Kembalinya Pendekar Rajawali 29
Maka suguhan orang tak ditolaknya, ia berdiri
dan terima
pemberian itu terus diminum.
Siapa duga, pada saat itu juga mendadak Siu-bun
ulur
jarinya dan menutuk ke pinggangnya, Siu-bun
sengaja tutupi
pandangan orang lain dengan tubuhnya, ia
pikir asal sekali
tutuk kena “Jiau-yao-hiat” tentu Yo Ko akan
berteriak-teriak
dan tertawa-tawa tak keruan di hadapan orang
banyak.
Namun waktu ia mendekati lebih dulu Yo Ko
sudah
memperhatikan gerak-geriknya, jangankan Yo Ko
sudah
berjaga-jaga, sekalipun mendadak musuh
membokong, dalam
tingkat kepandaian Yo Ko sekarang juga sukar
hendak
merobohkannya, jika turuti watak Yo Ko yang
tak mau kalah
sedikitpun dengan orang lain, pasti kontan
dia batas hantam
orang, kalau tidak bikin Siu-bun tersungkur,
tentu pula “Jiau-
yao-hiat” ia tutuk balik.
Cuma sesudah percakapannya dengan Oey Yong
itu, hatinya
sedang gembira, maka ia menddak tak enak
merobohkan
orang di hadapan orang banyak, ia pikir
jeIek2″ Bu-si Hengte
adalah anak murid paman dan bibinya.
Sebab itu, diam-diam ia hanya jalankan
darahnya secara
terbalik menurut ilmu ajaran Auwyang Hong.
Betul saja, ketika jari Siu-bun ditutukkan,
meski Hiat-to
yang diarah sangat jitu, tetapi Nyo to anggap
seperti tak
terjadi apa-apa saja.
Sekali kena, bukannya Yo Ko roboh atau
tertawa seperti
yang diharapkan, bahkan pemuda ini hanya
tersenyum terus
duduk kembali ke tempatnya tadi. Keruan saja
Bu Siu bun
terheran-heran. terpaksa iapun kembali
kemejanya.
“Koko, kenapa ilmu ajaran Supek tidak
manjur?” demikian
ia tanya saudaranya dengan suara tertahan.
“Apa? Tak manjur?” sahut Bu Tun-si bingung
Lalu Siu-bun
menceritakan pengalamannya tadi
“Ah, tentu jarimu tak benar atau Hiat-to yang
kau arah
menceng,” ujar Tun-si.
“Menceng? Mana bisa, lihat nih,” bantah
Siu-bun.
Berbareng ia angkat jarinya terus bergaya
menutuk ke
pinggang sang kakak, baik gayanya mau pun
tenaganya,
semuanya tepat dan jitu, sedikitpun tidak
salah seperti apa
yang diajarkan Supek mereka.
“Ha, tadinya aku kira It-yang-ci tentu
permainan yang
amat lihay, huh agaknya juga tak berguna,”
terdengar Kwe Hu
mencemoohkan dengan mulut menjengkit.
Karena sindiran ini. Tun-si merasa penasaran
mendadak ia
berdiri dan menuang dua cawan arak, iapun
mendekati Nyo
Ko.
“Nyo-toako, sudah lama kita tak bertemu kini
bersua
kembali, sungguh harus dibuat girang, maka
siaute juga ingin
suguh kau secawan,” demikian ia kata.
Diam-diam Yo Ko tertawa geli, adiknya sudah
ke bentur
batu, apa sang kakak juga ingin ketumbuk
tembok?
Maka iapun tak menolak, dengan sumpit jepit
dulu
sepotong daging dan tangan yang lain ia
sambut arak
suguhan orang sambil ucapkan terima kasih.
Tun-si lebih kasar lagi dari pada sang adik,
tanpa tedeng
aling-aling lagi mendadak ia ulur tangan
kanan dan secepat
kilat menjojoh ke pinggang Yo Ko.
Sekali ini Yo Ko tak perlu jalankan darahnya
secara
terbalik lagi, dengan tenang saja ia luruskan
tangannya yang
memegang sumpit itu, ia gunakan potongan
daging sampi
yang dia cepit tadi sebagai tameng di
pinggangnya yang
diarah.
Saking cepatnya Yo Ko bertindak, maka sama
sekali Tun-
si tak berasa, ketika jarinya kena menjojoh,
dengan tepat
menembus potongan daging sampi itu.
“Minum arak dengan jojoh daging sampi paling
enak,” kata
Yo Ko tertawa sambil meletakkan sumpitnya.
Waktu Tun-si angkat tangannya, ia lihat
daging sampi itu
masih mencantol di jarinya dengan air kuwah
masih menetes,
ia menjadi serba salah, dibuang sayang, tak
dibuang bikin
malu saja, ia pelototi Yo Ko dengan gemas,
lalu cepat-cepat
kembali ke mejanya.
Melihat jari orang bertambah sepotong daging,
Kwe Hu
menjadi heran.
“Apakah itu?” demikian ia tanya.
Tentu saja Tun-si merah jengah tak bisa
menjawab.
Begitulah selagi pemuda ini serba salah
kehilangan muka,
tiba-tiba terlihat seorang pengemis tua telah
angkat cawan
arak sambil berdiri.
Nyata pengemis tua ini bukan lain adalah Loh
Yu-ka,
pangcu baru Kay-pang.
“Seperti saudara2 sudah mendengar tadi,
Ang-lopangcu
telah mengirim perintah bahwa bangsa Mongol semakin
nyata
akan menjajah ke selatan, maka para saudara
diminta
berjuang mati-matian untuk melawan musuh,”
demikian ia
angkat bicara sesudah ajak minum para
kesatria. “Kini para
kesatria dari seluruh jagat hampir semua
berkumpul di sini
semua orang berhati setia negara, maka kita
harus
merundingkan suatu daya-upaya untuk mencegah
penjajah
bangsa asing itu, dan supaya peristiwa
Ong-Khong
(maksudnya kedua raja Song yang ditawan
negeri Kim) tak
terulang lagi.”
Karena beberapa patah kata ini, keadaan
hadirin seketika
ramai lagi dan sama menyatakan akur.
Dalam pada itu terlihat seorang tua dengan
jenggot putih
perak telah berdiri juga.
“Kata pribahasa, ular tanpa kepala tak bisa
berjalan,
percuma saja kalau kita hanya ber-cita2
tinggi, tetapi tiada
seorang pemimpin yang bijaksana, tentu
pekerjaan kita akan
sia-sia,” demikian ia kata, suaranya lantang
bagai genta, “Kini
para kesatria berkumpul di sini, harus kita
angkat seorang
yang bernama tinggi, seorang gagah yang
dihormati semua
orang untuk menjadi pemimpin dan kita semua
akan
mendengar perintahnya.”
Seketika suara sorak-sorai riuh gemuruh lagi,
segera pula
ada yang berteriak: “Baiklah, engkau orang
tua saja yang
menjadi pemimpinnya !”
“Ya, tak perlu lagi angkat yang lain !”
sambung yang lain.
Tetapi orang tua itu bergelak tertawa.
“Haha, aku si tua bangka ini terhitung
manusia macam
apa?” ,demikian katanya, “Selama ini di
kalangan Kangouw
mengakui ilmu silat lima tokoh : Tang-sia,
Se-tok, Lam-te,
Pak-kay, Tiong-sin-thong adalah yang paling
tinggi Tiong-sin-
thong Ong Tiong-yang sudah lama meninggal
Tang-sia dan
Se-tok bukan orang golongan kita, sedang
Lam-te jauh di
negeri Tay-li, dengan sendirinya ketua
serikat ini kecuali Pak-
kay Ang-locianpwe tiada yang lebih sesuai
lagi.”
Memang Ang Chit-kong adalah jago utara yang
tertinggi
dan betul-betul memenuhi harapan semua orang,
maka tepuk
tangan segera gemuruh lagi tanpa ada yang
berlainan
pendapat.
“Ya, Ang-locianpwe sudah pasti cocok untuk
menjadi
Ketua serikat para kesatria ini, kecuali dia,
siapa lagi yang bisa
taklukkan semua orang dengan ilmu silatnya
dan melebihi
orang Iain dengan budi pekertinya?”
Demikian tiba-tiba di antara orang banyak itu
ada seorang
lagi yang berteriak, meski suaranya sangat
keras, tetapi waktu
pandangan orang diarahkan ke tempat datangnya
suara,
orangnya ternyata tidak kelihatan. Kitanya
orang itu adalah
seorang cebol yang sangat pendek hingga
tertutup oleh orang
di sekitarnya.
“Siapakah itu yang bicara ?” segera ada yang
bertanya.
Dengan cepat si cebol itu melompat ke atas
meja, maka
tertampaklah perawakannya yang tingginya
tiada satu meter,
umurnya dekat setengah abad, sebaliknya
wajahnya
bercahaya penuh semangat.
Sebenarnya banyak yang hendak tertawai si
cebol ini,
tetapi demi nampak sinar matanya yang tajam,
suara tertawa
mereka telah tertelan kembali mentah-mentah.
“Cuma tindak-tanduk Ang-lopangcu sangat aneh,
dalam
sepuluh tahun sukar untuk ketemu dia sekali
kalau dia orang
tua tak di tempat, lalu jabatan Ketua serikat
ini harus
dipegang siapa?” demikian si cebol itu
berkata pula.
Betul juga pikir semua orang. “Scgala apa
yang kita
perbuat kini seluruhnya adalah untuk membela
tanah air,
sedikitpun kita tak punya kepentingan
pribadi, maka kita harus
angkat seorang Ketua muda, supaya kalau
Ang-lopangcu tidak
ada, kita lantas tunduk pada wakilnya ini.”
“Bagus, bagus !” demikian terdengar
sorak-sorai lagi
dengan ramai. Lalu banyak lagi yang
berteriak-teriak
mengemukakan calonnya, “Kwe Ceng, Kwe-tayhiap
saja!”
“Paling baik Loh-pangcu !”
“Liok-cengcu, tuan rumah ini saja!”
“Tidak, sebaiknya Ma-kaucu dari
Coan-cin-kau!”
“Atau Pangcu dari Thi-cio-pang saja!”
Begitulah terdengar
seruan yang simpang-siur, Selagi suasana rada
kacau, tiba-
tiba dari luar ruangan kelihatan bayangan
orang berkelebat,
empat tojin telah lari masuk dengan cepat,
ternyata mereka
adalah Hek Tay-thong, Sun Put-ti, Thio
Ci-keng dan In Ci-peng
berempat.
Melihat mereka sudah pergi dan mendadak
kembali lagi,
Yo Ko menjadi heran, sebaliknya Kwe Ceng dan
Liok Khoan-
eng girang luar biasa.
Lekas-lekas mereka meninggalkan meja dan
menyambutnya.
“Ada musuh hendak mengacau ke sini, kami
sengaja
datang memberi kabar, hendaklah kalian
berlaku waspada dan
berjaga-jaga,” demikian Hek Tay-thong bisiki
Kwe Ceng.
Kong-ling-cu Hek Tay-thong dalam Coan-cin kau
terhitung
jagoan kelas terkemuka, di kalangan Kangouw
orang yang
berilmu silat lebih tinggi dari dia bisa
dihitung dengan jari, kini
cara mengucapkan berita itu kedengarannya
rada gemetar
dan kuatir, maka Kwe Ceng pikir tentu yang
akan datang ini
pasti musuh tangguh adanya.
“Apa Auwyang Hong?” demikian Kwe Ceng tanya
dengan
suara rendah.
“Bukan, tetapi orang Mongol yang aku sendiri
pernah jatuh
ditangannya itu,” sahut Hek Tay-thong.
“Pangeran Hotu?” kata Kwe Ceng dengan hati
lega.
Dan sebelum Hek Tay-thong buka suara lagi,
mendadak di
luar terdengar suara tiupan tanduk yang
ber-talu2, menyusul
mana diselingi pula oleh suara genta yang
terputus-putus
nyaring.
“Sambut tetamu agung!” segera Liok Khoan-eng
berteriak.
Baru saja berhenti suaranya, tahu-tahu di
depan ruangan
pendopo itu sudah berdiri beberapa puluh
orang yang
beraneka macam lagaknya, ada yang tinggi
besar, ada yang
pendek kecil.
Para kesatria yang hadir ini sebenarnya lagi
sorak-sorai
dalam pesta pora yang ria, kini mendadak
nampak munculnya
orang begitu banyak, mereka rada heran,
tetapi mereka
sangka orang juga hendak menghadiri
Eng-hiong-yan ini,
setelah melihat tiada kenalan di antara
orang-orang itu,
kemudianpun tak diperhatikan lebih jauh.
Berlainan dengan Kwe Ceng yang sudah tinggi
ilmu silatnya
dan tajam penglihatannya, segera ia tahu
gelagat tidak
sewajarnya.
“Jang datang ini terlalu keras, mereka tidak
mengandung
maksud baik,” demikian ia bisiki sang isteri
Oey Yong.
Habis itu iapun berbangkit suami isteri
mereka bersama
Liok Khoan-eng lantas menyambut keluar.
Kwe Ceng mengenali orang yang bermuka cakap
berdandan sebagai putera bangsawan itu adalah
Pengeran
Hotu dari Mongol, sedang padri yang berjubah
merah dan
berkopiah emas, mukanya kurus, adalah
Ciangkau atau ketua
Bit-cong dari Tibet, Darba namanya.
Kedua orang ini dahulu sudah pernah
dijumpainya di
Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san, meski
mereka terhitung
jago kelas satu, tetapi ilmu silatnya masih
lebih rendah dari
pada dirinya, maka tak perlu ditakuti.
Cuma di tengah-tengah kedua orang ini masih
berdiri lagi
seorang padri Tibet yang juga tinggi kurus
dan berjubah
merah pula, kepalanya gundul licin berminyak,
ubun-ubun
atau mercu kepala tampak dekuk ke dalam.
Melihat macamnya orang, Kwe Ceng dan Oey Yong
telah
saling pandang, pernah mereka dengar dari Oey
Yok-su yang
berbicara tentang ilmu silat aneh kaum Lama
sekte Bit-cong di
Tibet bahwa kalau sudah terlatih sampai
tingkatan yang
sangat tinggi, mercu kepala bisa sedikit
dekuk ke dalam, kini
melihat ubun-ubun orang ini begitu dalam
dekuk-nya, apa
mungkin ilmu silatnya sudah sampai tingkatan
yang sukar
diukur?
Tetapi di kalangan Kang-ouw kenapa selama ini
hanya
terdengar Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay
dan Tiong-sin-
thong, sebaliknya tak pernah dengar bahwa di
Tibet terdapat
seorang jago seperti dia ini?
Karena itulah, mereka berdua diam-diam
berlaku waspada,
lalu mereka membungkuk memberi hormat sambil
mengucapkan selamat datang dan menyilakan
duduk.
Segera Liok Khoan-eng memberi tanda perintah,
para
centeng segera sibuk menyediakan meja baru
dan daharan2.
Bu-si Hengte sudah biasa membantu bapak dan
ibu guru
mereka mengurusi pekerjaan rumah tangga,
Iebih2 Bu Siu-
bun yang serba cepat dan giat, maka kedua
saudara Bu
segera pimpin para centeng itu mengatur
tempat dan
sediakan beberapa meja yang terhormat buat
tamu agung,
mereka pun minta maaf pada tetamu yang duluan
supaya
suka menggeser sedikit tempat luang.
Dalam pada itu, melihat Yo Ko ikut-ikut hadir
dalam
perjamuan ini, dalam pandangan Kwe Hu rasanya
kurang
senang, “Hm, kau terhitung Eng-hiong macam
apa? Meski
Enghiong seluruh jagat mati ludas juga tidak
bergilir pada
dirimu?” demikian ia membatin. Habis ini ia
kedipi Bu Siu-bun
sambil mulutnya merot-merot ke jurusan Yo Ko.
Maka
tahulah Siu-bun maksud si gadis, segera Yo Ko
didekatinya,
“Nyo-toako, tempat ini hendaklah digeser
sedikit,”
demikian ia kata.
Habis ini, tanpa menunggu apa Yo Ko bilang
boleh atau
tidak, segera ia suruh centeng memindahkan
mangkok sumpit
si Yo Ko ke suatu tempat di pojok.
Tentu saja hati Yo Ko terbakar, tetapi iapun
tidak bicara,
melainkan diam-diam ia tertawa dingin.
Sementara itu terdengar Pengeran Hotu telah
buka suara.
“Suhu, ini kuperkenalkan engkau kepada dua
Enghiong
dari Tionggoan yang namanya gilang-gemilang…”
Kwe Ceng terkejut, pikirnya: “Oh, kiranya
paderi Tibet
tinggi kurus ini adalah gurunya.”
Dalam pada itu dilihatnya paderi Tibet itu
sedang
manggut-manggut, kedua matanya melek tidak
meram tidak,
pangeran Hotu lantas menyambung lagi: “dan
yang ini adalah
Kwe Ceng, Kwe-tayhiap yang pernah menjadi
Ceng-se-
goanswe di negeri Mongol kita, Dan yang ini
lagi adalah Ui-
pangcu.”
Ketika mendengar Hotu menyebut
“Ceng-se-goanswe”
mendadak paderi itu pentang kedua matanya
hingga
menyorotkan sinar tajam, ia pandang beberapa
saat pada Kwe
Cing, habis itu kelopak matanya menurun pula
setengah
menutup, sebaliknya terhadap Pangcu dari
Kay-pang ternyata
sama sekali tak diperhatikannya.
“lni adalah guruku, orang Tibet menyebutnya
Kim-lun
Hoat-ong dan oleh Hong-thayhou (ibusuri)
negeri MongoI
sekarang diangkat dengan gelar Houkok Taysu,”
demikian
Pangeran Hotu berkata lagi dengan suara
lantang, (Houkok
Taysu = imam besar pelindung negara)
Karena kerasnya suara, seluruh hadirin dengan
jelas dapat
mendengarnya hingga semua orang merasa heran
dan saling
pandang, kata mereka dalam hati: “Baru saja
kita berunding
untuk melawan penjajahan Mongol ke selatan,
kenapa
mendadak lantas datang seorang Koksu (iman
negara) dari
Mongol?”
Kwe Ceng sendiri karena memang kurang cerdas,
maka
seketika ia menjadi bingung cara bagaimana
harus melayani
tetamu yang tak diundang ini, tiada jalan
lain ia hanya
menuang arak dan mengajak minum pada mereka
seorang
demi seorang sambil mengucapkan selamat
datang dan kata-
kata kagum.
Setelah tiga keliling menyuguh arak,
tiba-tiba Pangeran
Hotu berdiri, waktu kipas lempitnya ia pentang,
tertampaklah
pada kipasnya terlukiskan setangkai bunga
Bo-tan yang indah
sekali.
“Kedatangan kami guru dan murid hari ini
untuk
menghadiri Eng-hiong-yan ini walaupun
dilakukan dengan
muka tebal karena tidak diundang, tetapi
mengingat bisa
berkumpul dengan para kesatria begini banyak,
terpaksa
kamipun tak pikirkan lagi malu atau tidak,”
demikian ia bicara.
“Perjamuan demikian ini memang susah
diadakan,
waktunya pun susah dicari, kini kebetulan
kesatria dari seluruh
jagat berkumpul di sini, menurut pendapatku
harus diangkat
seorang Beng-cu (ketua serikat) dari para
kesatria untuk
memimpin Bu-Iim dan menjadi kepala para orang
gagah di
bumi ini, entah bagaimana pikiran kalian
dengan pendapatku
ini?”
“Usulmu memang tepat,” seru si cebol tadi,
“Tadi kami
baru saja angkat Ang-lopangcu sebagai Beng-cu
dan kini
sedang pilih wakil ketuanya, bagaimana
pendapat saudara
tentang soal ini?”
“Ang Chit-kong sudah lama mati, kini pilih
setan sebagai
Beng-cu, apa kau anggap kami ini setan juga?”
sela Darba
tiba-tiba sambil berdiri
Karena kata-katanya ini, seketika para
kesatria itu menjadi
gempar, lebih-lebih para anggota Kay-pang
luar biasa
gusarnya, mereka pada berteriak-teriak.
“Baikiah, jika Ang Chit-kong belum mati,
sekarang juga
silakan dia tampil ke muka untuk bertemu,”
kata Darba pula.
Loh Yu-ka tak bisa kuasai dirinya lagi,
sambil angkat
tinggi2 tongkat bambu “Pak-kau-pang”, segera
ia berdiri.
“Selamanya Ang-pangcu berkelana dengan tiada
tentu
kediamannya, kau bilang mau bertemu dengan
dia, apa kau
anggap gampang permintaan mu ini?” demikian
debatnya.
“Hm,” tiba-tiba Darba menjengek “Jangankan
mati-
hidupnya Ang Chit-kong sekarang sukar
diketahui, sekalipun
dia berada di sini sekarang juga dengan ilmu
silatnya maupun
namanya, apa bisa dia memadai Suhuku Kim-Iun
Hoat-ong?”
Hendaklah dengarkan para kesatria yang hadir
ini, Beng-
cu pilihan Eng-hiong-yan hari ini, kecuali
Kim-lun Hoat-ong
tiada orang lain lagi yang bisa menjabatnya.”
Sampai di sini, para kesatria menjadi tahulah
maksud
tujuan kedatangan orang-orang ini, terang
mereka mendapat
tahu bahwa Eng-hiong-yan ini bakal mengambil
keputusan
yang tidak menguntungkan pihak Mongol, maka
mereka
sengaja datang mengacau dan ikut berebut
kedudukan Beng-
cu, jika dengan ilmu silatnya Kim-lun
Hoat-ong berhasil
merebut kedudukan Beng-cu, meski para orang
gagah perkasa
dari Tionggoan tak takluk pada perintahnya,
namun sedikitnya
sudah melemahkan kekuatan bangsa Han, dalam
perlawanannya terhadap Mongol.
Dalam keadaan demikian, seketika mereka sama
memandang Oey Yong, mereka kenal kepandaian
Oey Yong yang
banyak tipu akalnya, mereka pikir walaupun
tetamu berpuluh
orang ini setinggi langit ilmu silatnya,
tetapi menghadapi
lawan ribuan orang yang hadir ini, tak peduli
satu lawan satu
ataupun secara keroyokan, pasti pihak kita
tak ikan
terkalahkan Maka biarlah dengarkan saja
perintah Ui-pangcu
serta menurut petunjuknya.
Melihat gelagatnya, Oey Yong sendiri sudah
tahu utusan ini
sukar diselesaikan tanpa menggunakan
kekerasan, maka
segera iapun mulai bicara.
“Para kesatria yang hadir di sini memang
sudah angkat
Ang-lopangcu sebagai Beng-cu, sebaiknya Taysu
(maksudnya
Darba) ini mendukung Kim-lun Hoat-ong sebagai
calonnya,
Kalau Ang-lopangcu ada di sini, sebenarnya
bisa saksikan
beliau mengukur tenaga dengan Kim-lun
Hoat-ong! tetapi
beliau justru pergi-datang tiada ketentuan
tempatnya, pula tak
menyangka bahwa hari ini bakal kedatangan
tamu agung
hingga tak bisa menunggu di sini sebelumnya,
kelak kalau
beliau tahu akan kejadian ini, pasti dia akan
menyesal tak
terhingga.
Baiknya di antara Ang-lopangcu maupun Kim-lun
Hoat-ong
masing-masing, sudah menurunkan anak murid.
Nah,
sekarang biarlah murid kedua belah pihak saja
yang
mewakilkan guru mereka untuk bertanding?”
Sebagian besar para kesatria dari Tionggoan
ini cukup
kenal kepandaiannya Kwe Ceng yang maha
tinggi, pula
umurnya sedang kuat-kuatnya, jago-jago
tertinggi pada jaman
ini agaknya tiada lagi yang bisa menangkan
dia, sekalipun Ang
Chit-kong sendiri yang datang juga belum
pasti bisa lebih kuat
dari pada Kwe Ceng, kini kalau bertanding
dengan murid Kim-
lun Hoat-ong, maka kemenangan sudah pasti
dalam
genggaman sendiri, tidak nanti bakal kalah,
maka seketika
mereka sama berseru akur, hingga genteng
rumah tergetar
oleh suara sorak gemuruh mereka.
Tetamu yang duduk di ruangan belakang ketika
mendapat
kabar itu, ber-duyun2 membanjir keluar juga
hingga seluruh
ruangan pendopo sampai keluar pintu penuh
orang.
Karena pihaknya kalah suara, maka Kim-lun
Hoat-ong
menjadi terdesak oleh suasana itu.
Pangeran Hotu sendiri sudah pernah saling
gebrak dengan
Kwe Ceng di Tiong-yang-kiong dahulu, ia insaf
kepandaiannya
masih dibawah orang.
Begitu pula silat Suhengnya, Darba, juga
sebaya dengan
dirinya, tidak peduli siapa diantara mereka
yang maju pasti
akan dikalahkan Tetapi bila menolak usul Oey
Yong itu,
kedudukan Beng-cu terang tak bisa lagi
direbut. Karena itu, ia
menjadi bingung tak berdaya.
“Baik, Hotu, kau boleh maju coba bertanding
dengan
murid Ang Chit-kong,” tiba-tiba Kim-Iun
Hoat-ong berkata.
Ternyata paderi yang jauh tinggal di Tibet
ini menyangka
muridnya, Pangeran Hotu pasti jarang ada
tandingannya,
paling banyak hanya kalah terhadap Tang-sia,
Se-tok dan lain
jago angkatan tua saja, sama sekali tak
diketahuinya bahwa
muridnya itu justru pernah terjungkal di
bawah tangannya
Kwe Ceng.
Karena perintah sang guru itu, mau-tak-mau
pangeran
Hotu mengiakan, namun ia toh belum berdiri.
“Suhu,” demikian ia berbisik, “murid Ang
Chit-kong itu
terlalu hebat, Tecu mungkin sukar mengalahkan
dia, jangan-
jangan akan bikin malu nama baik Suhu saja.”
Karena penuturan ini, Kim-lun Hoat-ong rada
kurang
senang.
“Hm, masakah murid orang itu kau tak bisa
mengalahkannya?” demikian jengeknya, “Lekas
maju sana !”
Hotu betul-betul serba salah, ia jadi
menyesal juga,
tadinya tidak bilang terus terang pada sang
guru tentang
pengalamannya dahulu, ia menyangka dengan
kepandaian
gurunya yang tiada tandingannya di kolong
langit, menghadiri
perjamuan Eng-hiong-yan, kedudukan Beng-cu
pasti akan
direbutnya dengan mudah saja, siapa tahu ia
sendiri justru
disuruh maju melawan Kwe Ceng.
Begitulah, sedang ia ragu-ragu, tiba-tiba
seorang laki-laki
gemuk dengan pakaian bangsa Mongol telah
mendekatinya
dan bisik-bisik beberapa kata di telinganya,
Karena kisikan ini,
seketika Hotu menjadi girang, tiba-tiba ia
berdiri, ia pentang
kipasnya dan meng-kipas-kipas.
“Selama ini kudengar Kay-pang memiliki
semacam
kepandaian pusaka yang disebut
Pak-kau-pang-hoat, bahwa
ilmu itu adalah kepandaian paling lihay yang
menjadi
kebanggaan Ang-Iopangcu,” demikian ia berkata
dengan
lantang. “Kini Siau-ong (pangeran yang
rendah) yang tak
becus ini ingin gunakan sebuah kipas untuk
mematahkannya.
Kalau aku bisa patahkan ilmu pusakanya itu,
suatu tanda
kemahiran Ang Chit-kong tidak lebih hanya
sebegitu saja !”
Waktu orang itu kisiki Hotu mula-mula Oey
Yong, tak
memperhatikan, tetapi mendadak orang
menyinggung tentang
Pak-kau-pang-hoat dan hanya beberapa patah
kata saja, Kwe
Cing yang ilmu silatnya paling kuat di pihak
sendiri segera
dikesampingkan, ia menjadi heran siapa yang
kemukakan
tipu-daya itu.
Waktu ia menegas, maka tahulah dia, kiranya
laki-laki
gemuk itu bukan lain adalah Peng- tianglo,
satu diantara
empat Tianglo atau tertua, dalam Kay-pang.
Kini Peng-tianglo
memihak Mongol hingga sudah tukar dandanan
bangsa
Mongol puIa, hanya dia ini saja yang tahu bahwa
Pa kau-
pang-hoat tidak pernah diturunkan kepada
orang Iain kecuali
Pangcu dari Kay-pang sendiri, sedangkan Kwe
Ceng meski
tinggi kepandaiannya, Pak-kau-pang-hoat ini
ia justru tak
paham.
Kini Hotu singgung2 Pak-kau-pang-hoat, terang
ia
menantang terhadap dirinya yang menjadi
pangcu lama dan
Loh Yu-ka yang menjadi Pangcu baru, Loh Yu-ka
belum
lengkap mempelajari ilmu permainan pentung
itu dan belum
dapat dipergunakan menghadapi musuh, dengan
sendirinya ia
sendirilah yang harus maju.
Kwe Ceng cukup tahu Pak-kau-pang-hoat sang
isteri
tiadatandingannya di kolong langit ini,
menduga dan yakin
pasti bisa kalahkan Hotu, cuma beberapa bulan
paling akhir ini
semangat sang isteri selalu lesu dan tenaga
kurang,
kandungannya baru tumbuh, Sekali-kali
tak-boleh bergebrak
dengan orang.
Karena itu, segera ia melangkah maju ke
tengah.
“Pak-kau-pang-hoat Ang-lopangcu selamanya tak
sembarangan digunakan, baiknya kau belajar
kenal saja
dengan Hang-liong-sip-pat-ciang ajaran beliau
ini,” segera ia
menantang.
Melihat langkah Kwe Ceng kuat bertenaga,
diam-diam Kim-
Iun Hoat-ong terkejut, meski matanya
kelihatan meram tidak
melek tidak “Orang ini memang nyata bukan
lawan lemah,”
demikian ia membatin.
Sementara itu Hotu telah bergelak ketawa.
“Haha, di Cong lam-san dahulu Siau-ong sudah
pernah
berjumpa sekali denganmu, tatkala itu kau
mengaku anak
murid Ma Giok dan Khu Ju-It, kenapa sekarang
memalsukan
diri sebagai muridnya Ang Chit-kong lagi?”
tegurnya pada Kwe
Cing.
Dan sebelum orang menjawab, Hotu mendahului
menyambung lagi: “Ya, satu orang angkat
beberapa guru juga
lumrah Cuma hari ini adalah gilran Kim-lun
Hoat-ong
bertanding dengan Ang Chit-kong, meski tinggi
ilmu silatmu,
tapi kau dapat dari beberapa perguruan,
rasanya sukar
memperlihatkan ilmu kepandaian sejati dari
Ang-lopangcu.”
Demikian debatnya panjang lebar dan beralasan
juga,
dasar Kwe Ceng memang tak pandai bicara, ia
menjadi Iebih
tergagap tak bisa menjawab, sebaliknya para
kesatria lain
seketika menjadi ramai sambil
berteriak-teriak.
“Kalau berani, hayo, bertanding saja dengan
Kwe-tayhiap!
Kalau tak berani boleh lekas kempit ekor dan
enyah dari sini!”
“Kwe-tayhiap adalah anak murid lurus
Ang-lopangcu, kalau
dia tak bisa mewakilkan gurunya siapa lagi
yang cocok
mewakili ?”
“Kau boleh coba rasakan enak tidaknya Hangliong-sip-pat-
ciang, habis itu baru kau cicipi lagi
Pak-kau-pang-hoat juga
belum terlambat!”
Begitulah teriakan mereka yang simpang-siur.
Namun pangeran Mongol itu tiba-tiba tertawa
mengadah,
waktu ia tertawa diam-diam ia kerahkan tenaga
dalamnya
hingga suara “hahaha” yang kera2 lantang
bikin genting
rumah seakan-akan tergetar dan suara ribut
para kesatria itu
sama terdesak tenggelam.
Tentu saja semut orang sangat terkejut
sungguh mereka
tidak nyana dengan umur semuda orang dan
berdandan
sebagai bangsawan, ternyata memiliki Lwekang
begini lihay.
Karena itu seketika mereka bungkam dan tenang
kembali.
“Suhu, agaknya kita telah kecewaan orang.”
kata Hotu
tiba-tiba pada Kim-lun Hoat-ong. “Tadinya
“kita menyangka
hari ini benar-benar diadakan Eng-hiong-yan,
maka tanpa
kenal capek datang dari jauh untuk ikut
serta, siapa tahu yang
ada di sini tidak lebih hanya manusia-sia
yang tamak hidup
dan takut mati. Lebih baik kita lekas pergi
saja, kalau sial
sampai menjadi Beng-cu manusia ini kelak
diketahui oleh
orang-orang gagah di seluruh jagad dan
mentertawai kau sudi
menjadi pemimpin kawanan “kantong nasi” ini,
bukankah
cuma bikin noda nama baik engkau saja?”
Semua orang tahu Hotu sengaja memancing agar
Oey Yong
mau tampil ke muka sendiri, cuma kata-katanya
yang terlalu
menghina itu membikin semua orang sangat
marah. Tanpa
pikir lagi, sekali geraki pentungnya, segera
Loh Yu-ka
melangkah maju.
“Cayhe adalah Pangcu bara dari Kay-pang, Loh
Yu-ka,”
demikian ia perkenalkan diri,
“Pak-kau-pang-hoat belum ada
1/10 bagian yang kupahami maka sesungguhnya
belum
mampu untuk di pergunakan Tetapi kau berkeras
ingin cicipi
rasanya pentung, baiklah, biar kupentung kau
beberapa kali.”
Sebenarnya ilmu silat Loh Yu-ka sangat bagus,
tetapi Pak-
kau-pang-hoat atau ilmu pentung pemukul
anjing biar lengkap
dipelajarinya, namun tidaknya sudah menambah
tidak sedikit
kekuatannya,” kini dilihatnya umur Hotu baru
30-an tahun, ia
menduga orang sekalipun mendapatkan ajaran
guru kosen,
belum tentu latihannya sudah cukup ulet,
ditambah iapun tahu
kesehatan Oey Yong terganggu, tidak peduli
kalah atau
menang, tidak nanti Oey Yong disuruh maju
untuk menghadapi
bahaya itu.
Di lain pihak Hotu hanya berharap tidak
bergebrak dengan
Kwe Ceng, orang lain boleh dikatakan tiada
yang dia takuti
karena itu, segera ia sambut baik majunya Loh
Yu-ka.
“Selamat, selamat, Loh-pangcu,” demikian ia
pun memberi
hormat.
Sementara itu centeng Liok-keh-ceng sudah
menyingkirkan meja2 hingga merupakan suatu
kalangan
pertandingan di tengah, mereka menambahi
lilin pula hingga
keadaan terang benderang bagai siang hari.
“Silakanlah !” seru Hotu segera.
Berbareng itu tiba-tiba kipasnya mengebas,
seketika angin
kipasnya menyamber ke muka Loh Yu-ka, di
antara angin
kipasnya ternyata, membawa bau wangi.
Kuatir kalau angin itu membawa hawa beracun,
lekas-
lekas Loh Yu-ka mengegos.
Namun Hotu cepat luar biasa, mendadak
kipasnya dilempit
kembali hingga berwujud sebatang potlot
peranti Tiam-hiat
yang panjangnya 7-8 dim, terus ditutukannya
ke iga lawan.
Tetapi tutukan ini ternyata tak dihiraukan Loh
Yu-ka,
sebaliknya ia angkat pentung bambunya terus
menyabet kaki
orang.
Pak-kau-pang-hoat ini memang bagus luar
biasa, arah
yang dituju juga sama sekali tak bisa diduga
orang, maka
ketika pangeran Hotu melompat enteng hendak
berkelit, tak
terduga pentung bambu itu mendadak memutar
balik secepat
kilat hingga betisnya kena tersabet, ia
terhuyung-huyung dan
lekas-lekas melompat mundur, dengan begitu
baru ia bisa
berdiri tegak lagi.
Senang sekali para kesatria melihat Loh Yu-ka
berhasil
hajar orang.
“Ha, anjingnya kena gebuk, tuh !”
“Nah, biar kau rasakan enaknya
Pak-kau-pang-hoat !”
Begitulah mereka bersorak memberi semangat
pada Loh
Yu-ka.
Di lain pihak Hotu menjadi merah jengah
karena
kekalahan itu, ketika dengan enteng ia
membalik tubuh, cepat
sekali ia balas hantam orang dengan tangan
kirinya.
Namun tahu-tahu Loh Yu-ka telah menendang
habis itu
pentungnya menyamber kian kemari dengan
perubahan2 yang
sukar ditangkap.
“Nyata Pak-kau-pang-hoat memang bukan omong
kosong
belaka !” diam-diam Hotu terperanjat oleh
ilmu permainan
pentung itu.
Maka tak berani lagi ia pandang rendah
lawannya, ia
kumpulkan seluruh semangat dan tempur orang
sungguh-
sungguh.
Betapapun juga memang belum masak betul Loh
Yu-ka
mempelajari ilmu permainan pentung itu,
beberapa kali
dengan gampang saja sebenarnya ia bisa
jungkalkan lawan,
tetapi karena kalah ulat hingga serangannva
gagal di tengah
jalan.
Menyaksikan itu, diam-diam Oey Yong dan Kwe
Ceng meraba
sayang,
Sesudah belasan jurus lagi, lambat laun
kelemahan Loh
Yu-ka menjadi tertampak lebih terang, Meski
Yo Ko duduk di
pojok ruangan itu, tapi setiap gerak tipu
orang dapat
dilihatnya semua.
Kini nampak keadaan toh Yu-ka itu, diam-diam
ia ikut
kuatir, Untung pangeran Hotu kena dihajat
betisnya pada
permulaan ia menjadi jeri terhadap,
Pak-kau-pang-hoat yang
aneh ini, maka tak berani ia terlalu mendesak
kalau tidak,
sejak tadi Loh Yu-ka tentu sudah dirobohkan.
Melihat gelagatnya makin jelek, Oey Yong
menjadi kuatir,
selagi ia hendak teriaki Loh Yu-ka undurkan
diri mendadak Loh
Yu-ka menggunakan suatu tipu yang disebut
“sia-ta-kau-pwe”
“atau menggebuk punggung anjing dari samping,
begitu
pentung bambu berkelebat, dengan sengit ia
hantam dan
tepat kena pipi kiri Hotu.
Tentu saja pangeran Mongol itu malu tercampur
sakit,
tanpa pikir ia pegang pentung orang, menyusul
mana sebelah
tangannya terus menghantam, maka terdengarlah
suara
“bluk” yang keras, tepat dada Loh Yu-ka kena
dipukul sekali.
Habis itu, sebelah kaki Hotu menyerampang
pula, segera
terdengar lagi suara “krak”, nyata tulang
kaki Loh-Yu-ka telah
patah, darah segar menyembur pula dari
mulutnya, orangnya
terus terguling roboh.
Dua anak murid Kay-pang berkantong delapan
lekas-lekas
menubruk maju untuk membangunkan Pangcu
mereka.
Melihat cara turun tangan Hotu begitu keji,
semua orang
merasa gusar sekali.
Sementara itu dengan memegang pentung bambu
hijau
mengkilap yang baru dapat merampas itu,
Pangeran Hotu
tampak berseri-seri saking senangnya.
“Ha, Pak-kau-pang-hoat yang menjadi pusaka
kebanggaan
Kay-pang ternyata tidak lebih hanya begini
saja,” demikian ia
menyindir.
Karena maksudnya ingin hina perkumpulan kaum
jembel
pembela keadilan ini, segera ia pegang kedua
ujung tongkat
bambu itu, segera penting bambu itu hendak
ditekuk patah di
hadapan orang banyak
Tak ia duga, sekonyong-konyong pandangannya
menjadi
silau, tahu-tahu seorang wanita muda lemah
lembut telah
berdiri di hadapannya.
“Nanti dulu !” terdengar wanita itu berseru.
Nyata, ia
bukan lain daripada Oey Yong adanya.
Nampak gerak tubuh orang begitu cepat. Hotu
kaget.
“Kau…” demikian baru ia buka mulut mendadak
Oey Yong ulur
tangannya dan kedua matanya hendak
dicoloknya.
Lekas Hotu menangkis, karena itu dengan
enteng pentung
bambu itu telah berpindah tangan direbut
kembali Oey Yong.
Tipu gerakan yang dipakai Oey Yong ini
disebut “Kau-go-
toat-theng” atau merebut tongkat dari mulut
anjing, termasuk
satu di antara tipu Pak-kau-pang-hoat yang
paling lihay, tipu
ini bisa berubah tanpa bisa diraba sebelumnya
hingga betapa
hebat lawannya pasti tak dapat hindarkan
diri.
Begitulah, diiringi suara sorak sorai para
kesatria,
kemudian Oey Yong kembali ke tempatnya semula
dan taruh
tongkat bambu di sampingnya, Hotu yang
ditinggalkan
sendirian terpaku di tengah kalangan dengan
rasa kikuk dan
serba salah.
Sungguh, meski ilmu silatnya sudah terhitung-tingkat
tertinggi, tetapi dengan cara bagaimana
sebenarnya Oey Yong
dapat merebut pentung bambu dari tangannya,
hal ini bikin
dia tetap bingung, ia pikir apakah wanita ini
bisa ilmu sihir.
Dalam pada itu suara orang menyindir
mencemoohkan
yang riuh ramai, wajah gurunya lama kelamaan
pun
bersungut, sungguh gusar Hotu sukar
dikatakan.
Tetapi iapun seorang sangat cerdik, dengan
suara keras
segera ia berseru: “Ui-pangcu, tongkat-mu itu
sudah
kukembalikan, sekarang silakan maju lagi buat
coba-coba.”
Dengan kata-katanya ini, betul saja ada orang
menyangka
tadi bukannya Oey Yong yang merebut, tetapi
Hotu yang
kembalikan tongkat bambu itu untuk minta
bertanding secara
teratur. Hanya beberapa orang yang sangat
tinggi
kepandaiannya yang dapat melihat sebenarnya Oey
Yong telah
merebut pentung itu dengan ilmu silat yang
maha tinggi.
Di samping sana Kwe Hu menjadi dongkol
mendengar
kata-kata Hotu itu, selamanya belum pernah
gadis ini melihat
seorang berani berlaku kurangajar terhadap
ibunya, maka
tanpa pikir, dengan cepat pedangnya telah
dilolosnya.
“Hu-moay, biar aku gantikan kau maju,” kata
Siu-bun tiba-
tiba.
Tun-si juga berpikir sama, tanpa janji kedua
saudara Bu
itu telah melompat ke tengah berbareng.
“lbu guruku adalah orang terhormat,” demikian
kata yang
satu, lalu yang lain menyambung: “mana sudi
dia bergebrak
dengan manusia liar seperti kau ini ?”
Dan yang duluan segera sambung lagi: “Kau
boleh coba
dulu ilmu kepandaian Siauya (tuan muda) ini!”
Melihat umur kedua saudara Bu ini meski muda,
tetapi
gerak-geriknya tangkas dan kuat, tampaknya
pernah
mendapat ajaran guru pandai, diam-diam Hotu
berpikir:
“Kedatangan kami hari ini memang bertujuan
pamer
kepandaian untuk jatuhkan nama jago silat
bangsa Han, kalau
bisa bertarung beberapa babak adalah lebih
baik. Cuma
mereka berjumlah lebih banyak, kalau terjadi
keroyokan pasti
sukar untuk menang.”
Karena pikiran itu, segera iapun berkatalah:
“Para
Enghiong yang hadir, kedua anak bawang ini
ingin bertanding
dengan aku, jika Siau-ong terima
tantangannya, mungkin
orang akan bilang aku orang tua akali anak
kecil, tetapi bila
tak bertanding, rasanya seperti jeri terhadap
dua bocah saja,
baiknya begini saja, kita janji dulu
bertanding tiga babak,
pihak mana bisa menangkan dua babak, itu
berarti menang
dan memperoleh kedudukan Beng-cu.
pertandingan Siau-ong
tadi dengan Loh-pangcu boleh tak usah
dihitung, sekarang
juga kita mulai pertandingan yang baru,
bagaimana pendapat
kalian dengan usulku ini ?”
Beberapa kata-kata itu diucapkan dengan
mengagulkan
kedudukannya dan menonjolkan pihaknya yang
suka
mengalah.
Maka Kwe Ceng dan Oey Yong lantas bisik-bisik
berunding
dengan para tetamunya, mereka mengusulkan Kwe
Ceng, Hek
Tay-thong dan si Su-seng, sastrawan murid
It-teng Taysu itu
sebagai tiga jago mereka, si Su-seng maju
dalam babak
pertama melawan Hotu, Hek Tay-thong babak
kedua
menempur Darba dan Kwe Ceng terakhir
menandingi Kim-lun
Hoat-ong.
Dengan barisan jago mereka ini apa pasti
menang atau
tidak, sesungguhnya merekapun belum yakin,
jika ilmu silat
Kim-lun Hoat-ong benar-benar tinggi luar
biasa hingga Kwe
Cing tak mampu menandingi boleh jadi tiga
babak akan kalah
semua, hal ini benar-benar suatu kekalahan
yang
mengenaskan.”
Karena itu semua orang menjadi ragu-ragu tak
berani
ambil keputusan.
“Aku ada suatu akal dan pasti akan menang.”
tiba-tiba Ui
Yong berkata.
Girang sekali Kwe Ceng, selagi ia mau tanya,
tiba-tiba
didengarnya angin senjata sudah samber
menyamber, ia lihat
Bu-si Hengte dengan pedang mereka sudah mulai
menempur
Hotu dengan serunya.
Kwe Ceng, Oey Yong dan si Su-seng murid
It-teng Taysu
merasa kuatir atas keselamatan murid mereka,
mau-tak-mau
mereka mengikuti pertandingan seru itu dengan
penuh
perhatian.
Pihak mana bakal unggul bertanding tiga babak
merebut
kedudukan Beng-cu? Apakah Yo Ko ikut pamer
kepandaian ?
Kuatkah Kwe Ceng melawan Kim-lun-hoat-ong ?
Kemana saja
Siao-liong-li selama ini ?
Nah, saksikan bagaimana dia pukul mundur
jago-jago Mongol
bersama Yo Ko ?
Jilid 19
Kiranya setelah mendengar Hotu menghina
mereka
sebagai bocah vang masih ingusan, Bn-si Hengte
menjadi
tidak kepalang murkanya, lebih-lebih karena
kata-kata itu
diucapkan di hadapan “si dia”, bukankah hal
itu membikin
mereka sangat malu? Maka tanpa pikir lagi
segera mereka
lolos pedang terus merangsang maju.
Nyata mereka sangka ilmu silat Hotu tidak
seberapa
lihaynya, buktinya dengan gampang saja ibu
gurunya telah
dapat merebut tongkat bambu dari tangannya,
mereka pikir
meski Loh Yu-ka kena dikalahkan olehnya, hal
ini mungkin
ilmu silat Loh Yu-ka yang tak berguna, mereka
juga
mengunggulkan sudah mendapatkan pelajaran
silat dari Kwe
Cing, seorang diri mungkin bukan
tandingannya, tetapi kalau
dua orang maju bersama, sekali-kali tidak
terkalahkan.
Siapa tahu, baru beberapa jurus saja, kedua
pedang
mereka sudah terkurung oleh kipasnya Hotu
hingga tak bisa
berkutik
Hotu sengaja pamerkan kepandaiannya di depan
orang
banyak ia tunggu waktu Bu Siu-bun menusuk,
tiba-tiba jari
telunjuk kirinya menahan batang pedang orang
ke atas,
berbareng itu kipasnya mendadak diayun dari
samping dan
menghantam pedang orang, maka terdengarlah
suara nyaring
sekali, tahu-tahu pedang panjang itu patah
menjadi dua.
Kaget sekali Bu-si Hengte, lekas-lekas
Siu-bun melompat
pergi, sebaliknya Tun-si kuatir adiknya di
lukai, dari belakang
segera ia tusuk punggung orang untuk memaksa
musuh tak
sempat mengejar
Diluar dugaannya, tipu serangannya ini sudah
diperhitungkan Motu sebelumnya, tanpa
berpaling sedikitpun,
kipas lempitnya tahu-tahu diputar ke
belakang, dengan tepat
sekali pedang Tun-si kena terkacip, berbareng
itupun Hotu
puntir dengan jarinya.
Kalau Tun-si memutar mengikuti puntiran kipas
Hotu maka
tulang pundaknya sudah pasti akan keseleo,
Karena itu
terpaksa ia lepaskan pedang dan melompat ke
belakang, Maka
tertampak-lah pedangnya mencelat ke udara
sembari
mengeluarkan sinar yang gemilapan untuk
kemudian baru
jatuh kembali.
Terkejut sekali Bu-si Hengte tercampur gusar,
Tun-si
siapkan telapak tangan kiri di depan dan
pasang kuda-kuda
gaya Hang-liong-sip ciang, sebaliknya Siu-bun
meluruskan
tangan kanan ke bawah dengan jari telunjuk
menjengkit
sedikit, ia menunggu bila musuh berani
merangsang maju
segera akan dilayaninya dengan It-yang-ci.
Melihat kuda-kuda kedua pemuda yang kukuh,
agaknya
Hotu tak berani juga memandang ringan ia
pikir
kemenangannya sudah cukup, lebih baik
disudahi saja untuk
menjaga segala kemungkinan.
Hendaklah diketahui bahwa
Hang-liong-sip-pat-ciang (18
jurus ilmu pukulan penakluk naga) ajaran Ang
Chit-kong dan
It-yang-ci (ilmu jari betara surya) ajaran
It-teng Taysu yang
berjuluk Lam-tie atau raja dari selatan itu,
kedua ilmu itu
terhitung ilmu kelas wahid dalam dunia silat,
meski latihan Bu-
si Hengte masih cetek, tetapi kuda-kuda yang
mereka pasang
sudah begitu kuat untuk orang biasa mungkin
tak mengetahui
di mana letak kelihayannya, tetapi bagi Hotu
tergolong ahli,
diinsafinya tidak mudah untuk mengalahkannya.
“Hahaha,” demikian ia bergelak ketawa,
“kalian berdua
silakan kembali saja, kita hanya tentukan
unggul dan asor
sampai di sini, tetapi tidak perlu adu jiwa
!”
Nyata lagu suaranya sudah banyak lebih halus daripada
tadi.
Bu-si Hengte juga insaf bila menempur orang
dengan
tangan kosong, kekalahan mereka pasti akan
lebih
menyedihkan, maka dengan muka merah terpaksa
mereka
undurkan diri dengan lesu, mereka menyingkir
ke samping,
tetapi tidak berdiri di se-keliling Kwe Hu
lagi.
“Bu-keh Koko, mari kita bertiga tempur dia
lagi,”
mendadak Kwe Hu berteriak sambil mendekat
mereka.
Semua orang jadi ketarik oleh teriakan si
gadis, sedang
Kwe Hu dengan cepat sudah lolos pedangnya.
“Hu-ji, jangan sembrono !” lekas-lekas Kwe
Ceng
membentak.
Memang Kwe Hu paling takut pada sang ayah,
terpaksa ia
mundur kembali sambil pelototi Hotu dengan
marah.
Melihat rupa si gadis yang cantik molek,
dengan
tersenyum Hotu memanggut. Tetapi sekali lagi
Kwe Hu
pelototi orang, habis ini ia berpaling dan
tak menggubrismu.
Tadinya Bu-si Hengte kuatir ditertawai Kwe Hu
karena
kekalahan mereka, kini melihat si gadis
membela mereka
dengan sesungguh hati, suatu tanda hati si
gadis menaruh
simpatik juga pada mereka, tentu saja mereka
sangat
terhibur.
“Pertandingan tadi dengan sendirinya tak
terhitung juga,”
sementara Hotu membuka suara lagi sambil
pentang kipasnya,
“Kwe-tayhiap, pihak kami adalah guruku,
suhengku dan Cayhe
sendiri bertiga ilmu silatku paling rendah,
maka babak
pertama juga aku yang maju dahulu, dari
pihakmu siapakah
yang sudi turun kalangan memberi petunjuk
sedikit padaku?
Cuma harus diingat, siapa yang bakal menang
atau kalah,
sekarang bukan main-main lagi.”
Karena tadi mendengar Oey Yong bilang “ada
akal” yang
pasti akan menang, Kwe Ceng yakin sang isteri
yang pintar
cerdik dan banyak akal, walau pun benar,
diketahui apa tipu
daya yang hendak di aturnya, namun dalam hati
ia sudah tak
takluk:
“Baik,” segera iapun menjawab
tantangan-orang, “kita
lantas tentukan unggul dan asor dalam tiga
babak, pihak
mana yang kalah, selanjutnya harus tunduk
pada perintah
Beng-cu, sekali-kali tak boleh menolak.”
Hotu tahu ilmu silat yang paling tinggi di
pihak lawan
adalah Kwe Ceng, tetapi gurunya yakin bisa
menangkannya.
Ada lagi Oey Yong, mesl tadi gunakan tipu
aneh merebut
tongkat dari tangannya, tetapi melihat gaya
orang yang lemah
lembut, kalau betul-betul saling gebrak,
belum tentu akan
begitu lihay, sedang yang lain-lain sama
sekali tak terpikir
olehnya.
“Baiklah, apa para hadirin yang lam ada usul
pula, silakan
berkata lekas,” begitulah ia menanya sembari
matanya
memandang sekeliling ruangan “Dan nanti kalau
unggul atau
asor sudah diputuskan, hendaklah kalian juga
tunduk pada
perintah Beng-cu.”
Sebenarnya banyak kesatria2 yang hendak
menjawab
tantangannya, tetapi menyaksikan Loh Yu-ka
dan Bu-si
Hengte dikalahkan dia secara gampang saja,
agaknya
kepandaiannya juga belum dikeluarkan semua
hingga tak
diketahui masih berapa banyak ilmu silatnya
yang tersimpan,
maka seorangpun segan buka mulut, mereka hanya
memandang Kwe Ceng dan Oey Yong dan pasrah
saja kepada
suami isteri ini.
“Kau bilang mau maju pada bahak pertama, lalu
suhengmu babak kedua dan akhirnya gurumu
babak ketiga,
apakah acara ini sudah pasti dan tak digeser
lagi bukan?” tiba-
tiba Oey Yong menanya.
“Ya, betul.” sahut Hotu.
“Kemenangan pasti berada pada kita sudah,”
kata Ui
Yong, tetapi bukan kepada Hotu melainkan
membisiki orang-
orang yang berada disampingnya.
“Tipu akal apakah yang kau atur?” tanya Kwe
Ceng
bingung.
“Jangan kuatir,” sahut Oey Yong pelahan.
“Kita pasang kuda
rendahan untuk menandingi kuda bagus mereka…”
berkata
sampai disini, tiba-tiba Oey Yong pandang si
Su-seng dari Tay-li,
karena itu, dengan tersenyum Su-seng itu
menyambung
dengan pelahan: “dengan kuda bagus kita
menandingi kuda
tengahannya dan dengan kuda tengahan kita
menandingi
kuda jeleknya. jika tiga babak berakhir maka
tanpa susah2
Dian Ki- mendapatkan hadiah seribu emas dari
raja.”
Kwe Ceng tak pandai dalam hal kesusastraan,
ia menjadi
bingung entah apa yang mereka maksudkan.
Melihat sang suami masih belum paham, segera
Oey Yong
membisikinya: “Cing-koko, kau pandai dalam
ilmu militer,
kenapa kau melupakan tipu akal bagus dari
kakek-moyang
ilmu militer Sun-cu?”
Karena peringatan ini barulah Kwe Ceng ingat
pada kitab
militer yang dahulu pernah dibacanya, dimana
Oey Yong pernah
ceritakan suatu kisah padanya bahwa di jaman
Cian-kok,
panglima dari negeri Ce, Dian Ki, berlomba
kuda dengan raja
Ce sendiri dengan taruhan seribu tail emas.
Untuk ini Sun-cu
telah ajarkan suatu akal yang pasti menang
pada Dian Ki,
yakni gunakan kuda paling jelek buat lawan
kuda terpilih raja
Ce, sebaliknya gunakan kuda pilihan sendiri
untuk melawan
kuda terjelek lawan dan kuda cukupan buat
menandingi kuda
jelek sang raja, dengan demikian hasilnya
yalah menang 2
kalah l, maka hadiah 1000 tahil emas telah
digondol Dian Ki.
Kini maksud Oey Yong juga mencontoh siasat
Sun-cu itu.
“Cu-suheng, dengan ilmu kepandaianmu
It-yang-ci, untuk
mengalahkan pangeran Mongol ini tentunya
tidak sulit,”
demikian kata Oey Yong.
Su-seng dari negeri Tay-li itu she Cu bernama
Cu-liu,
dahulu ilmu sastranya menjagoi negerinya dan
terpilih sebagai
Conggoan (suatu gelar kebesaran dlm ujian
kestssasteraan
tertinggi di hadapan raja dan pernah juga
menjabat sebagai
Caysiang (perdana menteri negeri Tayli daerah
Hunlam),
dengan sendirinya kepintarannya dan
kecerdasannya melebihi
orang biasa.
Waktu mula-mula ia masuk perguruan It-teng
Taysu (yang
tadinya adalah Sri Bagindanya), diantara
empat saudara
seperguruan ber-turut-urut” direbut
“Hi-Jiau-Keng-Tok” atau si
Nelayan, si Tukang Kayu, si Petani dan si
Sastrawam jadi ilmu
silatnya terhitung paling rendah. Akan tetapi
sepuluh tahun
kemudian ia sudah menanjak sebagai orang
kedua diantara
empat saudara perguruan itu, Dan kini, ilmu silatnya
malah
sudah jauh di atas sesama saudara seperguruan
yang lain.
Lebih-lebih ilmu It-yang-ci boleh dikatakan
sudah
mewariskan seluruh kemahiran It-teng Taysu,
Diambil secara
rata2 ilmu silatnya meski belum setingkat
dengan Kwe Ceng,
tetapi sudah jauh melebihi jago segolongan
Ong Ju-it, Hek
Tay-thong, Loh Yu-ka dan lain-lain.
Begitulah, maka demi mendengar kata-kata sang
isteri,
Kwe Ceng yang selamanya berpikir sederhana
dan bicara terus
terang, segera ia menyambung ucapan Oey Yong
tadi: “Ya, Cu-
suheng pasti bisa menangkan orang Mongol ini,
akupun dapat
mengalahkan padri Tibet Darba itu, tetapi
Hek-susiok yang
harus melawan Kim-lun Hoat-ong, inilah yang
terlalu
berbahaya, meski kalah-menang tidak banyak
hubungannya
lagi dengan keadaan seluruhnya, tetapi
dikuatirkan musuh
terlalu keji hingga Hek-susiok sukar
melawannya.”
Namun Hek Tay-thung adalah seorang berjiwa
besar, ia
tahu pertandingan ini berhubungan dengan soal
nasib negara,
berbeda sama sekali dari pada perebutan nama
dan
keuntungan diri sendiri seperiti umumnya
terjadi di kalangan
Bu-lim, kalau pertandingan ini sampai
dimenangkan imam
negara MongoI, hal ini bukan saja dunia
persilatan bangsa
Han kehilangan muka, bahkan susah juga untuk
bersatu padu
buat melawan musuh dan membela nasib negara.
Karena itu, dengan keras segera iapun
berkata. “Soal
diriku tak perlu dikuatirkan, asal bermanfaat
bagi negara.
sekalipun aku harus mati di tangan musuh
tidaklah
menjadikan pikiranku.”
“Soal itu jangan kuatir,” kata Oey Yong,
“Bila dalam
pertandingan tiga babak kita sudah menangkan
dua babak,
maka babak ketiga dengan sendirinya tak perlu
dilangsungkan
lagi.”
Kwe Ceng menjadi girang oleh penjelasan ini,
berulang kali
ia menyatakan benar.
“Jika begitu tugas Cayhe nyata tidak ringan
kalau tidak
bisa menangkan pangeran Mongol itu tentu
bakal dicaci maki
oleh kesatria seluruh jagat buat selamanya,”
kata Cu Cu-liu
dengan tertawa.
“Jangan kau merendah diri, silakan majulah,”
ujar Oey Yong.
Lalu Cu Cu-liu majulah ke tengah, ia
kiong-chiu memberi
salam kepada Hotu lebih dulu.
“Babak pertama, biarlah aku yang belajar
kenal dengan
Tianhe (Putera Pengeran)” demikian ia
berkata, “Aku she Cu
bernama Cu-iiu. asal orang Kimbeng, Hunlam,
murid It-teng
Taysu, hidupku paling suka bersyair dan
membaca, maka soal
ilmu silat banyak yang- terlantar, hal ini
hendaklah Tianhe
suka banyak memberi petunjuk.”
Habis berkata, ia membungkuk memberi hormat
pula, lalu
dari bajunya ia keluarkan sebatang pit, ia
menggores2
beberapa kali di udara, lagaknya tepat sekali
sebagai seorang
terpelajar.
“Semakin aneh orangnya, semakin tinggi
kepandaiannya.
agaknya tidak boleh pandang enteng padanya,”
demikian pikir
Hotu: Karena itu, iapun balas memberi hormat
dan membuka
suara: “Siau-ong minta belajar sedikit pada
Cianpwe, silakan
keluarkan senjata saja !”
“Mongol adalah negeri yang masih biadab dan
belum
mendapat ajaran Nabi, kalau Tiante minta
belajar, sudah tentu
akan kuberi petunjuk seperlunya,” sahut
Cu-liu.
Mendongkol sekali hati Hotu oleh kata-kata
orang yang
menghina negerinya.
“Baiklah, dan ini adalah senjataku, kau
memakai golok
atau pedang ?” tantangnya segera sembari
kebas-kebas
kipasnya.
Cu-liu tidak lantas menjawab, ia angkat dulu
pit-nya dan
menulis di udara satu huruf “pit”, lalu
dengan tertawa ia
menyahut: “Selama hidupku selalu berdampingan
dengan
batang pit, senjata apa yang bisa kugunakan?”
Waktu Hotu menegasi, ia lihat alat tulis
orang memang
benar-benar sebatang pit yang terbuat dari
garan bambu
dengan ujung bulu kambing, pada bagian ujung
bulu masih
berlepotan tinta bak pula, sama sekali
berlainan dengan Boan-
koan-pit atau potlot jaksa yang terbikin dari
baja yang biasa
digunakan untuk Tiam-hiat oleh jago silat
Dan karena merasa heran, selagi ia hendak
menanya,
mendadak matanya terbeliak, tahu-tahu dan
depan dilihatnya
berjalan masuk seorang gadis berbaju putih.
Setelah masuk gadis itu berdiri di depan
pintu, sinar
matanya mengerling pelahan pada setiap orang,
agaknya ada
seseorang yang sedang di-carinya.
Waktu itu sebenarnya pandangan semua orang
lagi
dicurahkan pada Cu-liu dan Hotu yang hampir
saling gebrak
itu, tetapi begitu si gadis baju putih itu
masuk, tanpa tertahan
sinar mata semua orang beralih kepadanya,
wajah gadis itu
kelihatan putih lesi seperti orang habis
sakit, dibawah sinar lilir
yang terang benderang, wajahnya sedikitpun
tiada warna
darah, namun hal ini semakin menunjukkan
kehalusan si gadis
yang lain dari pada yang lain, wajahnya pun
cantik luar biasa.
Biasanya orang suka menggunakan kata-kata
“secantik
bidadari” sebagai bahasa hiasan untuk wanita
cantik tetapi
betapa cantiknya bidadari sebenarnya,
siapapun tiada yang
tahu. Kini demi nampak si gadis, tanpa terasa
dalam hati
semua orang lantas timbul kesan seperti apa
yang dikatakan
“”secantik bidadari” itu.
Dalam pada itu, demi nampak si gadis baju
putih itu,
girang Yo Ko bukan buatan, dadanya
seakan-akan mendadak
dipukul sekali dengan palu, bagaikan orang
gila saja ia
melompat keluar dari pojok ruangan itu terus
merangkul erat-
erat gadis itu.
“Kokoh! Kokoh! O! Kokoh!” demikian ia
berteriak-teriak.
Kiranya gadis ini memang betul Siao-Iiong-li
adanya.
Setelah meninggalkan Yo Ko di gunung
Cong-lam-san,
seorang diri ia telah kembali ke kamar batu
dalam kuburan
kuno itu dengan selulup lagi melalui lorong
di bawah sungai
itu.
Dahulu waktu ia masih tinggal dalam kuburan
itu bersama
Sun-popoh, hatinya waktu itu boleh dikatakan
setenang air
berhenti, sedikitpun tak berbuat tetapi sejak
bertemu Yo Ko
dan sesudah mengalami banyak rintangan,
hendak kembali
lagi kepada ketentraman batinnya yang dulu
itu ternyata
sudah tidak mungkin lagi Asai dia berlatih di
atas ranjang batu
pualam, segera ia ingat Yo Ko pernah tidur
juga diatas
ranjang itu, bila ia sedang makan menyanding
meja, segera ia
ingat pula si Yo Ko selalu mendampinginya
makan.
Karena itulah, ia menjadi uring-uringan
sendiri, tidak
seberapa lama ia berlatih, segera ia merasa
hatinya menjadi
gelisah dan sukar melatih diri lagi.
Keadaan begitu dapat dilewatkan sebulan,
akhirnya ia tak
tahan lagi, ia ambil keputusan buat pergi
mencari Yo Ko,
kalau ketemu, cara bagaimana ia akan hadapi
pemuda itu, hal
ini ia sendiripun tidak tahu.
Setelah turun gunung, ia melihat segalanya
serba baru
baginya, sudah tentu ia tak kenal jalan pula,
apalagi ke mana
harus mencari si Yo Ko? Dan karena kurang
pergaulan, iapun
tidak kenal tata-krama segala, siapa yang dia
ketemukan
segera ia tanya: “Kau melihat Yo Ko tidak?”
Bila perutnya lapar, ia ambil saja milik
orang dan dimakan,
ia tidak kenal apa harus membayar atau tidak.
karena itu tidak
sedikit keonaran dan lelucon yang terjadi
sepanjang
perjaIanannya. Baiknya semua orang melihat
rupanya begitu
cantik molek, siapa saja suka mengalah
padanya dan tidak
menarik panjang persoalannya.
Suatu hari, tanpa sengaja di dalam hoteI ia
mendengar
percakapan dua lelaki bahwa para kesatria
dari seluruh jagat
hendak pergi menghadiri Eng-hiong-yan di
Liok-keh-ceng, ia
menduga boleh jadi Yo Ko berada di sana juga,
maka
sesudah menanya arah jalannya iapun
berangkatlah menuju
Liok-keh-ceng.
Diantara para kesatria yang hadir itu,
kecuali Hek Tay-
thong, In Ci-peng dan Thio Ci-keng bertiga,
tiada orang lain
lagi yang mengetahui dari mana asal usulnya
Slao liong-li,
cuma melihat kecantikannya sungguh luar
biasa, dalam hati
mereka timbul kesan yang aneh.
Dalam pada itu demi kenali Siao-liong-li,
muka In Ci-peng
mendadak menjadi pucat bagai mayat, tubuhnya
pun
gemetar, sebaliknya Ci-keng me-lirik2 sang
Sute sambil
tertawa dingin.
Kwe Ceng dan Oey Yong juga rada heran.
“Ko-ji, nyata kau memang berada di sini,
sungguh susah
payah aku mencari kau,” demikian kata
Siao-liong-li.
Saking terharunya, Yo Ko mengalirkan air
mata.
“Kau… kau tak akan meninggalkan aku lagi
bukan?”
tanyanya dengan terguguk-guguk.
“ltulah aku tak tahu,” sahut Siao-liong-li
sambil geleng
kepala.
“Kemana kau pergi, ke sana juga aku ikut
kau,” kata Nyo
Ko pasti.
Begitulah, meski dalam ruangan pendopo itu
berjubel-
jubel dengan tetamu yang ribuan jumlahnya,
tetapi kedua
muda-mudi itu seakan-akan berada berduaan
saja dan
bercakap-cakap dengan seenaknya.
Siao-liong-li memegangi
tangan Yo Ko, hatinya entah lagi suka atau
duka waktu itu.
Melihat Siao-liong-ii yang menggiurkan, meski
Hotu
terguncang juga hatinya, tetapi ia tidak tahu
gadis ini bukan
lain adalah orang yang dahulu pernah
dilamarnya ke Cong-
lam-san itu, ia lihat pakaian Yo Ko
compang-camping berbau
busuk, tetapi sikapnya begitu kasih sayang
pada si gadis,
tanpa terasa timbul rasa cemburunya dan
dongkoI pula.
“Hai, kami hendak adu kepandaian, kalian
hendaklah
menyingkir dahulu,” demikian ia lantas
berseru.
Tak sempat lagi Yo Ko menjawab, iapun tidak
banyak
cingcong, ia gandeng tangan Siao-liong-li dan
diajaknya duduk
di samping kalangan untuk menceritakan
pengalaman masing-
masing sesudah berpisah selama ini.
Nampak orang sudah minggir, lalu Hotu
berpaling dan
berkata lagi pada Cu Cu-liu: “Baiklah, jika kau
tak pakai
senjata, boleh juga kita bertanding dengan
tangan kosong.”
“Bukan begitu maksudku,” sahut Cu-liu
seakan-akan
sedang bersanjak. “Negeri Tionghoa kami
adalah negeri
bermartabat tinggi dan berlainan dengan
negeri Mongol yang
masih liar, laki-laki sejati hanya bicara
secara halus,
pertemuan antara sobat cukup dengan pakai
pit, kini milikku
hanya pit saja, buat apa harus pakai
senjata?”
“Kalau begitu, awas, serangan!” kata Hotu
mendadak,
kipasnya terpentang, segera ia menyabet ke
depan.
Lekas-lekas Cu-liu melangkah ke samping
sambil geleng-
geleng kepala, sedang tangan kiri mendadak
meraba ke depan
dengan tangan kanan yang memegang pit terus
mencoret ke
muka Pangeran Hotu.
Melihat gerak-gerik orang enteng gesit, tipu
serangannya
aneh, Hotu tak berani main merangsang, ia
ingin pahami dulu
cara bersilat orang barulah mengambil siasat
perlawanannya.
“Awas, Tianhe, pit-ku ini biasanya menjapu
bersih beribu
perajurit!” kata Cu-liu tertawa, berbareng
itu ujung pit-nya
lantas menutul lagi ke depan.
Ilmu silat Hotu meski dipelajari di daerah
Tibet, tetapi
gurunya, yaitu Kim-lun Hoat-ong luas sekali
pengalamannya,
setiap cabang, setiap aliran persilatan di
daerah Tionggoan
tiada yang tak dipahaminya, dan karena mulai
belajar Hotu
sudah ber-cita2 mau tonjolkan nama besarnya
ke daerah
Tionggoan, maka Kim-lun Hoat-ong pernah
memberikan
perincian semua tipu-tipu serangan lihay dari
berbagai cabang
dan aliran silat pada muridnya ini.
Tak terduga Cu-liu pakai senjata aneh, tipu
serangannya
juga lain dari yang lain, gerak-geriknya
bebas, ujung pit-nya
menggores ke sana dan mencoret ke sini di
udara, tampaknya
seperti lagi menulis saja, tetapi tempat
dimana ujung pit-nya
mengarah justru adalah Hiat-to atau jalan
darah berbahaya di
tubuh lawan.
Kiranya Cu Cu-liu ini adalah ahli seni-tulis
(disamping seni-
lukis, di Tiongkok dikenal juga seni-tulis,
yakni mengutamakan
tulisan bagus dengan gaya tersendiri yang
indah dan
bertenaga, ada yang disebut “Cau-su”, yakni
tulisan yang
mendekati “coretan” secara bebas dan ada lagi
yang disebut
“thay-su” yang ditulis secara lugu dan
orisinil) di daerah
selatan, meski ia belajar silat, tetapi ilmu
sastranya tak pernah
dikesampingkan semakin tinggi ilmu silatnya.
akhirnya ia
malah menciptakan sendiri semacam kepandaian
yang dia
lebur antara It-yang-ci dengan seni-tulisnya.
Karena itu, kalau
lawannya tidak cukup punya dasar ilmu sastra,
sungguh susah
hendak melawan ilmu silatnya yang aneh ini.
Baiknya Pengeran Hotu suka berlagak
terpelajar sejak kecil
iapun pernah bersekolah dengan guru sastra
bangsa Han,
karena itu ia masih bisa menahan serangan
Cu-liu, ia lihat
diantara gaya tulisan orang terseling pula
gaya menutuk dan
di antara menutuk bergaya pula menuIis,
sehingga diantara
kegagahannya tercampur juga gaya lembutnya
orang
terpelajar.
Kwe Ceng tidak paham ilmu sastra, dengan
sendirinya ia
terheran-heran oleh permainan silat itu.
sebaliknya Oey Yong
keturunan keluarga cendekia-wan, baik silat
maupun surat
lengkap dipelajari semua, kini dilihatnya
ilmu silat Cu-liu yang
aneh tetapi hebat ini, ia menjadi kagum tak
terhingga.
Dalam pada itu, Kwe Hu yang ikut saksikan
pertarungan
itu agaknya merasa bingung, ia mendekati sang
ibu dan
menanya: “Mak, ia corat-coret dengan pit-nya
kian-kemari,
permainan apakah ini?”
Karena seluruh perhatiannya lagi dicurahkan
ke kalangan
pertempuran, maka sekenanya Oey Yong menjawab
: “Pang-
hian-ling-pi.”
“Pang-hian-ling-pi apakah itu?” tanya lagi
Kwe liu semakin
bingung.
Tetapi Oey Yong lagi terpesona oleh
pertarungan itu maka
tak dijawabnya pertanyaan Kwe Hu.
Kiranya “Pang-hian-ling-pi” adalah suatu
judul karangan
yang ditulis pada suatu pilar oleh pembesar
ahala Tong yang
bernama di Sui-liong, tulisan itu dilakukan
dengan gaya “Khay-
su” yang amat bagusnya.
Dan sekarang Cu-liu telah mencemooh karangan
itu
dengan menulisnya pakai “It-yang-su” atau
tulisan dengan It-
yang-ci, ia gunakan ujung pit sebagai
gantinya jari, maka
setiap coretan, setiap goresan, dilakukan
dengan menurut
aturan dan mirip sekali seperti lagi menitis
secara “Khay-su”.
Meski Hotu tak kenal lihaynya It-yang-ci,
tetapi sedikitnya
ia masih paham setiap huruf dalam karangan
“Pang-hian-ling-
pi”, maka sebelum alat tulis orang bergerak,
ia sudah bisa
menduga ke mana goresan dan coretan hendak
dilakukan,
dengan begitu ia bisa menjaga diri secara rapat
dan belum
tertampak tanda-tanda bakal kalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar