa yang kalian katakan tadi apakah betul
seluruhnya?”
“Be…. betul” Ci-peng mengangguk, “Boleh kau
bunuh saja diriku!”
Habis berkata ia terus menyodorkan pedangnya
keluar jendela. Sorot mata Siao-liong li memancarkan sinar yang aneh, hatinya
pedih dan pilu tak terperikan, begitu sedih dan begitu gemas, rasanya biarpun
membunuh seratus orang atau seribu orang juga dirinya bukan lagi seorang nona
yang suci bersih dan tak dapat lagi mencintai Yo Ko secara mendalam seperti
dahulu.
Ketika Ci-peng menyodorkan pedangnya,
Siao-liong-li tidak menerimanya, ia hanya pandang kedua Tosu itu dengan
bingung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar