BAB 58
Kemudian Oey Yong menghadapi semua orang Kay Pang, sambil
mengangkat Lek-tiok-thung, ia berkata: “Sekarang ini, selama Ang Pangcu masih
belum kembali, akulah yang buat sementara waktu mengurus partai kita. Kan
Tiangloo bersama Nio Tiangloo, silahkan kau berangkat untuk menyambut pangcu.
Kamu membawa murid-murid kantung delapan dan menyambutnya di timur sana. Loun
Tiangloo sendiri berdiam di sini untuk beristirahat.”
Suaranya ini wakil pangcu disambut dengan riuh oleh
orang-orang Kay Pang itu.
Kemudian Oey Yong menanya: “Pheng Tiangloo ini tidak
lurus hatinya, coba kamu bilang, dia harus dihukum bagaimana?”
Kan Tiangloo menjura, ia berkata: “Dosa saudara Pheng ini
besar sekali, dia harus dihukum berat, akan tetapi mengingat dulu hari ia telah
membantu npangcu mendirikan jasa besar untuk partai kita, teecu mohon dia
diberi ampun dari hukuman mati.”
Oey Yong tertawa. Ia berkata: “Aku memang telah menduga,
kau bakal memintakan ampun untuknya. Baiklah! Mengingat dia telah tertawa cukup
banyak sekarang dia dipecat kedudukannya sebagai tiangloo, biar dia menjadi
murid kantung delapan!”
Ketiga Tiangloo she Kan, Nio dan Lou itu menghanturkan
terima kasih, Pheng Tiangloo sendiri juga mengucapkan terima kasihnya.
Oey Yong berkata pula: “Sebenarnya sukar mencari ketika
kita untuk berkumpul di sini, kamu semua tentunya ingin berbicara banyak, maka
itu pergilah kamu bicara asal terlebih dahulu kamu mengubur baik-baik dua
saudara Lee Seng dan Ie Tiauw Hin. Aku melihat Lou Tiangloo adalah orang yang
paling baik, selanjutnya semua urusan aku serahkan padanya dan kamu mesti
mendengar segala perintahnya. Aku sendiri, sekarang juga aku mau berangkat.
Nanti di Lim-an kita bertemu pula!”
Begitu ia berkata, begitu Oey Yong mencekal tangannya
Kwee Ceng, untuk ditarik, buat dituntun berlalu turun gunung.
Melihat demikian, semua orang Kay Pang mengiringinya
sampai di kaki gunung, sampai nona itu berdua dibawa perahu dan lenyap di
antara kabut malam, baru mereka kembali ke puncak gunung, di mana dengan
dipimpin Lou Tiangloo, mereka membicarakan segala urusan mereka.
Hari sudah terang ketika Oey Yong dan Kwee
Ceng kembali ke Gak Yang Lauw. Di sana mereka mendapatkan kuda mereka, sepasang
burung rajawali dan burung hiat-niauw menantikan mereka. Semua binatang itu
nampak girang bertemu dengan majikan mereka.
Oey Yong memandang jauh ke timur, ia menyaksikan sang
Batara Surya seperti meloncat keluar dari gelombang telaga Tong Teng Ouw. Sinar
fajar itu sangat indah dan menawan hati.
“Pemandangan begini indah, jangan kita mengasih lewat,”
kata si nona kemudian, tertawa, “Engko Ceng, mari kita naik ke atas!”
Kwee Ceng menurut. Tapi kapan mereka tiba di atas dan ingat
kejadian kemarinnya, pengalaman itu membuatnya mereka bergidik sendiri.
Kejadian itu sangat berbahaya. Hanya keindahan alam membuat mereka dengan cepat
melupai kejadian kemarin.
Belum lama lagi mereka minum arak, mendadak Kwee Ceng
melihat air muka si nona berubah, agaknya ia bergusar.
“Engko Ceng, kau jahat!” katanya tiba-tiba.
Kwee Ceng kaget, “Kenapa?” tanyannya heran.
“Kau tahu sendiri!”
Kwee Ceng berpikir tetapi ia tidak ingat apa-apa.
“Yong-jie yang baik, kau jelaskanlah,” pintanya.
“Baik,” menyahut si nona. “Sekarang aku tanya kau! Tadi malam kita didesak ke jurang, jiwa kita terancam bahaya. Kenapa kau
melemparkan aku? Apakah kau kira kalau kau mati aku bisa hidup? Apakah kamu
masih belum tahu hatiku?”
Habis itu si nona menangis, air matanya jatuh ke dalam
araknya.
Kwee Ceng terharu mendapatkan orang demikian mencinta
padanya. Ia mengulur tangannya, akan mencekal erat-erat tangan kanan nona itu.
Tidak dapat ia mengucapakan sesuatu.
Oey Yong menghela napas perlahan, melegakan hatinya. Ia
sebenarnya hendak membuka mulutnya ketika ia mendengar tindakan kaki di tangga,
lalu terlihat nongolnya satu kepala orang. Keduanya terkejut. Itulah Tiat Ciang
Siu-siang-piauw Khiu Cian Jin.
Kwee Ceng segera melompat bangun, akan menghalangi di
depan si nona. Ia khawatir orang tua itu nanti menyerang.
Tapi Khiu Cian Jin bukannya menyerang, ia hanya
bersenyum, tangannya diangkat, untuk menggapai, setelah mana dia memutar
tubuhnya, untuk lantas turun pula. Kelihatan nyata orang jenaka tetapi dalam
keadaan ketakutan…………
“Dia takut pada kita, inilah aneh!” berkata Oey Yong. “Nanti aku lihat.”
Tanpa menanti jawabannya, si nona lantas lari turun.
Kwee Ceng lekas membayar uang arak, lekas-lekas ia
menyusul. Tapi setibanya di bawah, ia tidak mendapatkan Khiu Cian Jin atau Oey Yong.
Ia menjadi kaget dan berkhawatir. Tentu sekali ia takut nona itu celaka di
tangannya si Tangan Besi. Maka ia lantas memanggil-manggil: “Yong-jie!
Yong-jie! Kau di mana?”
Oey Yong mendengar panggilannya Kwee Ceng itu tetapi ia
tidak menyahutinya. Ia lagi menguntit Khiu Cian Jin, kalau ia bersuara, orang
akan mengetahui dirinya lagi dibayangi. Ia menguntit terus.
Ketika mereka berjalan di pinggir sebuah rumah besar, Oey
Yong sembunyi di alingan tembok di pojok utara. Ia hendak menguntit terus setelah si orang tua jalan sedikit jauh. Akan
tetapi Khiu Cian Jin seorang cerdik, begitu ia mendengar suara Kwee Ceng, ia
menduga si nona lagi mengikutinya. Maka setelah menikung di ujung tembok, ia
juga menyembunyikan dirinya.
Dengan begitu, dua-dua mereka sama-sama bersembunyi.
Dengan begitu, sama-sama mereka berdiam. Yang satu
menantikan yang lain, yang lain menunggui yang satu. Selang sekian lama, karena
dua-duanya tetap bersembunyi, mereka ingin melihat. Keduanya menongolkan kepala
mereka. Apa mau, waktunya tepat, bareng sekali. Maka mata mereka bentrok
sinarnya satu dengan lain. Nyatanya mereka bersembunyi dekat satu dengan lain:
satu di pojok sana, satu di pojok lain - jarak di antara mereka tidak ada
setengah kaki! Tentu sekali, kedua-duanya menjadi sama kagetnya.
Setelah menyaksikan peristiwa di Kun San, Oey Yong jeri
terhadap orang tua itu, yang sekian lama ia mengiranya seorang penipu besar,
yang cuma namanya kesohor tapi gunanya tidak, tidak tahunya, dia sangat lihay.
Khiu Cian Jin sebaliknya jeri terhadap si nona, karena sudah beberapa kali dia
bercelaka di tangan si nona itu. Maka, setelah sama-sama
berseru kaget, sama-sama juga mereka menyingkir masing-masing!
Oey Yong tidak puas. Segera ia kembali, untuk menguntit
pula. Ia pikir jalan memutari rumah besar itu. Karena ia khawatir Khiu Cian Jin
sudah pergi jauh, ia bertindak cepat. Ia ingat tiba lebih dahulu di ujung
tembok timur, untuk dapat menguntit terus.
Juga Khiu Cian Jin berpikir seperti si nona, ia pun jalan
memutar seperti nona itu. Tidak heran kalau lekas juga mereka jadi bersamplokan
pula! Sekarang mereka bertemu di tembok menghadap ke selatan.
Oey Yong sudah lantas berpikir: “Jikalau aku memutar
tubuh dan pergi dari sini, bisa-bisa nanti ia membokong punggungku! Dia sangat
lihay, mana bisa aku mengelit diri?” Maka itu, ia lantas tersenyum. Ia berkata:
“Khiu Locianpwee, dunia ini benar-benar sempit! Kembali kita bertemu di sini…!”
Sambil berkata begitu, si nona pun berpikir: “Baiklah aku mengulur tempo! Aku
mesti memantikan engko Ceng, itu waktu aku tak usah takut lagi……….”
Khiu Cian Jin juga sama berpikir seperti si nona. Dia
tertawa dan berkata: “Itu hari kita berpisah di Liam-an, siapa sangka sekarang
kita bertemu pula di sini. Apakah kau banyak baik, nona?”
Oey Yong heran tak kepalang.
“Bangsat
tua, kau ngaco belo!” katanya di dalam hatinya. “Terang-terang tadi malam kita
bertemu di Kun San, sekarang kau menyebut-nyebut tentang pertempuan di Lim-an itu! Baik, biarlah kau ngoceh tidak karuan! Aku
ada membuat ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat, kenapa aku tidak mau menghajar dia
sebelum dia sadar?” Maka ia lantas berteriak nyaring:
“Engko Ceng, kau hajar punggungnya!”
Khiu Cian Jin kaget. Ia mengira Kwee Ceng muncul di
belakangnya. Ia lantas menoleh.
Oey Yong sangat sebat, berbareng sama teriakannya itu,
tangannya mengeluarkan tongkatnya, dengan apa ia terus menyapu ke bawah!
Juga Khiu Cian Jin sangat licin. Ia menoleh dengan cepat,
ia tidak melihat Kwee Ceng, lantas ia insyaf bahwa ia diperdayakan. Ia pun mendengar bersiurnya angin, maka ia lantas berlompat. Maka bebaslah
ia dari sapuan itu. Akan tetapi Oey Yong tidak sudi mengasih hati. Gagal
sapuannya, ia mengulanginya. Dan ia mengulanginya terus, berulang-ulang, untuk
membikin orang tak dapat bernapas.
Bukan main takutnya Khiu Cian Jin. Dengan terpaksa, ia
berlompatan. Tidak ada ketikanya untuk melesat jauh, guna terus melarikan diri.
Setelah tujuh atau delapan kali lompat-lompatan terus, betis kirinya kena juga
oleh ujung tongkat, tidak tempo lagi, dia menjerit mengaduh dan tubuhnya
terbanting.
“Tahan! Aku hendak bicara!” ia berkata, tangannya
diangkat.
Oey Yong menghentikan serangannya, ia mengawasi sambil
tertawa geli, tetapi begitu lekas orang bangun sambil berlompat, tidak menanti
kaki orang itu mengenai tanah, ia menyapu pula. Di dalam keadaan seperti itu,
Khiu Cian Jin tidak dapat berkelit lagi, maka lagi sekali ia terguling memegang
tanah. Ia bandel sekali, setiap kali jatuh, ia bangun sambil berlompat, maka
itu si nona pun, saban orang berlompat dia membarengi menyapu. Dengan demikian,
enam kali orang she Khiu itu jatuh bangun.
Habis itu, Cian Jin terus mendekam di tanah. Ia tahu
percuma ia berlompat bangun. Ia pun tidak berani berkutik.
“Kau berpura-pura mampus?” kata Oey Yong tertawa.
Khiu Cian Jin menyahuti sambil ia berlompat bangun, hanya
kali ini ia berlompat seraya menarik tali celananya, hingga tali itu putus,
sambil berbuat begitu, ia berteriak-teriak: “Kau mau pergi atau tidak? Hendak
aku melepaskan tanganku!”
Nona Oey melengak. Ia tidak menyangka bahwa seorang ketua
partai mau main gila seperti itu. Tentu sekali ia takut orang membuktikan
ancamannya, itu artinya Khiu Cian Jin meloloskan pakaiannya, maka terpaksa
sambil berludah ia memutar tubuhnya untuk bertindak pergi. Ia lantas mendengar
suara orang tertawa kegirangan, disusul sama suara tindakan kaki. Ketika ia
mencoba menengok, ia melihat Khiu Cian Jin masih memegangi celananya itu,
bahkan sekarang ia lari hendak mengejar.
Nona ini mendongkol berbareng merasa lucu, tetapi ia
terpaksa lekas-lekas lari.
Khiu Cian Jin belum lari jauh ketika ia memikir sudahlag
cukup ia mengusir nona itu, maka hendak ia berhenti mengejar, tetapi justru
itu, Kwee Ceng muncul dari ujung rumah, ia lantas maju menghalang, kedua
tangannya digeraki, tangan kirinya menjaga dada, tangan kanannya diajukan.
“Celaka!”
berseru Khiu
Cian Jin.
Ia lantas berhenti mengejar.
“Hajar dia, engko Ceng!” Oey Yong kata. “Jangan ladeni
ocehannya!”
Kwee Ceng sudah lantas bersiap. Ia tahu Khiu Cian Jin
sebagai pendusta, tapi di Kun San ia telah melihat ketangguhan orang, dia tidak
mau memandang enteng.
“Eh, anak-anak, kau dengar kata-katanya kakekmu!” berkata
Khiu Cian Jin sambil ia tetap memegangi celananya. “Selama beberapa hari ini
kakekmu termaha gegares, dia menjadi mulas perutnya. Sekarang pun kakekmu mau
buang air besar…”
“Engko Ceng, hajar dia!” berkata Oey Yong yang sendirinya
tak berani maju bahkan ia mundur.
“Aku tahu hatimu, anak-anak,” berkata pula Khiu Cian Jin.
“Jikalau kamu tidak diberi ketika akan menyaksikan kepandaiaan kakekmu, kamu
tentu tidak puas, kamu tidak suka menyerah, maka sayang sekali sekarang justru
perut kakekmu lagi sakit, semua yang ada di dalam perutnya mau melonjor keluar.
Baiklah anak-anak yang manis, aku beri tempo padamu. Lagi tujuh hari maka
kakekmu akan menantikan kamu di kaki gunung Tiat Ciang San! Beranikah kamu
pergi ke sana?”
Oey Yong telah menyiapkan seraup jarumnya, hendak
menyerang apabila saatnya telah tiba, akan tetapi ia mendengar orang menyebut
nana gunung Tiat Ciang Pang, mendadak ia ingat huruf-huruf dalam gambar
peninggalannya Kiok Leng Hong, yang bunyinya “Tiat Ciang San-hee” atau “di
bawah gunung Tiat Ciang San” - gunung Tangan Besi. Maka ia lantas menyahuti:
“Baiklah, biarnya tempat itu mirip kedung naga atau gua harimau, tentu kamu
nanti pergikan! Di mana adanya Tiat Ciang San itu?”
“Dari sini kau pergi ke barat,” berkata Khiu Cian in
menyahuti, tangannya menunjuk, kamu nanti melintasi Siang-tek, Sin-cu dan
sungai Goan Kang. Kamu ikutilah sungai itu mudik. Nanti kamu tiba di Louw-kee
dan Sin-kee. Di antara itu ada sebuah gunung tinggi yang berupa seperti lima
jari menunjuk ke langit, nah itulah dia gunung Tiat Ciang San. Gunung itu
sangat berbahaya, kakekmu sendiri sangat lihay, maka itu kedua bocah, umpama
kata kamu takut, baiklah sekarang saja kamu mohon ampun dari kakekmu, lantas
bolehlah tak usah kamu pergi ke sana!”
Oey Yong mendengar keterangan “seperti lima jari menunjuk
ke langit”, ia jadi bertambah girang.
“Baiklah!” ia memberikan jawabannya, “Sekarang aku
memberi kepastian, di dalam tempo tujuh hari kami nanti pergi mengunjungi
gunungmu itu!”
Khiu Cian Jin mengangguk-angguk, atau mendadak ia
berteriak pula: “Celaka!” berulangkali dan tanpa membilang apa-apa lagi, ia
lari keras ke barat!
Kwee Ceng tidak mengubar, bersama Oey Yong ia mengawasi
sampai orang telah pergi jauh. Kemudian ia kata pada si nona: “Yong-jie, ada
satu hal yang bagiku benar-benar tidak jelas. Cobalah kau yang menerangkannya.”
“Apakah itu?” Oey Yong.
“Ini cianpwee she Khiu sangat lihay, kenapa dia gemar
sekali memperdayakan orang?” Kwee Ceng mengutarakan keheranannya. “Kau lihat
sendiri, ada kalanya dia berpura-pura berkepandaian sangat rendah. Di
Kwie-in-chung dia telah meninju dadaku, coba dia mengeluarkan tangannya seperti
tadi malam, mana bisa jiwaku bisa hidup sampai sekarang ini? Apakah dia
berlagak gila saja? Atau apakah dia ada mengundang maksud yang lain?”
Oey Yong berpikir, ia menggigit jari tangannya.
“Dalam hal ini, aku juga sangat tidak mengerti,” sahutnya
sesaat kemudian. “Tadi aku serang dia berulang kali, dia selalu roboh tak
berdaya sama sekali, dia tidak mampu membalas menyerang, bahkan dia lantas main
gila. Apa mungkin dia juga memperdayakan orang diwaktu dia menekuk melengkung
tongkat baja?”
Kwee Ceng menggeleng kepala.
“Dia telah meremas tangannya Lou Toangloo,” dia
menambahkan. “Ketika ia menyambuti seranganku dengan tipu silat Kek San Tah Gu,
itulah ilmu sejati. Ilmu itu tak dapat dipalsukan……”
Oey Yong lantas membungkuk, dengan tusuk kondenya, ia
menggurat-gurat tanah, lalu selang sesaat, ia menghela napas.
“Benar-benar kau tidak dapat menerka tua bangka itu lagi
memberi pertunjukan apa,” katanya. “Biarlah, mari kita pergi ke Tiat Ciang San,
setibanya di sana pasti kita akan mendapatkan pemecahannya.”
“Buat
apa kita pergi ke Tiat Ciang San?” tanya Kwee Ceng, bersangsi. “Benar urusan kita telah selesai tetapi kita harus mencari suhu. Tua bangka
itu pandai main gila, perlu apa kita menangkapnya benar-benar?”
“Engko Ceng, mari kau tanya kau,” kata si nona. “Bukankah
gambar yang ayahku berikan padamu telah basah dan huruf-huruf apakah yang telah
kau lihat di dalam situ?”
“Surat itu telah rusak sampai artinya tak dapat
ditangkap,” kata Kwee Ceng sambil menggoyangi kepalanya.
“Habis, apakah kau tidak memikirkannya?” tanya pula Oey
Yong tertawa.
Kwee Ceng benar-benar tidak dapat memikir atau menduga.
“Ah, Yong-jie yang baik,” katanya. “Kau tentu telah dapat
memikir sesuatu, maka lekaslah kau jelaskan itu padaku!”
Oey Yong lantas menggurat pula di tanah. Ia menulis
huruf-huruf di gambar, yang ia telah ingat dengan baik. Ia berkata: “Di garis
pertama itu, yang kurang mestinya satu huruf Bu. Kalau keempat huruf itu
lengkap, itu mestinya ‘Surat wasiat Bu Bok.’ Sekarang garis yang kedua. Sekian
lama aku tidak dapat pikir itu, sampai tadi si tua bangka menyebutnya. Menurut
dugaanku, huruf itu mestinya ’san’ atau ‘hong’, ialah gunung atau puncak……..”
Kwee Ceng lantas membaca:
“Jadinya, surat
wasiat Bu Bok di gunung Tiat Ciang San.” Ia lantas bertepuk tangan, terus ia berseru: “Bagus! Sekarang mari kita
lekas pergi ke sana! Tiat Ciang Pang bersekongkol sama bangsa Kim, mungkin
sekali surat wasiat Gak Hui itu mereka serahkan pada Wanyen Lieh! Hanya tinggal
yang dua garis lagi…”
Oey Yong tertawa.
“Kau sendiri tidak mau menggunai otakmu, kau paling bisa
mendesak orang,” ia kata. “Aku rasa, garis yang ketiga itu harus dicari dari
kata-katanya si tua bangka bahwa gunung itu mirip lima jeriji tangan. Bukankah
itu berbunyi ‘dibawah puncak jari tengah’?”
Kembali Kwee Ceng menepuk tangan.
“Yong-jie, kau sungguh cerdik, kau cerdik!” ia memuji
pula. “Sekarang
tinggal garis keempat, yang keempat…..”
Oey Yong berdiam, ia berpikir.
“Ini, inilah sukar…..” sahutnya. “….yang kedua apakah
itu?” Ia memiringkan kepalanya, hingga rambutnya turun memain. “Sudahlah, nanti
saja kita pikirkan pula. Sekarang kita pergi dulu.”
Sampai di situ, mereka tidak berayal lagi. Maka mereka
lantas cari kuda dan burung mereka, terus mereka mulai dengan perjalanan ke
arah barat itu, menurut petunjuk Tiat Ciang Sui-siang-piauw Khiu Cian Jin yang
aneh itu, yang sebentar temberang dan jenaka, kemudian kosen benar-benar, lalu
main memutuskan tali pinggang…………
Mula-mula mereka melewatkan Siang-tek, lalu melintasi
Tho-goan, sampai di Goan Kang, atau Goan-leng, mereka jalan ke hulu, dari sini
mereka benar tiba di Louw-kee. Di sini mereka tanya-tanya orang di mana adanya
gunung Tiat Ciang San. Mereka mendapat jawaban yang berupa gelengan kepala.
Mereka menjadi heran, hampir mereka putus asa. Maka terpaksa mereka pergi
mencari rumah penginapan.
Malam itu Oey Yong pasang omong dengan pelayan yang
bicara banyak, tetapi tidak pernah menyebutkan Tiat Ciang San. Maka kemudian si
nona kata: “Semua tempat yang kau sebutkan itu ada tempat-tempat yang umum,
dasar Louw-kee tempat kecil, di sini tidak ada gunung dan airnya yang bagus!”
Dengan “gunung dan air”, si nona maksudkan pemandangan
alam yang indah.
Kata-kata itu yang mengandung hinaan, membikin pelayan
itu tak puas.
“Meskipun Louw-kee tempat keci,” katanya, “Tetapi
pemandangan alam di gunung Kauw Jiauw San mana ada yang dapat menandanginya?”
Oey Yong ketarik sama nama gunung itu, yang artinya
gunung Kuku Kera.
“Di mana letaknya Kauw Jiauw San itu?” ia tanya.
“Maaf,” berkata pelayan itu yang tidak menjawab, hanya ia
mengundurkan diri.
Oey Yong memburu, di ambang pintu, ia menjambak punggung
orang, untuk menarik dia itu kembali ke dalam kamar. Ia terus merogoh keluar
sepotong perak dan meletaki itu di atas meja.
“Kau omong biar jelas, uang ini untukmu,” ia kata.
Ketarik hatinya pelayan ini, ia meraba-raba uang perak
itu.
“Perak begini besar?” katanya.
“Ya,” sahut Oey Yong bersenyum dan mengangguk.
“Baiklah, aku nanti menjelaskannya,” pelayan itu lantas
berkata, perlahan, “Cuma aku minta jangan jiewi pergi ke sana. Di atas gunung
itu ada berdiam sekawanan hantu yang jahat, mereka juga memelihara banyak ular
berbisa. Siapa mendekati gunung itu lima lie, jangan harap jiwanya selamat!”
Oey Yong dan Kwee Ceng
saling memandang, mereka saling mengangguk.
“Kauw
Jiauw San itu terdiri dari lima
puncak, yang semuanya menjulang ke langit mirip tangan kera, bukankah?”
kemudian si nona tanya.
Pelayan
itu girang. “Ah, kiranya nona sudah tahu!” katanya. “Jadi itulah bukan aku yang
menjelaskannya. Lima
puncak itu memang luar biasa sekali.”
“Kenapa
begitu?” tanya Kwee Ceng.
“Lima puncak itu berdiri rapat seperti lima jari tangan,”
menerangkan si pelayan. “Puncak yang di tengah ialah puncak yang paling tinggi.
Puncak-puncak yang lainnya, di kedua sisinya lebih rendah. Yang aneh ialah
setiap puncak itu ada garisnya, mirip sama tiga tekukan jari tangan.”
Mendengar itu, Oey Yong berjingkrak-jingkrak sambil
berseru: “Yang kedua! Yang kedua!”
“Benar! Benar!” Kwee Ceng pun berseru kegirangan.
“Engko Ceng mari kita pergi!” berkata Oey Yong.
“Tempat itu terpisah dari sini tak ada enampuluh lie,
dengan menunggang kuda merah, sebentar saja kita bisa sampai di sana,” berkata
Kwee Ceng. “Aku pikir, baiklah besok saja kita pergi berkunjung ke sana.”
Si nona tertawa.
“Siapa yang mau membuat kunjungan?” katanya. “Kita
mencuri buku!”
“Ah!” seru Kwee Ceng, yang baru sadar. “Kenapa aku tolol
sekali, aku tidak dapat memikir sampai ke situ…!”ä
Dua orang ini tidak mau membikin orang penginapan yang
mengetahui perbuatan mereka, mereka keluar dengan diam-diam dengan melompati
jendela. Dengan hati-hati juga mereka menuntun kuda mereka. Lalu, dengan
menuruti petunjuk pelayan, mereka berangkat menuju ke arah tenggara. Jalanan
ada jalanan pengunungan dan rumputnya tinggi-tinggi, jalanan sukar, tetapi kuda
kecil itu dapat melalui itu. Di dalam tempo satu jam,
sampailah mereka di kaki gunung.
Terlihat jelas lima puncak gunung, yang mirip dengan lima
jari tangan berdiri tegak, terutama puncak yang di tengah-tengah itu.
“Puncak ini sama benar dengan puncak di dalam gambar,”
berkata Kwee Ceng setelah ia mengawasi sekian lama. “Lihat di puncak itu,
bukankah itu pohon cemara?”
Oey Yong tertawa ketika ia menyahuti: “Ya, hanya di sana
kurang seorang jenderal yang lagi bersilat dengan pedang!”
Lantas mereka meninggalkan kuda mereka dan burung
rajawali di kaki gunung itu, mereka jalan memutar ke belakang gunung. Di sini,
di mana tidak tertampak ada orang lain, mereka mulai mendaki dengan berjalan
cepat bagaikan lari. Beberapa lie telah dilewatkan, jalanan menikung, lalu
menuju ke barat. Mereka maju terus. Di sini jalan selanjutnya berliku-liku
sampai di depan mereka, mereka tampak pohon cemara melulu.
Mereka berhenti sebentar, mereka bersangsi, hingga mereka
saling bertanya baik mereka mendaki terus atau melihat-lihat dulu. Selagi
mereka berbicara, si burung merah molos dari tangan baju Oey Yong, terus ia
terbang ke dalam rimba.
Si nona sangat menyayangi burungnya itu, sambil menggapai kepada Kwee Ceng,
ia lari ke arah rimba itu, untuk menyusul burungnya. Hanya ia menjadi bingung
ketika lekas sekali ia kehilangan hiat-niauw yang terbangnya sangat cepat.
Terpaksa ia maju terus dengan Kwee Ceng mengikuti.
Sekira satu lie jauhnya, mereka tiba di satu tempat di
depan mana ada cahaya api. Keduanya saling memberi isyarat, setelah mana mereka
maju dengan perlahan-lahan, enteng tindakannya. Baru beberapa tindak, mendadak
dari samping jalanan, di mana ada pohon-pohon besar, dua orang berlompat
keluar, untuk menghadang di muka mereka. Dua orang itu sama-sama mengenakan
pakaian hitam dan memegang senjata tajam. Hanya mereka itu tidak membuka suara.
Oey Yong lantas berpikir. Ia tahu, kalau mereka bertempur,
sulit untuk melakukan pencurian “buku”, ialah surat wasiatnya Gak Hui itu. Ia
cerdik sekali. Maka segera ia mengeluarkan tiat-siang, ialah tangan besi dari
Khiu Cian in. Ia mengangkat tinggi-tinggi, terus ia bertindak tanpa membuka
suara seperti dua orang itu.
Kapan kedua orang berpakaian hitam itu menampak tangan
besi tersebut, mereka terkejut, dengan lekas mereka memberi hormat, lalu mereka
menyingkir ke pinggiran untuk memberi jalan.
Oey Yong berlaku sebat luar biasa. Tepat orang mundur,
tepat ia menyerang. Dengan tongkatnya, dengan dua gerakan saling susul, ia
menotok kedua orang itu, hingga keduanya roboh tak berdaya lagi, hingga gampang
saja mereka didupak mencelat ke dalam gompolan rumput. Habis itu, dengan cepat
tetapi berhati-hati, mereka maju pula, menghampirkan api yang tadi terlihat
samar-samar.
Nyatalah itu ada sebuah rumah batu dengan lima ruang dan
api munculnya dari dua ruang timur dan barat. Mereka menghamprkan ruang barat
itu. Segara hidung mereka menangkap bau amis. Tapi mereka tidak
menghiraukannya, mereka lantas mengintai di jendela.
Di dalam kamar itu ada sebuah perapian besar, yang apinya
menyala marong. Di atas situ ada sebuah kuali. Dua kacung menanti di samping
perapian itu, yang satunya lagi menolak pompa anginnya, yang lainnya tengah
melemparkan seekor ular yang ia jumput dari dalam karung, di lemparkan ke dalam
kuali itu, di depan kuali ada seorang lain, seorang tua yang duduk numprah
dengan mata dimeramkan, dengan menggunai tenaga besar, ia menghisap menyedot
uap yang mengepul dari kuali itu, uap mana teranglah berhawa panas. Orang tua
itu mengenakan baju kuning pendek. Dan dia bukan orang lain daripa Khiu Cian
Jin.
Selagi ia menyedot hawa masakan ular itu, kepala Khiu
Cian Jin mengeluarkan hawa panas yang nampak bagaikan uap juga, sedang kedua
tangannya yang diangkat tinggi, sepuluh jerijinya pun terlihat mengeluarkan uap
serupa. Habis itu, mendadak ia bangun berdiri, kedua tangannya itu dimasuki ke
dalam kuali. Di waktu begitu, maka si bocah tukang kipas lantas mengompa angin
dengan luar biasa kuat hingga ia memandikan keringat pada dirinya.
Khiu Cian Jin membiarkan tangannya berada di dalam
godokan ular itu, sampai rasa panasnya sudah tak tertahankan, baru ia menarik
kedua tangannya itu. Setelah menarik, ia menyampok sebuah kantung kain yang
tergantung di dalam ruangan itu, sampokannya itu menerbitkan suara nyaring,
tetapi kantungnya sendiri tidak bergoyang.
Kwee Ceng heran. Ia tahu betul isinya kantung itu
mestinya pasir dan isi itu tak ada satu batok. Yang mengherankan ialah kantung
itu tersampok tanpa bergoyang itu. Itulah menandakan lihaynya ilmu silat orang
tua itu.
Oey Yong sebaliknya daripada engko Cengnya itu. Ia tetap
menganggap si orang tak lain lagi bersandiwara, untuk mengelabui orang. Coba ia
tidak lagi memikir untuk mencuri surat wasiat, pastilah ia hendak menjengeki
orang tua itu.
Latihannya Khiu Cian Jin diulangi dan diulangi lagi.
Habis menyampok kantung, ia masuki pula tangannya ke dalam kuali panas itu,
habis itu, ia mengangkat lagi tangannya itu dan menyampok kembali kantung
pasir. Demikian seterusnya.
Setelah mengintai sekian lama, Oey Yong dan Kwee Ceng
pergi ke kamar tidur. Di sini mereka menyaksikan pula hal yang mengejutkan
mereka. Sebab disini mereka menemukan dua orang yang mereka kenal baik, ialah
Yo Kang bersama Bok Liam Cu. Sepasang muda mudi itu lagi bicara dengan asyik,
atau lebih benar, Yo Kang alias Wanyen Kang lagi membujuki si nona untuk mereka
menikah siang-siang. Manis sekali bicaranya putra dari almarhum Yo Tiat Sim
itu. Sebaliknya nona Bok bersikeras meminta si pemuda lebih dulu membalaskan
sakit hatinya terhadap Wanyen Lieh, supaya pangeran bangsa Kim itu dibunuh
mati, untuk melampiaskan dendeman ayah dan ibunya. Katanya dengan begitu baru
ia puas dan hatinya akan menjadi lega dan senang.
“Ah, adik yang baik, mengapa kau tidak dapat melihat
kenyataan?” kata Yo Kang manis.
“Kenapa begitu?” Liam Cu tanya heran.
“Memang! Wanyen Lieh itu terjaga kuat sekali, aku seorang
diri, mana dapat aku membunuh dia begitu gampang, seperti kau menginginkannya?”
menjawab Yo Kang. “Lagianya kalau aku bersendirian saja, mana bisa aku gampang
bekerja? Tidak demikian setelah kau menjadi istriku. Nanti aku ajak kau
menghadap dia lalu dengan mendadak kita bekerja berbareng, menyerang padanya
selagi dia tidak bersiaga. Tidakkah dengan begitu maksud kita dapat tercapai?”
Alasan itu kuat, Bok Liam Cu lantas tunduk. Di antara
sinar lampu, kelihatan nyata kedua belah pipinya yang merah, menandakan
kecantikannya.
Yo Kang melihat hati orang tertarik, ia lantas mencekal
tangan orang yang kiri, yang ia uasp-usap.
Menampak demikian macam, Oey Yong kehilangan
kesabarannya. Ia menganggap Liam Cu terancam bahaya. Dengan sekonyong-konyong
ia berseru: “Enci Bok, jangan kau percaya obrolannya si jahanaman!”
Yo Kang kaget sekali, segera ia meniup api hingga padam,
setelah mana, dengan kedua tangannya, ia memeluk Liam Cu, kemudian, seperti
disengaja seperti bukan, ia menutupi kedua kupingnya nona itu.
Di luar nkamar, di saat Oey Yong hendak membuka suara
pula, ia segera mendengar bentakan yang bengis: “Siapa yang berani lancang
mendaki Tiat Cang San?!” Itulah suaranya seorang tua.
Oey Yong segera berpaling, demikian juga Kwee Ceng. Di
situ ada sinar rembulan, maka tertampak nyata si penegur adalah Khiu Cian Jin.
Sebaliknya orang she Khiu ini pun terperanjat akan mengenali sepasang muda-mudi
itu.
“Khiu Looyacu!”
berkata Oey Yong sambil tertawa. Ia berlaku tabah dan manis. “Aku datang ke mari untuk memberi selamat!
Bukankah aku tidak menyalahi janji kita akan bertemu dalam tempo tujuh hari?”
“Janji bertemu tujuh hari?” berseru Khiu Cian Jin. “Ngaco
belo!”
“Ah,
ah!” Oey Yong tertawa pula. “Kenapakah baru
sekejapan mata saja, kau sudah lantas lupa? Eh, ya, apakah perutmu yang mulas
sudah sembuh ke akar-akarnya?”
Nampaknya
orang tua itu sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi, dalam murkanya, ia
berseru panjang, lalu kedua tangannya melayang ke pundak kiri dan kanan si
nona.
Oey Yong yang tertawa
haha-hihi, ia tidak memperdulikan ancaman itu, ia tidak mau menangkis atau
berkelit. Ia sengaja hendak membikin tangan orang itu terkena duri baju lapis
mustikanya. Akan tetapi ia segera mendengar suara kaget dari Kwee
Ceng: “Yong-jie, minggir!” Menyusul itu, ia mendengar sambaran angin. Ia tahu
tentulah pemuda itu hendak menyerang, untuk menyambuti tangan orang. Tapi ia
terlambat. Disaat ia memikir untuk berkelit, hidungnya telah tercium bau amis,
menyusul mana kedua pundaknya terasa terbentur tenaga keras, maka tanpa merasa,
tubuhnya terhuyung ke belakang dan belum lagi tubuhnya jatuh ke tanah, ia telah
tak dasarkan diri.
Akan tetapi Khiu Cian Jin telah terluka pada kedua
tangannya itu, yang terus mengucurkan darah, hanya ketika serangan Kwee Ceng
sampai, ia masih sempat mengelit tangannya itu, yang terus diputar balik, untuk
dipakai membalas menyerang. Maka bentroklah tangan mereka, hingga keduanya
sama-sama mundur tiga tindak. Itulah menunjuki ketangguhan mereka berimbang.
Kwee Ceng mengkhawatirkan Oey Yong, tidak mau ia melayani
lebih jauh. Ia berlompat kepada kekasihnya itu, sambil membungkuk, ia menyambar
tubuh orang buat diangkat dan terus dibawa lari. Hanya hampir berbareng dengan itu, ia
merasakan angin menyambar punggungnya. Ia tahu itulah penyerangan dari lawan.
Dengan terpaksa, ia menangkis sambil menyerang. Ia memeluk Oey Yong
dengan tangan kiri, tanpa memutar tubuh, ia menyerang ke belakang dengan tangan
kanannya. Itulah jurus” Sin liong pa bwee”, atau “Naga sakti menggoyang ekor”.
Itu pula tipu silat dari Hang Liong Sip-pat Ciang - Delapanbelas Tangan
menakluki Naga - tipu silat yang diperantikan menolong diri dari ancaman
bahaya. Dalam keadaan kesusu itu, ia menggunai tenaga berlipat ganda.
Kapan Khiu Cian
Jin merasakan tangannya bentrok pula sama
si anak muda, tubuhnya terhuyung di luar kehendaknya, berbareng dengan mana
rasa sakit di tangannya itu nelusup hingga ke ulu hatinya. Sekarang baru ia
ingat bahwa di duri bajunya Oey Yong ada racunnya, maka lekas-lekas ia
mengangkat kedua tangannya, melihat di bawah terangnya sinar bulan. Ia tahu
tangannya sendiri mengandung racun, ia menduga racun musuh juga kihay, kalau ia
terluka, mungkin lukanya habet. Karena itu, ia menjadi khawatir.
Kwee
Ceng menggunai ketikanya selagi Khiu Cian Jin memeriksa lukanya itu, ia
memondong terus Oey Yong untuk dibawa kabur, tetapi ia bukannya lari turun
gunung hanya sebaliknya mendaki puncak. Ia baru lari beberapa puluh tindak atau
ia mendengar teriaka-teriakan riuh di belakangnya, ketika ia menoleh, ia
melihat ia lagi dikejar oleh banyak sekali orang yang berpakaian hitam yang
pada membawa obor yang diangkat tinggi-tinggi. Karena tidak ada jalan lain, ia
terpaksa lari naik terus. Sembari lari ia masih mengambil kesempatan memegang
hidung si nona. Untuk kagetnya, ia merasakan orang tidak bernapas.
“Yong-jie,
Yong-jie!” ia memanggil, hatinya cemas. Tapi ia tidak memperoleh jawaban,
hingga ia menjadi bertambah khawatir, hingga ia menjadi bingung, mendengar
teriakan-teriakan riuh di belakangnya, ayal sedikit, pengejar-pengejarnya itu
telah mendatangi dekat. Di antara
mereka itu ada Khiu
Cian Jin.
Hanya jumlah mereka ini tinggal belasan. Tetapi itu menandakan kawanan pengejar
itu lihay semua. Sebab siapa tidak pandai ilmu enteng tubuh dan larinya tak
keras, dia ketinggaln jauh di belakang.
“Jikalau
aku seorang diri, tak sukar untuk aku nerobos turun dari sini,” kata Kwee Ceng
di dalam hatinya. “Sekarang aku lagi membawa-bawa Yong-jie yang lagi terluka
parah ini….”
Di dalam keadaan mogok
seperti itu, tidak ada pilihan lagi untuk pemuda ini. Dengan terpaksa ia lari
naik terus. Ia sekarang tidak lagi memilih jalanan, ia hanya lari dan berlompat
lempang langsung ke atas, ia berpegangan, melapai dengan sebelah tangan. Untung
untuknya, selama di gurun pasir, ia telah melatih diri dalam hal mendaki
gunung. Karena ia pun naik lempang, maka tidak lama, dapat ia meninggalkan pula
kawanan pengejarnya itu.
Kembali Kwee Ceng memeriksa Oey Yong.
Ia meraba si nona. Sekarang ia merasakan hawa sedikit
hangat. Ini membuat hatinya sedikit lega. Hanya tempo dipanggil beberapa kali,
nona itu tetap tidak memberikan penyahutan, tetap ia tak mendusin.
Kemudian
Kwee Ceng dongak, memandang ke atas. Maka ia melihat, puncak sudah dekat. Ia
lantas menggunai pikirannya. Ia percaya sekarang ini ia sudah di kurung di
sekitar puncak itu, jadi perlu sekali ia suatu tempat untuk menempatkan diri,
untuk beristirahat. Terutama perlu sekali Oey Yong dibikin sadar. Ia lantas
melihat ke kiri kanannya. Di sebelah kiri, sejarak duapuluh tembok lebih, ia
melihat samar-samar seperti gua. Tanpa sangsi lagi, ia
lari naik ke atas. Ia benar-benar mendapati sebuah gua. Tanpa jeri sedikit
juga, ia berlari masuk ke dalam situ. Segera ia meletaki tubuh si nona, dengan
lantas ia menekan jalan darah leng-tay-hiat di punggung si nona, guna membantu
jalan pernapasannya.
Di sekitar puncak itu terdengar riuh suara orang-orang
Tiat Ciang pang, yang rupanya mencari terus. Kwee Ceng tidak menghiraukan
mereka itu, ia tetap menolong Oey Yong. Itulah usaha paling utama untuknya.
Selang lamanya sepeminuman teh, mendadak Oey Yong
mengasih dengar seruan perlahan. Ia sadar. Bahkan segera ia berkata:
“Aduh….dadaku sakit….” Suaranya itu perlahan sekali.
Tapi Kwee Ceng girang luar biasa.
“Yong-jie, jangan takut,” ia berkata, menghibur. “Aku ada
bersama kau. Kau beristirahatlah dulu.” Ia terus bertindak ke mulut gua, di
situ ia berdiri tegak, kedua tangannya disilangkan di depan dadanya, bersiap
untuk mengadu jiwa.
Setelah berada di mulut gua itu, hingga ia dapat melihat
luas ke sekitarnya, hati pemuda ini gentar juga. Di pinggang gunung ia seperti
menyaksikan tembok obor. Teranglah orang-orangnya Khiu Cian Jin sudah kumpul
semua. Sejarak satu lie dari dia, ia melihat orang-orang yang nampak rada
tedas, di paling depan berdiri satu orang yang bukan lain daripada Khiu Cian
Jin. Orang banyak itu bergusar dan mencaci tidak hentinya, tetapi tubuh mereka
tidak bergerak, mereka bagaikan dipantek paku, tidak ada seorang jua
diantaranya yang bertindak maju sekalipun satu tindak.
Untuk sementara, Kwee Ceng mengawasi mereka itu. Ia tidak
dapat menerka maksud mereka. Oleh karena tidak ada ancaman bahaya langsung, ia
kembali ke dalam untuk melihat Oey Yong. Disaat ia membungkuk, mendadak ia
mendengar suara apa-apa di belakangnya. Ia membungkuk dengan membaliki belakang
kepada bagian dalam dari gua itu. Ia memutar tubuh dengan segera, kedua
tangannya siap sedia, kedua matanya dipentang lebar. Tapi melihat tempat gelap,
ia tidak nampak suatu apa. Entah berapa dalamnya gua itu.
“Siapa?!” anak muda ini menegur. “Lekas keluar!”
Dari dalam gua itu terdengar suara terbalik, ialah
kumandangnya sendiri. Karena ia berdiam, ia memasang mata dan kuping, tetap
waspada.
Sebentar
kemudian, dari dalam situ terdengar suara batuk-batuk perlahan, lalu itu
disusul sama tertawa yang nyaring, yang membuatnya orang mau tidak mau bangun
bulu romanya. Itulah suaranya Khiu
Cian Jin.
Dengan
sebat Kwee Ceng menyalakan api hwee-cip. Maka segeralah terlihat dari pedalaman
gua itu bertindak mendatangnya satu orang yang tangannya memegang kipas daun,
kumis jenggotnya telah putih semua, karena dialah Tiat Ciang Sui-siang-paiuw
Khiu Cian Jin. Maka kagetnya pemuda itu tak terkira-kira. Bukankah orang itu
barusan ada di sebelah bawah, lagi mencaci kalang kabutan bersama
orang-orangnya? Kenapa adalam sekejap saja dia sudah berada di atas, di dalam
gua ini?
Khiu
Cian Jin lantas tertawa.
“Haha-haha
bocah-bocah!” katanya. “Kamu benar-benar tidak takut mampus! Benar-benar kamu
datang mencari kakekmu! Bagus, sangat bagus!” Habis itu, mendadak dari
tersenyum berseri-seri, ia memperlihatkan roman bengis. Ia pun membentak:
“Inilah daerah terlarang dari Tiat Ciang Pang! Siapa masuk ke mari, dia mesti mati, dia tak dapat hidup pula! Oh,
bocah-bocah, benar-benar kamu sudah bosan hidup!”
Kwee Cengb erpikir keras untuk
dapat menangkap maksud orang yang sebenarnya, atau Oey Yong
telah mendahului padanya. Si nona membaliki kepada orang tua itu: “Jikalau
tempat ini tempat terlarang, kenapa kau masuk ke mari?”
Khiu Cian Jin menyeringai. Terang
ia likat. Hanya sebentar, lantas ia berkata: “Siapa mempunyai ketika senggang
akan adu bicara dengan kamu, bocah-bocah!” Lantas dia bertindak cepat, untuk
nerobos keluar.
Kwee Ceng melihat sikap orang,
ia khawatir Khiu Cian Jin nanti membokong Oey Yong.
Maka ia pikir, baiklah ia turun tangan terlebih dulu atau nanti orang
mendahului mereka. Maka ia berlompat maju, kedua tangannya dikasih turun dengan
berbareng ke pundak jago tua itu. Ia menduga orang bakal membalik tubuh, untuk
menangkis, maka ia sudah bersedia akan meneruskan dengan sikutnya ke arah dada.
Itulah ilmu silat ajarannya Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong
si Mahasiswa
Tangan Lihay,
Manusia Aneh kedua dari Kanglam. Serangan ke
pundak hanya ancaman, yang benar ialah sikut ke dada.
Benarlah
dugaan Kwee Ceng, Khiu Cian Jin menangkis. Hanya ia merasa heran. Tangkisannya
orang tua ini lunak, tak sehebat tadi waktu mereka bentrok tangan. Tapi ia
berpikir cepat. Dengan lantas ia mengubah serangannya, ialah ia membatalkan
sikutnya, ia berbalik menyambar kedua tangan orang, yang ia terus cekuk!
Khiu
Cian Jin kaget, dia bentrok, tetapi sia-sia saja, dia tidak dapat meloloskan
tangannya itu. Maka teranglah sudah, ilmu silatnya masih sangat rendah!
Sekarang Kwee Ceng tidak bersangsi
pula. Ia lantas membuat main kedua tangannya. Mulanya ia menolak, lalu ia
menarik. Tepat tubuh orang maju ke depannya, ia menyambuti dada orang dengan
totokan di jalan darah im-touw-hiat. Maka sedetik itu juga, lemaslah tubuhnya
Khiu Cian Jin, lantas saja dia roboh di tanah, tak dapat dia berkutik lagi,
cuma dari mulutnya segera terdengar suaranya yang lunak: “Ah, tuan cilikku,
disaat sebaga ini, mengapa kau justru bergurau
denganku..?”
Justru itu suara di luar terdengar semakin nyata. Teranglah bahwa
orang-orang Tiat Ciang Pang sudah mendatangi semakin dekat. Rupanya mereka itu
dapat mendaki sedikit demi sedikit.
“Sekarang
ini kau baik-baiklah mengantarkan kami turun gunung!” berkata Kwee Ceng
kepada orang tawanannya itu. Ia berbicara perlahan tetapi bernada mengancam.
Khiu Cian Jin mengerutkan alis dan menggeleng kepala.
“Jiwaku
sendiri terancam bahaya, mana dapat aku mengantarkan kau turun gunung?”
katanya.
“Kau
menyuruh semua murid dan cucu muridmu itu membuka jalan,” berkata Kwee Ceng,
tetap sabar, “Nanti sesampainya di kaki gunung, aku akan membeaskan kau dari
totokanku ini.”
Orang
tua itu mengerutkan alisnya pula.
“Oh,
tuan kecilku,” katanya, suaranya tetap suara tak berdaya, “Kenapa kau masih
terus mendesak aku? Pergi ke mulut gua, kau melihat keluar, nanti kau mengerti
sendiri….”
Kwee Ceng memang heran. Ia
lantas bertindak ke mulut gua. Begitu ia melihat ke bawah, ia berdiri
menjublak. Di sana ia melihat Khiu Cian
Jin, dengan mengibas-ibas kipas
daunnya, masih saja mencaci dan mendamprat seraya membanting-banting kaki,
sebab rupanya ia sangat mendongkol yang dia tidak dapat segera naik ke puncak,
ke gua itu. Ia segera menoleh ke belakang. Di
belakang itu ia melihat Khiu
Cian Jin
tetap lagi rebah tak berkutik!
“Kau…kau…”
katanya, heran sangat. “Kenapa kamu ada dua…?”
“Ah,
engko tolol, apakah kau masih tidak mengerti?” berkata Oey Yong
perlahan. “Memang benar ada dua Khiu
Cian Jin!
Khiu Cian Jin
yang satu lihay ilmu silatnya, Khiu
Cian Jin
yang lain si tukang mengepul! Mereka itu terlahir sama rupa sama macamnya!”
Baru
sekarang si pemuda mendusin. Tapi ia masih menanya Khiu Cian
Jin di hadapannya itu: “Benarkah?”
“Si
nona benar,” katanya. “Katalah dua saudara kembar dan aku si kakak.”
“Habis
siapa Khiu Cian Jin yang sebenarnya?”
“Nama
tak sama, apakah artinya itu?” kata Khiu Cian
Jin, si tukang mengepul ini. “Aku
dipanggil Khui
Cian Jin,
dia juga dipanggil Khiu
Cian Jin…Kami
dua saudara akur sama lain, kami berdua semenjak masih kecil telah memakai satu
nama….”
“Lekas
bilang, siapa yang sebenarnya Khiu
Cian Jin?!”
Kwee Ceng masih mendesak. Ia agak mulai habis
sabar.
“Buat
apa ditegaskan pula?” berkata Oey
Yong. “Tentulah ini yang palsu!”
“Hm!”
Kwee Ceng mengasih dengar suara bengis. “Eh,
tua bangka, siapa namamu yang sebenarnya?!”
Khiu Cian Jin terdesak, ia rupanya
takut juga. Maka ia menyahuti: “Aku samar-samar ingat ayahku almarhum pernah
memberikan nama lain padaku yaitu Cian Lie. Karena nama itu aku dengarnya tak
sedap, aku tidak pakai…”
“Jadilah
kau Khiu Cian Lie!” bentak Kwee
Ceng.
Beda dari sikapnya tadi, sekarang Khiu Cian Lie
tidak lagi menunjukkan roman likat atau takut, dengan lantang ia berkata:
“Orang suka sebut apa, ia menyebut apa, apakah kau berhak mencampurinya?”
Kwee Ceng tidak menggubris
sikap orang ini. Ia menanya: “Kenapa mereka itu mencaci kalang-kabutan? Kenapa
mereka tidak naik terus ke mari?”
“Tanpa
titahku, siapa berani naik ke mari?”
menjawab Khiu Cian Lie, jumawa.
Kwee Ceng ragu-ragu.
“Engko Ceng,”
berkata Oey Yong. “Jikalau tidak dikasih rasa yang
enak, ini bangsat tua yang sangat licin tidak nanti mau mengudal isi perutnya!
Kau coba totok jalan darahnya thian-kiu-hiat!”
Kwee Ceng menurut, ia dekati
orang tua dan menotok.
Jalan
darah thian-kiu-hiat itu letaknya di bawah tenggorakan, di atasan satu dim dari
jalan darah soan-kie-hiat, itulah cabang im-wie dari delapan jalan nadi. Begitu
lekas ia ditotok, begitu lekas juga Khiu Cian Lie menjadi tidak karuan rasanya,
ia merasakan sakit seperti digigit ribuan semut dan gatalnya bukan main. Maka
juga ia menjerit mengaduh-aduh dan mengatakannya: “Apakah ini bukan siksaan
hidup! Bukankah ini perbuatan sangat melanggar perikemanusiaan…?”
“Lekas
menjawab aku!” kata Kwee
Ceng. “Akan aku membebaskan
padamu!”
Kalah
juga orang tua bandel ini.
“Baiklah,”
katanya kemudian sambil menahan siksaan, “Kakekmu tidak sanggup melayani kamu
kedua bocah… Nah, kamu dengarlah…!”
Beginilah
keterangannya si tukang mengepul.
Khiu
Cian Lie dan Khiu
Cian Jin
benar bersaudara kembar, dan semenjak masih kecil, sfat dan roman mereka tak
ada bedanya. Pada waktu Khiu
Cian Jin
berumur tigabelas tahun, secara kebetulan dia dapat menolongi pangcu atau ketua
dari Tiat Ciang Pang. Pangcu itu mau membalas budi, maka ia mewariskan
kepandaiannya kepada penolongnya itu. Cian Jin
luar biasa, dalam umur duapuluh empat tahun, ia telah pandai segala apa bahkan
melebihkan gurunya. Ketika pangcu itu tutup mata, dia mewariskan Tiat Ciang
Pang kepada murid yang berbareng menjadi tuan penolongnya ini. Khiu Cian Jin
gagah dan pintar, di bawah pimpinannya, partainya itu memperoleh kemajuan,
kemudian namanya, terutama gelarannya - Tiat Ciang Sui-siang-piauw, si Tangan
Besi Mengambang di Air - menjadi sangat kesohor sesudah ia menindas rombongan
dari Heng San Pay. Khiu Cian Jin memahamkan Go Tok Sin Ciang Sin-kang, yaitu
ilmu tangan besi yang beracun, tetapi dia tidak turut dalam pertemuan besar
yang pertama di Hoa San, karena itu waktu ia belum menyakinkannya sempurna
ilmunya, ia jeri terhadap Ong Tiong Yang, maka ia mengambil putusan untuk
melatih terus, guna nanti turut dalam pertemuan yang kedua kali. Ia sangat
ingin menjadi “Boe Kong Thian Hee Tee It”, ialah jago nomor satu di kolong
langit ini.
Sementara
itu, setelah usianya meningkat, sifat Khiu Cian Lie menjadi semakin lihay dalam
ilmu mengepul, dia sangat doyan ngebrahol dan mendusta, gemar sekali ia menipu
orang, dan karena roman mereka sama, dia pun dapat membawa aksi jago dengan
baik, sedang kalau mogok dia menggunai kelicinannya seperti dua kali dia menggunai
akal mencoba menjual Oey Yong beramai. Peranannya ini membuat Oey Yong dan Kwee
Ceng menampak kesulitan, sampai di Kun San pemuda she Kwee ini mendapat
perlawanan hebat, sedang Oey Yong baru saja merasai tangan lihay dari Khiu Cian
Jin yang tulen.
Puncak
tengah dari gunung Tiat Ciang San ini dinamakan Tiong Cie
Hong, artinya puncak Jari Tengah.
Inilah tempat menyimpan tulang belulang dari semua ketua Tiat Ciang Pang. Kalau
satu pangcu merasa umurnya bakal sampai, maka ia naik seorang diri ke atas
puncak, untuk menanti penghembusan napasnya yang terakhir. Pula ada satu aturan yang sangat keras dan
mesti ditaati dalam Tiat Ciang Pang itu. Ialah, siapa juga dilarang mendaki dan
memasuki puncak Tiong
Cie Hong
bagian tekukan yang kedua atau tee-jie-ciat, dan siapa melanggar itu, dia tidak
dapat turun lagi dengan masih hidup. Umpama kata terjadi pangcu mati dilain
tempat, mayatnya mesti dibawa oleh salah satu muridnya naik ke puncak itu,
habis itu murid ini mesti membunuh diri di atas puncak. Kebinasaan ini oleh si
murid yang bersangkutan dipandang suatu kehormatan paling besar.
Kwee
Ceng telah heran kalau pihak Tiat Ciang Pang menjadi sangat gusar hingga mereka
mencaci kalang kabutan.
Kenapa
Khiu Cian Lie berani mendaki puncak itu? Ini pun ada sebabnya. Dan sebab itu
begini: “Di dalam rumah atau gua batu itu, ada tersimpan banyak barang
berharga, atau mustika. Sebab setiap satu pangcu yang mau mati, dia tentu naik
dengan membawa satu atau lebih barang berharga, umpama golok atau pedang
mustika, atau barang kuno atau barang permata mulia. Setelah pelbagai pangcu,
maka dianggap di situ telah di situ telah banyak disimpan benda berharga itu.
Khiu Cian Lie bersusah hati karena selama beberapa bulan belakangan ini ia
gagal dengan aksi membualnya, ia tahu itu semua disebabkan ia tidak punya guna.
Maka ia memikir, kalau ia mempunyai senjata mustika, pedang atau golok,
tentulah ia bisa perbaiki kehormatannya yang telah ternoda itu. Hatinya jadi
semakin terdesak kapan ia ingat segera juga ia bakal menghadapi Kwee Ceng dan Oey
Yong, maka disaat terdesak itu, dengan mati-matian dan dengan diam-diam ia naik
ke puncak, untuk mencuri salah satu senjata. Apa lacur, ia justru kepergrok
Kwee Ceng dan Oey Yong sekali dan ia dirobohkan tanpa berdaya.
Mendengar
keterangan itu, Kwee Ceng berpikir, “Tempat ini tempat keramat, pasti musuh
tidak bakal akan naik ke atas. Tetapi juga tidak ada bakal jalannya untuk
turun, cara bagaimana aku bisa lolos dari sini?”
Selagi
ia berpikir keras itu, Kwee
Ceng mendengar suara kawannya: “Engko Ceng,
coba kau masuk ke dalam dan melihatnya.”
“Tapi
marilah aku periksa dulu lukamu,” berkata si pemuda. Ia lantas mencari cabang
kering, untuk membikin obor, sesudah mana ia buka baju si nona, guna melihat
lukanya. Di kedua pundak yang putih
dan halus ada tapak dari lima
jari tangan, tapak yang hitam. Luka itu bukannya enteng, maka syukur, si nona
terlindung baju lapisnya itu.
Kwee Ceng menjadi bingung.
Bagaimana ia dapat mengobati luka ini? Ia ingat luka gurunya disebabkan hajaran
Kam Mo Kang dari Auwyang
Hong. Luka gurunya itu dan luka Oey Yong
ini sama hebatnya. Gurunya tertolong karena ketangguhan tubuhnya dan Oey Yong
karena baju lapisnya.
Tengah
si anak muda ini menjublak, Khiu Cian Lie menperdengarkan suaranya pula: “Eh,
bocah, omonganmu barusan apa omongan angin busuk belaka? Kenapa kau tidak
lekas-lekas membebaskan kakekmu dari totokanmu?”
Kwee Ceng tidak dengar itu. Ia
masih berdiam saja.
Adalah Oey Yong yang mendengarnya.
“Eh,
engko tolol, kenapa kau nampaknya gelisah?” berkata si nona tertawa. “Kau bebaskanlah
tua bangka itu!”
Baru
sekarang Kwee
Ceng mendusin. Ia menotok orang
tua itu di jalan darah thian-kut-hiat, dengan begitu, lenyaplah rasa gatalnya
Khiu Cian Lie, tetapi karena jalan darah im-touw-hiat masih tertutup, ia tetap
rebah di tanah.
Kwee Ceng meninggalkan orang
tua ini. Ia pergi mencari cabang cenara yang panjang dua kaki, yang ia nyalakan
sebagai obor, sembari memegangi itu, ia kata kepada Oey Yong:
“Yong-jie, aku mau masuk ke dalam untuk melihat-lihat. Kau takut atau tidak?”
Oey Yong tengah merasakan
panas dingin bergantian, hebat penderitaannya ini, tetapi karena khawatir Kwee Ceng
nanti berduka untuknya, ia menahan diri.
“Di sini ada si tua bangka menemai aku, aku takut
apa?” katanya, tertawa. “Kau pergilah!”
Dengan
lantas Kwee Ceng bertindak pergi. Ia berlaku
hati-hati. Sesudah jalan melewati dua tikungan, ia tiba di depan mulut gua yang
besar. Jadi di dalam gua itu ada sebuah guanya lagi. Bahkan gua ini lebih luas lima lipat daripada yang
di luar. Kalau yang di luar tadi ada bekas-bekasnya di gali, gua ini wajar.
Di dalam situ ada
terdapat duapuluh lebih rangka tulang-belulang, dengan pelbagai sikapnya juga,
ada yang duduk, ada yang rebah atau tidur. Di
sisi setiap rangka itu ada terletak senjata seperti golok, senjata rahasia,
perabaot bersantap, juga rupa-rupa barang permata. Kwee Ceng
mengawasi itu semua. Jadi benar keterangannya Khiu Cian Lie tadi. Ia kata dalam
hatinya, “Beberapa puluh pangcu ini, dulu harinya semua gagah perkasa, tapi
sekarang semua tinggal tulang-belulangnya, semua tinggal di sini dalam
kesunyian….”
Pemuda
ini bukan seorang loba, melihat semua senjata dan permata itu, tidak pernah
timbul keserakahannya, ia tidak menghiraukan itu, ia hanya memikirkan Oey Yong.
Sesudah melihat-lihat sekian lama, ia memikir untuk keluar lagi. Atau mendadak
ia melihat rangka yang terakhir, di tangan siapa masih tercekal sebuah kotak
besi yang nampaknya ada suratnya. Ia lantas menghampirkan, ia menyuluhi dengan
obornya.
“Rahasia
memukul pecah bangsa Kim,” demikian ia membaca surat itu, yang diukir di tutup
kotak atau peti besi kecil itu. Maka tercekatlah hatinya. Segera ia ingat.
“Bukankah ini surat wasiatnya Gak Bu Bok?” Maka ia mengulurkan tangannya,
mengambil kotak itu. Begitu menyentuh, dengan bersuara, tangan itu menyambar.
Kwee
Ceng kaget sekali, syukur ia keburu lompat mundur.
Gagal
menyambar, tangan itu jatuh ke tanah, berkumpul menjadi satu.
Dengan
membawa kotak itu, Kwee
Ceng lari keluar. Ia segera nancap
obornya di tanah, ia lantas memondong Oey Yong,
untuk dikasih bangun, setelah mana, di depan si nona ia membuka tutupnya kotak.
“Aku
menemui ini,” ia memberitahukan.
Isi
peti besi itu ada dua jilid buku tulisan tangan, satu tebal, yang lain tipis.
Kwee Ceng mengambil lebih dulu
yang tebal. Nyata isinya itu ada salinan Han See Tiong atas pelbagai laporan
atau usulnya Gak Hui yang dihanturkan kepada rajanya, ada syair dan lainnya
buah kalam jenderal gagah perkasa dan setia itu, bunyinya pun penuh dengan
penguraian kesetiaan dan semangat kegagahan. Maka ia menjadi sangat kagum, hingga
ia menghela napas. Yang paling menawan hati ialah Gak Hui tidak pernah melupai
rakyat.
Oey Yong pun kagum sekali.
“Nah,
coba periksa buku yang satunya,” kemudian Oey Yong minta.
Kwee
Ceng menurut, ketika ia melihatnya, lantas ia menjadi sangat girang.
“Ini
dia ilmu perang yang ditulis sendiri oleh Gak Bu Bok!” katanya berseru. “Dan
inilah buku yang Wanyen Lieh si bangsat senantiasa ingat sekalipun di dalam
mimpinya! Sungguh Thian murah, kitab ini tidak sampai jatuh di dalam tangannya
jahanam itu…”
Ketika
anak muda ini membuka halaman yang pertama, ia lantas membaca delapanbelas
huruf besar, yang artinya: “Mengutamakan pemilihan - Rajin berlatih - Adil
dalam persenan dan hukuman - Jelas dengan perintah - Keras dengan tata tertib -
Bersama-sama senang dan susah” Jadi inilah pokok untuk memilih punggawa atau
serdadu, untuk mendidik dan mengatur tentara.
Selagi Kwee Ceng hendak membalik
lainnya, tiba-tiba ia mendengar berhentinya cacian orang-orang Tiat Ciang Pang,
yang tadinya terdengar sekarang hanyalah suara angin.
Berdua Oey Yong dan si anak muda
memasang kuping. Mereka heran bukan main.
Tidak
antara lama barulah terdengar suara lainnya. Itulah suara seperti sa-sus atau
sar-ser, perlahan tetapi berisik ramai. Ketika Khiu Cian Lie mendengar itu, ia
lantas mengeluh berulang-ulang, dengan suara sedih, ia berkata: “Bocah-bocah,
hari ini jiwa kakekmu dihabiskan di tangan kamu…”
Kwee Ceng tidak meladeni orang
tua itu, ia lompat keluar, tiba di mulut gua, setelah melihat ke bawah, ia
menjadi kaget sekali. Mulanya ia tercengang. Baru sekarang ia mengerti bunyi
suara yang luar biasa itu. Di antara
sinar rembulan terlihat ribuan atau puluahn ribu ular berbisa lagi merayap naik
ke atas puncak, semua sambil mengangkat kepala dan mengulur, mengulat-uletkan
lidahnya!
“Mereka
tidak berani memasuki tempat keramat ini, sekarang mereka menyerang dengan
ular,” kata Kwee
Ceng dalam hatinya. Tidak ayal
lagi, ia lari ke dalam untuk memodong Oey Yong.
Khiu
Cian Lie melihat perbuatan si anak muda, lantas ia mementang bacotnya mencaci.
Kwee Ceng tidak mau melayani
tukang membual itu, hanya ketika ia lewat di sampingnya, ia mendupak pinggang
orang dua kali. Dengan itu ia membebaskan totokan di jalan darah im-touw-hiat.
Habis itu, dengan membawa kotak besinya, ia merayap naik ke atas puncak sekali.
Gua
itu berada di tekukan yang kedua, untuk tiba di puncak tertinggi, jaraknya
masih lagi beberapa puluh tombak. Kwee Ceng tidak menghiraukan itu, ia
membesarkan hatinya, ia mengerahkan tenaganya, ia mengeluarkan kepandaiannya
marayap naik. Ketika akhirnya ia tiba di atas, tempo ia melongok ke bawah, ia
mendapatkan rombongan ular itu telah masuk ke dalam gua. Ia tidak memikirkan
lagi Khiu Cian Lie, yang ia percaya, sebagai orang Tiat Ciang Pang, tentu tahu
ilmu untuk mengusir atau membinasakan ular.
Begitu
lekas ia sudah merebahkan Oey Yong, Kwee Ceng lantas berpikir keras. Ia
memikirkan dengan cara bagaimana ia dapat menolong nona itu dari makhluk
marayap yang jahat itu. Ia sendiri tidak takut. Ia sudah makan darah ular dan
ular takut kepadanya.
“Kau
nyalakan api dulu,” berkata Oey Yong, yang dapat menerka kesulitannya si anak
muda. “Bikinlah api itu mengurung mengelilingi kita.”
“Ah,
benar tolol!” berseru Kwee Ceng. “Kenapa aku tidak dapat memikirkan itu?”
Ia
lantas mengumpulkan cabang kering, ia menumpuk itu mengelilingi Oey Yong
dan dirinya. Ia bekerja cepat. Lantas ia menyulut api di kedua tempat, di sama
tengah, agar api itu memakan masing-masing kedua jurusan. Selama itu tidak
terdengar apa-apa. Maka tak terkira kagetnya waktu tahu-tahu sejumlah ular,
yang menjadi seperti pelopor sudah muncul di depan mereka. Dalam kagetnya ia
mengeluh, tetapi ia tidak menjadi menjublak karenanya. Dengan sebat ia sambar Oey Yong
untuk dipanggul.
Oey Yong terkejut melihat
ular muncul begitu banyak, tetapi yang hebat untuknya ialah baunya yang amis sekali, hingga ia lantas merasa mual, hampir ia
muntah-muntah. Dengan lantas ia menutup rapat kedua matanya. Itu waktu, ia
merasakan sakit di dadanya. Inilah sebab Kwee Ceng
berlompatan ke sana
ke mari sambil mulutnya tak hentinya
berseru menggebah ular itu. Lama-lama, ia menjadi pusing, ia seperti luka akan
diri sendiri. Ia baru sadar ketika hidungnya dapat mencium bau harum. Maka ia
lekas membuka pula matanya. Segera ia melihat berkelebatnya satu sinar merah.
Untuknya girangnya, ia mengenali hiat-niauw, burung apinya, yang terbang datang
dari arah timur.
Tadi
burung itu terbang karena ia lantas mencium bau ular, maka ia pergi untuk
memuasi nafsu daharnya, sekarang ia melihat cahaya api, dia terbang dengan
niatan mandi, maka tepat sekali datangnya itu selagi majikannya terancam
bahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar