BAB 81PENUTUP
OEY YONG berempat tiba di
kaki gunung, lalu mereka mencari penginapan. Si nona benar-benar menepati janjinya,
ia memasak berbagai hidangan lezat terutama untuk gurunya. Malamnya mereka beristirahat
di dalam dua kamar, Oey
Yok Su
bersama putrinya, dan Ang Cit Kong
bersama Kwee
Ceng. Keesokan paginya ketika
mendusin.
Kwee Ceng tidak melihat
gurunya. Di atas meja ia melihat tiga
huruf yang terukir dalam: “Aku telah pergi” Jelas tulisan itu diukir dengan
jari. La heran, lekas-lekas ia pergi ke kamar mertuanya untuk memberitahukan
kepergian gurunya itu.
Oey Yok Su menghela napas.
“Biarlah!” katanya. “Memang demikian sepak terjang
Saudara Cit, seperti naga sakti yang kepalanya
tampak tapi ekornya tidak…!” Kemudian ia melirik si pemuda dan anak gadisnya,
lantas meneruskan berkata, “Anak
Ceng, ibumu telah me¬nutup mata,
maka sekarang orang yang paling dekat denganmu tinggallah gurumu, Kwa Tin Ok, Maka
sebaiknya kau turut aku pulang ke Pulau Persik,
di sana kau
mohon gurumu itu menjadi wali agar merampungkan pernikahanmu dengan Yongji.”
Kwee Ceng sedih berbareng
girang sampai tidak bisa bilang apa-apa, melainkan mengangguk berulang-ulang.
Oey Yong hendak mengatai
kekasihnya itu tolol, tapi batal karena ada ayahnya. Ia diam saja sambil melirik ayahnya.
Tiga orang ini memulai
perjalanan pulang ke Pulau Persik. Sepanjang jalan mereka menggunakan kesempatan
untuk menikmati keindahan alam. Mereka menuju tenggara. Suatu hari tibalah
mereka di selatan jalan perbatasan antara timur dan barat Provinsi Ciatkang.
Itu berarti Pulau
Persik sudah tidak jauh lagi.
Begitu sampai di situ mereka mendengar suara burung rajawali di udara, lantas terlihatlah
sepasang burung itu terbang mendekat dari utara.
Kwee Ceng girang sekali,
lantas memanggil.
Kedua burung itu menghampirinya lalu menclok di
pundaknya.
Ketika meninggalkan Mongolia, anak
muda ini tidak sempat membawa burung-burung itu, maka bisa dimengerti
kegirangannya. Ia mengusap-usap kedua rajawali itu. Tiba-tiba ia melihat
ada sesuatu di kaki burung yang jantan. Ternyata itu sehelai kulit yang
digulung kecil sekali, la membuka simpul tali pengikatnya, lalu membeberkannya,
hingga terlihat ukiran huruf-huruf berikut:
Angkatan perang kami berangkai berperang ke Selatan
dan akan menyerang kota
Siangyang.
Berhubung dengan itu, karena aku tahu kau
sangat setia pada negara, dengan menempuh bahaya aku menyampaikan kabar ini
padamu. Aku telah menyebabkan kematian ibumu yang sangat menyedihkan, aku malu bertemu
lagi denganmu, maka sekarang aku berangkat ke Barat, di daerah yang terasing,
untuk tinggal bersama kakak sulungku.
Seumur hidup aku tidak akan kembali ke
negeriku.
Kuharap kau menjaga diri baik-baik, semoga
kau panjang umur!
Surat itu tanpa alamat dan
tanpa tanda tangan, tetapi Kwee
Ceng tahu itu surat Putri Gochin
Baki.
la menyalin surat itu untuk memberitahu Oey Yok Su dan Oey Yong,
kemudian ia bertanya pada mertuanya, tindakan apa yang harus mereka ambil.
“Kita sekarang berada dekat dengan kota Lim-an,” kata Oey Yok
Su. “Tapi jika kita menyampaikan berita pada
pemerintah, artinya kita terlambat.
Pemerintah pasti
bertindak sangat pelan dan kota Siangyang terancam bahaya. Kuda merahmu kencang
larinya, berangkatlah langsung ke Siangyang untuk menemui kepala perang di sana. Umpama dia mau mendengar nasihat, bantulah dia membela kota itu bersama. Sebaliknya, kalau dia
menentang, hajar mampus dia, lantas gantikan dia. Kau bekerja sama
dengan semua pasukan dan rakyat kota
itu, melawan angkatan perang Mongolia.
Aku akan pulang bersama Yongji, di Pujau Persik aku menantimu.”
Kwee Ceng menerima baik
perkataan mertuanya.
Oey Yong diam tetapi tampak
tidak senang.
Oey Yok Su melihat roman muka
anak gadisnya, ia tertawa.
“Baiklah, Yongji, kau boleh pergi
bersamanya!”
ia berkata. “Begitu urusan beres, kau mesti lekas pulang. Jangan pedulikan
seandainya pemerintah memberi ganjaran padamu.”
Gadis itu girang sekali.
“Itu pasti!” sahutnya.
Lantas sepasang muda-mudi
ini berangkat ke barat, mereka melarikan kuda mereka. Kwee Ceng tidak mau
ayal-ayalan, ia khawatir musuh akan keburu sampai. Jika kota Siangyang pecah, celakalah penduduk kota itu. Ia menginsafi kekejaman tentara Mongolia.
Suatu malam mereka singgah di dekat
perbatasan selatan Liang-ciat dan barat Kanglam. Si pemuda duduk diam, pikirannya kusut. Ia teringat bunyi surat Putri Gochin,
maka ia teringat juga saat ia dan putri itu masih sama-sama kecil, mereka hidup
rukun hingga besar. Si nona membiarkan pemuda itu
berpikir, ia sendiri duduk menjahit bajunya.
“Yongji,” tiba-tiba si anak muda bertanya,
“dia menulis bahwa ibuku mati mengenaskan dan dia tak punya muka menemuiku
lagi. Kau tahu apa artinya itu?’
“Ayahnya memaksakan kematian ibumu, sudah tentu
dia tak tega dan sedih karenanya,” sahut si nona. “Tentu dia sangat menyesal.”
Kwee Ceng diam, membayangkan
kematian ibunya itu. Mendadak ia melompat bangun,
tangannya menepuk meja keras sekali.
“Aku tahu sekarang!” serunya. “Kiranya
demikian!”
Oey Yong terkejut, jarum yang
dipegangnya menusuk jarinya hingga berdarah.
“Eh, kau kenapa?” ia bertanya sambil tertawa.
“Sekarang aku mengerti duduk persoalannya,” sahut
si pemuda.
“Ketika aku dan ibuku membuka surat rahasia dari
Jenghis Khan hingga
kami memutuskan untuk pulang ke Selatan, di sana tak ada orang lain, tapi Jenghis Khan bisa tahu rencana itu,
lantas memergoki dan menawan kami. Karena sudah putus asa, Ibu bunuh diri.
Bagaimana rencana kami bisa bocor? Sekian lama aku memikirkannya, baru sekarang
aku tahu. Jadi rupanya dialah yang membocorkan rencana kami pada ayahnya.”
Oey Yong menggelengkan
kepalanya.
“‘Putri Gochin
sangat mencintaimu, dia tak mungkin membocorkan rahasia itu hingga
mencelakai-mu,” katanya.
“Tapi dia bukan hendak bikin celaka, dia Cuma
hendak mencegah keberangkatanku. Dia berada di luar
tenda, mendengar pembicaraan kami berdua, terus melaporkannya pada ayahnya. Dia yakin ayah-nya
akan tidak mengizinkan kami berangkat, siapa tahu akibatnya adalah bencana
hebat….”
Ia menghela napas.
“Karena dia berbuat tanpa sengaja, kau harus pergi
ke Barat mencarinya!” kata Oey
Yong.
Kwee Ceng menggeleng.
“Aku dan dia seperti kakak dan adik saja,” katanya.
“Sekarang dia tinggal di wilayah Barat itu bersama kakaknya. Hidupnya mulia, buat apa aku pergi mencarinya?”
Oey Yong tertawa, hatinya
girang.
Besoknya perjalanan dilanjutkan terus sampai suatu
hari mereka tiba di Kecamatan
Bu-leng di Kawedanan Liong-hin.
Mereka melintasi Ok-lim dan Tiang
Nia, mereka melihat pemandangan
alam seperti semasa mereka bertemu dengan Cin Lam Khim di tempat mereka
menangkap burung hiat niauw.
“Kakak Ceng,”
kata Oey Yong tertawa. “Di
mana saja berada kau main asmara,
dan sekarang kau kembali akan bertemu dengan sahabat lamamu….”
“Jangan ngaco. apa itu sahabat lama dan bukan
sahabat lama!” kata si pemuda yang polos.
Oey Yong tetap tertawa.
“Kalau umpama kembali turun hujan besar, dia pasti
akan mengambil payung untuk memayungimu, bukannya aku!” ia menggoda.
Baru saja si nona menutup mulut, tiba-tiba
terdengar suara kedua burung mereka yang mengikuti sembari terbang. Kedua
rajawali itu terdengar gusar, lalu menukik ke dalam rimba dan lenyap.
“Mari
kita lihat!” ajak Kwee
Ceng. Ia menduga sesuatu.
Si nona juga menduga demikian.
Mereka melarikan kuda memutari rimba. Lantas mereka
menampak kedua rajawali itu terus beterbangan, sedang bertarung dengan
seseorang.
Anehnya, hiat-niauw. si burung api. juga ada
di situ dan turut membantu bertarung.
“Bagus!” seru Oey Yong.
Ia girang bertemu dengan burung yang sangat disayanginya itu.
Sekarang mereka melihat tegas, orang itu
adalah Pheng Tianglo dari Kay
Pang. Ia membela diri dengan
memutar goloknya, maka ketiga burung tidak bisa mendekatinya. Tapi kemudian
rajawali betina dapat menyambar ikat kepalanya dan mematuk kepala pengemis itu.
Pheng Tianglo membacok, ia berhasil membabat
bulu binatang itu hingga berhamburan.
Karena ikat kepala orang itu terlepas. Oey Yong
dapat melihat sebagian kulit kepalanya yang tanpa rambut. Segera ia teringat,
“Dulu burung ini terpanah dadanya dengan anak panah pendek, kiranya pengemis
busuk inilah yang memanahnya. Ketika bertarung di Chee-liong-thoa, kedua burung
ini membawa kulit kepala orang, jadi itu milik pengemis ini!
Oey Yong lantas memungut
beberapa butir batu, berniat membantu burung-burungnya, tetapi belum sampai ia
turun tangan ia sudah melihat burung api menyambar dan bacotnya yang panjang
mematuk biji mata si pengemis. Orang itu sedang
melindungi kepalanya, tidak tahu burung kecil
ini menyambar dari bawah. Ia kesakitan bukan main hingga menjerit, ia melemparkan
goloknya, terus berlari masuk ke gerombolan duri. Untuk menyelamatkan jiwanya
ia tidak memedulikan duri menusuk sana-sini.
Ketiga burung tidak dapat berbuat apa-apa
lagi.
Hiat-niauw melihat si
nona dan terbang menghampiri. Kedua rajawali masih
terbang berputaran di atas gerombolan duri itu.
“Sebelah matanya sudah buta, beri dia ampun!”
kata Kwee Ceng
pada kedua rajawalinya.
Setelah itu Kwee Ceng
mendengar suara anak kecil beberapa kali. Ia heran hingga berseru tertahan.
Suara itu datangnya dari sampingnya, tempat tumbuh rumput tinggi dan tebal.
Langsung ia melompat turun dari kuda, berlari ke rerumputan itu dan
menyibakkannya. la menemukan seorang anak kecil sedang duduk sendirian, kedua
tangannya memegangi seekor ular berbisa yang meronta-ronta tapi tidak dapat
meloloskan diri. Kwee
Ceng kaget dan tercengang.
Keheranannya semakin bertambah ketika ia melihat di samping anak itu terjulur
sepasang kaki wanita. Maka ia menyibakkan
rerumputan di sana
hingga mendapati seorang wanita berbaju hijau sedang tergeletak pingsan. Ia segera mengenali wanita itu sebagai Nona Lam Khim.
Karena khawatir ular itu akan mencelakai si anak,
Kwee Ceng mengulurkan tangannya untuk menarik,
namun anak itu sudah melemparkan ular berbisa itu. Binatang itu bergerak-gerak
sebentar, lantas terdiam mati, sebab ternyata telah dipencet anak itu.
Pemuda ini semakin heran. Ia menduga anak itu belum berumur dua tahun. Ia membungkuk memeriksa Nona Lam Khim,
lalu menekan hidungnya.
Selang tidak lama, Lam Khim mendusin. Waktu membuka mata dan melihat Kwee
Ceng, ia melengak,
merasa seakan tengah bermimpi.
“Kau… kau kan Kakak Ceng…,”
katanya dengan suara bergetar.
“Ya, aku Kwee Ceng!”
sahut si anak muda mendahului. “Nona
Cin, apakah kau terluka?”
Nona itu bergerak akan
bangun, namun roboh kembali. Ternyata tangan dan kakinya terikat. Oey Yong
segera menghampiri dan memotong belenggu itu.
“Terima kasih.” kata Lam Khim yang terus menggendong
anaknya. Ia duduk diam.
“Sebenarnya, Nona, apa yang telah terjadi
atas dirimu?” tanya Kwee Ceng.
Lama nona itu diam,
akhirnya dengan likat ia menuturkan juga hal ihwal dirinya. Di puncak Tiat Ciang
Hong, kehormatannya telah
dicemarkan oleh Yo Kang, lantas ia hamil, la melahirkan anaknya di kampung
halamannya. Karena tidak punya apa-apa lagi, ia tetap hidup sebagai penangkap
ular. Ia terhibur dengan adanya anaknya yang cerdik sekali itu, anak itu seakan
tahu kesengsaraan sang ibu.
Hari itu Lam Khim membawa anaknya mencari kayu
bakar. Kebetulan ia bertemu dengan Pheng Tianglo
yang sedang lewat di sitn. Nafsu binatang pengemis itu timbul melihat
kecantikan Lam Khim.
Si pengemis akan main gila. Lam Khim telah mempelajari
ilmu yang diajarkan Kwee
Ceng, tubuhnya menjadi sehat dan
kuat. Sayang ia bertemu dengan Pheng
Tianglo, salah satu di antara keempat
pemimpin Kay
Pang, ia dikalahkan dan diringkus.
Bersama Lam Khim ada
hicu-niauw, si burung api. Sejak berpisah dari Kwee Ceng dan Oey Yong di
Chee-liong-thoa, burung itu pulang ke kampungnya, tinggal bersama Nona Cin.
Burung ini tahu si nona sedang dalam bahaya, maka ia menyerang Pheng Tianglo
hingga keduanya jadi bertarung. Tidak lama kemudian
datang bantuan kedua rajawali. Lantaran ini, pengemis itu tidak sempat melampiaskan
nafsu binatangnya. Lam Khim sendiri lantas jatuh
pingsan, karena melihat beberapa ular berbisa datang ke situ. Ia mengkha-watirkan
keselamatan anaknya. Ia tidak menyangka ketika mendusin ia mendapati sepasang
muda-mudi itu dan anaknya ternyata tidak kurang suatu apa.
Malam itu Kwee Ceng dan Oey Yong singgah di
rumah Nona Cin.
Si pemuda senang melihat roman muka si anak kecil,
yang mengingatkannya pada Yo Kang yang tersesat itu. Ia menghela napas.
” “Kakak Kwee,”
kata Lam Kim kemudian, “coba tolong beri nama anak ini.”
“Dengan ayahnya aku bersaudara angkat,” kata Kwee Ceng.
“Sayang ayahnya tersesat hingga hubungan kami berdua memburuk. Sebenarnya aku menyesal
tak bisa melakukan kewajibanku sebagai sahabat. Kuharap setelah anak ini
dewasa, sifatnya berbeda dari sifat ayahnya. Menurutku sebaiknya dia diberi
nama Ko alias Kay
Ci. Apakah kau setuju?”
“Ko” berarti salah atau kesalahan, dan “Kay”
berarti mengubah itu atau mengubah kesalahan.
Setelah besar, anak itu diharapkan dapat
mengubah kesalahan ayahnya dan menjadi orang bijaksana.
“Terserah padamu, Kakak,” sahut Lam Khim sambil
meneteskan air mata. “Semoga dia menjadi orang
baik-baik.”
Harapan mereka ini di kemudian hari terkabul.
(Sebagaimana kisahnya dapat dibaca dalam Sin
Tiauw Hiap Lu—Rajawali
Sahi dan Pasangan Pendekar,
sambungan kisah ini.)
Kwee Ceng dan Oey Yong tidak
bisa tinggal di rumah Lam Khim. Mereka mempunyai urusan yang sangat penting.
Ketika mereka akan berangkat, Kwee
Ceng memberikan uang emas seratus
tau, sedangkan Oey
Yong menghadiahkan serenceng mutiara.
Oey Yong tidak mengajak hiat-niauw meskipun
sangat menyukainya, karena burung itu lebih dibutuhkan untuk menemani Nona Cin.
Lam
Khim merasa berat berpisah, teiapi tidak dapat menahan muda-mudi itu. Ia
terharu dan menyesal, lalu mendoakan supaya mereka berhasil.
Kwee Ceng
berdua menuju ke barat, lalu tiba di selatan Lian Ouw
yang terletak di antara dua provinsi, yaitu Ouwlam dan Ouwpak. Mereka membelok
ke utara. Suatu hari tibalah mereka di tempat tujuan mereka, kota Siangyang. Lega hati mereka, lernyata musuh belum sampai. Penduduk tenang, kota
ramai, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahaya perang.
Kota Siangyang memegang peranan penting di Utara. Di zaman
Lam Song, atau Song Selatan, di situ ditempatkan pembesar tinggi An-bu-su,
komisaris keamanan, dengan pasukan tentaranya yang kuat untuk menjaga
keselamatan kota,
atau lebih tepatnya tapal batas.
Karena pentingnya urusan, tanpa menanti
mencari penginapan lagi Kwee Ceng mengajak Oey Yong
segera pergi ke kantor An-bu-su untuk menemui
pembesar militer itu. Tentu saja tidak gampang menemui
pembesar itu. An-bu-su itu pangkal tinggi. Meskipun di Mongolia
Kwee Ceng menjadi panglima perang, di sini Kwee Ceng
adalah rakyat jelata yang tidak dikenal. Tapi Oey Yong tidak kurang akal. Ia menyerahkan
uang emas satu tail kepada penjaga pintu, yang langsung bersikap manis,
tapi masih berkeberatan untuk segera melaporkan. Katanya, menurut kebiasaan,
untuk bertemu dengan pembesar itu orang mesti menanti paling cepat setengah
bulan. Apalagi biasanya yang diterima menghadap adalah pembesar, bukan orang
semacam si pemuda.
Akhirnya Kwee Ceng mendongkol.
“Ini adalah urusan tentara yang sangat
penting, mana bisa aku menanti lama-lama!” katanya bengis.
Sebaliknya Oey Yong berpikir lain. Ia
mengedipkan
mata pada kekasihnya, menarik tangannya untuk mengajaknya minggir, dan
berbisik, “Nanti
malam kita menyelundup masuk untuk menemuinya
dengan paksa.”
Kwee Ceng setuju, maka mereka
mengundurkan diri untuk mencari tempat menginap lebih dulu.
Begitu pukul dua dini hari tiba, mereka
lantas menyatroni gedung pembesar itu.
An-bu-su itu seorang bermarga Lu. Ketika Kwee Ceng
dan Oey Yong masuk ke gedung, ia sedang bersenang-senang
makan-minum sambil memeluk gundiknya.
“Hamba hendak melaporkan urusan militer
penting!” kata Kwee
Ceng sambil menjura .
Lu An-bu-su kaget sekali.
“Ada pembunuh!” jeritnya
sambil mendorong gundiknya. Ia sendiri menyelusup masuk ke kolong meja.
Kwee Ceng melangkah dan
mencekal tubuh orang itu, lalu mengangkatnya.
“An-bu, jangan takut!” katanya. “Hamba tidak berniat
membikin celaka.”
Ia mendorong tubuh si pembesar hingga
terduduk lagi di tempatnya.
Pembesar itu masih ketakutan, mukanya pucat, tubuhnya
gemetaran.
Segera muncul beberapa puluh serdadu
pengiring yang hendak menolong atasan mereka, tetapi Oey Yong
mengancam dada si pembesar dengan belati-nya untuk menahan mereka maju. Para serdadu itu cuma bisa berteriak-teriak.
“Suruh mereka jangan bikin berisik!” perintah
Oey Yong pada An-bu-su. “Mari
kita bicara!”
Dengan bingung An-bu-su memerintahkan
orang-orangnya supaya diam. Maka sunyilah ruangan itu.
Kwee Ceng mengeluh dalam hati
menyaksikan pembesar yang berpangkat tinggi dan memikul tanggung jawab besar
ini ternyata cuma kantong nasi, tapi tidak mudah mengubah sikap orang itu.
Ia lantas menyampaikan laporan tentang
angkatan perang Mongolia yang bakal datang menyerang kota itu secara mendadak. Ia
meminta pembesar ini segera mengambil tindakan memperkuat penjagaan untuk
menyambut musuh.
Lu An-bu-su tidak
mempercayai laporan itu, tetapi menyahut, “Ya, ya!”
“Kau dengar tidak?” tanya
Oey Yong yang melihat orang itu gemetar saja.
“Dengar, dengar….”
“Kau dengar apa?”
“Aku dengar bangsa Kim
bakal menyerbu dan kami mesti bersiap sedia….”
“Bangsa Mongol, bukan bangsa Kim!” Oey
Yong membetulkan.
Pembesar itu heran.
“Bangsa Mongol? Tak mungkin!” katanya.
“Bangsa Mongol telah berserikat dengan
perdana menteri kita untuk bersama menyerang bangsa Kim!
Mereka takkan bermaksud lain….”
Oey Yong sebal, matanya
mendelik.
“Aku bilang bangsa Mongol!” bentaknya.
“Bangsa Mongol!”
Pembesar itu ketakutan.
“Ya, bangsa Mongol, bangsa Mongol…,” katanya seraya
mengangguk-angguk.
Kwee Ceng lantas berkata
dengan sabar tapi bersungguh-sungguh, “Kota
ini dan penduduknya di bawah perlindungan Tuan, kota Siangyang ini juga merupakan tirai
kerajaan Selatan kita, maka kuminta Tuan memperhatikannya baik-baik.”
“Benar, yang Saudara
bilang itu benar,” kata pembesar itu. “Sekarang silakan!”
Kwee Ceng dan Oey Yong
menghela napas, tanpa banyak omong lagi, mereka menyingkir dari gedung itu.
Tapi mereka mendengar teriakan-teriakan di belakang mereka. “Tangkap orang
jahat!
Tangkap orang jahat!” Suara itu berisik dan
kacau.
Mereka kembali ke tempat penginapan sambil menanti
sepak terjang An-bu-su, tetapi dua hari lamanya penantian mereka sia-sia. Kota tetap tenang, tidak
ada tindakan apa-apa dari pihak pembesar.
“Pembesar itu busuk!” kata Kwee Ceng.
“Lebih baik kita bertindak seperti yang diajarkan ayahmu!
Kita binasakan dia. lantas kita mengambil
tindakan.”
“Pembesar anjing itu memang pantas
dibinasakan, tak patut diselamatkan,” kata Oey Yong.
“Tapi musuh bakal sampai dalam beberapa hari ini, tentara dan rakyat tentulah
kacau karena tak ada
yang memimpin. Bagaimana musuh bisa dilawan?”
Kwee Ceng mengerutkan alisnya.
“Benar, sulit…,” katanya. “Bagaimana
sekarang?”
Oey Yong berpikir, kemudian
berkata, “Dalam kitab Co Toan ada dongeng yang mungkin dapat kita tiru, yaitu
dongeng Hian
Kho memberi hadiah pada
tentaranya.”
Kwee Ceng girang.
“Yongji, manfaat membaca kitab memang tak ada
habisnya,” ia berkata. “Dongeng itu bagaimana?
Coba kauceritakan padaku. Mungkin kita dapat mencontohnya.”
“Mencontoh tentu bisa.
cuma itu tergantung padamu….”
Si pemuda heran.
“Apa?” ia menegaskan.
Si nona tidak lantas menjawab, hanya tertawa.
Kwee Ceng mengawasi, menanti
cerita itu.
Oey Yong berhenti tertawa,
kemudian baru memulai, “Baiklah, akan kututurkan. Di zaman Cun Ciu. di Negeri The ada seorang
saudagar bernama Hian Kho. Dia berdagang dengan
merantau. Suatu kali, di tengah jalan dia bertemu dengan angkatan
perang Negeri Cin. Angkatan
perang itu akan menyerbu Negeri The. Negeri The tidak bersiap sedia. Kalau
musuh tiba mendadak, pasti negeri itu bakal musnah. Walaupun saudagar, Hian Kho
sangat mencintai negaranya, dia hendak menolong menyelamatkan negaranya. Apa
akalnya? Dia lantas membawa dua belas ekor kerbau pada pasukan Negeri Cin
itu, dia menemui kepala perangnya.
Dia bilang dia diperintahkan Raja The untuk
menghaturkan hadiah pada pasukan Cin itu. Di
lain pihak, diam-diam dia mengirim kabar kilat kepada Raja The, memberitahukan
kedatangan pasukan musuh. Panglima
Negeri Cin
mengira Negeri The sudah bersiap sedia, maka dia tak berani melanjutkan
gerakannya untuk menyerbu Negeri The, bahkan menarik pulang pasukannya.”
“Siasat itu bagus sekali,” kata Kwee Ceng
girang.
“Tapi kenapa kau bilang siasat itu tergantung
padaku?”
“Ya, aku hendak pinjam tubuhmu.”
“Bagaimana caranya?”
“Bukankah tadi kukatakan ada dua belas ekor kerbau?”
kata si nona tertawa. “Bukankah shio-mu Gu?”
Kwee Ceng melonjak.
“Bagus, dengan jalan memutar kau mencaciku!” katanya.
Pemuda ini ber-shio Gu, kelahiran tahun Gu,
dan Gu itu berarti kerbau. Maka ia mengulurkan
tangannya untuk menggelitiki si nona. Si nona lantas berkelit sambil tertawa. Kwee Ceng pun turut tertawa.
“Sekarang begini rencanaku,” kata si nona,
setelah mereka berhenti bergurau. “Malam ini kita menyelundup masuk ke kantor An-bu-su, kita curi uang emas dan permatanya. Besok
aku akan menyamar sebagai pria, aku akan dandan sebagai pegawai negeri, lantas
aku akan memapak angkatan perang Mongolia dan menghadiahkan
barang-barang itu pada mereka. Kau sendiri mesti bekerja di dalam kota. mencoba menjalin
kerja sama dengan tentara dan rakyat untuk mengatur penjagaan.”
Kwee Ceng setuju, dengan
girang ia bertepuk tangan. Malam itu mereka mulai bekerja.
Lu An-bu-su punya banyak simpanan uang dan permata.
Sampai terang tanah, tidak ada yang mengetahui pencurian yang mereka lakukan.
Pagi hari Oey
Yong melanjutkan rencananya,
menyamar sebagai pegawai negeri pria. Dengan naik kuda merah dan membawa
kantong besar, ia pergi ke luar kota
utara, menyambut angkatan perang Mongolia.
Tengah hari kedua, Kwee Ceng
menuju pintu kota
utara untuk memandang jauh ke luar. Ia menanti kekasihnya. Segera ia melihat kuda merah menghampirinya, ia menyambutnya. Oey Yong menahan kuda itu,
roman mukanya tampak gelisah.
Ketika berbicara, suaranya bergetar, “Jumlah
tentara Mongolia
itu mungkin belasan laksa. Mana dapat kita melawan mereka?”
Kwee Ceng pun kaget.
“Begitu banyak?” ia menegaskan.
“Kelihatannya
Jenghis Khan ingin sekali
memusnahkan Kerajaan
Song,” kata si nona. “Aku menemui
punggawa terdepannya dan menyerahkan hadiah itu. Dia tak tahu kita sudah mendengar kabar mengenai kedatangan mereka. Dia mengatakan
membawa pasukan perang itu untuk menyerang Negeri Kim,
bukan Negeri
Song. Waktu kubeberkan rahasianya,
dia kaget, lantas menahan pasukan perangnya. Mungkin dia mau melapor dulu pada kepala perangnya.”
“Kalau mereka terus
pulang, itu bagus,” kata Kwee Ceng. “Kalau mereka maju terus, aku khawatir….”
Oey Yong mengerutkan alis.
“Aku telah berpikir
sehari semalam, tapi belum juga mendapat akal,” ia berkata. “Kakak Ceng,
kalau kita bertempur satu lawan satu, cuma ada dua-tiga orang yang dapat
melayani kita, tapi sekarang kita mesti menghadapi belasan laksa orang,
Bagaimana caranya?”
Kwee Ceng menghela napas.
“Sebenarnya rakyat Song jauh lebih banyak
dari pada rakyat Mongolia,”
katanya kemudian. “Di antara para tentara dan rakyat
itu, masih ada yang setia pada negara. Kalau mereka bisa bersatu, kita tak usah
takut menghadapi tentara Mongolia
itu.
Sayang banyak pembesar negeri ini yang tolol
dan bernyali kecil, cuma bisa memeras dan menyiksa rakyat, tanpa sadar mereka
mencelakakan negara.”
“Kalau terpaksa, biarlah kita coba melabrak
pasukan Mongolia itu,” kata Oey Yong.
“Kita bisa mengandalkan kuda merah kita….”
“Yongji, sikapmu
keliru,” kata Kwee Ceng sungguh-sungguh. “Kita telah mempelajari kitab perang Gak Bu
Bok, kenapa kita tak mau meniru kegagahannya
dalam membela negara dengan berbekalkan kesetiaan kita? Kalau kita berkorban
untuk negara, kita takkan mengecewakan orangtua yang telah merawat kita dan
guru yang telah mendidik kita!”
Si nona menghela napas.
“Aku memang telah menduga pasti hal seperti ini
akan terjadi,” katanya. “Baiklah, mati atau hidup kita tetap bersama!”
Setelah berpikir demikian, mereka menjadi
sedikit lega. Lantas mereka kembali ke penginapan mereka. Kali ini hubungan
mereka semakin erat.
Mereka minum arak sampai pukul dua. Saat akan
berangkat tidur, mereka dikagetkan bunyi riuh dari luar kota.
“Mereka tiba!” kata si nona.
“Ya!” sahut si pemuda.
Keduanya berlari keluar,
terus menuju tembok kota. Mereka menyaksikan rakyat negeri, tua-muda, pria-wanita,
berduyun-duyun dan berkumpul di balik tembok kota hendak masuk kota, namun mereka dihalangi. Pintu kota dikunci rapat.
Kemudian datang pasukan yang dikirim Lu An-bu-su yang siap dengan panah. Mereka
memerintahkan rakyat menyingkir menjauh.
“Tentara Mongolia datang menyerang! Lekas
buka pintu, biarkan kami masuk!” rakyat berteriak-teriak.
Pintu kota
tetap tertutup.
Saking takutnya, rakyat berteriak-teriak
makin hebat, banyak pula yang menangis.
Kwee Ceng berdua memandang ke
tempat jauh, mereka melihat cahaya api berlugat-legot bagaikan naga api sedang
mendekat. Itulah pasukan depan angkatan perang Mongolia. Jelas mereka tidak
kembali ke negara mereka, melainkan maju terus, berarti rakyat dan tentara
pembela kota
bakal bertempur.
Dalam keadaan seperti
itu, mendadak pemuda ini mengambil keputusan. Tiba-tiba ia berseru-seru, “Kalau kota Siangyang pecah, tak
seorang pun bakal hidup! Siapa yang merasa laki-laki sejati, man turut aku
menerjang musuh!”
Punggawa di pintu kota itu orang kepercayaan Lu An-bu-su, ia
gusar sekali melihat perbuatan Kwee
Ceng. Ia berteriak menitahkan, “Tangkap orang itu! Dia mengacaukan rakyat!”
Tapi Kwee
Ceng sudah bertindak. Ia melompat turun,
menyambar dada punggawa itu, mengangkat tubuhnya, maka sekejap kemudian ia
menggantikan duduk di punggung kuda si punggawa.
Di antara para tentara itu. banyak yang gagah dan mencintai negara. Mereka tidak tega
menyaksikan rakyat di balik tembok berteriak-teriak dan menangis minta
dibukakan pintu kota.
Mereka menyambut sepak terjang Kwee
Ceng, tidak mengambil mumet titah
punggawa mereka.
Kwee Ceng
senang melihat sikap pasukan itu.
“Lekas
perintahkan membuka pintu kota!”
perintahnya.
Si
punggawa masih menyayangi jiwanya, terpaksa ia menurut.
Begitu
pintu kota
dibuka, bagaikan banjir yang meluap rakyat berlomba masuk.
Kwee Ceng
menyuruh Oey
Yong menjaga si punggawa,
sedangkan ia sendiri menuju ke luar kota
dengan menunggang kuda dan membawa tombak.
“Baik.” sahut si nona. Ia menyuruh si punggawa
melepaskan baju perangnya untuk dipakai Kwee Ceng.
Setelah itu ia berbisik pada kekasihnya, “Dengan memakai perintah palsu,
pergilah kau membawa tentara ke luar kota.”
Kwee Ceng girang. Siasat itu
baik sekali. Maka ia maju dan segera berseru, “Atas perintah Sri Baginda Raja,
An-bu-su kota
Siangyang, yang tolol dan memandang enteng musuh, dipecat dari jabatannya! Para tentara semua, ayo ikuti aku menghadang musuh!”
Dengan bantuan tenaga dalamnya, Kwee Ceng
bersuara keras hingga terdengar sampai jauh, walaupun di balik tembok suasana
sangat berisik.
Semua serdadu mendengarnya dengan nyata.
Banyak serdadu yang menyangsikan titah yang datangnya mendadak itu. tetapi
banyak juga yang tahu bahwa an-bu-su mereka memang tolol dan mereka mengerti
pentingnya melawan musuh itu, maka segera terdengar seruan sambutan yang riuh.
Sebentar saja Kwee Ceng
sudah berada di luar tembok kota bersama sekitar tiga ribu serdadu, la menyesal
melihat tentara itu tidak tertib. Mana bisa mereka diajak berperang melawan
musuh yang berjumlah besar? Ia ingin menerapkan siasat Gak Hui, saat terjepit,
lebih baik menggunakan akal muslihat, la memerintahkan seribu serdadu pergi ke
balik gunung sebelah timur untuk bersembunyi.
Mereka dipesan, kalau mendengar tanda letusan
meriam, mereka mesti bersorak-sorai sambil melambai-lambaikan bendera tapi
jangan keluar berperang. Seribu serdadu lebih lainnya diperintahkannya sembunyi
di balik gunung barat dengan tugas “serupa.
Sampai fajar tiba,
barulah semua rakyat berhasil masuk kota dengan selamat. Sebagai ganti mereka,
segera terlihat kedatangan para musuh. Bunyi tetabuhan perang serta langkah kaki
pasukan musuh itu berisik sekali. Debu mengepul tinggi.
Selagi musuh berdatangan, Oey Yong
menotok punggawa yang diserahkan padanya. Ia melemparkan orang itu ke luar pintu
kota, lantas
meminta kuda dan tombak dari salah satu serdadu untuk menyusul Kwee Ceng.
“Pentang keempat pintu kota.’*” Kwee Ceng
memberikan perintahnya lagi. “Semua rakyat harus
sembunyi di dalam rumah.’ Siapa yang lancang keluar akan dihukum penggal!”
Perintah itu ditaati terutama oleh rakyat,
tanpa titah itu pun mereka tidak akan berani muncul di luar rumah.
Di dalam gedungnya,
An-bu-su bersembunyi di bawah kasur dengan tubuh gemetaran.
Pasukan Mongolia telah sampai dengan cepat.
Mereka melihat pintu-pintu kota terpentang dan kota dalam keadaan sepi. Di muka jembatan gantung bersiaga sepasang pria dan
wanita yang menunggang kuda dan bersenjatakan tombak. Punggawa yang memimpin
pasukan depan itu seorang cianhu-tio. Ia heran, maka ia
lantas melapor pada kepalanya, seorang banhu~rio. Orang ini pun tidak kurang
herannya. Ia langsung maju untuk menyaksikan sendiri,
Banhu-tw ini terkejut ketika mengenali Kwee Ceng.
Selama berperang ke Barat, Kim Too Huma itulah yang paling berakal dan gagah,
sehingga tentara berpayungnya berhasil
merampas kota Samarkand. Ia curiga melihat pintu kota dipentang dan kota kosong. Cepat-cepat ia
menghampiri Kwee
Ceng, lalu turun dari kudanya dan
memberi hormat.
Ia memanggil, “Kim Too Huma yang mulia!”
Kwee Ceng membalas hormat, tanpa
bilang apa-apa.
Segera banhu-tio itu
mengundurkan diri sembari mengundurkan pasukannya. Segera ia mengirim kabar
kepada kepala perangnya.
Sejam kemudian muncul pasukan dengan bendera besar,
dipimpin oleh seorang panglima muda yang diiringi banyak punggawa. Ia adalah Pangeran Keempat,
Tuli. Si pangeran langsung melarikan kudanya keluar dari barisan dan maju.
“Anda Kwee
Ceng!” serunya. “‘Kau baik-baik
saja?”
Kwee Ceng melarikan kudanya
untuk menyambut.
“Anda Tuli!”
serunya. “Kiranya kau!”
Biasanya kalau bertemu, mereka berdua saling merangkul,
namun sekarang mereka tidak terlalu mendekat, melainkan sama-sama menahan kuda masing-masing.
“Anda,” Kwee Ceng
bertanya, “kau mengepalai pasukan perang untuk menyerang Negeri Song,
bukan ?”
“Aku menerima titah ayahku, aku tidak
merdeka,” sahut Tuli. “Kuminta kau mau memaafkanku.”
Kwee Ceng memandang pasukan
musuh yang entah berapa laksa jumlahnya.
“Kalau pasukan berkuda itu menyerbu, hari ini
habislah jiwaku…,” pikirnya. Lantas ia menghadap pada
pangeran Mongolia itu lagi dan berkata, “Baiklah! Nah. ambillah
jiwaku.’”
Tuli terperanjat, ia pun
segera berpikir, “Dia sangat pandai mengatur tentara, aku bukan tandingannya. Lagi pula. kami
bagaikan saudara kandung, mana bisa aku merusak persaudaraan ini…?”
Oleh karena itu. ia menjadi ragu-ragu.
Oey Yong menyaksikan semua
itu. ia lantas berpaling ke arah kota, melambaikan tangan kanannya.
Tentara di dalam kota melihat isyarat itu, mereka langsung
menyulut meriam. Maka bergemalah bunyi ledakan, disusul dengan sambutan tentara
yang bersembunyi di balik gunung timur. Mereka bersorak-sorai dan
melambai-lambaikan bendera.
Tuli kaget hingga air mukanya berubah.
Ledakan meriam yang pertama disusul dengan yang
kedua dan disusul lagi dengan sambutan tentara yang bersembunyi di balik gunung
barat.
“Celaka, aku terjebak!” pikir pangeran ini
kaget.
Tanpa membuang waktu lagi ia menitahkan
pasukan perangnya mundur sampai tiga puluh li. Untuk ini, tentaranya cuma perlu
membalik tubuh, maka lantas pasukan belakang menjadi pasukan depan dan pasukan
depan sendiri menjadi pasukan belakang.
Tuli tidak tahu berapa besar pasukan musuh, tetapi
karena ia sudah jeri terlebih dulu
terhadap Kwee
Ceng, mundur adalah jalan yang
paling aman baginya.
Melihat mundurnya musuh, Kwee Ceng
berpaling pada Oey
Yong dan tertawa, si nona
menyambutnya sambil tertawa juga, “Kakak Ceng,
aku memberimu selamat untuk Khong Shia Kee ini!” si nona memuji.
Khong Shia Kee adalah akal muslihat mengosong
kan kota untuk menggertak
musuh. Siasat itu juga
dapat dipakai untuk menjebak musuh agar masuk
ke kota dan
kemudian dikepung.
Sehabis tertawa, Kwee Ceng
memperlihatkan roman berduka.
“Tuli itu gagah dan ulet,” katanya. “Sekarang dia memang mundur, tapi besok dia pasti bakal datang lagi. Bagaimana kita
melawannya?”
Oey Yong menginsafi itu, ia
lantas berpikir.
“Aku punya satu cara,
tapi aku khawatir lantaran kau mengingat persaudaraanmu dengannya, kau takkan
sudi turun tangan melakukannya.” Katanya kemudian.
Kwee Ceng terkesiap.
“Kau menghendaki aku
pergi membunuhnya diam-diam?” tanyanya.
“Dia putra kesayangan Jenghis Khan,” kata si nona.
“Dia juga berbeda dari panglima-panglima perang lainnya,
satu kali dia mati, pasti musuh mundur dengan sendirinya!”
Kwee Ceng tertunduk diam.
Mereka kembali ke dalam kota.
Semua tentara ditarik pulang,
semua pintu kota ditutup rapat dan dijaga. Untuk sesaat kota tampak kacau.
Setelah mendapat laporan bagaimana dengan omong
sedikit saja Kwee
Ceng berdua dapat mengundurkan
musuh. Lu An-bu-su sendiri pergi menemui muda-mudi itu untuk menghaturkan terima
kasih. Kwee Ceng menggunakan kesempatan itu untuk
membicarakan soal pembelaan kota.
An-bu-su menjadi berkecil hati dan tubuhnya lemas
begitu mendengar bahwa musuh akan datang lagi besok, sampai-sampai ia tidak
dapat buka suara, kemudian berulang-ulang menitahkan, “Siap-kan joli, pulang!”
la telah memutuskan untukkabur meninggalkan kota.
Kwee Ceng berduka. Meski Oey
Yong telah memasak sayur lezat, ia
tidak bernafsu makan.
Apalagi ketika malam datang dan sang jagat
gelap gulita, di sana-sini terdengar tangis rakyat yang ketakutan. Ia
membayangkan besok siang tentu bakal tidak ada lagi tentara atau rakyat,
semuanya bakal terbasmi habis oleh tentara Mongolia yang ganas itu. Di depan matanya berkelebat peristiwa dahsyat, kejam,
dan menyedihkan di kota
Samarkand.
“Yongji.” katanya, mendadak tangan kirinya menggebrak
meja. “Di zaman dulu. demi negara orang
dapat membunuh sanak atau temannya sendiri, maka sekarang mana bisa aku
memberatkan saudara angkat lagi!”
Oey Yong menarik napas
panjang.
“Memang urusan kita ini sulit sekali,”
katanya. Kwee
Ceng telah memutuskan, maka ia
lantas berganti pakaian, lalu bersama Oey Yong
ia menunggang kuda merahnya menuju ke utara. Setelah mendekati kubu tentara Mongolia,
mereka me¬nambatkan kuda mereka di kaki gunung, lalu dengan berjalan kaki
mereka menghampiri musuh untuk mencari kemah Tuli. Tidak sulit mereka menemukannya.
Mula-mula Kwee Ceng membekuk dua serdadu ronda
dengan menotok mereka. Sesudah mereka tidak berdaya, ia merampas seragam mereka
untuk dipakainya bersama Oey Yong. Dengan begini mereka bisa berkeliaran dengan
lebih leluasa. Ia mengerti bahasa Mongol, juga segala peraturan ketentaraannya,
maka dengan cepat mereka berdua tiba di kemah Tuli. Karena langit gelap, mereka
berhasil menyelinap ke belakang tenda dan bersembunyi sambil mengintai
kangzusi.com.
Tuli belum beristirahat, bahkan masih mondar-
mandir dengan gelisah. Lalu ia berkata, “Kwee Ceng, Anda! Anda Kwee Ceng!”
Kwee Ceng terkejut, ia menyangka Tuli sudah mengetahui
kedatangannya hingga ia nyaris menyahut.
Oey Yong melihat gelagat itu, maka buru-buru ia
membekap mulut si pemuda.
“Ah…!” pikir Kwee Ceng tersadar. Ia sedih.
Dalam hati ia memaki ketololannya.
Oey Yong menghunus belatinya sambil berbisik di
kuping kekasihnya, “Lekas turun tangan! Seorang laki-laki mesti tegas, tak
boleh ragu!”
Berbareng dengan itu, dari kejauhan terdengar
derap langkah kuda, lantas tampak seorang penunggang kuda mendatangi kemah
besar itu. Kwee Ceng tahu, itu berarti ada urusan penting.
‘Tunggu dulu,” bisik si nona. “Kita dengar dulu
apa kabar penting ini.”
Penunggang kuda itu seorang pesuruh
berseragam kuning, la melompat turun dari kuda, lalu berlari ke dalam kemah,
setelah menghormat pada Tuli, ia berkata, “Tuan Pangeran, ada titah dari Khan
yang Agung!”
“Apa kata Kha Khan?” tanya Tuli.
Bangsa Mongol belum lama mempunyai bahasa tulis,
apalagi Jenghis Khan tidak dapat membaca dan menulis, maka apabila mengeluarkan
perintah, ia memberikannya secara lisan. Supaya tidak lupa, si pesuruh
disuruhnya menghafalkan titahnya dulu hingga mengingat dengan baik. Titah itu
dilagukan.
Demikian juga utusan ini, sambil berlutut ia
menyanyikan titah Khan Agung yang telah dihafalnya luar kepala.
Orang itu baru menyanyikan tiga baris
kata-kata, namun Kwee Ceng sudah terkejut sekali, sedangkan Tuli mencucurkan
air mata.
Jenghis Khan sudah berusia lanjut, belakangan
ini kesehatannya sering terganggu. Karena mendapat firasat bahwa mungkin ia
tidak bakal hidup lebih lama lagi, ia
mengeluarkan titah untuk memanggil Tuli supaya segera pulang dan bertemu dengannya.
Dalam penutup titah itu, Khan juga
memberitahukan bahwa ia merindukan Kwee Ceng. Maka ia berpesan, kalau di
Selatan putranya itu bertemu dengan Kwee
Ceng, ia meminta
supaya pemuda itu diajak pergi bersama ke Utara, agar Khan yang Agung dapat melihatnya
untuk yang terakhir kalinya….
Sampai di situ tanpa sadar Kwee Ceng
menggurat tenda dengan belati di tangannya, la melompat masuk.
“Anda Tuli, aku akan pergi bersamamu!”
serunya.
Tuli kaget bukan main, tetapi setelah
mengenali pemuda itu, ia girang bukan buatan. Keduanya lantas saling merangkul.
Si utusan juga mengenali Kwee Ceng, ia
memberi hormat sambil terus berlutut, lalu berkata. “Kim Too Huma, Khan yang
Agung menitahkan supaya Huma yang Mulia pergi ke Kemah Emas untuk menemuinya!”
Hati Kwee Ceng tercekat mendengar ia tetap dipanggil
Kim Too Huma. Tentu saja ia khawatir Oey Yong curiga. Maka ia lari ke luar
tenda, menghampiri si nona, lantas menariknya seraya berkata,
“Yongji, mari kita pergi dan nanti pulang
bersama!”
Nona itu diam.
“Yongji, kau percaya aku atau tidak?** Kwee Ceng
bertanya.
Tiba-tiba nona itu tertawa dan berkata. “Jika
kau berniat untuk menjadi huma atau hugu, akan kupenggal kepalamu!”
Huma berarti menantu raja, huruf ma berani kuda,
maka Oey Yong menambahkan dan menyebut hugu untuk menggoda. Huruf gu berarti
kerbau.
Kwee Ceng mempertemukan si nona dengan Tuli, sedangkan
Tuli langsung memerintahkan tentaranya untuk bersiap sedia berangkat pulang ke
Utara keesokan paginya.
Kwee Ceng bersama Oey Yong pulang lebih dulu
untuk mengambil kuda dan burung mereka.
Pagi berikutnya mereka kembali bergabung
dengan pasukan perang Mongolia
untuk berangkat ke Utara.
Tuli khawatir mereka tidak sempat bertemu
dengan ayahnya, maka ia menyerahkan pimpinan pasukan kepada wakilnya, sedangkan
ia sendiri bersama Kwee Ceng dan Oey Yong berangkat lebih dulu dengan memacu
kuda mereka. Maka sebelum sebulan lewat, mereka bertiga telah sampai di Kemah
Emas Jenghis Khan.
Dari jauh Tuli telah melihat bendera di kemah
ayahnya masih terpancang seperti biasanya. Hatinya sedikit lega, namun toh
berdebaran juga. Ia melarikan kuda sekencangnya supaya cepat sampai di kemah
itu.
Kwee Ceng menahan kudanya, pikirannya bekerja
keras, la ingat budi Khan Agung, yang sudah menolong ia dan ibunya, sebaliknya
ia juga ingat kematian ibunya yang” mengenaskan. Jadi Khan adalah penolong
sekaligus musuh besarnya!
la menyayangi sekaligus membencinya!
Bagaimana sekarang? Selama di Siangyang dan di tengah jalan, ia ingin sekali
menemui sang penolong, tetapi kini ia ragu. Ia tercenung sambil menunduk. Tidak
lama kemudian terdengar bunyi trompet, lalu di muka markas terlihat munculnya
dua baris serdadu pengiring. Setelah itu Jenghis Khan keluar dengan berkerobong
baju bulu hitam, sebelah tangannya memegangi pundak Tuli. Langkahnya masih
lebar, namun tubuhnya sedikit gemetar.
Kwee Ceng maju untuk berlutut di tanah.
“Bangun, bangun!” katanya. “Setiap hari aku memikirkanmu…!”
Kwee Ceng bangkit. Ia melihat muka Khan keriput
dan kedua pipinya celong. Ia yakin orang tua itu tidak bakal hidup lebih lama
lagi. Panas hatinya sedikit mereda.
Jenghis Khan memegangi pundak Kwee Ceng dan
pundak Tuli dengan kedua tangannya. Ia pun mengawasi mereka bergantian.
Kemudian ia menarik napas panjang, matanya memandang jauh ke depan, ke gurun
yang besar dan luas. Ia termenung.
Kwee Ceng dan Tuli tidak dapat menerka isi hatinya,
keduanya diam.
Sesudah sekian lama diam saja. Jenghis Khan menghela
napas.
“Dulu mulanya aku bekerja sama dengan Anda Jamukha,”
ia berkata. “Siapa tahu akhirnya mau tak mau aku harus membunuh saudara
angkatku itu. Aku menjadi khan yang maha agung, tapi dia telah terbinasa di tanganku. Beberapa hari
lagi aku sama dengan dia, pulang ke tanah kuning.
Siapa berhasil, siapa runtuh, bukankah itu
akhirnya tak ada bedanya?”
Ia menepuk-nepuk pundak kedua anak muda itu.
“Maka mulai hari ini hingga akhir nanti,
kalian berdua mesti hidup rukun bersama,” ia berkata.
“Sekali-kali janganlah kalian saling bunuh.
Anda Jamukha telah mati, kuanggap persoalannya sudah beres, tapi setiap kali
aku ingat dia, mataku sukar kupejamkan.”
Dalam benak Kwee Ceng dan Tuli lantas terbayang
peristiwa yang baru saja terjadi di antara mereka di Siangyang. Bukankah mereka
bakal saling membunuh? Maka itu mereka malu pada diri sendiri.
Setelah berdiri sekian lama. Jenghis Khan
merasa kakinya lemas, ia hendak kembali ke dalam markas.
Sebelum ia mengajak Tuli dan Kwee Ceng masuk.
datanglah sebarisan kecil serdadu berkuda yang dipimpin seseorang yang
mengenakan pakaian perang putih dan ikal pinggang emas. Dari dandanannya sudah
bisa diketahui bahwa ia orang Kim.
Melihat musuh, semangat Jenghis Khan
terbangun.
Orang Kim itu menghentikan barisannya
walaupun masih jauh. la melompat turun dari kudanya, lalu berjalan menghampiri
pendekar Mongolia
itu, tetapi tidak berani sampai dekat sekali. Di tempat yang agak jauh ia sudah
berlutut untuk memberi hormat.
“Utusan Negeri Kim menghadap Khan yang Agung!”
demikian lapornya.
“Negeri Kim tak sudi takluk, malahan mengirim
utusan, untuk apa?” tanya Jenghis Khan gusar.
Sambil terus berlutut, utusan Kim itu
berkata, “Negara kami yang rendah mengetahui kami telah berlaku kurang ajar
terhadap Khan yang Agung, dosa kami tak terampuni, karena itu sekarang hamba diutus untuk menghaturkan seribu butir mutiara
dengan permohonan agar Khan yang Agung tidak gusar lagi dan sudi memberi ampun.
Ini mutiara pusaka negara kami, hamba mohon sudilah kiranya Khan yang Agung
menerimanya.”
Sehabis berbicara, utusan itu menurunkan
bungkusan dari punggungnya, membukanya, lalu me-
ngeluarkan sebuah nampan kemala. Dari kantong
bersulamnya ia menuang keluar butiran mutiara banyak sekali, lalu menaruhnya di
atas nampan itu. Akhirnya kedua tangannya menghaturkan bingkisan itu.
Jenghis Khan melirik. Ia melihat
mutiara-mutiara sebesar jari telunjuk mengitari sebutir yang sebesar jempol
tangan. Harga sebutir mutiara itu saja sudah mahal, apalagi seribu butir.
Semuanya berkilauan.
Dulu Jenghis Khan pasti girang bukan main melihat
mutiara-mutiara itu, namun sekarang ia hanya mengerutkan alis beberapa kali.
“Simpanlah!” katanya pada pengiringnya.
Si pengiring menyambut nampan berharga besar
itu. Utusan Kim itu girang bukan main melihat
bingkisannya diterima, ia lantas menghaturkan
terima kasih. Ia berkata bahwa raja serta
rakyat
negerinya sangat bersyukur dan akan mengingat
baik-baik budi Khan yang Agung, karena
menerima
baik permintaan mereka untuk akur dan
bersahabat.
“Siapa bilang bersahabat?” tanya Jenghis Khan
tiba-tiba. “Sebentar lagi aku akan
menggerakkan
angkatan perangku untuk menghajar
anjing-anjing Kim! Tangkap dia!”
Sejumlah serdadu pengiring lantas maju
mencekuk utusan itu.
Tapi Jenghis Khan menghela napas dan berkata,
“Seribu butir mutiara pun takkan bisa membikin hidupku lebih lama satu hari
lagi….” Ia mengambil nampan dari tangan pengiringnya, lantas melemparkannya
hingga semua butiran mutiara itu berhamburan.
Semua orang kaget dan heran, semuanya
bungkam.
Para serdadu Mongolia
memunguti butiran mutiara itu, namun masih banyak yang terpendam di antara
rerumputan, maka beberapa ratus tahun kemudian ada juga penggembala yang beruntung
menemukannya.
Dengan masygul Khan yang Agung kembali ke markas.
Senja hari ia meminta Kwee Ceng seorang diri menemaninya menunggang kuda,
berjalan-jalan di padang
rumput sejauh beberapa puluh li sampai di tepi jurang.
Kwee Ceng teringat akan masa kecilnya ketika ia
bertemu dengan Kanglam Cit Koay, bagaimana suatu malam ia menghajar mampus Tong
Si Tan Hian Hong si Mayat Perunggu, bagaimana Ma Giok mengajarinya ilmu tenaga
dalam. Mengenang semuanya itu ia merasa bersyukur dan terharu.
Tengah ia merenung, kupingnya mendengar suara
burung rajawali di udara. Itulah burungnya yang terbang berputar-putar di atas
jurang. Rupanya kedua burungnya juga mengenali kampung halaman mereka.
Sekonyong-konyong Jenghis Khan mengambil busurnya
dan segera membidik kedua rajawali itu.
Kwee Ceng kaget sekali, dengan gugup ia
berseru, “Kha Khan, jangan panah!”
Meski tenaganya sudah berkurang, Jenghis Khan
masih cukup kuat, waktu si pemuda berseru, anak panahnya sudah melesat. Maka
pemuda itu mengeluh, menyesal bukan main. la tahu pendekar Mongolia ini
pun jago memanah. Ia sangat mencemaskan kedua burungnya.
Ternyata rajawali betinalah yang dibidik
Jenghis Khan. Burung itu melihat datangnya anak panah, ia berkelit menyampok
dengan sayap kirinya hingga anak panah itu jatuh. Rajawali yang jantan menjadi
gusar. Ia bersuara nyaring, terbang menukik menyambar ke arah Khan yang Agung.
Kwee Ceng terkejut tetapi ia membentak, “Hei,
kau mau mampus?” Bentakan itu dibarengi dengan menyambarnya cambuk.
Burung itu mengenali majikannya , ia batal menyerang.
Setelah bersuara beberapa kali ia terbang ke atas, bersama si betina ia
melayang jauh….
Paras Jenghis Khan menjadi guram, dengan lesu
ia melemparkan busurnya.
“Selama beberapa puluh tahun, baru kali ini aku
gagal memanah rajawali…,** katanya. “Rupanya memang benar telah tiba saat
kematianku…”
Kwee Ceng hendak menghibur, tetapi tidak tahu
harus berkata apa.
Khan yang Agung menjepit perut kudanya,
melarikan binatang tunggangannya itu ke utara.
Kwee Ceng khawatir orang itu akan mendapat celaka,
maka ia lantas menyusul. Kuda merahnya berlari kencang sekali, sebentar saja
sudah berhasil mengejar dan mendahului kuda Khan.
Jenghis Khan menahan kudanya, memandang ke empat
penjuru kangzusi.com.
“Anak Ceng.” ia berkata, “negara besar yang kubangun
ini berzaman-zaman tidak ada bandingannya! Dari tengah-tengah negaraku ini
untuk sampai di daerah yang paling ujung, timur, selatan, barat, dan utara,
membutuhkan tempo perjalanan setahun lamanya! Katakan, di antara
pendekar-pendekar di zaman dulu hingga sekarang ini, siapakah yang dapat
melawanku?’*
Kwee Ceng berdiam sekian lama, lalu baru menyahut,
“Dalam hal kegagahan, sejak dulu hingga sekarang, lak ada orang dapat
menandingi Khan; tapi karena keangkeran Khan, di kolong langit ini entah telah
berapa banyak tulang yang bertumpuk, serta berapa banyak air mata anak-anak
yatim dan janda yang telah mengalir….”
Sepasang alis Jenghis Khan berdiri, cambuknya
menyambar ke pundak si pemuda.
Kwee Ceng melihatnya, tapi tidak takut, ia
diam saja.
Cambuk itu berhenti di udara.
“Apa kauhilang?” bentak pendekar Mongolia itu.
Kwee Ceng berpikir, “Setelah hari ini dan selanjutnya,
pasti aku dan Khan tak bakal bertemu lagi. maka biarpun dia gusar sekali, apa
yang kupikirkan mesti kuutarakan!” Maka ia menyahut dengan gagah, “Khan yang
Agung! Kau telah membesarkan dan mendidikku, tapi kau juga telah memaksakan
kematian ibuku! Itu budi dan dendam pribadi, tak usahlah dibicarakan! Sekarang
aku hendak menanyakan padamu satu pertanyaan saja:
Kalau orang telah mati, berapa luas tanah yang
diperlukan untuk menguburkannya?”
Jenghis Khan melengak, lalu mengayunkan cambuknya
melingkar.
“Kurang-lebih seluas ini,” sahutnya.
“Benar,” kata Kwee Ceng.
“Hingga kini kau telah membinasakan demikian banyak orang, telah mengalirkan
demikian banyak darah, juga telah merampas demikian banyak negara, akhirnya,
apa gunanya semua itu?”
Khan Agung, pendekar besar Mongolia itu.
terdiam. Ia tidak sanggup membuka mulutnya.
Kwee Ceng berkata lagi,
“Pendekar zaman dulu hingga sekarang, mereka yang dikagumi di kemudian hari,
mestilah orang yang telah membuat rakyat bahagia dan yang mencintai rakyatnya!
Menurut pandanganku sendiri, orang yang membunuh banyak orang belum tentu
pendekar!”
“Pendekar” yang dimaksudkan Kwee Ceng
ialah eng hiong.
“Apakah seumur hidup aku belum pernah
melakukan perbuatan baik?” tanya Khan.
“Perbuatan baik itu pasti ada dan juga sering
sekali,” jawab Kwee
Ceng. “Kau telah menyerang ke
Selatan dan menyerbu ke Utara, kau telah menumpuk mayat setinggi gunung, apakah
itu yang dinamakan jasa atau dosa, itu sukar dibilang….”
Kwee Ceng jujur, maka apa yang
ia pikirkan segera diutarakannya.
Jenghis Khan besar kepala, ia biasa puas akan dirinya sendiri.
Sekarang di saat-saat hari akhirnya.
ia mesti mendengar kata-kata tajam itu, ia
kehabisan kata-kata untuk menjawab. Di benaknya
lantas terbayang segala perbuatannya di masa
lalu.
Ia memandang sekelilingnya, seakan merasa
kehilangan sesuatu. Sesaat kemudian mendadak ia berseru, lalu memuntahkan darah
hidup.
Kwee Ceng kaget. Ia lantas
sadar bahwa bicara-nya terlalu tajam, la memayang pendekar itu.
“Kha Khan, mari kita pulang untuk
beristirahat,” katanya. “Barusan aku telah salah omong, harap dimaafkan.”
Tapi Jenghis Khan tertawa, tawar tawanya, paras-nya pun menjadi kuning
pucat.
“Orang di kiri-kananku,” katanya, “tidak ada
seorang pun yang bernyali besar seperti kau, yang berani omong padaku secara
begini jujur.”
Ia mengangkat alisnya hingga tampak jumawa.
Ia berkata lantang, “Seumur hidup aku telah malang melintang di
kolong langit ini, aku telah memukul musnah negara lain tak terhitung
banyaknya, tapi menurutmu aku bukanlah pendekar! Hm, sungguh kata-kata seorang
bocah!”
Ia mencambuk kudanya, melarikannya pulang.
Malam itu Jenghis Khan
berpulang ke alam lain di dalam Kemah Emus-nya.
Sesuai dengan pesan-nya yang terakhir, Ogotai menggantikannya menjadi khan yang
mahaagung. Di saat napas terakhirnya,
beberapa kali ia menyebut, “Pendekar… pendekar…”
Rupanya ia sangat terpengaruh ucapan Kwee Ceng.
Kwee Ceng dan Oey Yong
menanti sampai upacara pemakaman selesai. Hari itu juga mereka kembali ke
Selatan. Di sepanjang jalan mereka
terharu melihat banyaknya kerangka para korban bencana perang berserakan di
sela-sela rerumputan tebal. Mereka mengangankan datangnya zaman aman dan damai
hingga rakyat dapat hidup tenteram dan bahagia….
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar