Sabtu, 24 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 79



Kembalinya Pendekar Rajawal 79

Karena ia lantas turun hendak memakai sepatu dan ketika itulah dilihatnya pedang Kwe Hu menusuk tiba, Sambil mendengus sebelah tangan Yo Ko meraih dan tangan yang lain terus menutuk dan memegang, dengan mudah saja Siok-Ii-kiam itu dapat direbutnya.
Ber-turut-urut kecundang, Kwe Hu tambah murka? dilihatnya di atas ranjang ada pula sebatang pedang, ia terus menubruk maju dan merampasnya, segera pedang itu dilolosnya terus ditabaskan ke kepala Yo Ko.
Seketika pandangan Yo Ko menjadi silau tidak kepalang kagetnya melihat nona itu menabas-nya dengan Ci-wi-kiam, ia tidak berani merebutnya dengan tangan, sebisanya ia angkat Siok- li-kiam untuk menangkis.
Tak terduga karena dia habis sakit selama tujuh hari, tenaga belum pulih, baru saja Siok li kiam terangkat sedikit segera lengannya tidak sanggup terangkat lebih tinggi lagi.
Sementara itu tabasan pedang Kwe Hu sudah tiba, “Trang”, kedua pedang beradu, Sioklikiam kutung menjadi dua. Kwe Hu sendiri terkejut, sama sekali tak disangkanya Ci-wi-kiam itu begitu lihay. Dalam keadaan unggul dan dendam atas tamparan Yo Ko tadi.
Kwe Hu pikir biarpun kubunuh kau juga rasanya ayah-ibu takkan menyalahkan aku mengingat jiwa adikku juga dicelakai olehmu, Ketika itu kaki Yo Ko juga terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai tanpa bisa melawan lagi, hanya tangan kanan saja yang terangkat di depan dada untuk menjaga diri, tapi sorot matanya sama sekali tiada menampilkan keinginan mohon dikasihani Kwe Hu menjadi gemas, segera pedangnya ditabaskan lebih ke bawah lagi….
 Bagaimana akibat dari tabasan pedang Kwe Hu itu merupakan kunci utama cerita ini maka untuk sementara ini kita tinggalkan dahulu, Marilah kita kembali dulu pada Siao-liong-li ketika dia menunggang kuda merah menyusul Yo Ko dan Kim-lun Hoat-ong, tapi dia telah kesasar ke jurusan yang lain.
Kuda merah itu teramat cepat jarinya, sekejap sudah belasan li jauhnya, ketika dia putar balik, sementara itu Yo Ko sudah menghilang di lembah pegunungan itu.
Tanpa kenal lelah Siao-liong-li terus mencari di sekitar Siangyang, Sampai tengah malam barulah ia mendengar suara raung tangis Bu Sam-thong di kejauhan. Cepat Siaoliong-li mencari ke arah datangnya suara, tidak lama dapatlah didengarnya suara pertempuran kedua saudara Bu, menyusul terdengar pula suara bicara Yo Ko.
Tentu saja ia girang, ia kuatir Yo Ko ketemukan musuh tangguh, maka ia ingin membantunya secara diam-diam saja, segera ia turun dari kudanya, ia tambat kuda merah itu pada sebatang pohon, lalu merunduk ke sana dan sembunyi di balik sepotong batu padas untuk mengintip cara bagaimana Yo Ko menghadapi musuh.
Celakanya yang terdengar adalah ucapan Yo Ko yang berulang-ulang menyatakan sudah dijodohkan dengan Kwe Hu, nona itu disebutnya sebagai bakal isterinya, Kwe Ceng dan Oey Yong dipanggilnya ayah dan ibu mertua. Didengarnya pula Yo Ko mengaku menerima ajaran ilmu silat secara diam-diam dari Oey Yong, dilihatnya pula Yo Ko sangat marah kepada kedua saudara Bu, serta melarang kedua anak muda itu kemudian menyebut nama Kwe Hu.
Begitulah setiap Yo Ko mengucapkan hal itu, setiap kali pula Siao liong-Ii seperti disambar petir, pikirannya menjadi kacau, dunia mendadak dirasakan seperti sudah kiamat.
Kalau orang lain, tentu akan timbul rasa sangsinya melihat kata dan perbuatan Yo Ko itu sama berbeda, namun Siao-liong li memang orang yang lugu, hatinya bersih, pikirannya sederhana, sedikitpun tidak paham seluk beluk kepalsuan kehidupan manusia.
Biasanya Yo Ko juga tidak pernah membual sedikitpun padanya sekalipun terhadap orang lain anak muda itu memang suka juga, sebab itulah Siao-liong-li menaruh kepercayaan penuh terhadap apa yang diucapkan Yo Ko.
Begitulah ketika melihat kedua Bu cilik bukan tandingan NyoKo, Siao-liong-Ii yang sedang berduka dan menyesali nasibnya itu tanpa terasa mengeluarkan suara tarikan napas panjang sebagaimana yang didengar oleh Yo Ko itu sehingga dia hampir saja berseru memanggilnya. Pada saat itu juga Siao-liong-li lantas pergi dengan berlinangan air mata.
Sambil menuntun kuda merah itu Siao-liong-li berkeliaran semalaman di ladang sunyi itu, pikirannya kacau dan bingung.
Usianya sudah lebih 20 tahun, tapi selama hidupnya berdiam di dalam kuburan kuno itu, seluk-beluk kehidupan manusia sedikitpun tidak dipahaminya, hakekatnya jalan pikirannya masih polos dan bersih seperti anak kecil. ia pikir: “Yo Ko sudah terikat jodoh dengan nona Kwe, dengan sendirinya tak dapat menikahi diriku lagi. Pantas Kwe-tayhiap suami-isteri berulang-ulang merintangi hasrat Ko-ji yang ingin menikahi aku, Bahwa selama ini Ko-ji tidak memberitahukan padaku tentang ikatannya dengan nona Kwe, tentunya karena dia kuatir aku akan berduka, Ai dia memang sangat baik padaku.”
Begitulah lantaran dia juga mencintai Yo Ko, walaupun dengan mata telinga sendiri mendengar anak muda itu mengatakan hendak menikah dengan Kwe Hu, namun ia tidak dendam sedikitpun kepada anak muda itu, ia hanya berduka dan menyesali nasibnya sendiri Malahan lantas terpikir lagi olehnya: “Sebabnya Ko-ji tidak cepat-cepat membunuh Kwetayhiap untuk membalas sakit hati kematian ayahnya, kiranya persoalan nona Kwe inilah yang membuatnya bimbang, jika begitu tampaknya dia juga sangat baik kepada nona Kwe. Kalau sekarang kuberikan kuda merah ini padanya, bisa jadi dia akan teringat lagi kepada kebaikanku dan perjodohannya dengan nona Kwe mungkin akan terganggu lagi. Rasanya lebih baik kupulang sendirian saja ke kuburan kuno itu, dunia yang fana ini cuma membikin kacau dan membingungkan pikiranku saja.”
Setelah berpikir pula, akhirnya ia membulatkan tekad, meski hatinya terasa disayat-sayat, cintanya kepada Yo Ko terasa berat sekali untuk diputuskan, tapi terpikir pula olehnya menyelamatkan jiwa anak muda itu terlebih penting.
Karena itulah malam itu juga dia pulang ke Siangyang dan minta pertolongan Cu Cu-liu agar suka mengantarkan kuda merah kepada Yo Ko yang masih berada di lembah sunyi itu.
Waktu itu Siangyang belum tenang kembali, Kwe Ceng serta Oey Yong belum sehat pula, maka tugas pertahanan kota diurus oleh Loh Yu-kah dibantu oleh Cu Cu-liu.
Di tengah kemelut itulah Siao-liong-li membawa kuda merah datang pada Cu Cu-liu dan minta bantuannya mengantar kuda itu kepada Yo Ko agar anak muda itu lekas pergi ke Coatcengkok dan menukar obat penawar dengan bayi yang baru dilahirkan Oey Yong. Sudah tentu Cu Cu-liu merasa bingung oleh penuturan yang tak diketahui awal mulanya itu, la, coba bertanya lebih jelas, tapi Siao liong li sendiri sedang
kesal dan tidak ingin banyak bicara, dia hanya mendesak Cu Cu-liu lekas berangkat, katanya kalau terlambat bisa jadi jiwa Yo Ko akan melayang.
Sama sekali Siao-liong-li tidak pedulikan bahwa waktu itu Kwe Hu juga berada di sebelah Cu Cu-liu, ia pikir adikmu itu dibawa sementara ke Coat-ceng-kok, tentu tidak beralangan, apalagi demi menyelamatkan jiwa bakal suamimu.
Biasanya Siao-Iiong-li dapat menguasai perasaanya, suka atau duka jarang dipikirkan olehnya, tapi sejak jatuh cinta kepada Yo Ko, segala ilmu menguasai perasaan sendiri yang dilatihnya sejak kecil hampir tak dapat digunakan lagi, guncangan perasaannya bahkan jauh lebih hebat daripada orang biasa.
Maka sesudah memberi pesan kepada Cu Cu liu lantaran beberapa kali menyebut nama Yo Ko, tanpa terasa air matanya lantas bercucuran, cepat ia lari kembali kekamar sendiri dan menangis sedih di tempat tidur.
Biarpun Cu Cu-liu adalah seorang cerdik pandai, tapi lantaran tidak tahu seluk-beluknya persoalan, uraian Siao-Iiong-li yang tak keruan juntrungannya itu membuatnya bingung. Tapi ingat bahwa kalau terlambat bisa jadi jiwa Yo Ko akan melayang”, ia pikir terpaksa harus cepat ke lembah itu dan bertindak menurut keadaan di sana.
Tetapi ketika dia mau berangkat ternyata kuda merah yang dibawakan Siao-liong-Ii itu sudah hilang, waktu ditanyakan penjaga, katanya nona Kwe yang membawanya pergi. Ketika Kwe Hu dicari bayangan nona itupun tak dapat diketemukan.
Karena menguatirkan keselamatan Yo Ko, terpaksa Cu Cu-liu menunggang kuda lain dan membawa belasan anggota Kay-pang menuju ke lembah yang ditunjuk Siao-liong-li itu. Di situ dilihatnya Yo Ko dan ayah beranak keluarga Bu itu sama menggeletak tak bisa berkutik.
Cepat mereka dibawa pulang ke Siangyang dan kebetulan paman gurunya, yaitu si paderi Hindu datang dari negeri Tayli, paderi inilah yang menyadarkan Yo Ko dan lain-lain.
Begitulah Siao-liong-li terus menangis di kamarnya, makin dipikir makin sedih, air matapun sukar dibendung lagi sehingga membasahi baju dan tempat tidurnya, ia bermaksud mengambil saputangan untuk mengusap air mata, tiba-tiba tangannya menyentuh Siok-li-kiam yang terselip di tali pinggangnya.
Tiba-tiba timbul pikirannya akan memberikan pedang itu kepada Kwe Hu agar nona itu dan Yo Ko benar-benar menjadi suatu pasangan yang setimpal. Maklumlah, Siao-liong-li teramat cinta kepada Yo Ko, segala apa yang bermanfaat bagi anak muda itu rela dilakukannya Karena itulah ia lantas menuju ke kamar Kwe Hu.
Tatkala itu sudah lewat tengah malam, Kwe Hu sudah tidur, Tanpa mcngetok pintu segala segera Siao-liong-ii membuka daun jendela dan melompat masuk ke kamar serta membangunkan Kwe Hu serta mengatakan “kalian memang pasangan setimpal sebagaimana diuraikan kembali oleh Kwe Hu kepada Yo Ko itu. setelah menyerahkan Siok-li-kiam kepada Kwe Hu segeru Siao-liong-li tinggal pergi.
Sudah tentu Kwe Hu terheran-heran dan bertanya apa yang dimaksud, Namun Siao-Iiong li tidak menjawab terus melompat keluar jendela pula.
“Kembalilah, Liong-kokoh!” cepat Kwe Hu teriaknya sambil melongok keluar, tapi terlihat Siao-liong-li sudah melangkah pergi tanpa berpaling pula.
Dengan menunduk kepala menahan rasa sedih Siao-liong-li masuk ke taman bunga, bau bunga mawar yang sedang mekar mewangi mengingatkan dia ketika bersama Yo Ko berlatih Giok-li-sim-keng diseling oleh semak-semak bunga dahulu. Untuk berkumpul lagi seperti dahulu itu rasanya sukar terjadi lagi.
Selagi melayang pikirannya, tiba-tiba dari pojok rumah disebelah kiri sana ada seorang sedang ber-kata: “Kau sebentar2 mengucap Siao-liong-li, apakah kau tidak dapat berhenti menyebutnya?”
Keruan Siao-liong-li terkejut, ia heran siapakah yang selalu menyebut namaku? Segera ia berhenti di situ untuk mendengarkan lebih cermat.
Segera terdengar pula suara seorang lain tertawa mengejek dan berkata: “Kau sendiri boleh berbuat, masakah aku tidak boleh menyebutnya?”
Terdengar orang- pertama tadi -menjawab: “lni adalah rumah orang lain, mata telinga teramat banyak kalau didengar orang lain, ke mana lagi nama baik Coan-cin-kau kita akan ditaruh?”
“Hehe, ternyata kau masih ingat kepada nama baik Coan-cin-kau kita?” jengek pula orang kedui tadi, “Hehe, malam itu di tepi semak bunga mawar di Cong-lam-san, rasa nikmat naik surga itu …. Wah, hahahaha!” Sampai disini ia hanya terkekeh2 saja dan tidak melanjutkan.
Siao-liong-Ii tambah kaget dan sangat curiga, ia pikir apakah mungkin malam itu waktu Ko-ji melaksanakan cintanya padaku telah dapat diintip oleh kedua Tosu ini?
Dari suara kedua orang itu Siao-liong-li sudah tahu mereka adalah In Ci-peng dan Tio Ci-keng. Maka diam-diam ia mendekati jendela rumah itu dan berjongkok di situ untuk mendengarkan lebih Ianjut.
Sementara itu suara bicara kedua orang itu berubah menjadi lirih, tapi jarak Siao-liong-li sekarang sangat dekat, pendengarannya tajam pula, biarpun kedua orang bisik-bisik cara bicaranya juga dapat didengarnya dengan jelas.
Terdengar Ci-peng lagi berkata: “Tio-suheng, setiap hari siang dan malam kau selalu menyiksa aku, sebenarnya apa tujuanmu?”
“Kau sendiri paham, masakah perlu kuterangkan?” jawab Ci-keng.
“Apa yang kau kehendaki dariku telah kusanggupi aku cuma memohon urusan ini jangan kau sebut lagi, tapi makin lama makin sering kau mengungkatnya, apakah sengaja hendak menyiksa aku sampai mati seketika di depanmu sini?”
“Hm, akupun tidak tahu, yang jelas aku tidak tahan dan harus kuucapkan,” jengek Ci-keng pula.
Mendadak In Ci-peng perkeras suaranya dan berkata: “Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu? Yang benar kau cemburu, kau cemburu padaku pada saat menikmati surga dunia itu.”
Ucapan Ci-peng ini sangat aneh, Ci-keng ternyata tidak menjawab seperti hendak mengejek, tapi tak terucapkan.
Selang sebentar kembali Ci-peng bicara lagi: “Ya, memang benar, malam itu di balik semak-semak bunga mawar itu dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutuk oleh Auyang Hong sehingga cita2ku dapat terpenuhi. Ya, tidak perlu aku menyangkal didepanmu, andaikan tak kukatakan padamu juga kau takkan tahu, betul tidak? Karena sudah terlanjur kuberitahukan padamu, lalu kau terus menerus menggoda aku dan menyiksa pikiranku. Akan tetapi, akan tetapi aku tidak menyesal, tidak, sedikitpun tidak menyesal….” sampai akhirnya suaranya berubah menjadi halus dan lembut seakan-akan orang sedang mengingat.
Sambil mendengarkan hati Siao-liong-li serasa mendelung ke bawah, otaknya serasa mengingat “Masakah dia dan bukan Ko-ji yang kucintai itu? Tidak, tidak mungkin pasti Ko-ji adanya, dia berdusta, dusta!”
Terdengar Ci-keng berkata pula dengan suara kaku dingin: “Ya, dengan sendirinya kau tidak menyesal sedikitpun, sebenarnya kau tidak perlu katakan padaku, akan tetapi saking senangnya karena kau telah melakukan hal itu dan merasa perlu diutarakan pada seseorang. Nah, karena itu akupun membicarakan hal itu padamu setiap hari, setiap saat aku mengingatkanmu, tapi mengapa kau menjadi takut mendengarnya?”
Mendadak terdengar suara “blang-blung” beberapa kali, kiranya Ci-peng mem-bentur2kan kepala sendiri pada tembok, lalu berkata: “Baiklah, bicaralah, bicara lagi agar setiap orang di dunia ini tahu semua, akupun tidak takut. .. .tidak… tidak…”
“O, Tio-suheng, aoa yang kau inginkan dariku sudah kusanggupi, yang kumohon sukalah kau jangan mengungkapnya lagi.”
Dalam waktu yang singkat saja ber-turut-urut Siao-liong-li mendengar dua pertanyaan yang membuat hancur hatinya, seketika dia berdiri termangu-mangu di luar jendela, meski dapat mendengar jelas pembicaraan Ci-peng dan Ci-keng itu, tapi arti percakapan mereka itu seketika sukar dipahami.
Sementara terdengar Ci-keng lagi berkata dengan tertawa: “Orang beragama seperti kita ini sekali kejeblos harus dapat mengendalikan diri agar bisa kembali kearah yang terang, bahwa senantiasa aku mengingatkanmu akan nama Siao-liong-li supayai kau menjadi biasa mendengarnya dan kemudian menjadi jemu, dari jemu menjadi benci, ini kan maksud baikku untuk menyelamatkanmu dari jalan tersesat.”
“Dia adalah jelmaan bidadari manabisa kujemu dan benci padanya?” ujar Cipeng, Habis ini mendadak suaranya berubah keras: “Hm, tidak perlu kau bicara muluk-muluk, pikiranmu yang keji dan berbisa masakah aku tidak tahu? Yang benar adalah kau iri kepadaku, kedua karena kau dendam pada Yo Ko, kau ingin mengungkapkan peristiwa ini untuk menghancurkan kehidupan mereka guru dan murid, menyesal selama hidup.”
Hati Siao-liong-li berdetak keras demi mendengar nama Yo Ko disebut, tanpa terasa iapun menggumam pelahan nama anak muda itu dan timbul semacam perasaan bahagia yang tak terhingga, dia berharap kedua Tosu akan terus membicarakan si Yo Ko, asal ada orang menyebut nama anak muda itu maka gembiralan hatinya.
Terdengar Ci-keng juga perkeras suaranya dan berkata dengan gemas: “Hm, kalau aku tak dapat membikin anak jadah itu sekarat, hm, rasanya tak terlampias dendamku ini. Cuma.. cuma…”
“Cuma ilmu silatnya teramat tinggi dan kita bukan tandingannya begitu bukan?” jengek Ci peng. “ltuIah belum pasti,” kata Ci - keng. “Sedikit ilmu silat colongannya yang liar itu kenapa mesti di-herankan? In-sute, boleh kau lihat saja. suatu ketika kalau dia kepergok olehku, hm, tentu dia akan tahu rasa, tidak nanti kubiarkan dia mati dengan enak saja, kalau bukan kedua biji matanya tentu akan kukutungi kedua tangannya agar mati tidak hidup tidak, tatkala mana nonamu si Siao-liong-li itu boleh menyaksikannya supaya senang hatinya.”
Siao-liong-li bergidik mendengar itu, kalau waktu biasa tentu dia sudah menerjang ke situ dan menghabisi jiwa kedua orang itu, tapi sekarang pikirannya lagi bingung, kaki tangan terasa lemas tak bertenaga. .
Sementara itu In Ci-peng sedang mendengus “Hm, kau cuma mimpi kosong belaka, ilmu silat golongan kita rasanya sukar menandingi ilmu silat golongan liar macam mereka itu.” “Keparat, kau ada main dengan Siao-liong-li, lantas ilmu silatnya juga kan puji setinggi langit,” damperat Cikeng.
Rupanya Ci-peng sudah kenyang dihina selama ini, sekarang iapun tidak tahan lagi, segera ia balas membentak: “Apa katamu? Kau punya perasaan tidak, jadi manusia harus tahu batas-batas tertentu.”
Ci-keng merasa titik kelemahan orang sudah tergenggam dalam tangannya, asalkan hal itu di-umumkan di Tiong-yang-kiong, akibatnya In Ci-peng pasti akan dijatuhi hukuman mati, sebab itulah dia menghina In Ci-peng dengan segala macam cara dan selama ini Ci-peng tak berani melawan Sedikitpun.
Tapi sekarang Ci-peng ternyata berani melawannya dengan kata-kata kasar, ia menjadi gusar, mendadak ia melangkah maju terus menggampar.
Ci-peng tidak menduga sang Suheng akan menghantamnya, cepat ia menunduk, “plok”, dengan tepat kuduknya yang kena tampar.
Betapapun Ci-keng adalah jago kelas satu dari Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja pukulanya itu cukup berat, tubuh Ci-peng sempoyongan dan hampir jatuh terjerungkup.
Saking gemasnya ia cabut pedang dan balas menusuk.
Tapi Ci-keng sempat mengegos ke samping dan mengejek: “Bagus, ternyata kau berani bergebrak dengan aku.” Segera iapun mencabut pedangnya dan balas menyerang.
“Setiap hari kau menyiksa aku, paling-paling juga Cuma mati, biarlah sekarang kau bunuh aku saja dan bereslah segalanya,” ucap Ci peng dengan geram.
Habis itu ia terus melancarkan serangan, Dia adalah murid tertua Khu Ju-ki, kepandaiannya dengan Tio Ci-keng tidak berbeda banyak, apa yang mereka pelajari juga sama, maka sebenarnya sukar dibedakan unggul dan asot. Tapi lantaran dendamnya sudah menumpuk, yang diharapkan sekarang biarlah mati bersama saja.
Akan tetapi Ci-keng mempunyai perhitungan lain, dia tidak mau mencelakai jiwa Ci-peng, sebab itulah setelah dua-tiga puluh gebrakan, akhirnya Ci-keng sendiri malah terdesak ke pojok kamar.
Dengan sendirinya suara pertengkaran kedua Tosu itu segera diketahui anggota Kay-pang yang dinas jaga dan cepat pula dilaporkan kepada Kwe Hu. Lekas-lekas nona itu mendatangi tempat itu, dilihatnya Siao-liong-li berdiri di luar jendela, ia lantas menyapanya: “Liong-Kokoh!”
Siao liong-Ii berdiri termangu-mangu saja di situ seperti tidak mendengar teguran Kwe Hu itu.
Tentu saja Kwe Hu heran, iapun tidak lantas masuk kerumah itu melainkan ikut berdiri di situ, maka terdengarlah suara olok-olok dan sindiran kasar Ci keng sambil menangkis serangan Ci-peng, setiap ucapannya semuanya menyangkut diri Siao-liong-li.
Sebagai nona muda yang sopan, Kwe Hu merasa tidak pantas berdiri di situ mendengarkan kata-kata kotor kedua orang yang bertempur di dalam rumah itu, segera ia bermaksud tinggal pergi saja.
Tapi dilihatnya Siao-liong-li tetap berdiri terkesima, kata-kata kotor kedua orang itu seakan-akan tak dihiraukan-nya sama sekali, Kwe Hu menjadi heran, ia coba tanya dengan suara pelahan: “Apakah betul apa yang mereka katakan itu?”
 “Aku… akupun tidak tahu.” jawab Siao-liong-li dengan bingung, “Tampaknya memang begitu.” .
Seketika timbul perasaan menghina dalam hati Kwe Hu, ia mendengus sekali terus tinggal pergi tanpa bicara lagi.
Ci-peng dan Ci-keng tergolong jago silat pilihan, meski dalam pertempuran sengit selera mereka mendengar ada suara orang bicara diluar, “Trang” begitu kedua pedang beradu terus ditariknya kembali bersama dan serentak bertanya: “Siapa itu?”
“Aku,” jawab Siao-liong-li.
Seketika seluruh badan Ci-peng merinding, ia menegas dengan suara gemetar “Kau? Kau siapa?”
“Siao-liong-li!”
Begitu nama ini diucapkan, bukan saja In Ci-peng terkesima seperti patung, bahkan Ci-keng juga kaget setengah mati dan menggigil ketakutan.
Dengan mata kepala sendiri Ci-keng menyaksikan betapa Siao-liong-li telah mengobrak-abrik Tiong-yang-kiong, sampai paman gurunya yang lihay seperti Hek Tay-thong juga kalah dan hampir saja mati bunuh diri.
Sama sekali ia tak menduga bahwa Siao-liong-li juga berada di Siangyang, ia pikir ucapannya sendiri tadi besar kemungkinan telah didengar semua oleh si nona. Seketika ia menjadi ketakutan setengah mati dan entah cara bagaimana harus melarikan diri.
Perasaan In Ci-peng aneh luar biasa sehingga tak terpikir olehnya akan menyelamatkan diri, sebaliknya ia terus membuka daun jendela, Dilihatnya di situ berdiri seorang perempuan jelita berbaju putih, siapa lagi kalau bukan Siao-liong-li yang dirindukannya siang dan malam itu.
“Kau….kau” Ci-peng menegas dengan melongok “Benar, aku.” jawab Siao-liong-li. “Apa yang kalian katakan tadi apakah betul seluruhnya?”
“Be…. betul” Ci-peng mengangguk, “Boleh kau bunuh saja diriku!”
Habis berkata ia terus menyodorkan pedangnya keluar jendela. Sorot mata Siao-liong li memancarkan sinar yang aneh, hatinya pedih dan pilu tak terperikan, begitu sedih dan begitu gemas, rasanya biarpun membunuh seratus orang atau seribu orang juga dirinya bukan lagi seorang nona yang suci bersih dan tak dapat lagi mencintai Yo Ko secara mendalam seperti dahulu.
Ketika Ci-peng menyodorkan pedangnya, Siao-liong-li tidak menerimanya, ia hanya pandang kedua Tosu itu dengan bingung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar