Kembalinya Pendekar Rajawali 60
Begitulah sorot mata Kiu Jian-jio mengusap
pelahan muka seriap orang secara bergilir, kemudian ia berkata “Yo Ko, kulihat
orang yang hadir ini ada yang menginginkan kematianmu, ada juga yang berharap
kau akan hidup terus, Nah. kau sendiri ingin mati atau ingin hidup, hendaklah
kau memikirkan dengan baik!”
Sambil merangkul pinggang Siao-Iiong-li,
dengan lantang Yo Ko menjawab: “Kalau dia tidak menjadi milikku dan aku tidak
dapat memiliki dia, kami berdua lebih suka mati bersama saja.”
“Benar!” tukas Siao-liong-li, dengan tertawa
manis, Keduanya sudah ada perpaduan batin, cinta mereka sudah sedemikian
mendalam, mati-hidup bagi mereka sudah bukan soal lagi.
Tapi Kiu Jian-jio tetap sukar memahami isi
hati Siao-liong li, ia membentak: “Jika bocah itu tidak kutoIong, maka jiwanya
pasti akan melayang, kau tahu tidak hal ini? Dia Cuma dapat hidup 36 hari lagi,
kau mengerti tidak?”
“Kalau kau sudi menolongnya dan kami dapat
berkumpul lebih lama beberapa tahun lagi untuk itu sudah tentu kami sangat
berterima kasih,” kata Siao-Liong-Li. “Jika kau tidak mau menolongnya maka
biarlah kami berkumpul lagi selama 36 hari juga boleh. Toh kalau dia mati aku
sendiripun tidak
bakal hidup terus,”
Waktu bicara, wajahnya yang cantik molek itu
sama sekali tidak memberi sesuatu perasaan kuatir dan sedih, soal mati dan
hidup itu dianggapnya seperti sepele saja.
Tentu Kiu Jian-jio merasa bingung, sebentar
ia pandang Yo Ko, lain saat ia pandang Siao liong-li pula, dilihatnya kedua
muda-mudi itu saling menatap dengan penuh kasih sayang, rasa cinta murni begini
selamanya belum pernah terasakan oleh Kiu Jian-jio sendiri, bahkan juga tidak
pernah terpikir olehnya ternyata di dunia ini toh ada lelaki dan perempuan yang
begitu mendalam cintanya.
Tanpa terasa ia teringat nasibnya sendiri
yang bersuamikan Kongsun Ci, akhirnya ternyata begini jadinya.
Mendadak ia menghela napas panjang dan air
matanya bercucuran. Segera Lik-oh menubruk maju dan merangkul sang ibu, katanya
dengan menangis: “O, ibu, obatilah dia. Nanti kita pergi mencari Jiku saja,
beliau sangat rindu padamu bukan?”
Karena air matanya itu terangsang pula
perasaan halusnya sebagai wanita segera Kiu Jian-Jio ingat kepada kedua
kakaknya, kakak pertama menurut surat kakak kedua yang dibacakan Kongsun Ci itu
katanya sudah tewas di tangan Kwe Cing dan Oey Yong, sedangkan dirinya sendiri
lumpuh dan kakak kedua sekarang sudah menjadi Hwesio, itu berarti sakit hati
kematian kakak pertama itu sukar dibalas lagi.
Tiba-tiba teringat oleh Kiu Jian-jio bahwa
ilmu silat bocah she Yo ini tidak lemah, kalau dia berkeras tidak mau menikahi
Lik-oh, boleh juga kusuruh dia membalaskan sakit
hatiku kepada Kwe Ceng dan Oey Yong sebagai
imbalannya?
Setelah ambil keputusan demikian, pelahan ia
lantas mengeluarkan sisa satunya Coat-ceng-tan yang masih ada itu, ia potong
pil persegi sebesar gundu itu menjadi dua dengan kukunya ia ambil setengah
potong obat itu dan ditaruh pada telapak tangannya tahi berkata: “Nah, Yo Ko,
obat akan kuberikan padamu, kau tidak sudi menjadi menantuku juga tak apalah,
tapi kau harus berjanji untuk melakukan sesuatu urusan bagiku.”
Yo Ko saling pandang sekejap dengan
Siao-Iiong-li, sama sekali tak terduga bahwa nenek botak itu mendadak bisa
berhati baik kepada mereka, walaupun kedua orang tidak memikirkan soal mati dan
hidup lagi, tapi kalau ada jalan untuk tetap hidup, sudah tentu hal ini sangat
menggembirakan.
Segera ia bertanya: “Urusan apa yang perlu
kulakukan bagi Kiu locianpwe, kalau mampu tentu akan kami kerjakan sepenuh
tenaga”
“Aku ingin kau menanggalkan kepala dua orang
dan diserahkan padaku di sini,” jawab Kiu Jian-jio.
Mendengar itu, seketika Yo Ko dan
Siao-jiong-li sama berpikir bahwa satu di antara kedua orang yang ingin
dibunuhnya itu pasti Kongsun Ci adanya. Sudah tentu Yo Ko tidak mempunyai kesan
baik terhadap Kongsun Ci, setelah buta sebelah mata dan punah pula ilmu kebal
Tiam-hiatnya,
dalam waktu singkat keadaan Kongsun Ci tentu
sangat payah, untuk mencari dan membunuhnya rasanya tidak sukar.
Tapi mengingat dia ayah Lik-oh sedangkan nona
itu sangat kesemsem pada dirinya, rasanya menjadi tidak enak kalau ayahnya
harus dibunuh.
Dalam hati Siao-liong-li juga merasa utang
budi kepada Kongsun Ci meski orang itu memang jahat dan pantas dibinasakan Tapi
melihat sikap Kiu Jian-jio yang ketus itu,
kalau permintaannya tidak dilaksanakan
betapapun obat yang dimilikinya itu pasti takkan diberikan kepada Yo Ko,
tampaknya urusan ini harus di sanggupi lebih dulu.
Melihat kedua orang itu mengunjuk rasa ragu,
Kiu Jian-jio lantas menjengek: “Akupun tidak tahu antara kalian dengan kedua
orang itu apakah ada hubungan baik atau tidak, yang pasti aku harus membunuh
kedua orang itu.” sembari bicara, tangannya memainkan setengah potong pil
Coat-ceng-tan itu dengan -di-lempar2kan ke atas secara padahal Yo Ko merasa
nada ucapan Kiu Jian-Jio itu seperti bakau Kongsua Ci yang dimaksud segera
iapun bertanya: “Siapakah musuh-musuh Kiu-locianpwe itu?”
“Masakah kau tidak mendengar isi surat yang
dibaca tadi?”
jawab Kiu Jian-jiu, “Yang membunuh Toakoku
kan bernama Kwe Ceng dan Oey Yong”
“Aha, bagus sekali, sangat kebetulan!” seru
Yo Ko
kegirangan “Kedua orang itu adalah pembunuh
ayahku, seumpama tiada permintaanmu juga Wanpwe akan menuntut balas kepada
kedua orang itu.”
Hati Kiu Jian-jio terkesiap, “Apa betul
katamu?” ia menegas.
“Taysu ini juga pernah bersengketa dengan
kedua orang itu, urusanku juga pernah kuceritakan padanya,” kata Yo Ko sambil
menuding Kim-lun Hoat-ong.
Kiu Jian-jio memandang kearah Hoat-ong
sebagai tanda tanya.
“Ya, memang betul, ” jawab Hoat-ong sambil
mengangguk, “Tapi saudara Yo ini waktu itu jelas membantu Kwe Ceng dan Oey Yong
serta memusuhiku.”
Siao-liong-li dan Kongsun Lik-oh menjadi
gemas karena Hwesio ini senantiasa berusaha mengadu domba, berbareng mereka
melototinya. Namun Kim-lun Hoat-ong anggap tidak tahu saja, dengan tersenyum ia
tanya Yo Ko: “Saudara Yo, coba katakan, betul tidak ucapanku tadi?”
“Benar,” jawab Yo Ko dengan tertawa, “Sesudah
kubalas sakit hati ayah-bundaku, kelak aku masih harus minta petunjuk beberapa
jurus lagi kepada Taysu.”
“Baik, baik!” ujat Hoat-ong sambil merangkap
kedua tangannya didepan dada.
Kalau kedua orang itu sedang adu mulut, Kiu
Jian-jio sendiri sedang merenungkan persoalannya sendiri, tiba-tiba ia
menyodorkan obat yang di pegangnya dan berkata kepada Yo Ko: “Aku tidak urus
apakah ucapanmu benar atau tidak, bolehlah kau makan obat ini.”
Yo Ko mendekatinya dan menerima obat itu, ia
menerima obat itu cuma setengah potong saja, diam-diam iapun paham maksud si
nenek, katanya dengan tertawa: “Jadi setengah potong obat lagi harus kutukar
dengan kepala kedua orang itu.”
“Benar, kau memang pintar,” jawab Kiu
Jian-jio mengangguk.
Yo Ko pikir minum saja setengah potong obat
ini dari pada sama sekali tidak ada, Maka ia terus memasukkan obat itu ke mulut
dan di telannya kedalam perut.
“Di dunia ini Coat-ceng-tan ini cuma sisa
satu biji saja, sekarang setengahnya sudah kau minum, masih ada separoh akan
kusimpan pada suatu tempat, 18 hari lagi akan kuberikan obat itu jika kau
membawa kepala kedua orang yang kuminta itu,” kata Kiu Jian-jio kemudian “Jika
kau tidak melaksanakan perintahku itu, biarpun nanti kau dapat menawan aku
serta menyiksa ku dengan cara apapun juga, maka jangan kau harap akan
mendapatkan separoh pil itu. Nah, cukup sampai di sini saja, selamanya aku
bicara dengan tegas, para tamu silahkan pulang, Yo-toaya dan nona Liong, kita
berjumpa 18 hari lagi.” Habis bicara fa terus memejamkan mata tanpa menggubris
orang lain jelas sikapnya itu adalah mengusir tetamu.
“Mengapa memberi batas waktu 18 hari”? tanya
Siao-Liong-Li.
Sambil memejamkan mata Kiu Jian-jio menjawab:
“Racun bunga cinta yang mengeram dalam tubuhnya itu mestinya baru akan bekerja
36 hari lagi. Tapi sekarang dia telah makan separoh pil Coat-ceng-tan sehingga
kadar racun dalam tubuhnya mengumpul menjadi satu, masa kerjanya menjadi tambah
cepat sekali lipat. Maka 18 hari lagi kalau dia makan sisa obat ini seketika
racun dalam tubuh nya akan punah, kalau tidak…” sampai di sini ia tidak
meneruskan lagi melainkan memberi tanda agar semua orang lekas pergi.
Yo Ko dan Siao Iiong-li tahu orang ini sukar
diajak bicara dengan baik-baik, segera mereka melangkah pergi, setiba dimulut
lembah dan menemukan kudanya yang di tinggalkan oleh Yo Ko ketika datang itu,
sekali Yo Ko bersuit, segera kuda itu berlari keluar dari hutan sana..
Meski Yo Ko hanya tiga hari saja berada di
Cui-sian-kok itu, namun selama tiga hari itu telah banyak mengalami bahaya dan
beberapa kali hampir melayang jiwanya, kini dapat meninggalkan tempat berbahaya
ini dengan buah hatinya, sungguh ia merasa seperti hidup di dunia lain.
Sementara itu fajar sudah menyingsing,
berdiri di tempat tinggi memandangi perkampungan yang penuh dikeliligi
pepohonan yang rindang itu di bawah sinar sang surya pagi, pemandangan yang
menghijau permai itu sungguh sangat menarik.
Yo Ko menggandeng Siao-liong-li ke bawah
pohon yang rindang, katanya- “Kokoh “
“Kukira kau jangan memanggil Kokoh lagi
padaku,” ujar Siao-liong-li sambil menggelendot di tubuh anak muda itu.
Dalam hati Yo Ko memang sudah lama tidak
menganggap Siao-liong-li sebagai guru lagi, dia masih memanggil “Kokoh” (bibi)
padanya adalah karena kebiasaan.
Maka senang sekali dia mendengar ucapan si
nona tadi, ia berpaling dan menatap bola mata Siao-liong-li yang hitam itu,
lalu bertanya: “Habis aku mesti panggil apa
padamu?”
“Kau suka memanggii apa boleh terserah
padamu?” kata Siao-Liong-Li.
Yo Ko termenung sejenak. lalu berkata pula:
“Saat2 yang paling menyenangkan selama hidupku adalah pada waktu kita
tinggal bersama di kuburan kuno itu. Tatkala
itu kupanggil engkau Kokoh, sampai matipun biarlah tetap ku panggil kau Kokoh,”
“Eh, kau masih ingat tidak ketika kupukul
pantatmu, apakah waktu itu kaupun sangat senang?” ujar Siao-liong-li dengan
tertawa.
Mendadak Yo Ko merangkul Siao-liong-li ke
dalam pelukannya terasa bau harum lembut dari tubuh si nona berbaur dengan hawa
segar tetumbuhan pegunungan sungguh membikin orang mabuk dan syur serta sukar
mengendalikan diri.
Dengan pelahan Yo Ko berkata “Kalau kita
berada bersama seperti ini selama 18 hari, kukira kita akan mati bahagia dan
tidak perlu membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong
segala, daripada susah2 pergi ke sana dan
bertempur mati?an, lebih baik kita hidup aman tenteram untuk menikmati
kebahagiaan selama 18 hari ini.”
“Terserah bagaimana kehendakmu!” ujar Siao
liong-li, “Dahulu aku selalu menyuruh kau tunduk pada perintahku, sejak kini
aku cuma menuruti perkataanmu.”
Biasanya Siao-liong-li sangat dingin,
sekarang perasaannya penuh kasih mesra, mata alisnya hingga badannya serta
tangan dan kaki pun terasa hangatnya cinta kasih, ia merasa bahagia apabila
menuruti perkataan Yo Ko dengan segenap jiwa raganya.
Yo Ko termangu memandangi Siao liong-li agak
lama barulah ia berkata dengan pelahan: “Mengapa matamu menggenang air?”
Siao-liong-Ii pegang sebelah tangan anak muda
itu dan ditempelkan pelahan pada pipi sendiri, jawabnya kemudian dengan suara
lambat: “Aku…. aku sendiri tidak tahu” Selang sejenak ia menyambung pula:
“Tentunya disebabkan aku teramat suka padamu.”
“Kutahu kau sedang berduka bagi sesuatu
persoalan,” ujar Yo Ko.
Mendadak Siao-liongIi mengangkat kepalanya
dan air matapun bercucuran ia mendekap dalam pelukan Yo Ko, katanya dengan
tersedu-sedan: “Ko-ji. Ko-ji, kau… kita hanya ada waktu 18 hari, mana bisa
cukup.”
Yo Ko mengusap bahu si nona dan berkata: “Ya,
akupun bilang tidak cukup.”
“Kuingin kau senantiasa perlakukan aku
begini, selamanya, seratus tahun, seribu tahun,” kata Siao-liong-li dengan ter-
sedat2. Yo Ko pegang muka Siao-liong-li dan dike-cupnya pelahan bibirnya yang
merah delima itu, lalu berkata dengan tegas: “Baik, betapapun harus kubunuh Kwe
Ceng dan Oey Yong.”
Ketika ujung lidahnya merasakan asinnya air
mata si nona, seketika cinta berahinya bergejolak, serentak dadanya kesakitan,
seluruh tubuhnya seakan-akan meledak.
Pada saat itulah tiba-tiba di dengar suara seorang
berkata di tempat ketinggian sebelah sana: “Huh, seumpama ingin ber-kasih2an,
kan harus mencari tempat yang baik dan tidak perlu di tempat terbuka seperti
ini.”
Cepat Yo Ko menoleh, dilihatnya di atas
tanjakan bukit sana berdiri Kim-lun Hoat-ong, ln Kik-si, Siau-siang-cu, Nimo
Singh dan Be Kong co. Yang membuka suara tadi jelas adalah Kim-lun Hoat-ong.
Kiranya waktu Yo Ko dan Siao-liong li
meninggalkan Cui-sian-kok secara ter-buru-buru tanpa menghiraukan orang lain,
maka Kim lun Hoat-ong dan rombongannya diam-diam mengikuti di belakang mereka,
Saking asyiknya Yo Ko dan Siao-liong li- menumpahkan rasa cinta masing-masing
sehingga mereka tidak tahu kalau perbuatan mereka itu telah dilihat seluruhnya
oleh Hoat-ong dan rombongannya.
Teringat kepada sikap Kim lun Hoat-ong yang
kurang simpatik, beberapa kali sengaja mengadu domba Yo Ko dengan Kongsun Ci
dan hampir saja Yo Ko dicelakai, diam-diam Yo Ko merasa menyesal telah bantu
menyembuhkan luka Hoat-ong ketika dia bersemadi di pegunungan sunyi tempo hari,
tahu begitu tentu Hwesio gede itu sudah dibinasakannya waktu itu.
Melihat sorot mata Yo Ko yang gusar itu,
cepat Siao-liong-li menghiburnya: “jangan urus orang macam begitu, orang begitu
biarpun hidup selamanya juga tidak lebih bahagia daripada kita hidup selama 18
hari.”
Dalam pada itu terdengar Be Kong-co berseru:
“Adik Yo dan nona Liong, marilah kita pergi ber-sama. Pegunungan sunyi begini
masakah ada yang menarik?”
Tapi yang diharapkan Yo Ko sekarang hanya
dapat berkumpul bersama Siao-liong-li selama masih ada kesempatan, namun
orang-orang itu justeru datang mengganggunya, ia tahu Be Kong-co bermaksud
baik, maka lantas ia menjawab: “Silakan Be-toako berangkat dahulu,
sebentar Siaute lantas menyusul.”
“Baiklah, lekas ya!” kata Be Kong-co,
“Hahaha, kenapa kau ikut ribut?” ujar Kim lun Hoat-ong sambil bergelak ketawa,
“Mereka lebih suka bergadang selama 18 hari di pegunungan sunyi ini, tapi kau
justeru merecoki mereka.”
Tentang batas waktu 18 hari seperti apa yang
dikatakan Kiu Jian-jio itu dapat didengar setiap orang, maka Be Kong-co menjadi
gusar mendengar ucapan Kira-lun Hoat-ong itu, mendadak ia menubruk maju dan
menjamberet baju di dada Hoat-eng dan mendamperat.
“Bangsat gundul, hatimu sungguh keji! Kita
datang ke sini suatu rombongan dengan adik Yo, kau tidak membantu dia saja kudu
dimaki, sekarang kau malah mengejek dan mengolok-olok dia lagi, sebenarnya apa
kehendakmu?”
“Hm, kau lepaskan tidak?” jengek Hoat-ong.
Tidak, kau mau apa?” jawab Be Kong-co dengan
gusar bahkan ia tarik baju orang dengan lebih kencang, Mendadak kepalan kanan
Hoat-ong menjotos ke muka lawan.
“Bagus! Kau ingin berkelahi ya?” seru Be
Kong-co sambil angkat telapak tangannya yang besar itu untuk menangkap kepalan
Hoat-ong.
Tak terduga jotosan Hoat-ong itu ternyata
pancingan belaka, tiba-tiba tangan kirinya menolak sekuatnya dipunggung Be
Kong-co, kontan tubuh Be Kong-co yang besar itu terus mencelat ke sana dan
terguling ke bawah tanjakan bukit itu.
Untunglah lereng bukit itu penuh rumput tebal
dan panjang, pula kulit daging Be Kong-co kasar lagi tebal sehingga tidak
mengalami luka parah, walaupun begitu tidak urung kepalanya juga benjot dan
muka matang biru sampai lama ia tidak sanggup bangun.
Ketika melihat kedua orang mulai bergebrak Yo
Ko tahu Be Kong-co pasti akan kecundang, saat ia memburu ke sana, namun sudah
terlambat, Be Kong-co sudah telanjur terguling ke bawah, Segera Yo Ko
memayangnya bangun, ke dua orang lantas naik lagi ke atas bukit.
Meski dongkol, tapi orang dogol juga punya
akal dogoI, ia tahu berkelahi secara berhadapan pasti bukan tandingan Hwesio
besar itu, maka sambil berjalan iapun pura-pura merintih kesakitan “Aduh
tanganku patah dipukul bangsat gundul!”
Bahwa Kim-Iun Hoat-ong diundang oleh pangeran
MongoI, yaitu Kubilai, serta diangkat menjadi Koksu kerajaan MongoI, hal ini
memangnya sudah menimbulkan rasa dongkol tokoh-tokoh lain seperti Siau
siang-cu, Nimo Singh dan lain-lain, sekarang mereka melihat pula Hoat-ong
bertindak secara tidak semena-mena terhadap kawan sendiri, keruan Siau-siang-cu
dan Nimo Singh bertambah gusar, segera keduanya saling memberi isyarat.
“Hm, kepandaian Taysu memang hebat, pantas
mendapatkan gelar Koksu nomor satu kerajaan MongoI,” demikian Sian-siang-cu
lantas mengejek.
“Ah, mana aku…” Hoat-ong berendah hati ia
dapat melihat gelagat bahwa kedua orang ini ada maksud menyerangnya sedangkan
Yo Ko dan Siao liong-Ii di sebelah lain juga siap-siap akan me-labrak,
bagaimana dengan In Kik-si belum lagi diketahui.
Kalau saja dirinya dikerubut, walaupun belum
tentu kalah, namun untuk menang jelas juga sukar, Maka sambil berjalan
diam-diam iapun mencari akal untuk meloloskan diri.
Diluar dugaan, sambil berlagak merintih
ke-sakitan, diam- diam Be Kong-co mendekati belakang Hoat -ong dan mendadak
menghantam tepat mengenai kepalanya.
Dengan kepandaian Kim-Iun Hoat-ong yang maha
tinggi itu, sebenarnya sukar bagi Be Kong-co untuk menyergapnya, tapi sekarang
perhatian Hoat-cng lagi dicurahkan untuk menghadapi kemungkinan kerubutan Yo
Ko, Siau-siang-cu dan lain-lain, ia tidak memperhatikan kelakuan si dogol dan
akibatnya kena dihantam keras dari belakang.
Hantaman keras itu membuat kepala Hiat-ong
kesakitan dan mata berkunang-kunang, dengan murka tanpa pikir Hoat-ong menyikut
ke belakang dan tepat dada Be Kong-co tersodok, tanpa ampun si dogol menjerit
dan rebah ke bagian depan.
Perawakan Hoat-ong lebih pendek, tubuh Be
Kong-co yang tinggi besar itu tepat rebah dan bersandarkan pada pundaknya Tanpa
pikir lagi Hoat -ong terus panggul tubuh yang gede itu dan di bawa lari ke
bawah bukit.
Tindakan Hoat-ong ini benar-benar diluar
dugaan siapapun juga, dengan pedang terhunus Yo Ko yang pertama-tama mengudak
ke sana, Kepandaian Kim-Iun Hoat-ong benar-benar luar biasa, meski memanggul
seorang raksasa yang beratnya hampir 300 kati, namun larinya secepat terbang,
Yo Ko, Siau-liong-li, Nimo Singh dan lain-lain juga memiliki Ginkang yang
tinggi, tapi dalam jarak berpuluh meter itu sukar bagi mereka untuk
menyusulnya.
Yo Ko mempercepat Iangkahnya, lambat laun
dapat ia memperpendek jaraknya dengan Hoat-ong. Ketika sudah dekat,
sekonyong-konyong Hoat-ong berhenti dan berpaling,
katanya dengan menyeringai : “Baik, kalian
ingin maju sekaligus atau suka satu lawan satu?” - Habis berkata ia terus
angkat tubuh Be Kong-co dan mengarahkan kepalanya pada sepotong batu padas yang
besar dengan gerakan akan membenturkan kepala Be Kong-co itu.
Lebih dulu Yo Ko mengitar ke belakang
Hoat-ong untuk merintangi jalan kaburnya, lalu menjawab: “Jika kau membunuhnya,
dengan sendirinya kami akan mengerubuti kau.”
Hoat-ong terbahak-bahak dan melemparkan tubuh
Be Kong co ke tanah, katanya: “Orang dogol begini buat apa kumusuhinya?” -
Segera ia mengeluarkan senjatanya yang khas, yaitu sebuah roda perak dan sebuah
lagi roda tembaga, ia benturkan kedua roda sehingga menerbitkan suara nyaring,
lalu berkata pula dengan angkuh: “Nah, siapa diantara kalian yang ingin maju
lebih dulu?”
“Hihihi, kalau kalian hendak berlatih, orang
dagang seperti diriku lebih suka menjadi peninjau dan menonton saja,” kata In
Kik-si dengan tertawa.
Diam-diam Hoat-ong merasa lega, ia pikir
kalau orang Persia ini tidak membantu sana sini, maka berkuranglah seorang
lawan berat baginya.
Siau-siang-cu paling licin, ia sendiri merasa
tidak yakin dapat menandingi Kim-lun H-oat-ong dan sengaja membiarkan orang
lain maju lebih dulu untuk menghabiskan tenaga musuh, kemudian barulah ia maju
lagi untuk menarik keuntungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar