Kamis, 15 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 44



Kembalinya Pendekar Rajawali 44

Begitu dia terkenang kepada Siao-liong-li, kontan jarinya terasa kesakitan lagi, baru sekarang ia percaya kepada apa yang diceritakan si nona baju hijau memang bukan omong kosong belaka,
Melihat Yo Ko meringis lagi menahan sakit, si nona seperti mau tersenyum, tapi segera ditahannya, sementara itu wajahnya yang tersorot oleh sinar matahari itu telah menambah cantiknya.
“Di jaman dahulu ada seorang raja telah mengorbankan kerajaannya hanya karena ingin melihat senyuman manis seorang perempuan cantik, itulah tandanya sukarnya melihat tertawa perempuan cantik sejak jaman kuno sampai jaman kini memang sama susahnya,” kata Yo Ko dengan tertawa.
Dasar si nona memang masih muda dan polos, karena olok-olok Yo Ko itu, tak tertahan lagi, akhirnya tertawa mengikik.
Tadinya sikap si nona tampak dingin dan kaku, maka Yo Ko selalu merasa prihatin, kini tawa si nona telah membuat jarak hubungan mereka menjadi lebih dekat.
“Ai, bicara tentang sukarnya melihat tertawa orang perempuan yang mengakibatkan musnahnya suatu negara, padahal masih ada sesuatu pada diri perempuan cantik yang lebih sukar diperoleh dari pada tertawanya,” kata Yo Ko pula.
Nona itu tampak terbeliak heran dan ingin tahu, cepat ia tanya. “Apakah itu?”
“Ialah nama si cantik,” ujar Yo Ko. “Bahwa dapat melihat wajah si cantik sebenarnya sudah beruntung, apalagi dapat melihat tertawanya, itulah rejeki nomplok namanya, sedangkan kalau ingin si cantik sendiri mengatakan namanya, untuk itu perlu rejeki nomplok di tambah perbuatan amal bakti turun temurun.”
Si nona tahu arti ucapan Yo Ko itu hendak menuju ke mana, sambil tertawa iapun menjawab: “Aku bukan perempuan cantik segala, di lembah ini belum pernah ada orang mengatakan aku ini cantik, rupanya engkau bercanda padaku?”
Yo Ko menarik napas panjang, katanya : “Ai, pantas lembah ini bernama Lembah Patah Hati atau Lembah Tanpa Perasaan, Menurut pendapatku lembah ini perlu ganti nama.”
“Ganti nama apa?” tanya si nona.
“Lebih tepat pakai nama Lembah Orang Buta,” kata Yo Ko.
“Sebab apa?” si nona menegas.
“Kan mudah dimengerti.” kata Yo Ko. “Orang yang tidak tahu kecantikan seseorang kan namanya orang buta, Kau begini cantik, tapi mereka tidak pernah memuji kau, bukankah semua penghuni lembah ini adalah orang “buta?” Kembali si nona tertawa terkekeh, padahal wajahnya meski tergolong kelas atas, tapi kalau dibandingkan Siao-liong-li jelas masih jauh sekali, dibandingkan kelembutan Thia Eng dan kegenitan Liok Bu-siang juga masih kalah.
Cuma nona gunung ini lebih polos, sederhana, tidak pernah makan barang berjiwa, dengan sendirinya ada sesuatu gaya yang istimewa pada dirinya.
BegituIah dengan sendirinya nona itu sekarang senang karena dipuji cantik oleh Yo Ko, dengan tertawa ia menjawab: “kau sendirilah yang buta, masakah menganggap seorang perempuan jelek sebagai orang cantik “
Melihat tertawa si nona yang menarik, tubuhnya yang semampai rada bergetar, tanpa terasa hati Yo Ko tergerak juga. Maklumlah, seorang pemuda berdiri di samping seorang gadis cantik dan melihat wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang indah, adalah jamak kalau timbul juga pikiran berahinya.
Siapa duga karena goncangan perasaannya itu, mendadak jarinya yang tertusuk jari bunga cinta tadi kembali kesakitan lagi.
Melihat Yo Ko meringis kesakitan sambil memegangi jarinya, si nona rada kurang senang, omelnya: “Aku sedang bicara dengan kau, tapi kau justeru memikirkan kekasihmu.”
“Ai, sungguh mati, sakitnya jariku ini justeru akibat aku memikirkan dirimu, tapi kau malah marah padaku,” kata Yo Ko.
Mendadak muka si nona merah jengah terus berlari cepat ke depan sana.
Yo Ko menjadi menyesal setelah ucapannya keluar, pikirnya: “cintaku telah kucurahkan seluruhnya kepada Kokoh, tapi tabiatku yang sok bangor mengapa tidak dapat berubah?
Ai, dasar !”
Maklumlah, pembawaan Yo Ko memang memiliki sebagian sifat ayahnya yang ugal-ugalan dan suka kepada kaum wanita, meski sebenarnya tidak bermaksud jahat, tapi dia suka menggoda dan merayu beberapa patah kata terhadap setiap gadis cantik, sudah tentu akibatnya si nona menjadi kacau pikirannya.
Setelah berlari tak jauh, mendadak nona tadi berhenti termenung di depan sebatang pohon bunga cinta. Selang sejenak ia menoleh dan tertawa kepada Yo Ko, lalu berkata:
“Jika kuberi tahukan namaku, tapi kau tidak boleh katakan lagi kepada orang lain, lebih-lebih tidak boleh memanggil aku di depan orang lain.”
“Wah, banyak amat syaratnya, baiklah, aku bersumpah.” ujar Yo Ko dengan sikapnya yang kocak
Si nona tertawa pula, lalu berkata : “Ayahku she Kongsun…” dia tetap tak mau mengatakan namanya sendiri secara langsung, tapi sengaja berputar untuk menyebut namanya, “Dan siapakah she nona?” sela Yo Ko.
“Entah, boleh kau terka sendiri,” jawab si nona sambil tertawa geli, lalu melanjutkan: “Yang jelas ayahku memberikan nama kepada puteri tunggalnya yaitu Lik-oh”.
“Sungguh nama yang bagus, secantik orangnya,” puji Yo Ko.
Setelah memperkenalkan namanya. Kongsun Lik-oh menjadi lebih akrab terhadap Yo Ko, katanya pula: “Sebentar ayah akan bertemu dengan kau, tapi jangan kau tertawa padaku.”
“Memangnya kenapa?” tanya Yo Ko.
“Apabila ayah mengetahui aku pernah tertawa padamu, apalagi mengetahui aku telah memberitahukan namaku padamu, wah, entah cara bagaimana dia akan menghukum diriku,” kata Kongsun Lik-oh.
“Masakah begitu bengis ayahmu?” ujar Yo Ko. “Semalam kalian dihukum panggang di rumah batu itu, masakah dia tidak sayang kepada puterinya yang begini cantik ini?”
Mata Kongsun Lik-oh menjadi merah basah. jawabnya: “Dahulu ayah sangat sayang padaku, tapi sejak ibuku meninggal ketika umurku baru sepuluh tahun, selanjutnya ayah lantas makin bengis padaku, Apalagi nanti kalau ayah sudah punya isteri baru, entah bagaimana nasibku ini kelak.”
Habis berkata, tak tertahan lagi air matanya lantas menetes.
Yo Ko berusaha menghiburnya: “Setelah menikah, ayahmu tentu gembira dan pasti akan perlakukan kau dengan lebih baik.”
Kongsun Lik-oh menggeleng, katanya: “Aku lebih suka dia terlebih bengis padaku daripada dia mengambil isteri baru lagi.”
Karena sejak kecil Yo Ko sudah ditinggalkan ayah-bundanya. maka perasaan kekeluargaan demikian kurang dipahami olehnya, dia hanya ingin membikin senang hati sinona, maka ia berkata pula: “Ibumu yang baru tentu tiada setengahnya daripada kecantikanmu-”
“Salah kau,” cepat Lik-oh menyanggah “Justeru ibuku yang baru itulah seorang wanita cantik sejati. ilmu silatnya juga bagus. Kemarin ketika kami berhasil menangkap pulang Ciu Pek-thong, kalau saja ayah dan ibu baru tidak lagi bertanding silat dan tidak sempat memeriksanya tentu si anak tua nakal tak bakalan bisa kabur.”
“llmu silat ayahmu dan ibumu yang baru itu siapa lebih tinggi?” tanya Yo Ko.
“Sudah tentu ayah lebih tinggi, kalau tidak, masakah ibu baru mau menjadi isterinya?” jawab Lik-oh, “Lusa adalah hari perkawinan mereka, besar kemungkinan ayah akan mengundang kalian tinggal dua-tiga hari lagi di sini untuk menghadiri pesta nikahnya. Ai, aku sendiri lebih baik pergi sejauhnya saja.”
Setelah berbicara sekian lama, sementara itu sang surya sudah makin tinggi di ufuk timur, Lik-oh tersadar dan berkata: “Lekas kau kembali ke sana, jangan sampai kita dipergoki para suhengku dan dilaporkan kepada ayah.”
Serentak timbul rasa kasihan kepada keadaan si nona, Yo Ko genggam tangan sebelah tangan nona itu dan tangan lain menepuk pelahan pada bahunya sebagai tanda simpatik, habis itu ia terus melangkah kembali ke rumah batu itu.
Belum lagi dia memasuki pintu rumah sudah lantas mendengar suara teriakan Be Kong-co yang lagi mengomel karena makanan tidak enak dan merasa disiksa segala.
Terdengar In Kik-si lagi berkata: “Be-heng, jika kau membawa sesuatu barang yang berharga, kukira kau harus menyimpannya dengan baik, tampaknya Kokcu di sini tidak bermaksud baik.”
Be Kong-co tidak tahu In Kik-si sengaja menggodanya ia mengira betul apa yang dikatakan itu, maka berulang mengiakan.
Waktu Yo Ko masuk rumah, tertampak di atas meja batu tersedia beberapa piring kelopak bunga cinta, sudah tentu tiada seorangpun yang doyan makanan istimewa itu dan karena itu semuanya tampak bersungut.
Pada saat itu juga datanglah seorang berbaju hijau dan memberitahu bahwa sang Kokcu mengundang kehadiran Yo Ko berenam, Kim-lun Hoat ong, Nimo Singh dan lainnya adalah tokoh terkemuka dunia persilatan, di manapun mereka selalu disambut sendiri oleh tuan rumah, bahkan pangeran yang berkuasa seperti Kubilai juga menghormati mereka, siapa duga sampai di lembah sunyi ini mereka justeru diperlakukan dengan dingin oleh tuan rumahnya, tentu saja mereka sangat mendongkol.
Namun, merekapun penuhi undangan itu, hanya dalam hati mereka sama membatin: “Sebentar kalau sudah bertemu biarlah Kokcu keparat itu disuruh rasakan kelihayanku.”
Begitulah mereka berenam terus ikut orang berbaju hijau itu menuju ke belakang gunung, mendadak di depan sana  terbentang hutan bambu yang luas, biasanya di daerah utara jarang ada pohon bambu, apalagi hutan bambu selebar ini.
Mereka terus menyusuri hutan bambu itu, terendus bau harum bunga yang menyegarkan semangat. Setelah menembus hutan bambu itu, terlihatlah alam luas sejauh mata memandang penuh Cui-sian-hoa (bunga dewi air) belaka.
Kiranya tanah di situ adalah empang yang dangkal, dalam air cuma sebatas betis saja dan penuh tumbuh bunga yang harum itu.
Padahal Cui-sian-hoa itu adalah tumbuhan khas daerah selatan, entah mengapa bisa muncul di atas gunung daerah utara ini? Kim-lun Hoat-ong pikir tentu di puncak gunung ini adalah sebangsa sumber air panas, karena tanahnya menjadi subur dan hawa hangat, makanya bunga daerah selatan dapat tumbuh dan mekar dengan suburnya.
Pada permukaan empang yang sangat luas itu kelihatan ada tonggak kayu yang berjajar dalam jarak dua-tiga meter, Orang berbaju hijau yang mengantar mereka itu mendahului melompat ke atas tunggak kayu pertama, seterusnya ke tunggak kedua dan ketiga dan begitu selanjutnya seperti di tanah datar saja.
Yo Ko berenam juga menirukan cara melintasi empang itu seperti orang berbaju hijau, hanya Be Kong-co saja karena tubuhnya segede kerbau, Ginkangnya juga kurang, meski langkahnya lebar, tapi sukar mencapai dua-tiga meter sekali melangkah, akibatnya beberapa tunggak menjadi ambruk terinjak olehnya, akhirnya ia menjadi tidak sabar, diseberanginya empang itu dengan berjalan di air.
Sesudah melintasi empang bunga dewi air, tertampaklah di tempat yang rindang di kejauhan sana enam tamunya. Lalu berkata: “Selamat datang, silahkan, kelihatan dua kacung berbaju hiiau dengan memegang kebut yang semula berdiri di depan pintu, seorang diantaranya segera masuk melapor, sedangkan kacung yang Iain lantas membukakan pintu untuk menyambut tamu.
Selagi Yo Ko ragu apakah tuan rumahnya juga akan muncul menyambut kedatangan mereka atau tidak, sekonyong-konyong bayangan hijau berkelebat di depan mata, tahu-tahu seorang kakek berjenggot panjang dan berjubah hijau sudah berdiri di depan mereka.
Perawakan kakek ini sangat pendek, tidak lebih dari satu meter, mukanya jelek lagi aneh, mulutnya menjengkit, hidungnya pesek, daun telinga lebar seperti kuping gajah, memakai jubah hijau dari kain kasar, ikat pinggangnya adalah tali rumput warna hijau pula, Sungguh istimewa wajah dan dandanannya.
Yo Ko merasa heran bahwa puterinya begitu cantik, mengapa sang Kokcu begini aneh dan jelek?
Kakek cabol itu memberi hormat kepada ke-enam tamunya, lalu berkata: “Selamat datang, silakan duduk didalam dan sekadar minum teh !”
Nimo Singh berpikir: “Aku sendiri pendek.. tapi Kokcu di sini ternyata juga cebol, sebentar ingin kutahu apakah cebol macammu lebih hebat atau cebol macamku lebih lihay.”
Segera ia mendahului ke depan dan mengulurkan tangan sambil berkata: “Selamat bertemu !”
Kakek berjenggot panjang itupun menyodorkan tangannya, begitu tangan berjabat tangan, seketika Nimo Singh mengerahkan tenaganya.
Melihat kedua orang bermaksud menguji tenaga, orang lain cepat menyingkir ke samping, mereka tahu pertandingan dua tokoh lihay tentu tidak boleh diremehkan akibatnya.
Semula Nimo Singh hanya mengerahkan tiga bagian tenaganya, terasa pihak lawan tidak memberi reaksi apapun dan juga tidak balas menggempur. ia rada heran, segera ia tambahi lagi tiga bagian tenaga, terasa yang tergenggam ditangan itu seperti sepotong kayu yang keras, Waktu Nimo Singh menambahi lagi tiga bagian tenaganya, sekilas air muka kakek berjenggot panjang itu bersemu hijau, lalu tenang kembali dan tangannya tetap kaku dan keras.
Nimo Singh sangat heran, sisa tenaganya yang masih sebagian itu tidak berani dikeluarkan lagi, ia kuatir kalau mendadak pihak lawan melancarkan serangan balasan dan diri sendiri sudah tiada tenaga cadangan untuk menghadapi tentu diri sendiri akan celaka. BegituIah ia lantas tertawa, lalu me!epaskan tangan lawan”. Pertarungan halus ini ternyata tidak kelihatan pihak mana yang lebih unggul entah si kakek berjenggot sengaja mengalah atau memang cuma begitu saja kekuatannya. Nimo Singh merasa sia-sia ketika perasaannya tadi, betapa hebat kepandaian lawan ternyata sedikitpun sukar dijajaki.
Kim-lun Hoat-ong berjalan di belakang Nimo Singh, ia sangat cerdik, ia pikir kalau Nimo Singh tak dapat mengukur kepandaian lawan, maka dirinya juga tidak perlu mengujinya Iagi. Dengan tenang ia terus masuk saja kedalam rumah disusul dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si.
Menyusul adalah Be Kong-co, dilihatnya jenggot si kakek yang panjang itu terjulai sampai di atas tanah, Memangnya dia sedang dongkol karena sejak pagi belum makan apapun, rasa lapar ditambah rasa gusar, segera ia sengaja mencari gara-gara.
Waktu melangkah masuk pintu rumah itu, ia berlagak tidak tahu, sebelah kakinya terus menginjak ke atas jenggot sikakek sehingga ujung jenggot terinjak.
Tapi kakek itu tidak berbuat apapun, dia cuma berkata : “Hati-hati tuan.”
Kaki Be Kong-co yang lain sengaja menginjak pula di atas jenggot orang, lalu pura-pura tidak tahu dan bertanya : “Ada apa ?”
Si kakek menggeleng pelahan, kontan Be Kong-co tergebat dan jatuh terjengkang.
Jatuhnya sesosok tubuh sebesar itu tentu saja menimbulkan suara gedebuk yang keras.
Yo Ko berjalan paling belakang, cepat ia memburu maju,–sebelah tangannya menyanggah pantat Be Kong-co terus disodok ke depan, seketika tubuh yang besar itu melayang kesana, dengan enteng dapatlah Be Kong-co berdiri tegak kembali sambil meraba bckong yang kesakitan itu dengan meIongo.
Si kakek berjenggot anggap tidak pernah terjadi apapun, dia menyilakan keenam tamunya mengambil tempat duduk yang telah tersedia, lalu berseru nyaring: “Para tamu sudah tiba, harap Kokcu suka menemuinya.”
Yo Ko dan lainnya sama terkesiap, baru sekarang mereka tahu bahwa si kakek cebol berjenggot panjang ini kiranya bukan sang Kokcu.
Dalam pada itu dari ruangan belakang telah muncul belasan orang lelaki perempuan berseragam baju hijau dan berdiri berjajar di sebelah kiri, Habis itu dari balik pintu anginpun keluar seorang lelaki, setelah memberi salam kepada tetamunya, lalu iapun berduduk.
Orang terakhir ini adalah sang Kokcu, usianya sekitar 45-46 tahun, wajahnya bagus, dapat dibayangkan 20 tahun yang lalu tentu dia ini seorang pemuda yang cakap, cuma sekarang air mukanya rada pucat kuning dan kurus sehingga sukar diketahui bahwa dia memiliki ilmu silat maha tinggi.
Sesudah Kokcu itu berduduk, beberapa kacung berbaju hijau lantas menyuguhkan teh. Di ruangan tamu ini segala perabotan dan pakaian seluruhnya berwarna Hijau, hanya jubah yang dipakai sang Kokcu berwarna biru manikam sehingga tampaknya sangat menyolok di tengah-tengah yang segalanya serba hijau itu.
Sejenak kemudian sang Kokcu mengebaskan lengan bajunya yang panjang, lalu angkat mangkok teh dan berseru.
“Silakan minum tuan-tuan yang terhormat !”
Melihat air teh di dalam mangkok yang di-suguhkan padanya itu sangat cemplang, keruan hati Be Kong-co bertambah dongkol ia terus berteriak: “He, tuan rumah, daging kau tidak doyan, minum teh juga setawar ini, pantas kalau kau selalu kelihatan sakit-sakitan.”
Sang Kokcu tidak memperlihatkan reaksi apa-pun, sehabis minum tehnya, ia menjawab : “Selama beberapa ratus tahun hidup di lembah ini kami melulu makan minum cara begini.”
“Coba jelaskan, apa paedafanya hidup cara demikian?
Apakah bisa menjadikan kau panjang umur?” tanya Be Kong-co.
“Yang pasti pantangan makan barang berjiwa dan hidup sederhana demikian sudah dimulai sejak kakek moyang kami hijrah menetap di sini pada jaman Tong-hian-cong, kami sebagai anak cucunya tiada yang berani melanggar peraturan ini,” jawab sang Kokcu.
“Oh, jadi keluarga kalian sudah menetap di sini sejak dinasti Tong, sungguh lama dan kerasan sekali,” kata Kim-lun Hoat-ong.
Mendadak Siau-siang-cu ikut bertanya dengan suaranya yang banci: “Eh, jika begitu kakek moyangmu itu tentu pernah melihat Nyo-kuihui (seorang selir kaisar Tong-hian-cong yang sangat cantik)?”
Suara Siau-siang-cu ini kedengaran sangat aneh, sebenarnya suaranya sudah cukup dikenal oleh Nimo Singh, In Kik-si dan lainnya, karena ini mereka menjadi heran, mereka sama memandang wajah Siau-siang-cu, serentak mereka terperanjat ternyata wajah Siau-siang-cu telah berubah sama sekali, mukanya yang memang kaku pucat sebagai mayat kini bertambah aneh luar biasa.
Diam-diam Nimo Singh dan lainnya menjadi jeri, mereka menyangka ilmu yang dilatih Siau-siang-cu itu ternyata begini lihay, apabila dikeluarkan bahkan air mukapun bisa berubah sama sekali. Bahwa sekarang Siau-siang-cu telah mulai mengerahkan ilmunya, tentu segera dia akan mulai melabrak sang Kok-cu. Karena pikiran demikian, Nimo Singh dan lainnya juga sama siap siaga.
Begitulah terdengar sang Kokcu lagi menjawab: “Leluhurku memang pejabat tinggi dan pemindahan leluhur kami ke sini ketika itu memang untuk menghindari keganasan menteri dorna Yo Kok-tiong yang berkuasa pada masa itu.”
Kembali Siau-siang-cu mengakak dan berkata: “Haha, jika begitu leluhurmu itu pasti pernah minum air cuci kaki Yo-kuihui.”
Ucapan ini sungguh membikin kaget semua orang, jelas kata-kata demikian berarti suatu tantangan terhadap sang Kokcu dan pertarungan pasti segera akan terjadi.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa heran, padahal mereka kenal Siau-siang-cu biasanya sangat licik dan licin, segala persoalan lebih suka ditimpakan kepada orang lain, mengapa sekarang dia mau tampil ke muka sendiri?
Kokcu itu ternyata tidak gubris ucapan Siau-siang-ciu itu, dia cuma memberi isyarat kepada si kakek jenggot panjang yang berdiri di belakangnya.
“Hm” kakek berjenggot itu berseru: “Kokcu menghormati kalian sebagai tamu, sebab itulah kalian diperlakukan dengan baik, tapi mengapa kau bicara secara ngawur ?”
Siau-siang-cu terkekeh lagi dan berkata dengan nada suara yang dibuat-buat: “Hehe, leluhurmu itu pastilah pernah minum air cuci kaki Nyo-kui-hui, aku berani bertaruh dengan potong kepalaku ini.”
Be Kong-cu merasa terheran-heran, ia bertanya: “Hai, Siau-heng, darimana kau tahu begitu pasti ? Apakah waktu itu kau juga minum air cuci kaki itu bersama dia?”
Kembali Siau-siang-cu tertawa, tapi sekali ini nada suaranya berubah pula, katanya: “Jika bukan lantaran muak terlalu banyak minum air cuci kaki itu, mengapa orang hidup tidak makan minum sebagaimana lazimnya ?”
Kim-lun Hoat-ong dan lainnya sama mengerut kening dan merasa ucapan Siau-siang-cu ini keterlaluan, makan-minum adalah kebiasaan masing-masing orang, mana dapat dipersamakan dan dijadikan bahan olok-olok?
Tampaknya si kakek berjenggot panjang tidak tahan lagi, ia melangkah ke tengah ruangan dan berseru : “Siau-siansing, setahuku kami tidak berbuat kesalahan apapun padamu, jika engkau benar-benar ingin coba-coba, marilah maju sini !”
“Boleh!” kata Siau-siang-cu, mendadak orangnya bersama kursinya melompati meja di depannya dan tahu-tahu berduduk di tengah ruangan, “Nah, kakek jenggot panjang, siapa namamu ? Kau kenal namaku, tapi aku tidak tahu namamu, kan tidak adil?”
Ucapan ini seperti tepat tapi juga lucu, keruan kakek berjenggot itu bertambah gusar, tapi diam-diam iapun waspada setelah menyaksikan lompatan orang berikut kursinya dengan gaya yang gesit dan lihay itu.
Terdengar sang Kokcu berkata: “Boleh kau beritahukan dia, tidak soal.”
“Baik,” jawab si kakek berjenggot panjang, “Nah, dengarkan, aku she Hoan bernama It-hong. sekarang silakan berdiri dan marilah kita mulai!”
“Kau menggunakan senjata apa? Coba perlihatkan padaku dahulu !” kata Siau-siangcu.
“Kau ingin bertanding dengan bersenjata? Boleh juga !” ucap Hoan It-hong. Mendadak sebelah kakinya memukul lantai sambil berseru : “Ambilkan sini!”
Serentak dua kacung berbaju hijau tadi berlari ke ruangan dalam, keluarnya kedua kacung itu sudah menggotong sebatang tongkat yang pangkalnya berukirkan kepala naga, panjang tongkat sekitar, dua meter.
Tentu saja Yo Ko dan lainnya terperanjat, mereka tidak habis paham mengapa si kakek cebol itu menggunakan senjata yang panjangnya hampir dua kali daripada panjang badannya, cara bagaimana akan dapat dimainkannya?
Ternyata Siau-siang-cu tidak ambil pusing terhadap senjata orang, ia sendiri lantas mengeluarkan dari dalam bajunya yang longgar itu sebuah gunting raksasa dan berkata: “lni senjataku, apakah kau tahu kegunaannya ?”
Kalau semua orang paling-paling cuma heran saja atas gunting besar itu, tidak demikian dengan Yo Ko, ia terperanjat sekali, tanpa meraba rangselnya iapun yakin bahwa gunting besar miliknya itu sudah hilang.
Gunting raksasa itu khusus dipesannya pada pandai besi Pang dan ingin digunakan untuk memotong ujung kebut Li Bok-chiu, kini ternyata kena dicuri oleh Siau-siang-cu di luar tahunya?
Sementara itu Hoan It-hong telah pegang tongkat panjang yang digotong keluar kedua kacung tadi, dia pegang bagian tengah tongkat, lalu di-jungkirkan, pangkal tongkat dipukulkan pelahan pada lantai.
Karena ruangan tamu rumah batu itu sangat luas, ketokan tongkat baja itu dengan sendirinya menimbulkan suara gemerantang yang nyaring mengejutkan.
Dengan tangan kanan Siau-siang-cu memegangi guntingnya, jarinya dikerjakan sekuatnya barulah gunting itu dapat terbuka dan terkatup, lalu ia berseru : “He, orang cebol berjenggot, tentunya kau tidak kenal nama guntingku ini, apakah kau perlu kuberitahukan dahulu ?”
“Huh, senjata rombengan entah kau temukan dari mana, masakah punya nama yang baik?” jengek si kakek alias Hoan It-ong dengan mendongkol.
“Benar, namanya memang kurang enak di-dengar,” ujar Siau-siang-cu dengan bergelak tertawa, “Gunting ini disebut Kau-mo-cian (gunting bulu anjing).”
Yo Ko merasa kurang senang, pikirnya : “Brengsek !
Masakah guntingmu itu kauberi nama begitu ?”
Dalam pada itu terdengar Siau-siang-cu lagi berkata : “Karena kutahu di sini ada makhluk aneh berjenggot panjang, maka sengaja kupesan gunting bulu anjing ini untuk memotong jenggotmu”.
Berbareng Nimo Singh dan Be Kong-co bergelak tertawa, In Kik-si dan Yo Ko juga ikut tertawa walaupun tidak keras, Hanya Kim-lun Hoat-ong dan sang Kokcu saja yang tetap duduk tenang berhadapan seperti tidak mendengar apa yang terjadi itu.
Segera Hoan It-ong angkat tongkatnya dan diputar sedikit, serentak berjangkit angin keras, lalu ia berkata: “Memangnya jenggotku ini sudah terlalu panjang, jika kau ingin menjadi tukang cukur, wah, kebetulan bagiku, Nah silakan mulai !”
Siau-siang-cu seperti terkesima memandangi dinding ruangan itu dan sama sekali tidak mendengarkan ucapan Hoan It-ong, tapi begitu orang selesai bicara, mendadak guntingnya menyambit ke depan secepat kilat, “creng”, kontan ia menggunting jenggot lawan.
Sama sekali Hoan It-ong tidak menyangka dalam keadaan masih berduduk mendadak Siau-siang-cu dapat melancarkan serangan, untuk menghindar jelas tidak keburu lagi, terpaksa ia menggunakan gerakan istimewa, sekuatnya tangan menahan batang tongkatnya, tubuhnya terus meloncat ke atas.
Dalam sekejap itu kedua orang telah sama-sama memperlihatkan gerak kilat yang mengejutkan namun Hoan It-ong tetap rugi dalam keadaan diserang lebih dulu tanpa terduga, meski guntingan itu dapat dihindarkan, tidak urung ujung beberapa utas jenggotnya masih tergunting putus juga.
Siau-siang-cu tampak sangat senang, jenggot yang putus itu disambernya terus ditiupnya, tiga-tmpat utas jenggot itu lantas terbang ke arah mangkok teh sendiri yang terletak dimeja, menyusul terdengarlah suara nyaring, mangkok teh itu jatuh dan pecah berantakan.
Yo Ko dan lainnya cukup paham bahwa pecahnya mangkok itu adalah disebabkan hawa yang ditiupnya Siau-siang-cu itu. Tapi Be Kong-co tidak tahu hal ikhwalnya, ia mengira mangkok teh itu jatuh lantaran tersodok oleh samberan bulu jenggot yang ditiup itu. Segera ia berteriak: “Wah, hebat benar jenggotmu itu, Siau-siang-cu !”
Sambil tertawa Siau-siang-cu mengacipkan guntingnya beberapa kali hingga menimbulkan suara “creng-creng”, katanya: “Hayo maju sini, jenggot cebol!”
Semua orang kini dapat melihat lebih jelas ketika Siau-siang-cu tertawa ternyata kulit mukanya sama sekali tidak bergerak keruan semua orang bertambah kejut dan heran, Bahwa orang yang memiliki Lwekang maha tinggi memang sanggup tidak memperlihatkan sesuatu tanda gusar atau gembira, tapi air muka Siau-siang-cu yang kaku dan seram meski dalam keadaan gembira, hal ini sungguh luar biasa dan belum pernah mereka alami.
Berulang kali dipermainkan, Hoan It-ong semakin murka, ia memberi hormat kepada sang Kokcu dan berkata: “Suhu, terpaksa Tecu tidak dapat menghormati tamu kita secara layak.”
Yo Ko heran mendengar kakek cebol berjenggot itu memanggil sang Kokcu sebagai Suhu, padahal umurnya jauh lebih tua, masakah malah menyebutnya sebagai guru?
Terlihat sansi Kokcu memanggut sekalian sambil melambaikan tangannya, Segera Hoan It-ong mengayun tongkatnya, “wuttt”, kontan kursi yang diduduki Siau-siang-cu itu dihantam. Meski tubuhnya pendek, tapi tenaganya luar biasa hebatnya, tongkat baja yang bobotnya ratusan kati itu, bila sampai kursi itu kena dihantam, tentu akan hancur berkeping.
Walau Yo Ko dan lainnya datang bersama Siang-siang-cu, tapi sampai di mana kepandaian sejati kawannya itu hakikatnya merekapun tidak tahu persis, Maka mereka lantas mengikuti pertarungan itu dengan penuh perhatian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar