Minggu, 18 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 60



Kembalinya Pendekar Rajawali 60

Begitulah sorot mata Kiu Jian-jio mengusap pelahan muka seriap orang secara bergilir, kemudian ia berkata “Yo Ko, kulihat orang yang hadir ini ada yang menginginkan kematianmu, ada juga yang berharap kau akan hidup terus, Nah. kau sendiri ingin mati atau ingin hidup, hendaklah kau memikirkan dengan baik!”
Sambil merangkul pinggang Siao-Iiong-li, dengan lantang Yo Ko menjawab: “Kalau dia tidak menjadi milikku dan aku tidak dapat memiliki dia, kami berdua lebih suka mati bersama saja.”
“Benar!” tukas Siao-liong-li, dengan tertawa manis, Keduanya sudah ada perpaduan batin, cinta mereka sudah sedemikian mendalam, mati-hidup bagi mereka sudah bukan soal lagi.
Tapi Kiu Jian-jio tetap sukar memahami isi hati Siao-liong li, ia membentak: “Jika bocah itu tidak kutoIong, maka jiwanya pasti akan melayang, kau tahu tidak hal ini? Dia Cuma dapat hidup 36 hari lagi, kau mengerti tidak?”
“Kalau kau sudi menolongnya dan kami dapat berkumpul lebih lama beberapa tahun lagi untuk itu sudah tentu kami sangat berterima kasih,” kata Siao-Liong-Li. “Jika kau tidak mau menolongnya maka biarlah kami berkumpul lagi selama 36 hari juga boleh. Toh kalau dia mati aku sendiripun tidak
bakal hidup terus,”
Waktu bicara, wajahnya yang cantik molek itu sama sekali tidak memberi sesuatu perasaan kuatir dan sedih, soal mati dan hidup itu dianggapnya seperti sepele saja.
Tentu Kiu Jian-jio merasa bingung, sebentar ia pandang Yo Ko, lain saat ia pandang Siao liong-li pula, dilihatnya kedua muda-mudi itu saling menatap dengan penuh kasih sayang, rasa cinta murni begini selamanya belum pernah terasakan oleh Kiu Jian-jio sendiri, bahkan juga tidak pernah terpikir olehnya ternyata di dunia ini toh ada lelaki dan perempuan yang begitu mendalam cintanya.
Tanpa terasa ia teringat nasibnya sendiri yang bersuamikan Kongsun Ci, akhirnya ternyata begini jadinya.
Mendadak ia menghela napas panjang dan air matanya bercucuran. Segera Lik-oh menubruk maju dan merangkul sang ibu, katanya dengan menangis: “O, ibu, obatilah dia. Nanti kita pergi mencari Jiku saja, beliau sangat rindu padamu bukan?”
Karena air matanya itu terangsang pula perasaan halusnya sebagai wanita segera Kiu Jian-Jio ingat kepada kedua kakaknya, kakak pertama menurut surat kakak kedua yang dibacakan Kongsun Ci itu katanya sudah tewas di tangan Kwe Cing dan Oey Yong, sedangkan dirinya sendiri lumpuh dan kakak kedua sekarang sudah menjadi Hwesio, itu berarti sakit hati kematian kakak pertama itu sukar dibalas lagi.
Tiba-tiba teringat oleh Kiu Jian-jio bahwa ilmu silat bocah she Yo ini tidak lemah, kalau dia berkeras tidak mau menikahi Lik-oh, boleh juga kusuruh dia membalaskan sakit
hatiku kepada Kwe Ceng dan Oey Yong sebagai imbalannya?
Setelah ambil keputusan demikian, pelahan ia lantas mengeluarkan sisa satunya Coat-ceng-tan yang masih ada itu, ia potong pil persegi sebesar gundu itu menjadi dua dengan kukunya ia ambil setengah potong obat itu dan ditaruh pada telapak tangannya tahi berkata: “Nah, Yo Ko, obat akan kuberikan padamu, kau tidak sudi menjadi menantuku juga tak apalah, tapi kau harus berjanji untuk melakukan sesuatu urusan bagiku.”
Yo Ko saling pandang sekejap dengan Siao-Iiong-li, sama sekali tak terduga bahwa nenek botak itu mendadak bisa berhati baik kepada mereka, walaupun kedua orang tidak memikirkan soal mati dan hidup lagi, tapi kalau ada jalan untuk tetap hidup, sudah tentu hal ini sangat menggembirakan.
Segera ia bertanya: “Urusan apa yang perlu kulakukan bagi Kiu locianpwe, kalau mampu tentu akan kami kerjakan sepenuh tenaga”
“Aku ingin kau menanggalkan kepala dua orang dan diserahkan padaku di sini,” jawab Kiu Jian-jio.
Mendengar itu, seketika Yo Ko dan Siao-jiong-li sama berpikir bahwa satu di antara kedua orang yang ingin dibunuhnya itu pasti Kongsun Ci adanya. Sudah tentu Yo Ko tidak mempunyai kesan baik terhadap Kongsun Ci, setelah buta sebelah mata dan punah pula ilmu kebal Tiam-hiatnya,
dalam waktu singkat keadaan Kongsun Ci tentu sangat payah, untuk mencari dan membunuhnya rasanya tidak sukar.
Tapi mengingat dia ayah Lik-oh sedangkan nona itu sangat kesemsem pada dirinya, rasanya menjadi tidak enak kalau ayahnya harus dibunuh.
Dalam hati Siao-liong-li juga merasa utang budi kepada Kongsun Ci meski orang itu memang jahat dan pantas dibinasakan Tapi melihat sikap Kiu Jian-jio yang ketus itu,
kalau permintaannya tidak dilaksanakan betapapun obat yang dimilikinya itu pasti takkan diberikan kepada Yo Ko, tampaknya urusan ini harus di sanggupi lebih dulu.
Melihat kedua orang itu mengunjuk rasa ragu, Kiu Jian-jio lantas menjengek: “Akupun tidak tahu antara kalian dengan kedua orang itu apakah ada hubungan baik atau tidak, yang pasti aku harus membunuh kedua orang itu.” sembari bicara, tangannya memainkan setengah potong pil Coat-ceng-tan itu dengan -di-lempar2kan ke atas secara padahal Yo Ko merasa nada ucapan Kiu Jian-Jio itu seperti bakau Kongsua Ci yang dimaksud segera iapun bertanya: “Siapakah musuh-musuh Kiu-locianpwe itu?”
“Masakah kau tidak mendengar isi surat yang dibaca tadi?”
jawab Kiu Jian-jiu, “Yang membunuh Toakoku kan bernama Kwe Ceng dan Oey Yong”
“Aha, bagus sekali, sangat kebetulan!” seru Yo Ko
kegirangan “Kedua orang itu adalah pembunuh ayahku, seumpama tiada permintaanmu juga Wanpwe akan menuntut balas kepada kedua orang itu.”
Hati Kiu Jian-jio terkesiap, “Apa betul katamu?” ia menegas.
“Taysu ini juga pernah bersengketa dengan kedua orang itu, urusanku juga pernah kuceritakan padanya,” kata Yo Ko sambil menuding Kim-lun Hoat-ong.
Kiu Jian-jio memandang kearah Hoat-ong sebagai tanda tanya.
“Ya, memang betul, ” jawab Hoat-ong sambil mengangguk, “Tapi saudara Yo ini waktu itu jelas membantu Kwe Ceng dan Oey Yong serta memusuhiku.”
Siao-liong-li dan Kongsun Lik-oh menjadi gemas karena Hwesio ini senantiasa berusaha mengadu domba, berbareng mereka melototinya. Namun Kim-lun Hoat-ong anggap tidak tahu saja, dengan tersenyum ia tanya Yo Ko: “Saudara Yo, coba katakan, betul tidak ucapanku tadi?”
“Benar,” jawab Yo Ko dengan tertawa, “Sesudah kubalas sakit hati ayah-bundaku, kelak aku masih harus minta petunjuk beberapa jurus lagi kepada Taysu.”
“Baik, baik!” ujat Hoat-ong sambil merangkap kedua tangannya didepan dada.
Kalau kedua orang itu sedang adu mulut, Kiu Jian-jio sendiri sedang merenungkan persoalannya sendiri, tiba-tiba ia menyodorkan obat yang di pegangnya dan berkata kepada Yo Ko: “Aku tidak urus apakah ucapanmu benar atau tidak, bolehlah kau makan obat ini.”
Yo Ko mendekatinya dan menerima obat itu, ia menerima obat itu cuma setengah potong saja, diam-diam iapun paham maksud si nenek, katanya dengan tertawa: “Jadi setengah potong obat lagi harus kutukar dengan kepala kedua orang itu.”
“Benar, kau memang pintar,” jawab Kiu Jian-jio mengangguk.
Yo Ko pikir minum saja setengah potong obat ini dari pada sama sekali tidak ada, Maka ia terus memasukkan obat itu ke mulut dan di telannya kedalam perut.
“Di dunia ini Coat-ceng-tan ini cuma sisa satu biji saja, sekarang setengahnya sudah kau minum, masih ada separoh akan kusimpan pada suatu tempat, 18 hari lagi akan kuberikan obat itu jika kau membawa kepala kedua orang yang kuminta itu,” kata Kiu Jian-jio kemudian “Jika kau tidak melaksanakan perintahku itu, biarpun nanti kau dapat menawan aku serta menyiksa ku dengan cara apapun juga, maka jangan kau harap akan mendapatkan separoh pil itu. Nah, cukup sampai di sini saja, selamanya aku bicara dengan tegas, para tamu silahkan pulang, Yo-toaya dan nona Liong, kita berjumpa 18 hari lagi.” Habis bicara fa terus memejamkan mata tanpa menggubris orang lain jelas sikapnya itu adalah mengusir tetamu.
“Mengapa memberi batas waktu 18 hari”? tanya Siao-Liong-Li.
Sambil memejamkan mata Kiu Jian-jio menjawab: “Racun bunga cinta yang mengeram dalam tubuhnya itu mestinya baru akan bekerja 36 hari lagi. Tapi sekarang dia telah makan separoh pil Coat-ceng-tan sehingga kadar racun dalam tubuhnya mengumpul menjadi satu, masa kerjanya menjadi tambah cepat sekali lipat. Maka 18 hari lagi kalau dia makan sisa obat ini seketika racun dalam tubuh nya akan punah, kalau tidak…” sampai di sini ia tidak meneruskan lagi melainkan memberi tanda agar semua orang lekas pergi.
Yo Ko dan Siao Iiong-li tahu orang ini sukar diajak bicara dengan baik-baik, segera mereka melangkah pergi, setiba dimulut lembah dan menemukan kudanya yang di tinggalkan oleh Yo Ko ketika datang itu, sekali Yo Ko bersuit, segera kuda itu berlari keluar dari hutan sana..
Meski Yo Ko hanya tiga hari saja berada di Cui-sian-kok itu, namun selama tiga hari itu telah banyak mengalami bahaya dan beberapa kali hampir melayang jiwanya, kini dapat meninggalkan tempat berbahaya ini dengan buah hatinya, sungguh ia merasa seperti hidup di dunia lain.
Sementara itu fajar sudah menyingsing, berdiri di tempat tinggi memandangi perkampungan yang penuh dikeliligi pepohonan yang rindang itu di bawah sinar sang surya pagi, pemandangan yang menghijau permai itu sungguh sangat menarik.
Yo Ko menggandeng Siao-liong-li ke bawah pohon yang rindang, katanya- “Kokoh “
“Kukira kau jangan memanggil Kokoh lagi padaku,” ujar Siao-liong-li sambil menggelendot di tubuh anak muda itu.
Dalam hati Yo Ko memang sudah lama tidak menganggap Siao-liong-li sebagai guru lagi, dia masih memanggil “Kokoh” (bibi) padanya adalah karena kebiasaan.
Maka senang sekali dia mendengar ucapan si nona tadi, ia berpaling dan menatap bola mata Siao-liong-li yang hitam itu,
lalu bertanya: “Habis aku mesti panggil apa padamu?”
“Kau suka memanggii apa boleh terserah padamu?” kata Siao-Liong-Li.
Yo Ko termenung sejenak. lalu berkata pula: “Saat2 yang paling menyenangkan selama hidupku adalah pada waktu kita
tinggal bersama di kuburan kuno itu. Tatkala itu kupanggil engkau Kokoh, sampai matipun biarlah tetap ku panggil kau Kokoh,”
“Eh, kau masih ingat tidak ketika kupukul pantatmu, apakah waktu itu kaupun sangat senang?” ujar Siao-liong-li dengan tertawa.
Mendadak Yo Ko merangkul Siao-liong-li ke dalam pelukannya terasa bau harum lembut dari tubuh si nona berbaur dengan hawa segar tetumbuhan pegunungan sungguh membikin orang mabuk dan syur serta sukar mengendalikan diri.
Dengan pelahan Yo Ko berkata “Kalau kita berada bersama seperti ini selama 18 hari, kukira kita akan mati bahagia dan tidak perlu membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong
segala, daripada susah2 pergi ke sana dan bertempur mati?an, lebih baik kita hidup aman tenteram untuk menikmati kebahagiaan selama 18 hari ini.”
“Terserah bagaimana kehendakmu!” ujar Siao liong-li, “Dahulu aku selalu menyuruh kau tunduk pada perintahku, sejak kini aku cuma menuruti perkataanmu.”
Biasanya Siao-liong-li sangat dingin, sekarang perasaannya penuh kasih mesra, mata alisnya hingga badannya serta tangan dan kaki pun terasa hangatnya cinta kasih, ia merasa bahagia apabila menuruti perkataan Yo Ko dengan segenap jiwa raganya.
Yo Ko termangu memandangi Siao liong-li agak lama barulah ia berkata dengan pelahan: “Mengapa matamu menggenang air?”
Siao-liong-Ii pegang sebelah tangan anak muda itu dan ditempelkan pelahan pada pipi sendiri, jawabnya kemudian dengan suara lambat: “Aku…. aku sendiri tidak tahu” Selang sejenak ia menyambung pula: “Tentunya disebabkan aku teramat suka padamu.”
“Kutahu kau sedang berduka bagi sesuatu persoalan,” ujar Yo Ko.
Mendadak Siao-liongIi mengangkat kepalanya dan air matapun bercucuran ia mendekap dalam pelukan Yo Ko, katanya dengan tersedu-sedan: “Ko-ji. Ko-ji, kau… kita hanya ada waktu 18 hari, mana bisa cukup.”
Yo Ko mengusap bahu si nona dan berkata: “Ya, akupun bilang tidak cukup.”
“Kuingin kau senantiasa perlakukan aku begini, selamanya, seratus tahun, seribu tahun,” kata Siao-liong-li dengan ter- sedat2. Yo Ko pegang muka Siao-liong-li dan dike-cupnya pelahan bibirnya yang merah delima itu, lalu berkata dengan tegas: “Baik, betapapun harus kubunuh Kwe Ceng dan Oey Yong.”
Ketika ujung lidahnya merasakan asinnya air mata si nona, seketika cinta berahinya bergejolak, serentak dadanya kesakitan, seluruh tubuhnya seakan-akan meledak.
Pada saat itulah tiba-tiba di dengar suara seorang berkata di tempat ketinggian sebelah sana: “Huh, seumpama ingin ber-kasih2an, kan harus mencari tempat yang baik dan tidak perlu di tempat terbuka seperti ini.”
Cepat Yo Ko menoleh, dilihatnya di atas tanjakan bukit sana berdiri Kim-lun Hoat-ong, ln Kik-si, Siau-siang-cu, Nimo Singh dan Be Kong co. Yang membuka suara tadi jelas adalah Kim-lun Hoat-ong.
Kiranya waktu Yo Ko dan Siao-liong li meninggalkan Cui-sian-kok secara ter-buru-buru tanpa menghiraukan orang lain, maka Kim lun Hoat-ong dan rombongannya diam-diam mengikuti di belakang mereka, Saking asyiknya Yo Ko dan Siao-liong li- menumpahkan rasa cinta masing-masing sehingga mereka tidak tahu kalau perbuatan mereka itu telah dilihat seluruhnya oleh Hoat-ong dan rombongannya.
Teringat kepada sikap Kim lun Hoat-ong yang kurang simpatik, beberapa kali sengaja mengadu domba Yo Ko dengan Kongsun Ci dan hampir saja Yo Ko dicelakai, diam-diam Yo Ko merasa menyesal telah bantu menyembuhkan luka Hoat-ong ketika dia bersemadi di pegunungan sunyi tempo hari, tahu begitu tentu Hwesio gede itu sudah dibinasakannya waktu itu.
Melihat sorot mata Yo Ko yang gusar itu, cepat Siao-liong-li menghiburnya: “jangan urus orang macam begitu, orang begitu biarpun hidup selamanya juga tidak lebih bahagia daripada kita hidup selama 18 hari.”
Dalam pada itu terdengar Be Kong-co berseru: “Adik Yo dan nona Liong, marilah kita pergi ber-sama. Pegunungan sunyi begini masakah ada yang menarik?”
Tapi yang diharapkan Yo Ko sekarang hanya dapat berkumpul bersama Siao-liong-li selama masih ada kesempatan, namun orang-orang itu justeru datang mengganggunya, ia tahu Be Kong-co bermaksud baik, maka lantas ia menjawab: “Silakan Be-toako berangkat dahulu,
sebentar Siaute lantas menyusul.”
“Baiklah, lekas ya!” kata Be Kong-co, “Hahaha, kenapa kau ikut ribut?” ujar Kim lun Hoat-ong sambil bergelak ketawa, “Mereka lebih suka bergadang selama 18 hari di pegunungan sunyi ini, tapi kau justeru merecoki mereka.”
Tentang batas waktu 18 hari seperti apa yang dikatakan Kiu Jian-jio itu dapat didengar setiap orang, maka Be Kong-co menjadi gusar mendengar ucapan Kira-lun Hoat-ong itu, mendadak ia menubruk maju dan menjamberet baju di dada Hoat-eng dan mendamperat.
“Bangsat gundul, hatimu sungguh keji! Kita datang ke sini suatu rombongan dengan adik Yo, kau tidak membantu dia saja kudu dimaki, sekarang kau malah mengejek dan mengolok-olok dia lagi, sebenarnya apa kehendakmu?”
“Hm, kau lepaskan tidak?” jengek Hoat-ong.
Tidak, kau mau apa?” jawab Be Kong-co dengan gusar bahkan ia tarik baju orang dengan lebih kencang, Mendadak kepalan kanan Hoat-ong menjotos ke muka lawan.
“Bagus! Kau ingin berkelahi ya?” seru Be Kong-co sambil angkat telapak tangannya yang besar itu untuk menangkap kepalan Hoat-ong.
Tak terduga jotosan Hoat-ong itu ternyata pancingan belaka, tiba-tiba tangan kirinya menolak sekuatnya dipunggung Be Kong-co, kontan tubuh Be Kong-co yang besar itu terus mencelat ke sana dan terguling ke bawah tanjakan bukit itu.
Untunglah lereng bukit itu penuh rumput tebal dan panjang, pula kulit daging Be Kong-co kasar lagi tebal sehingga tidak mengalami luka parah, walaupun begitu tidak urung kepalanya juga benjot dan muka matang biru sampai lama ia tidak sanggup bangun.
Ketika melihat kedua orang mulai bergebrak Yo Ko tahu Be Kong-co pasti akan kecundang, saat ia memburu ke sana, namun sudah terlambat, Be Kong-co sudah telanjur terguling ke bawah, Segera Yo Ko memayangnya bangun, ke dua orang lantas naik lagi ke atas bukit.
Meski dongkol, tapi orang dogol juga punya akal dogoI, ia tahu berkelahi secara berhadapan pasti bukan tandingan Hwesio besar itu, maka sambil berjalan iapun pura-pura merintih kesakitan “Aduh tanganku patah dipukul bangsat gundul!”
Bahwa Kim-Iun Hoat-ong diundang oleh pangeran MongoI, yaitu Kubilai, serta diangkat menjadi Koksu kerajaan MongoI, hal ini memangnya sudah menimbulkan rasa dongkol tokoh-tokoh lain seperti Siau siang-cu, Nimo Singh dan lain-lain, sekarang mereka melihat pula Hoat-ong bertindak secara tidak semena-mena terhadap kawan sendiri, keruan Siau-siang-cu dan Nimo Singh bertambah gusar, segera keduanya saling memberi isyarat.
“Hm, kepandaian Taysu memang hebat, pantas mendapatkan gelar Koksu nomor satu kerajaan MongoI,” demikian Sian-siang-cu lantas mengejek.
“Ah, mana aku…” Hoat-ong berendah hati ia dapat melihat gelagat bahwa kedua orang ini ada maksud menyerangnya sedangkan Yo Ko dan Siao liong-Ii di sebelah lain juga siap-siap akan me-labrak, bagaimana dengan In Kik-si belum lagi diketahui.
Kalau saja dirinya dikerubut, walaupun belum tentu kalah, namun untuk menang jelas juga sukar, Maka sambil berjalan diam-diam iapun mencari akal untuk meloloskan diri.
Diluar dugaan, sambil berlagak merintih ke-sakitan, diam- diam Be Kong-co mendekati belakang Hoat -ong dan mendadak menghantam tepat mengenai kepalanya.
Dengan kepandaian Kim-Iun Hoat-ong yang maha tinggi itu, sebenarnya sukar bagi Be Kong-co untuk menyergapnya, tapi sekarang perhatian Hoat-cng lagi dicurahkan untuk menghadapi kemungkinan kerubutan Yo Ko, Siau-siang-cu dan lain-lain, ia tidak memperhatikan kelakuan si dogol dan akibatnya kena dihantam keras dari belakang.
Hantaman keras itu membuat kepala Hiat-ong kesakitan dan mata berkunang-kunang, dengan murka tanpa pikir Hoat-ong menyikut ke belakang dan tepat dada Be Kong-co tersodok, tanpa ampun si dogol menjerit dan rebah ke bagian depan.
Perawakan Hoat-ong lebih pendek, tubuh Be Kong-co yang tinggi besar itu tepat rebah dan bersandarkan pada pundaknya Tanpa pikir lagi Hoat -ong terus panggul tubuh yang gede itu dan di bawa lari ke bawah bukit.
Tindakan Hoat-ong ini benar-benar diluar dugaan siapapun juga, dengan pedang terhunus Yo Ko yang pertama-tama mengudak ke sana, Kepandaian Kim-Iun Hoat-ong benar-benar luar biasa, meski memanggul seorang raksasa yang beratnya hampir 300 kati, namun larinya secepat terbang, Yo Ko, Siau-liong-li, Nimo Singh dan lain-lain juga memiliki Ginkang yang tinggi, tapi dalam jarak berpuluh meter itu sukar bagi mereka untuk menyusulnya.
Yo Ko mempercepat Iangkahnya, lambat laun dapat ia memperpendek jaraknya dengan Hoat-ong. Ketika sudah dekat, sekonyong-konyong Hoat-ong berhenti dan berpaling,
katanya dengan menyeringai : “Baik, kalian ingin maju sekaligus atau suka satu lawan satu?” - Habis berkata ia terus angkat tubuh Be Kong-co dan mengarahkan kepalanya pada sepotong batu padas yang besar dengan gerakan akan membenturkan kepala Be Kong-co itu.
Lebih dulu Yo Ko mengitar ke belakang Hoat-ong untuk merintangi jalan kaburnya, lalu menjawab: “Jika kau membunuhnya, dengan sendirinya kami akan mengerubuti kau.”
Hoat-ong terbahak-bahak dan melemparkan tubuh Be Kong co ke tanah, katanya: “Orang dogol begini buat apa kumusuhinya?” - Segera ia mengeluarkan senjatanya yang khas, yaitu sebuah roda perak dan sebuah lagi roda tembaga, ia benturkan kedua roda sehingga menerbitkan suara nyaring, lalu berkata pula dengan angkuh: “Nah, siapa diantara kalian yang ingin maju lebih dulu?”
“Hihihi, kalau kalian hendak berlatih, orang dagang seperti diriku lebih suka menjadi peninjau dan menonton saja,” kata In Kik-si dengan tertawa.
Diam-diam Hoat-ong merasa lega, ia pikir kalau orang Persia ini tidak membantu sana sini, maka berkuranglah seorang lawan berat baginya.
Siau-siang-cu paling licin, ia sendiri merasa tidak yakin dapat menandingi Kim-lun H-oat-ong dan sengaja membiarkan orang lain maju lebih dulu untuk menghabiskan tenaga musuh, kemudian barulah ia maju lagi untuk menarik keuntungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar