Kembalinya Pendekar Rajawali 44
Begitu dia terkenang kepada Siao-liong-li,
kontan jarinya terasa kesakitan lagi, baru sekarang ia percaya kepada apa yang
diceritakan si nona baju hijau memang bukan omong kosong belaka,
Melihat Yo Ko meringis lagi menahan sakit, si
nona seperti mau tersenyum, tapi segera ditahannya, sementara itu wajahnya yang
tersorot oleh sinar matahari itu telah menambah cantiknya.
“Di jaman dahulu ada seorang raja telah
mengorbankan kerajaannya hanya karena ingin melihat senyuman manis seorang
perempuan cantik, itulah tandanya sukarnya melihat tertawa perempuan cantik
sejak jaman kuno sampai jaman kini memang sama susahnya,” kata Yo Ko dengan
tertawa.
Dasar si nona memang masih muda dan polos,
karena olok-olok Yo Ko itu, tak tertahan lagi, akhirnya tertawa mengikik.
Tadinya sikap si nona tampak dingin dan kaku,
maka Yo Ko selalu merasa prihatin, kini tawa si nona telah membuat jarak
hubungan mereka menjadi lebih dekat.
“Ai, bicara tentang sukarnya melihat tertawa
orang perempuan yang mengakibatkan musnahnya suatu negara, padahal masih ada
sesuatu pada diri perempuan cantik yang lebih sukar diperoleh dari pada
tertawanya,” kata Yo Ko pula.
Nona itu tampak terbeliak heran dan ingin
tahu, cepat ia tanya. “Apakah itu?”
“Ialah nama si cantik,” ujar Yo Ko. “Bahwa
dapat melihat wajah si cantik sebenarnya sudah beruntung, apalagi dapat melihat
tertawanya, itulah rejeki nomplok namanya, sedangkan kalau ingin si cantik
sendiri mengatakan namanya, untuk itu perlu rejeki nomplok di tambah perbuatan
amal bakti turun temurun.”
Si nona tahu arti ucapan Yo Ko itu hendak
menuju ke mana, sambil tertawa iapun menjawab: “Aku bukan perempuan cantik
segala, di lembah ini belum pernah ada orang mengatakan aku ini cantik, rupanya
engkau bercanda padaku?”
Yo Ko menarik napas panjang, katanya : “Ai,
pantas lembah ini bernama Lembah Patah Hati atau Lembah Tanpa Perasaan, Menurut
pendapatku lembah ini perlu ganti nama.”
“Ganti nama apa?” tanya si nona.
“Lebih tepat pakai nama Lembah Orang Buta,”
kata Yo Ko.
“Sebab apa?” si nona menegas.
“Kan mudah dimengerti.” kata Yo Ko. “Orang
yang tidak tahu kecantikan seseorang kan namanya orang buta, Kau begini cantik,
tapi mereka tidak pernah memuji kau, bukankah semua penghuni lembah ini adalah
orang “buta?” Kembali si nona tertawa terkekeh, padahal wajahnya meski
tergolong kelas atas, tapi kalau dibandingkan Siao-liong-li jelas masih jauh
sekali, dibandingkan kelembutan Thia Eng dan kegenitan Liok Bu-siang juga masih
kalah.
Cuma nona gunung ini lebih polos, sederhana,
tidak pernah makan barang berjiwa, dengan sendirinya ada sesuatu gaya yang
istimewa pada dirinya.
BegituIah dengan sendirinya nona itu sekarang
senang karena dipuji cantik oleh Yo Ko, dengan tertawa ia menjawab: “kau
sendirilah yang buta, masakah menganggap seorang perempuan jelek sebagai orang
cantik “
Melihat tertawa si nona yang menarik,
tubuhnya yang semampai rada bergetar, tanpa terasa hati Yo Ko tergerak juga.
Maklumlah, seorang pemuda berdiri di samping seorang gadis cantik dan melihat
wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang indah, adalah jamak kalau timbul juga
pikiran berahinya.
Siapa duga karena goncangan perasaannya itu,
mendadak jarinya yang tertusuk jari bunga cinta tadi kembali kesakitan lagi.
Melihat Yo Ko meringis kesakitan sambil
memegangi jarinya, si nona rada kurang senang, omelnya: “Aku sedang bicara
dengan kau, tapi kau justeru memikirkan kekasihmu.”
“Ai, sungguh mati, sakitnya jariku ini
justeru akibat aku memikirkan dirimu, tapi kau malah marah padaku,” kata Yo Ko.
Mendadak muka si nona merah jengah terus
berlari cepat ke depan sana.
Yo Ko menjadi menyesal setelah ucapannya
keluar, pikirnya: “cintaku telah kucurahkan seluruhnya kepada Kokoh, tapi
tabiatku yang sok bangor mengapa tidak dapat berubah?
Ai, dasar !”
Maklumlah, pembawaan Yo Ko memang memiliki
sebagian sifat ayahnya yang ugal-ugalan dan suka kepada kaum wanita, meski
sebenarnya tidak bermaksud jahat, tapi dia suka menggoda dan merayu beberapa
patah kata terhadap setiap gadis cantik, sudah tentu akibatnya si nona menjadi
kacau pikirannya.
Setelah berlari tak jauh, mendadak nona tadi
berhenti termenung di depan sebatang pohon bunga cinta. Selang sejenak ia
menoleh dan tertawa kepada Yo Ko, lalu berkata:
“Jika kuberi tahukan namaku, tapi kau tidak
boleh katakan lagi kepada orang lain, lebih-lebih tidak boleh memanggil aku di
depan orang lain.”
“Wah, banyak amat syaratnya, baiklah, aku
bersumpah.” ujar Yo Ko dengan sikapnya yang kocak
Si nona tertawa pula, lalu berkata : “Ayahku
she Kongsun…” dia tetap tak mau mengatakan namanya sendiri secara langsung,
tapi sengaja berputar untuk menyebut namanya, “Dan siapakah she nona?” sela Yo
Ko.
“Entah, boleh kau terka sendiri,” jawab si
nona sambil tertawa geli, lalu melanjutkan: “Yang jelas ayahku memberikan nama
kepada puteri tunggalnya yaitu Lik-oh”.
“Sungguh nama yang bagus, secantik orangnya,”
puji Yo Ko.
Setelah memperkenalkan namanya. Kongsun
Lik-oh menjadi lebih akrab terhadap Yo Ko, katanya pula: “Sebentar ayah akan
bertemu dengan kau, tapi jangan kau tertawa padaku.”
“Memangnya kenapa?” tanya Yo Ko.
“Apabila ayah mengetahui aku pernah tertawa
padamu, apalagi mengetahui aku telah memberitahukan namaku padamu, wah, entah
cara bagaimana dia akan menghukum diriku,” kata Kongsun Lik-oh.
“Masakah begitu bengis ayahmu?” ujar Yo Ko.
“Semalam kalian dihukum panggang di rumah batu itu, masakah dia tidak sayang
kepada puterinya yang begini cantik ini?”
Mata Kongsun Lik-oh menjadi merah basah.
jawabnya: “Dahulu ayah sangat sayang padaku, tapi sejak ibuku meninggal ketika
umurku baru sepuluh tahun, selanjutnya ayah lantas makin bengis padaku, Apalagi
nanti kalau ayah sudah punya isteri baru, entah bagaimana nasibku ini kelak.”
Habis berkata, tak tertahan lagi air matanya
lantas menetes.
Yo Ko berusaha menghiburnya: “Setelah
menikah, ayahmu tentu gembira dan pasti akan perlakukan kau dengan lebih baik.”
Kongsun Lik-oh menggeleng, katanya: “Aku
lebih suka dia terlebih bengis padaku daripada dia mengambil isteri baru lagi.”
Karena sejak kecil Yo Ko sudah ditinggalkan
ayah-bundanya. maka perasaan kekeluargaan demikian kurang dipahami olehnya, dia
hanya ingin membikin senang hati sinona, maka ia berkata pula: “Ibumu yang baru
tentu tiada setengahnya daripada kecantikanmu-”
“Salah kau,” cepat Lik-oh menyanggah “Justeru
ibuku yang baru itulah seorang wanita cantik sejati. ilmu silatnya juga bagus.
Kemarin ketika kami berhasil menangkap pulang Ciu Pek-thong, kalau saja ayah
dan ibu baru tidak lagi bertanding silat dan tidak sempat memeriksanya tentu si
anak tua nakal tak bakalan bisa kabur.”
“llmu silat ayahmu dan ibumu yang baru itu
siapa lebih tinggi?” tanya Yo Ko.
“Sudah tentu ayah lebih tinggi, kalau tidak,
masakah ibu baru mau menjadi isterinya?” jawab Lik-oh, “Lusa adalah hari
perkawinan mereka, besar kemungkinan ayah akan mengundang kalian tinggal
dua-tiga hari lagi di sini untuk menghadiri pesta nikahnya. Ai, aku sendiri
lebih baik pergi sejauhnya saja.”
Setelah berbicara sekian lama, sementara itu
sang surya sudah makin tinggi di ufuk timur, Lik-oh tersadar dan berkata:
“Lekas kau kembali ke sana, jangan sampai kita dipergoki para suhengku dan dilaporkan
kepada ayah.”
Serentak timbul rasa kasihan kepada keadaan
si nona, Yo Ko genggam tangan sebelah tangan nona itu dan tangan lain menepuk
pelahan pada bahunya sebagai tanda simpatik, habis itu ia terus melangkah
kembali ke rumah batu itu.
Belum lagi dia memasuki pintu rumah sudah
lantas mendengar suara teriakan Be Kong-co yang lagi mengomel karena makanan
tidak enak dan merasa disiksa segala.
Terdengar In Kik-si lagi berkata: “Be-heng,
jika kau membawa sesuatu barang yang berharga, kukira kau harus menyimpannya
dengan baik, tampaknya Kokcu di sini tidak bermaksud baik.”
Be Kong-co tidak tahu In Kik-si sengaja
menggodanya ia mengira betul apa yang dikatakan itu, maka berulang mengiakan.
Waktu Yo Ko masuk rumah, tertampak di atas
meja batu tersedia beberapa piring kelopak bunga cinta, sudah tentu tiada
seorangpun yang doyan makanan istimewa itu dan karena itu semuanya tampak
bersungut.
Pada saat itu juga datanglah seorang berbaju
hijau dan memberitahu bahwa sang Kokcu mengundang kehadiran Yo Ko berenam, Kim-lun
Hoat ong, Nimo Singh dan lainnya adalah tokoh terkemuka dunia persilatan, di
manapun mereka selalu disambut sendiri oleh tuan rumah, bahkan pangeran yang
berkuasa seperti Kubilai juga menghormati mereka, siapa duga sampai di lembah
sunyi ini mereka justeru diperlakukan dengan dingin oleh tuan rumahnya, tentu
saja mereka sangat mendongkol.
Namun, merekapun penuhi undangan itu, hanya
dalam hati mereka sama membatin: “Sebentar kalau sudah bertemu biarlah Kokcu
keparat itu disuruh rasakan kelihayanku.”
Begitulah mereka berenam terus ikut orang
berbaju hijau itu menuju ke belakang gunung, mendadak di depan sana
terbentang hutan bambu yang luas, biasanya di daerah utara jarang ada
pohon bambu, apalagi hutan bambu selebar ini.
Mereka terus menyusuri hutan bambu itu,
terendus bau harum bunga yang menyegarkan semangat. Setelah menembus hutan
bambu itu, terlihatlah alam luas sejauh mata memandang penuh Cui-sian-hoa
(bunga dewi air) belaka.
Kiranya tanah di situ adalah empang yang
dangkal, dalam air cuma sebatas betis saja dan penuh tumbuh bunga yang harum
itu.
Padahal Cui-sian-hoa itu adalah tumbuhan khas
daerah selatan, entah mengapa bisa muncul di atas gunung daerah utara ini?
Kim-lun Hoat-ong pikir tentu di puncak gunung ini adalah sebangsa sumber air
panas, karena tanahnya menjadi subur dan hawa hangat, makanya bunga daerah
selatan dapat tumbuh dan mekar dengan suburnya.
Pada permukaan empang yang sangat luas itu
kelihatan ada tonggak kayu yang berjajar dalam jarak dua-tiga meter, Orang
berbaju hijau yang mengantar mereka itu mendahului melompat ke atas tunggak
kayu pertama, seterusnya ke tunggak kedua dan ketiga dan begitu selanjutnya
seperti di tanah datar saja.
Yo Ko berenam juga menirukan cara melintasi
empang itu seperti orang berbaju hijau, hanya Be Kong-co saja karena tubuhnya
segede kerbau, Ginkangnya juga kurang, meski langkahnya lebar, tapi sukar
mencapai dua-tiga meter sekali melangkah, akibatnya beberapa tunggak menjadi
ambruk terinjak olehnya, akhirnya ia menjadi tidak sabar, diseberanginya empang
itu dengan berjalan di air.
Sesudah melintasi empang bunga dewi air,
tertampaklah di tempat yang rindang di kejauhan sana enam tamunya. Lalu
berkata: “Selamat datang, silahkan, kelihatan dua kacung berbaju hiiau dengan
memegang kebut yang semula berdiri di depan pintu, seorang diantaranya segera
masuk melapor, sedangkan kacung yang Iain lantas membukakan pintu untuk
menyambut tamu.
Selagi Yo Ko ragu apakah tuan rumahnya juga
akan muncul menyambut kedatangan mereka atau tidak, sekonyong-konyong bayangan
hijau berkelebat di depan mata, tahu-tahu seorang kakek berjenggot panjang dan
berjubah hijau sudah berdiri di depan mereka.
Perawakan kakek ini sangat pendek, tidak
lebih dari satu meter, mukanya jelek lagi aneh, mulutnya menjengkit, hidungnya
pesek, daun telinga lebar seperti kuping gajah, memakai jubah hijau dari kain
kasar, ikat pinggangnya adalah tali rumput warna hijau pula, Sungguh istimewa
wajah dan dandanannya.
Yo Ko merasa heran bahwa puterinya begitu
cantik, mengapa sang Kokcu begini aneh dan jelek?
Kakek cabol itu memberi hormat kepada ke-enam
tamunya, lalu berkata: “Selamat datang, silakan duduk didalam dan sekadar minum
teh !”
Nimo Singh berpikir: “Aku sendiri pendek..
tapi Kokcu di sini ternyata juga cebol, sebentar ingin kutahu apakah cebol
macammu lebih hebat atau cebol macamku lebih lihay.”
Segera ia mendahului ke depan dan mengulurkan
tangan sambil berkata: “Selamat bertemu !”
Kakek berjenggot panjang itupun menyodorkan
tangannya, begitu tangan berjabat tangan, seketika Nimo Singh mengerahkan tenaganya.
Melihat kedua orang bermaksud menguji tenaga,
orang lain cepat menyingkir ke samping, mereka tahu pertandingan dua tokoh
lihay tentu tidak boleh diremehkan akibatnya.
Semula Nimo Singh hanya mengerahkan tiga
bagian tenaganya, terasa pihak lawan tidak memberi reaksi apapun dan juga tidak
balas menggempur. ia rada heran, segera ia tambahi lagi tiga bagian tenaga,
terasa yang tergenggam ditangan itu seperti sepotong kayu yang keras, Waktu
Nimo Singh menambahi lagi tiga bagian tenaganya, sekilas air muka kakek
berjenggot panjang itu bersemu hijau, lalu tenang kembali dan tangannya tetap
kaku dan keras.
Nimo Singh sangat heran, sisa tenaganya yang
masih sebagian itu tidak berani dikeluarkan lagi, ia kuatir kalau mendadak
pihak lawan melancarkan serangan balasan dan diri sendiri sudah tiada tenaga
cadangan untuk menghadapi tentu diri sendiri akan celaka. BegituIah ia lantas
tertawa, lalu me!epaskan tangan lawan”. Pertarungan halus ini ternyata tidak
kelihatan pihak mana yang lebih unggul entah si kakek berjenggot sengaja
mengalah atau memang cuma begitu saja kekuatannya. Nimo Singh merasa sia-sia
ketika perasaannya tadi, betapa hebat kepandaian lawan ternyata sedikitpun
sukar dijajaki.
Kim-lun Hoat-ong berjalan di belakang Nimo
Singh, ia sangat cerdik, ia pikir kalau Nimo Singh tak dapat mengukur
kepandaian lawan, maka dirinya juga tidak perlu mengujinya Iagi. Dengan tenang
ia terus masuk saja kedalam rumah disusul dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si.
Menyusul adalah Be Kong-co, dilihatnya
jenggot si kakek yang panjang itu terjulai sampai di atas tanah, Memangnya dia
sedang dongkol karena sejak pagi belum makan apapun, rasa lapar ditambah rasa
gusar, segera ia sengaja mencari gara-gara.
Waktu melangkah masuk pintu rumah itu, ia
berlagak tidak tahu, sebelah kakinya terus menginjak ke atas jenggot sikakek
sehingga ujung jenggot terinjak.
Tapi kakek itu tidak berbuat apapun, dia cuma
berkata : “Hati-hati tuan.”
Kaki Be Kong-co yang lain sengaja menginjak
pula di atas jenggot orang, lalu pura-pura tidak tahu dan bertanya : “Ada apa
?”
Si kakek menggeleng pelahan, kontan Be
Kong-co tergebat dan jatuh terjengkang.
Jatuhnya sesosok tubuh sebesar itu tentu saja
menimbulkan suara gedebuk yang keras.
Yo Ko berjalan paling belakang, cepat ia
memburu maju,–sebelah tangannya menyanggah pantat Be Kong-co terus disodok ke
depan, seketika tubuh yang besar itu melayang kesana, dengan enteng dapatlah Be
Kong-co berdiri tegak kembali sambil meraba bckong yang kesakitan itu dengan
meIongo.
Si kakek berjenggot anggap tidak pernah terjadi
apapun, dia menyilakan keenam tamunya mengambil tempat duduk yang telah
tersedia, lalu berseru nyaring: “Para tamu sudah tiba, harap Kokcu suka
menemuinya.”
Yo Ko dan lainnya sama terkesiap, baru
sekarang mereka tahu bahwa si kakek cebol berjenggot panjang ini kiranya bukan
sang Kokcu.
Dalam pada itu dari ruangan belakang telah
muncul belasan orang lelaki perempuan berseragam baju hijau dan berdiri
berjajar di sebelah kiri, Habis itu dari balik pintu anginpun keluar seorang
lelaki, setelah memberi salam kepada tetamunya, lalu iapun berduduk.
Orang terakhir ini adalah sang Kokcu, usianya
sekitar 45-46 tahun, wajahnya bagus, dapat dibayangkan 20 tahun yang lalu tentu
dia ini seorang pemuda yang cakap, cuma sekarang air mukanya rada pucat kuning
dan kurus sehingga sukar diketahui bahwa dia memiliki ilmu silat maha tinggi.
Sesudah Kokcu itu berduduk, beberapa kacung
berbaju hijau lantas menyuguhkan teh. Di ruangan tamu ini segala perabotan dan
pakaian seluruhnya berwarna Hijau, hanya jubah yang dipakai sang Kokcu berwarna
biru manikam sehingga tampaknya sangat menyolok di tengah-tengah yang segalanya
serba hijau itu.
Sejenak kemudian sang Kokcu mengebaskan
lengan bajunya yang panjang, lalu angkat mangkok teh dan berseru.
“Silakan minum tuan-tuan yang terhormat !”
Melihat air teh di dalam mangkok yang
di-suguhkan padanya itu sangat cemplang, keruan hati Be Kong-co bertambah
dongkol ia terus berteriak: “He, tuan rumah, daging kau tidak doyan, minum teh
juga setawar ini, pantas kalau kau selalu kelihatan sakit-sakitan.”
Sang Kokcu tidak memperlihatkan reaksi
apa-pun, sehabis minum tehnya, ia menjawab : “Selama beberapa ratus tahun hidup
di lembah ini kami melulu makan minum cara begini.”
“Coba jelaskan, apa paedafanya hidup cara
demikian?
Apakah bisa menjadikan kau panjang umur?”
tanya Be Kong-co.
“Yang pasti pantangan makan barang berjiwa
dan hidup sederhana demikian sudah dimulai sejak kakek moyang kami hijrah
menetap di sini pada jaman Tong-hian-cong, kami sebagai anak cucunya tiada yang
berani melanggar peraturan ini,” jawab sang Kokcu.
“Oh, jadi keluarga kalian sudah menetap di
sini sejak dinasti Tong, sungguh lama dan kerasan sekali,” kata Kim-lun
Hoat-ong.
Mendadak Siau-siang-cu ikut bertanya dengan
suaranya yang banci: “Eh, jika begitu kakek moyangmu itu tentu pernah melihat
Nyo-kuihui (seorang selir kaisar Tong-hian-cong yang sangat cantik)?”
Suara Siau-siang-cu ini kedengaran sangat
aneh, sebenarnya suaranya sudah cukup dikenal oleh Nimo Singh, In Kik-si dan
lainnya, karena ini mereka menjadi heran, mereka sama memandang wajah
Siau-siang-cu, serentak mereka terperanjat ternyata wajah Siau-siang-cu telah
berubah sama sekali, mukanya yang memang kaku pucat sebagai mayat kini
bertambah aneh luar biasa.
Diam-diam Nimo Singh dan lainnya menjadi
jeri, mereka menyangka ilmu yang dilatih Siau-siang-cu itu ternyata begini
lihay, apabila dikeluarkan bahkan air mukapun bisa berubah sama sekali. Bahwa
sekarang Siau-siang-cu telah mulai mengerahkan ilmunya, tentu segera dia akan
mulai melabrak sang Kok-cu. Karena pikiran demikian, Nimo Singh dan lainnya
juga sama siap siaga.
Begitulah terdengar sang Kokcu lagi menjawab:
“Leluhurku memang pejabat tinggi dan pemindahan leluhur kami ke sini ketika itu
memang untuk menghindari keganasan menteri dorna Yo Kok-tiong yang berkuasa
pada masa itu.”
Kembali Siau-siang-cu mengakak dan berkata:
“Haha, jika begitu leluhurmu itu pasti pernah minum air cuci kaki Yo-kuihui.”
Ucapan ini sungguh membikin kaget semua
orang, jelas kata-kata demikian berarti suatu tantangan terhadap sang Kokcu dan
pertarungan pasti segera akan terjadi.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa
heran, padahal mereka kenal Siau-siang-cu biasanya sangat licik dan licin,
segala persoalan lebih suka ditimpakan kepada orang lain, mengapa sekarang dia
mau tampil ke muka sendiri?
Kokcu itu ternyata tidak gubris ucapan
Siau-siang-ciu itu, dia cuma memberi isyarat kepada si kakek jenggot panjang
yang berdiri di belakangnya.
“Hm” kakek berjenggot itu berseru: “Kokcu
menghormati kalian sebagai tamu, sebab itulah kalian diperlakukan dengan baik,
tapi mengapa kau bicara secara ngawur ?”
Siau-siang-cu terkekeh lagi dan berkata
dengan nada suara yang dibuat-buat: “Hehe, leluhurmu itu pastilah pernah minum
air cuci kaki Nyo-kui-hui, aku berani bertaruh dengan potong kepalaku ini.”
Be Kong-cu merasa terheran-heran, ia
bertanya: “Hai, Siau-heng, darimana kau tahu begitu pasti ? Apakah waktu itu
kau juga minum air cuci kaki itu bersama dia?”
Kembali Siau-siang-cu tertawa, tapi sekali
ini nada suaranya berubah pula, katanya: “Jika bukan lantaran muak terlalu
banyak minum air cuci kaki itu, mengapa orang hidup tidak makan minum
sebagaimana lazimnya ?”
Kim-lun Hoat-ong dan lainnya sama mengerut
kening dan merasa ucapan Siau-siang-cu ini keterlaluan, makan-minum adalah
kebiasaan masing-masing orang, mana dapat dipersamakan dan dijadikan bahan
olok-olok?
Tampaknya si kakek berjenggot panjang tidak
tahan lagi, ia melangkah ke tengah ruangan dan berseru : “Siau-siansing,
setahuku kami tidak berbuat kesalahan apapun padamu, jika engkau benar-benar
ingin coba-coba, marilah maju sini !”
“Boleh!” kata Siau-siang-cu, mendadak
orangnya bersama kursinya melompati meja di depannya dan tahu-tahu berduduk di
tengah ruangan, “Nah, kakek jenggot panjang, siapa namamu ? Kau kenal namaku,
tapi aku tidak tahu namamu, kan tidak adil?”
Ucapan ini seperti tepat tapi juga lucu,
keruan kakek berjenggot itu bertambah gusar, tapi diam-diam iapun waspada
setelah menyaksikan lompatan orang berikut kursinya dengan gaya yang gesit dan
lihay itu.
Terdengar sang Kokcu berkata: “Boleh kau
beritahukan dia, tidak soal.”
“Baik,” jawab si kakek berjenggot panjang,
“Nah, dengarkan, aku she Hoan bernama It-hong. sekarang silakan berdiri dan
marilah kita mulai!”
“Kau menggunakan senjata apa? Coba
perlihatkan padaku dahulu !” kata Siau-siangcu.
“Kau ingin bertanding dengan bersenjata?
Boleh juga !” ucap Hoan It-hong. Mendadak sebelah kakinya memukul lantai sambil
berseru : “Ambilkan sini!”
Serentak dua kacung berbaju hijau tadi
berlari ke ruangan dalam, keluarnya kedua kacung itu sudah menggotong sebatang
tongkat yang pangkalnya berukirkan kepala naga, panjang tongkat sekitar, dua
meter.
Tentu saja Yo Ko dan lainnya terperanjat,
mereka tidak habis paham mengapa si kakek cebol itu menggunakan senjata yang
panjangnya hampir dua kali daripada panjang badannya, cara bagaimana akan dapat
dimainkannya?
Ternyata Siau-siang-cu tidak ambil pusing
terhadap senjata orang, ia sendiri lantas mengeluarkan dari dalam bajunya yang
longgar itu sebuah gunting raksasa dan berkata: “lni senjataku, apakah kau tahu
kegunaannya ?”
Kalau semua orang paling-paling cuma heran
saja atas gunting besar itu, tidak demikian dengan Yo Ko, ia terperanjat
sekali, tanpa meraba rangselnya iapun yakin bahwa gunting besar miliknya itu
sudah hilang.
Gunting raksasa itu khusus dipesannya pada
pandai besi Pang dan ingin digunakan untuk memotong ujung kebut Li Bok-chiu,
kini ternyata kena dicuri oleh Siau-siang-cu di luar tahunya?
Sementara itu Hoan It-hong telah pegang
tongkat panjang yang digotong keluar kedua kacung tadi, dia pegang bagian
tengah tongkat, lalu di-jungkirkan, pangkal tongkat dipukulkan pelahan pada
lantai.
Karena ruangan tamu rumah batu itu sangat
luas, ketokan tongkat baja itu dengan sendirinya menimbulkan suara gemerantang
yang nyaring mengejutkan.
Dengan tangan kanan Siau-siang-cu memegangi
guntingnya, jarinya dikerjakan sekuatnya barulah gunting itu dapat terbuka dan
terkatup, lalu ia berseru : “He, orang cebol berjenggot, tentunya kau tidak
kenal nama guntingku ini, apakah kau perlu kuberitahukan dahulu ?”
“Huh, senjata rombengan entah kau temukan
dari mana, masakah punya nama yang baik?” jengek si kakek alias Hoan It-ong
dengan mendongkol.
“Benar, namanya memang kurang enak
di-dengar,” ujar Siau-siang-cu dengan bergelak tertawa, “Gunting ini disebut Kau-mo-cian
(gunting bulu anjing).”
Yo Ko merasa kurang senang, pikirnya :
“Brengsek !
Masakah guntingmu itu kauberi nama begitu ?”
Dalam pada itu terdengar Siau-siang-cu lagi
berkata : “Karena kutahu di sini ada makhluk aneh berjenggot panjang, maka
sengaja kupesan gunting bulu anjing ini untuk memotong jenggotmu”.
Berbareng Nimo Singh dan Be Kong-co bergelak
tertawa, In Kik-si dan Yo Ko juga ikut tertawa walaupun tidak keras, Hanya
Kim-lun Hoat-ong dan sang Kokcu saja yang tetap duduk tenang berhadapan seperti
tidak mendengar apa yang terjadi itu.
Segera Hoan It-ong angkat tongkatnya dan
diputar sedikit, serentak berjangkit angin keras, lalu ia berkata: “Memangnya
jenggotku ini sudah terlalu panjang, jika kau ingin menjadi tukang cukur, wah,
kebetulan bagiku, Nah silakan mulai !”
Siau-siang-cu seperti terkesima memandangi
dinding ruangan itu dan sama sekali tidak mendengarkan ucapan Hoan It-ong, tapi
begitu orang selesai bicara, mendadak guntingnya menyambit ke depan secepat
kilat, “creng”, kontan ia menggunting jenggot lawan.
Sama sekali Hoan It-ong tidak menyangka dalam
keadaan masih berduduk mendadak Siau-siang-cu dapat melancarkan serangan, untuk
menghindar jelas tidak keburu lagi, terpaksa ia menggunakan gerakan istimewa,
sekuatnya tangan menahan batang tongkatnya, tubuhnya terus meloncat ke atas.
Dalam sekejap itu kedua orang telah sama-sama
memperlihatkan gerak kilat yang mengejutkan namun Hoan It-ong tetap rugi dalam
keadaan diserang lebih dulu tanpa terduga, meski guntingan itu dapat
dihindarkan, tidak urung ujung beberapa utas jenggotnya masih tergunting putus
juga.
Siau-siang-cu tampak sangat senang, jenggot
yang putus itu disambernya terus ditiupnya, tiga-tmpat utas jenggot itu lantas
terbang ke arah mangkok teh sendiri yang terletak dimeja, menyusul terdengarlah
suara nyaring, mangkok teh itu jatuh dan pecah berantakan.
Yo Ko dan lainnya cukup paham bahwa pecahnya
mangkok itu adalah disebabkan hawa yang ditiupnya Siau-siang-cu itu. Tapi Be
Kong-co tidak tahu hal ikhwalnya, ia mengira mangkok teh itu jatuh lantaran
tersodok oleh samberan bulu jenggot yang ditiup itu. Segera ia berteriak: “Wah,
hebat benar jenggotmu itu, Siau-siang-cu !”
Sambil tertawa Siau-siang-cu mengacipkan
guntingnya beberapa kali hingga menimbulkan suara “creng-creng”, katanya: “Hayo
maju sini, jenggot cebol!”
Semua orang kini dapat melihat lebih jelas
ketika Siau-siang-cu tertawa ternyata kulit mukanya sama sekali tidak bergerak
keruan semua orang bertambah kejut dan heran, Bahwa orang yang memiliki Lwekang
maha tinggi memang sanggup tidak memperlihatkan sesuatu tanda gusar atau
gembira, tapi air muka Siau-siang-cu yang kaku dan seram meski dalam keadaan
gembira, hal ini sungguh luar biasa dan belum pernah mereka alami.
Berulang kali dipermainkan, Hoan It-ong
semakin murka, ia memberi hormat kepada sang Kokcu dan berkata: “Suhu, terpaksa
Tecu tidak dapat menghormati tamu kita secara layak.”
Yo Ko heran mendengar kakek cebol berjenggot
itu memanggil sang Kokcu sebagai Suhu, padahal umurnya jauh lebih tua, masakah
malah menyebutnya sebagai guru?
Terlihat sansi Kokcu memanggut sekalian
sambil melambaikan tangannya, Segera Hoan It-ong mengayun tongkatnya, “wuttt”,
kontan kursi yang diduduki Siau-siang-cu itu dihantam. Meski tubuhnya pendek,
tapi tenaganya luar biasa hebatnya, tongkat baja yang bobotnya ratusan kati
itu, bila sampai kursi itu kena dihantam, tentu akan hancur berkeping.
Walau Yo Ko dan lainnya datang bersama
Siang-siang-cu, tapi sampai di mana kepandaian sejati kawannya itu hakikatnya
merekapun tidak tahu persis, Maka mereka lantas mengikuti pertarungan itu
dengan penuh perhatian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar