Minggu, 11 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 29





Kembalinya Pendekar Rajawali 29

Maka suguhan orang tak ditolaknya, ia berdiri dan terima
pemberian itu terus diminum.
Siapa duga, pada saat itu juga mendadak Siu-bun ulur
jarinya dan menutuk ke pinggangnya, Siu-bun sengaja tutupi
pandangan orang lain dengan tubuhnya, ia pikir asal sekali
tutuk kena “Jiau-yao-hiat” tentu Yo Ko akan berteriak-teriak
dan tertawa-tawa tak keruan di hadapan orang banyak.
Namun waktu ia mendekati lebih dulu Yo Ko sudah
memperhatikan gerak-geriknya, jangankan Yo Ko sudah
berjaga-jaga, sekalipun mendadak musuh membokong, dalam
tingkat kepandaian Yo Ko sekarang juga sukar hendak
merobohkannya, jika turuti watak Yo Ko yang tak mau kalah
sedikitpun dengan orang lain, pasti kontan dia batas hantam
orang, kalau tidak bikin Siu-bun tersungkur, tentu pula “Jiau-
yao-hiat” ia tutuk balik.
Cuma sesudah percakapannya dengan Oey Yong itu, hatinya
sedang gembira, maka ia menddak tak enak merobohkan
orang di hadapan orang banyak, ia pikir jeIek2″ Bu-si Hengte
adalah anak murid paman dan bibinya.
Sebab itu, diam-diam ia hanya jalankan darahnya secara
terbalik menurut ilmu ajaran Auwyang Hong.
Betul saja, ketika jari Siu-bun ditutukkan, meski Hiat-to
yang diarah sangat jitu, tetapi Nyo to anggap seperti tak
terjadi apa-apa saja.
Sekali kena, bukannya Yo Ko roboh atau tertawa seperti
yang diharapkan, bahkan pemuda ini hanya tersenyum terus
duduk kembali ke tempatnya tadi. Keruan saja Bu Siu bun
terheran-heran. terpaksa iapun kembali kemejanya.
“Koko, kenapa ilmu ajaran Supek tidak manjur?” demikian
ia tanya saudaranya dengan suara tertahan.
“Apa? Tak manjur?” sahut Bu Tun-si bingung Lalu Siu-bun
menceritakan pengalamannya tadi
“Ah, tentu jarimu tak benar atau Hiat-to yang kau arah
menceng,” ujar Tun-si.
“Menceng? Mana bisa, lihat nih,” bantah Siu-bun.
Berbareng ia angkat jarinya terus bergaya menutuk ke
pinggang sang kakak, baik gayanya mau pun tenaganya,
semuanya tepat dan jitu, sedikitpun tidak salah seperti apa
yang diajarkan Supek mereka.
“Ha, tadinya aku kira It-yang-ci tentu permainan yang
amat lihay, huh agaknya juga tak berguna,” terdengar Kwe Hu
mencemoohkan dengan mulut menjengkit.
Karena sindiran ini. Tun-si merasa penasaran mendadak ia
berdiri dan menuang dua cawan arak, iapun mendekati Nyo
Ko.
“Nyo-toako, sudah lama kita tak bertemu kini bersua
kembali, sungguh harus dibuat girang, maka siaute juga ingin
suguh kau secawan,” demikian ia kata.
Diam-diam Yo Ko tertawa geli, adiknya sudah ke bentur
batu, apa sang kakak juga ingin ketumbuk tembok?
Maka iapun tak menolak, dengan sumpit jepit dulu
sepotong daging dan tangan yang lain ia sambut arak
suguhan orang sambil ucapkan terima kasih.
Tun-si lebih kasar lagi dari pada sang adik, tanpa tedeng
aling-aling lagi mendadak ia ulur tangan kanan dan secepat
kilat menjojoh ke pinggang Yo Ko.
Sekali ini Yo Ko tak perlu jalankan darahnya secara
terbalik lagi, dengan tenang saja ia luruskan tangannya yang
memegang sumpit itu, ia gunakan potongan daging sampi
yang dia cepit tadi sebagai tameng di pinggangnya yang
diarah.
Saking cepatnya Yo Ko bertindak, maka sama sekali Tun-
si tak berasa, ketika jarinya kena menjojoh, dengan tepat
menembus potongan daging sampi itu.
“Minum arak dengan jojoh daging sampi paling enak,” kata
Yo Ko tertawa sambil meletakkan sumpitnya.
Waktu Tun-si angkat tangannya, ia lihat daging sampi itu
masih mencantol di jarinya dengan air kuwah masih menetes,
ia menjadi serba salah, dibuang sayang, tak dibuang bikin
malu saja, ia pelototi Yo Ko dengan gemas, lalu cepat-cepat
kembali ke mejanya.
Melihat jari orang bertambah sepotong daging, Kwe Hu
menjadi heran.
“Apakah itu?” demikian ia tanya.
Tentu saja Tun-si merah jengah tak bisa menjawab.
Begitulah selagi pemuda ini serba salah kehilangan muka,
tiba-tiba terlihat seorang pengemis tua telah angkat cawan
arak sambil berdiri.
Nyata pengemis tua ini bukan lain adalah Loh Yu-ka,
pangcu baru Kay-pang.
“Seperti saudara2 sudah mendengar tadi, Ang-lopangcu
telah mengirim perintah bahwa bangsa Mongol semakin nyata
akan menjajah ke selatan, maka para saudara diminta
berjuang mati-matian untuk melawan musuh,” demikian ia
angkat bicara sesudah ajak minum para kesatria. “Kini para
kesatria dari seluruh jagat hampir semua berkumpul di sini
semua orang berhati setia negara, maka kita harus
merundingkan suatu daya-upaya untuk mencegah penjajah
bangsa asing itu, dan supaya peristiwa Ong-Khong
(maksudnya kedua raja Song yang ditawan negeri Kim) tak
terulang lagi.”
Karena beberapa patah kata ini, keadaan hadirin seketika
ramai lagi dan sama menyatakan akur.
Dalam pada itu terlihat seorang tua dengan jenggot putih
perak telah berdiri juga.
“Kata pribahasa, ular tanpa kepala tak bisa berjalan,
percuma saja kalau kita hanya ber-cita2 tinggi, tetapi tiada
seorang pemimpin yang bijaksana, tentu pekerjaan kita akan
sia-sia,” demikian ia kata, suaranya lantang bagai genta, “Kini
para kesatria berkumpul di sini, harus kita angkat seorang
yang bernama tinggi, seorang gagah yang dihormati semua
orang untuk menjadi pemimpin dan kita semua akan
mendengar perintahnya.”
Seketika suara sorak-sorai riuh gemuruh lagi, segera pula
ada yang berteriak: “Baiklah, engkau orang tua saja yang
menjadi pemimpinnya !”
“Ya, tak perlu lagi angkat yang lain !” sambung yang lain.
Tetapi orang tua itu bergelak tertawa.
“Haha, aku si tua bangka ini terhitung manusia macam
apa?” ,demikian katanya, “Selama ini di kalangan Kangouw
mengakui ilmu silat lima tokoh : Tang-sia, Se-tok, Lam-te,
Pak-kay, Tiong-sin-thong adalah yang paling tinggi Tiong-sin-
thong Ong Tiong-yang sudah lama meninggal Tang-sia dan
Se-tok bukan orang golongan kita, sedang Lam-te jauh di
negeri Tay-li, dengan sendirinya ketua serikat ini kecuali Pak-
kay Ang-locianpwe tiada yang lebih sesuai lagi.”
Memang Ang Chit-kong adalah jago utara yang tertinggi
dan betul-betul memenuhi harapan semua orang, maka tepuk
tangan segera gemuruh lagi tanpa ada yang berlainan
pendapat.
“Ya, Ang-locianpwe sudah pasti cocok untuk menjadi
Ketua serikat para kesatria ini, kecuali dia, siapa lagi yang bisa
taklukkan semua orang dengan ilmu silatnya dan melebihi
orang Iain dengan budi pekertinya?”
Demikian tiba-tiba di antara orang banyak itu ada seorang
lagi yang berteriak, meski suaranya sangat keras, tetapi waktu
pandangan orang diarahkan ke tempat datangnya suara,
orangnya ternyata tidak kelihatan. Kitanya orang itu adalah
seorang cebol yang sangat pendek hingga tertutup oleh orang
di sekitarnya.
“Siapakah itu yang bicara ?” segera ada yang bertanya.
Dengan cepat si cebol itu melompat ke atas meja, maka
tertampaklah perawakannya yang tingginya tiada satu meter,
umurnya dekat setengah abad, sebaliknya wajahnya
bercahaya penuh semangat.
Sebenarnya banyak yang hendak tertawai si cebol ini,
tetapi demi nampak sinar matanya yang tajam, suara tertawa
mereka telah tertelan kembali mentah-mentah.
“Cuma tindak-tanduk Ang-lopangcu sangat aneh, dalam
sepuluh tahun sukar untuk ketemu dia sekali kalau dia orang
tua tak di tempat, lalu jabatan Ketua serikat ini harus
dipegang siapa?” demikian si cebol itu berkata pula.
Betul juga pikir semua orang. “Scgala apa yang kita
perbuat kini seluruhnya adalah untuk membela tanah air,
sedikitpun kita tak punya kepentingan pribadi, maka kita harus
angkat seorang Ketua muda, supaya kalau Ang-lopangcu tidak
ada, kita lantas tunduk pada wakilnya ini.”
“Bagus, bagus !” demikian terdengar sorak-sorai lagi
dengan ramai. Lalu banyak lagi yang berteriak-teriak
mengemukakan calonnya, “Kwe Ceng, Kwe-tayhiap saja!”
“Paling baik Loh-pangcu !”
“Liok-cengcu, tuan rumah ini saja!”
“Tidak, sebaiknya Ma-kaucu dari Coan-cin-kau!”
“Atau Pangcu dari Thi-cio-pang saja!” Begitulah terdengar
seruan yang simpang-siur, Selagi suasana rada kacau, tiba-
tiba dari luar ruangan kelihatan bayangan orang berkelebat,
empat tojin telah lari masuk dengan cepat, ternyata mereka
adalah Hek Tay-thong, Sun Put-ti, Thio Ci-keng dan In Ci-peng
berempat.
Melihat mereka sudah pergi dan mendadak kembali lagi,
Yo Ko menjadi heran, sebaliknya Kwe Ceng dan Liok Khoan-
eng girang luar biasa.
Lekas-lekas mereka meninggalkan meja dan
menyambutnya.
“Ada musuh hendak mengacau ke sini, kami sengaja
datang memberi kabar, hendaklah kalian berlaku waspada dan
berjaga-jaga,” demikian Hek Tay-thong bisiki Kwe Ceng.
Kong-ling-cu Hek Tay-thong dalam Coan-cin kau terhitung
jagoan kelas terkemuka, di kalangan Kangouw orang yang
berilmu silat lebih tinggi dari dia bisa dihitung dengan jari, kini
cara mengucapkan berita itu kedengarannya rada gemetar
dan kuatir, maka Kwe Ceng pikir tentu yang akan datang ini
pasti musuh tangguh adanya.
“Apa Auwyang Hong?” demikian Kwe Ceng tanya dengan
suara rendah.
“Bukan, tetapi orang Mongol yang aku sendiri pernah jatuh
ditangannya itu,” sahut Hek Tay-thong.
“Pangeran Hotu?” kata Kwe Ceng dengan hati lega.
Dan sebelum Hek Tay-thong buka suara lagi, mendadak di
luar terdengar suara tiupan tanduk yang ber-talu2, menyusul
mana diselingi pula oleh suara genta yang terputus-putus
nyaring.
“Sambut tetamu agung!” segera Liok Khoan-eng berteriak.
Baru saja berhenti suaranya, tahu-tahu di depan ruangan
pendopo itu sudah berdiri beberapa puluh orang yang
beraneka macam lagaknya, ada yang tinggi besar, ada yang
pendek kecil.
Para kesatria yang hadir ini sebenarnya lagi sorak-sorai
dalam pesta pora yang ria, kini mendadak nampak munculnya
orang begitu banyak, mereka rada heran, tetapi mereka
sangka orang juga hendak menghadiri Eng-hiong-yan ini,
setelah melihat tiada kenalan di antara orang-orang itu,
kemudianpun tak diperhatikan lebih jauh.
Berlainan dengan Kwe Ceng yang sudah tinggi ilmu silatnya
dan tajam penglihatannya, segera ia tahu gelagat tidak
sewajarnya.
“Jang datang ini terlalu keras, mereka tidak mengandung
maksud baik,” demikian ia bisiki sang isteri Oey Yong.
Habis itu iapun berbangkit suami isteri mereka bersama
Liok Khoan-eng lantas menyambut keluar.
Kwe Ceng mengenali orang yang bermuka cakap
berdandan sebagai putera bangsawan itu adalah Pengeran
Hotu dari Mongol, sedang padri yang berjubah merah dan
berkopiah emas, mukanya kurus, adalah Ciangkau atau ketua
Bit-cong dari Tibet, Darba namanya.
Kedua orang ini dahulu sudah pernah dijumpainya di
Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san, meski mereka terhitung
jago kelas satu, tetapi ilmu silatnya masih lebih rendah dari
pada dirinya, maka tak perlu ditakuti.
Cuma di tengah-tengah kedua orang ini masih berdiri lagi
seorang padri Tibet yang juga tinggi kurus dan berjubah
merah pula, kepalanya gundul licin berminyak, ubun-ubun
atau mercu kepala tampak dekuk ke dalam.
Melihat macamnya orang, Kwe Ceng dan Oey Yong telah
saling pandang, pernah mereka dengar dari Oey Yok-su yang
berbicara tentang ilmu silat aneh kaum Lama sekte Bit-cong di
Tibet bahwa kalau sudah terlatih sampai tingkatan yang
sangat tinggi, mercu kepala bisa sedikit dekuk ke dalam, kini
melihat ubun-ubun orang ini begitu dalam dekuk-nya, apa
mungkin ilmu silatnya sudah sampai tingkatan yang sukar
diukur?
Tetapi di kalangan Kang-ouw kenapa selama ini hanya
terdengar Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-
thong, sebaliknya tak pernah dengar bahwa di Tibet terdapat
seorang jago seperti dia ini?
Karena itulah, mereka berdua diam-diam berlaku waspada,
lalu mereka membungkuk memberi hormat sambil
mengucapkan selamat datang dan menyilakan duduk.
Segera Liok Khoan-eng memberi tanda perintah, para
centeng segera sibuk menyediakan meja baru dan daharan2.
Bu-si Hengte sudah biasa membantu bapak dan ibu guru
mereka mengurusi pekerjaan rumah tangga, Iebih2 Bu Siu-
bun yang serba cepat dan giat, maka kedua saudara Bu
segera pimpin para centeng itu mengatur tempat dan
sediakan beberapa meja yang terhormat buat tamu agung,
mereka pun minta maaf pada tetamu yang duluan supaya
suka menggeser sedikit tempat luang.
Dalam pada itu, melihat Yo Ko ikut-ikut hadir dalam
perjamuan ini, dalam pandangan Kwe Hu rasanya kurang
senang, “Hm, kau terhitung Eng-hiong macam apa? Meski
Enghiong seluruh jagat mati ludas juga tidak bergilir pada
dirimu?” demikian ia membatin. Habis ini ia kedipi Bu Siu-bun
sambil mulutnya merot-merot ke jurusan Yo Ko. Maka
tahulah Siu-bun maksud si gadis, segera Yo Ko didekatinya,
“Nyo-toako, tempat ini hendaklah digeser sedikit,”
demikian ia kata.
Habis ini, tanpa menunggu apa Yo Ko bilang boleh atau
tidak, segera ia suruh centeng memindahkan mangkok sumpit
si Yo Ko ke suatu tempat di pojok.
Tentu saja hati Yo Ko terbakar, tetapi iapun tidak bicara,
melainkan diam-diam ia tertawa dingin.
Sementara itu terdengar Pengeran Hotu telah buka suara.
“Suhu, ini kuperkenalkan engkau kepada dua Enghiong
dari Tionggoan yang namanya gilang-gemilang…”
Kwe Ceng terkejut, pikirnya: “Oh, kiranya paderi Tibet
tinggi kurus ini adalah gurunya.”
Dalam pada itu dilihatnya paderi Tibet itu sedang
manggut-manggut, kedua matanya melek tidak meram tidak,
pangeran Hotu lantas menyambung lagi: “dan yang ini adalah
Kwe Ceng, Kwe-tayhiap yang pernah menjadi Ceng-se-
goanswe di negeri Mongol kita, Dan yang ini lagi adalah Ui-
pangcu.”
Ketika mendengar Hotu menyebut “Ceng-se-goanswe”
mendadak paderi itu pentang kedua matanya hingga
menyorotkan sinar tajam, ia pandang beberapa saat pada Kwe
Cing, habis itu kelopak matanya menurun pula setengah
menutup, sebaliknya terhadap Pangcu dari Kay-pang ternyata
sama sekali tak diperhatikannya.
“lni adalah guruku, orang Tibet menyebutnya Kim-lun
Hoat-ong dan oleh Hong-thayhou (ibusuri) negeri MongoI
sekarang diangkat dengan gelar Houkok Taysu,” demikian
Pangeran Hotu berkata lagi dengan suara lantang, (Houkok
Taysu = imam besar pelindung negara)
Karena kerasnya suara, seluruh hadirin dengan jelas dapat
mendengarnya hingga semua orang merasa heran dan saling
pandang, kata mereka dalam hati: “Baru saja kita berunding
untuk melawan penjajahan Mongol ke selatan, kenapa
mendadak lantas datang seorang Koksu (iman negara) dari
Mongol?”
Kwe Ceng sendiri karena memang kurang cerdas, maka
seketika ia menjadi bingung cara bagaimana harus melayani
tetamu yang tak diundang ini, tiada jalan lain ia hanya
menuang arak dan mengajak minum pada mereka seorang
demi seorang sambil mengucapkan selamat datang dan kata-
kata kagum.
Setelah tiga keliling menyuguh arak, tiba-tiba Pangeran
Hotu berdiri, waktu kipas lempitnya ia pentang, tertampaklah
pada kipasnya terlukiskan setangkai bunga Bo-tan yang indah
sekali.
“Kedatangan kami guru dan murid hari ini untuk
menghadiri Eng-hiong-yan ini walaupun dilakukan dengan
muka tebal karena tidak diundang, tetapi mengingat bisa
berkumpul dengan para kesatria begini banyak, terpaksa
kamipun tak pikirkan lagi malu atau tidak,” demikian ia bicara.
“Perjamuan demikian ini memang susah diadakan,
waktunya pun susah dicari, kini kebetulan kesatria dari seluruh
jagat berkumpul di sini, menurut pendapatku harus diangkat
seorang Beng-cu (ketua serikat) dari para kesatria untuk
memimpin Bu-Iim dan menjadi kepala para orang gagah di
bumi ini, entah bagaimana pikiran kalian dengan pendapatku
ini?”
“Usulmu memang tepat,” seru si cebol tadi, “Tadi kami
baru saja angkat Ang-lopangcu sebagai Beng-cu dan kini
sedang pilih wakil ketuanya, bagaimana pendapat saudara
tentang soal ini?”
“Ang Chit-kong sudah lama mati, kini pilih setan sebagai
Beng-cu, apa kau anggap kami ini setan juga?” sela Darba
tiba-tiba sambil berdiri
Karena kata-katanya ini, seketika para kesatria itu menjadi
gempar, lebih-lebih para anggota Kay-pang luar biasa
gusarnya, mereka pada berteriak-teriak.
“Baikiah, jika Ang Chit-kong belum mati, sekarang juga
silakan dia tampil ke muka untuk bertemu,” kata Darba pula.
Loh Yu-ka tak bisa kuasai dirinya lagi, sambil angkat
tinggi2 tongkat bambu “Pak-kau-pang”, segera ia berdiri.
“Selamanya Ang-pangcu berkelana dengan tiada tentu
kediamannya, kau bilang mau bertemu dengan dia, apa kau
anggap gampang permintaan mu ini?” demikian debatnya.
“Hm,” tiba-tiba Darba menjengek “Jangankan mati-
hidupnya Ang Chit-kong sekarang sukar diketahui, sekalipun
dia berada di sini sekarang juga dengan ilmu silatnya maupun
namanya, apa bisa dia memadai Suhuku Kim-Iun Hoat-ong?”
Hendaklah dengarkan para kesatria yang hadir ini, Beng-
cu pilihan Eng-hiong-yan hari ini, kecuali Kim-lun Hoat-ong
tiada orang lain lagi yang bisa menjabatnya.”
Sampai di sini, para kesatria menjadi tahulah maksud
tujuan kedatangan orang-orang ini, terang mereka mendapat
tahu bahwa Eng-hiong-yan ini bakal mengambil keputusan
yang tidak menguntungkan pihak Mongol, maka mereka
sengaja datang mengacau dan ikut berebut kedudukan Beng-
cu, jika dengan ilmu silatnya Kim-lun Hoat-ong berhasil
merebut kedudukan Beng-cu, meski para orang gagah perkasa
dari Tionggoan tak takluk pada perintahnya, namun sedikitnya
sudah melemahkan kekuatan bangsa Han, dalam
perlawanannya terhadap Mongol.
Dalam keadaan demikian, seketika mereka sama
memandang Oey Yong, mereka kenal kepandaian Oey Yong yang
banyak tipu akalnya, mereka pikir walaupun tetamu berpuluh
orang ini setinggi langit ilmu silatnya, tetapi menghadapi
lawan ribuan orang yang hadir ini, tak peduli satu lawan satu
ataupun secara keroyokan, pasti pihak kita tak ikan
terkalahkan Maka biarlah dengarkan saja perintah Ui-pangcu
serta menurut petunjuknya.
Melihat gelagatnya, Oey Yong sendiri sudah tahu utusan ini
sukar diselesaikan tanpa menggunakan kekerasan, maka
segera iapun mulai bicara.
“Para kesatria yang hadir di sini memang sudah angkat
Ang-lopangcu sebagai Beng-cu, sebaiknya Taysu (maksudnya
Darba) ini mendukung Kim-lun Hoat-ong sebagai calonnya,
Kalau Ang-lopangcu ada di sini, sebenarnya bisa saksikan
beliau mengukur tenaga dengan Kim-lun Hoat-ong! tetapi
beliau justru pergi-datang tiada ketentuan tempatnya, pula tak
menyangka bahwa hari ini bakal kedatangan tamu agung
hingga tak bisa menunggu di sini sebelumnya, kelak kalau
beliau tahu akan kejadian ini, pasti dia akan menyesal tak
terhingga.
Baiknya di antara Ang-lopangcu maupun Kim-lun Hoat-ong
masing-masing, sudah menurunkan anak murid. Nah,
sekarang biarlah murid kedua belah pihak saja yang
mewakilkan guru mereka untuk bertanding?”
Sebagian besar para kesatria dari Tionggoan ini cukup
kenal kepandaiannya Kwe Ceng yang maha tinggi, pula
umurnya sedang kuat-kuatnya, jago-jago tertinggi pada jaman
ini agaknya tiada lagi yang bisa menangkan dia, sekalipun Ang
Chit-kong sendiri yang datang juga belum pasti bisa lebih kuat
dari pada Kwe Ceng, kini kalau bertanding dengan murid Kim-
lun Hoat-ong, maka kemenangan sudah pasti dalam
genggaman sendiri, tidak nanti bakal kalah, maka seketika
mereka sama berseru akur, hingga genteng rumah tergetar
oleh suara sorak gemuruh mereka.
Tetamu yang duduk di ruangan belakang ketika mendapat
kabar itu, ber-duyun2 membanjir keluar juga hingga seluruh
ruangan pendopo sampai keluar pintu penuh orang.
Karena pihaknya kalah suara, maka Kim-lun Hoat-ong
menjadi terdesak oleh suasana itu.
Pangeran Hotu sendiri sudah pernah saling gebrak dengan
Kwe Ceng di Tiong-yang-kiong dahulu, ia insaf kepandaiannya
masih dibawah orang.
Begitu pula silat Suhengnya, Darba, juga sebaya dengan
dirinya, tidak peduli siapa diantara mereka yang maju pasti
akan dikalahkan Tetapi bila menolak usul Oey Yong itu,
kedudukan Beng-cu terang tak bisa lagi direbut. Karena itu, ia
menjadi bingung tak berdaya.
“Baik, Hotu, kau boleh maju coba bertanding dengan
murid Ang Chit-kong,” tiba-tiba Kim-Iun Hoat-ong berkata.
Ternyata paderi yang jauh tinggal di Tibet ini menyangka
muridnya, Pangeran Hotu pasti jarang ada tandingannya,
paling banyak hanya kalah terhadap Tang-sia, Se-tok dan lain
jago angkatan tua saja, sama sekali tak diketahuinya bahwa
muridnya itu justru pernah terjungkal di bawah tangannya
Kwe Ceng.
Karena perintah sang guru itu, mau-tak-mau pangeran
Hotu mengiakan, namun ia toh belum berdiri.
“Suhu,” demikian ia berbisik, “murid Ang Chit-kong itu
terlalu hebat, Tecu mungkin sukar mengalahkan dia, jangan-
jangan akan bikin malu nama baik Suhu saja.”
Karena penuturan ini, Kim-lun Hoat-ong rada kurang
senang.
“Hm, masakah murid orang itu kau tak bisa
mengalahkannya?” demikian jengeknya, “Lekas maju sana !”
Hotu betul-betul serba salah, ia jadi menyesal juga,
tadinya tidak bilang terus terang pada sang guru tentang
pengalamannya dahulu, ia menyangka dengan kepandaian
gurunya yang tiada tandingannya di kolong langit, menghadiri
perjamuan Eng-hiong-yan, kedudukan Beng-cu pasti akan
direbutnya dengan mudah saja, siapa tahu ia sendiri justru
disuruh maju melawan Kwe Ceng.
Begitulah, sedang ia ragu-ragu, tiba-tiba seorang laki-laki
gemuk dengan pakaian bangsa Mongol telah mendekatinya
dan bisik-bisik beberapa kata di telinganya, Karena kisikan ini,
seketika Hotu menjadi girang, tiba-tiba ia berdiri, ia pentang
kipasnya dan meng-kipas-kipas.
“Selama ini kudengar Kay-pang memiliki semacam
kepandaian pusaka yang disebut Pak-kau-pang-hoat, bahwa
ilmu itu adalah kepandaian paling lihay yang menjadi
kebanggaan Ang-Iopangcu,” demikian ia berkata dengan
lantang. “Kini Siau-ong (pangeran yang rendah) yang tak
becus ini ingin gunakan sebuah kipas untuk mematahkannya.
Kalau aku bisa patahkan ilmu pusakanya itu, suatu tanda
kemahiran Ang Chit-kong tidak lebih hanya sebegitu saja !”
Waktu orang itu kisiki Hotu mula-mula Oey Yong, tak
memperhatikan, tetapi mendadak orang menyinggung tentang
Pak-kau-pang-hoat dan hanya beberapa patah kata saja, Kwe
Cing yang ilmu silatnya paling kuat di pihak sendiri segera
dikesampingkan, ia menjadi heran siapa yang kemukakan
tipu-daya itu.
Waktu ia menegas, maka tahulah dia, kiranya laki-laki
gemuk itu bukan lain adalah Peng- tianglo, satu diantara
empat Tianglo atau tertua, dalam Kay-pang. Kini Peng-tianglo
memihak Mongol hingga sudah tukar dandanan bangsa
Mongol puIa, hanya dia ini saja yang tahu bahwa Pa kau-
pang-hoat tidak pernah diturunkan kepada orang Iain kecuali
Pangcu dari Kay-pang sendiri, sedangkan Kwe Ceng meski
tinggi kepandaiannya, Pak-kau-pang-hoat ini ia justru tak
paham.
Kini Hotu singgung2 Pak-kau-pang-hoat, terang ia
menantang terhadap dirinya yang menjadi pangcu lama dan
Loh Yu-ka yang menjadi Pangcu baru, Loh Yu-ka belum
lengkap mempelajari ilmu permainan pentung itu dan belum
dapat dipergunakan menghadapi musuh, dengan sendirinya ia
sendirilah yang harus maju.
Kwe Ceng cukup tahu Pak-kau-pang-hoat sang isteri
tiadatandingannya di kolong langit ini, menduga dan yakin
pasti bisa kalahkan Hotu, cuma beberapa bulan paling akhir ini
semangat sang isteri selalu lesu dan tenaga kurang,
kandungannya baru tumbuh, Sekali-kali tak-boleh bergebrak
dengan orang.
Karena itu, segera ia melangkah maju ke tengah.
“Pak-kau-pang-hoat Ang-lopangcu selamanya tak
sembarangan digunakan, baiknya kau belajar kenal saja
dengan Hang-liong-sip-pat-ciang ajaran beliau ini,” segera ia
menantang.
Melihat langkah Kwe Ceng kuat bertenaga, diam-diam Kim-
Iun Hoat-ong terkejut, meski matanya kelihatan meram tidak
melek tidak “Orang ini memang nyata bukan lawan lemah,”
demikian ia membatin.
Sementara itu Hotu telah bergelak ketawa.
“Haha, di Cong lam-san dahulu Siau-ong sudah pernah
berjumpa sekali denganmu, tatkala itu kau mengaku anak
murid Ma Giok dan Khu Ju-It, kenapa sekarang memalsukan
diri sebagai muridnya Ang Chit-kong lagi?” tegurnya pada Kwe
Cing.
Dan sebelum orang menjawab, Hotu mendahului
menyambung lagi: “Ya, satu orang angkat beberapa guru juga
lumrah Cuma hari ini adalah gilran Kim-lun Hoat-ong
bertanding dengan Ang Chit-kong, meski tinggi ilmu silatmu,
tapi kau dapat dari beberapa perguruan, rasanya sukar
memperlihatkan ilmu kepandaian sejati dari Ang-lopangcu.”
Demikian debatnya panjang lebar dan beralasan juga,
dasar Kwe Ceng memang tak pandai bicara, ia menjadi Iebih
tergagap tak bisa menjawab, sebaliknya para kesatria lain
seketika menjadi ramai sambil berteriak-teriak.
“Kalau berani, hayo, bertanding saja dengan Kwe-tayhiap!
Kalau tak berani boleh lekas kempit ekor dan enyah dari sini!”
“Kwe-tayhiap adalah anak murid lurus Ang-lopangcu, kalau
dia tak bisa mewakilkan gurunya siapa lagi yang cocok
mewakili ?”
“Kau boleh coba rasakan enak tidaknya Hangliong-sip-pat-
ciang, habis itu baru kau cicipi lagi Pak-kau-pang-hoat juga
belum terlambat!”
Begitulah teriakan mereka yang simpang-siur.
Namun pangeran Mongol itu tiba-tiba tertawa mengadah,
waktu ia tertawa diam-diam ia kerahkan tenaga dalamnya
hingga suara “hahaha” yang kera2 lantang bikin genting
rumah seakan-akan tergetar dan suara ribut para kesatria itu
sama terdesak tenggelam.
Tentu saja semut orang sangat terkejut sungguh mereka
tidak nyana dengan umur semuda orang dan berdandan
sebagai bangsawan, ternyata memiliki Lwekang begini lihay.
Karena itu seketika mereka bungkam dan tenang kembali.
“Suhu, agaknya kita telah kecewaan orang.” kata Hotu
tiba-tiba pada Kim-lun Hoat-ong. “Tadinya “kita menyangka
hari ini benar-benar diadakan Eng-hiong-yan, maka tanpa
kenal capek datang dari jauh untuk ikut serta, siapa tahu yang
ada di sini tidak lebih hanya manusia-sia yang tamak hidup
dan takut mati. Lebih baik kita lekas pergi saja, kalau sial
sampai menjadi Beng-cu manusia ini kelak diketahui oleh
orang-orang gagah di seluruh jagad dan mentertawai kau sudi
menjadi pemimpin kawanan “kantong nasi” ini, bukankah
cuma bikin noda nama baik engkau saja?”
Semua orang tahu Hotu sengaja memancing agar Oey Yong
mau tampil ke muka sendiri, cuma kata-katanya yang terlalu
menghina itu membikin semua orang sangat marah. Tanpa
pikir lagi, sekali geraki pentungnya, segera Loh Yu-ka
melangkah maju.
“Cayhe adalah Pangcu bara dari Kay-pang, Loh Yu-ka,”
demikian ia perkenalkan diri, “Pak-kau-pang-hoat belum ada
1/10 bagian yang kupahami maka sesungguhnya belum
mampu untuk di pergunakan Tetapi kau berkeras ingin cicipi
rasanya pentung, baiklah, biar kupentung kau beberapa kali.”
Sebenarnya ilmu silat Loh Yu-ka sangat bagus, tetapi Pak-
kau-pang-hoat atau ilmu pentung pemukul anjing biar lengkap
dipelajarinya, namun tidaknya sudah menambah tidak sedikit
kekuatannya,” kini dilihatnya umur Hotu baru 30-an tahun, ia
menduga orang sekalipun mendapatkan ajaran guru kosen,
belum tentu latihannya sudah cukup ulet, ditambah iapun tahu
kesehatan Oey Yong terganggu, tidak peduli kalah atau
menang, tidak nanti Oey Yong disuruh maju untuk menghadapi
bahaya itu.
Di lain pihak Hotu hanya berharap tidak bergebrak dengan
Kwe Ceng, orang lain boleh dikatakan tiada yang dia takuti
karena itu, segera ia sambut baik majunya Loh Yu-ka.
“Selamat, selamat, Loh-pangcu,” demikian ia pun memberi
hormat.
Sementara itu centeng Liok-keh-ceng sudah
menyingkirkan meja2 hingga merupakan suatu kalangan
pertandingan di tengah, mereka menambahi lilin pula hingga
keadaan terang benderang bagai siang hari.
“Silakanlah !” seru Hotu segera.
Berbareng itu tiba-tiba kipasnya mengebas, seketika angin
kipasnya menyamber ke muka Loh Yu-ka, di antara angin
kipasnya ternyata, membawa bau wangi.
Kuatir kalau angin itu membawa hawa beracun, lekas-
lekas Loh Yu-ka mengegos.
Namun Hotu cepat luar biasa, mendadak kipasnya dilempit
kembali hingga berwujud sebatang potlot peranti Tiam-hiat
yang panjangnya 7-8 dim, terus ditutukannya ke iga lawan.
Tetapi tutukan ini ternyata tak dihiraukan Loh Yu-ka,
sebaliknya ia angkat pentung bambunya terus menyabet kaki
orang.
Pak-kau-pang-hoat ini memang bagus luar biasa, arah
yang dituju juga sama sekali tak bisa diduga orang, maka
ketika pangeran Hotu melompat enteng hendak berkelit, tak
terduga pentung bambu itu mendadak memutar balik secepat
kilat hingga betisnya kena tersabet, ia terhuyung-huyung dan
lekas-lekas melompat mundur, dengan begitu baru ia bisa
berdiri tegak lagi.
Senang sekali para kesatria melihat Loh Yu-ka berhasil
hajar orang.
“Ha, anjingnya kena gebuk, tuh !”
“Nah, biar kau rasakan enaknya Pak-kau-pang-hoat !”
Begitulah mereka bersorak memberi semangat pada Loh
Yu-ka.
Di lain pihak Hotu menjadi merah jengah karena
kekalahan itu, ketika dengan enteng ia membalik tubuh, cepat
sekali ia balas hantam orang dengan tangan kirinya.
Namun tahu-tahu Loh Yu-ka telah menendang habis itu
pentungnya menyamber kian kemari dengan perubahan2 yang
sukar ditangkap.
“Nyata Pak-kau-pang-hoat memang bukan omong kosong
belaka !” diam-diam Hotu terperanjat oleh ilmu permainan
pentung itu.
Maka tak berani lagi ia pandang rendah lawannya, ia
kumpulkan seluruh semangat dan tempur orang sungguh-
sungguh.
Betapapun juga memang belum masak betul Loh Yu-ka
mempelajari ilmu permainan pentung itu, beberapa kali
dengan gampang saja sebenarnya ia bisa jungkalkan lawan,
tetapi karena kalah ulat hingga serangannva gagal di tengah
jalan.
Menyaksikan itu, diam-diam Oey Yong dan Kwe Ceng meraba
sayang,
Sesudah belasan jurus lagi, lambat laun kelemahan Loh
Yu-ka menjadi tertampak lebih terang, Meski Yo Ko duduk di
pojok ruangan itu, tapi setiap gerak tipu orang dapat
dilihatnya semua.
Kini nampak keadaan toh Yu-ka itu, diam-diam ia ikut
kuatir, Untung pangeran Hotu kena dihajat betisnya pada
permulaan ia menjadi jeri terhadap, Pak-kau-pang-hoat yang
aneh ini, maka tak berani ia terlalu mendesak kalau tidak,
sejak tadi Loh Yu-ka tentu sudah dirobohkan.
Melihat gelagatnya makin jelek, Oey Yong menjadi kuatir,
selagi ia hendak teriaki Loh Yu-ka undurkan diri mendadak Loh
Yu-ka menggunakan suatu tipu yang disebut “sia-ta-kau-pwe”
“atau menggebuk punggung anjing dari samping, begitu
pentung bambu berkelebat, dengan sengit ia hantam dan
tepat kena pipi kiri Hotu.
Tentu saja pangeran Mongol itu malu tercampur sakit,
tanpa pikir ia pegang pentung orang, menyusul mana sebelah
tangannya terus menghantam, maka terdengarlah suara
“bluk” yang keras, tepat dada Loh Yu-ka kena dipukul sekali.
Habis itu, sebelah kaki Hotu menyerampang pula, segera
terdengar lagi suara “krak”, nyata tulang kaki Loh-Yu-ka telah
patah, darah segar menyembur pula dari mulutnya, orangnya
terus terguling roboh.
Dua anak murid Kay-pang berkantong delapan lekas-lekas
menubruk maju untuk membangunkan Pangcu mereka.
Melihat cara turun tangan Hotu begitu keji, semua orang
merasa gusar sekali.
Sementara itu dengan memegang pentung bambu hijau
mengkilap yang baru dapat merampas itu, Pangeran Hotu
tampak berseri-seri saking senangnya.
“Ha, Pak-kau-pang-hoat yang menjadi pusaka kebanggaan
Kay-pang ternyata tidak lebih hanya begini saja,” demikian ia
menyindir.
Karena maksudnya ingin hina perkumpulan kaum jembel
pembela keadilan ini, segera ia pegang kedua ujung tongkat
bambu itu, segera penting bambu itu hendak ditekuk patah di
hadapan orang banyak
Tak ia duga, sekonyong-konyong pandangannya menjadi
silau, tahu-tahu seorang wanita muda lemah lembut telah
berdiri di hadapannya.
“Nanti dulu !” terdengar wanita itu berseru. Nyata, ia
bukan lain daripada Oey Yong adanya.
Nampak gerak tubuh orang begitu cepat. Hotu kaget.
“Kau…” demikian baru ia buka mulut mendadak Oey Yong ulur
tangannya dan kedua matanya hendak dicoloknya.
Lekas Hotu menangkis, karena itu dengan enteng pentung
bambu itu telah berpindah tangan direbut kembali Oey Yong.
Tipu gerakan yang dipakai Oey Yong ini disebut “Kau-go-
toat-theng” atau merebut tongkat dari mulut anjing, termasuk
satu di antara tipu Pak-kau-pang-hoat yang paling lihay, tipu
ini bisa berubah tanpa bisa diraba sebelumnya hingga betapa
hebat lawannya pasti tak dapat hindarkan diri.
Begitulah, diiringi suara sorak sorai para kesatria,
kemudian Oey Yong kembali ke tempatnya semula dan taruh
tongkat bambu di sampingnya, Hotu yang ditinggalkan
sendirian terpaku di tengah kalangan dengan rasa kikuk dan
serba salah.
Sungguh, meski ilmu silatnya sudah terhitung-tingkat
tertinggi, tetapi dengan cara bagaimana sebenarnya Oey Yong
dapat merebut pentung bambu dari tangannya, hal ini bikin
dia tetap bingung, ia pikir apakah wanita ini bisa ilmu sihir.
Dalam pada itu suara orang menyindir mencemoohkan
yang riuh ramai, wajah gurunya lama kelamaan pun
bersungut, sungguh gusar Hotu sukar dikatakan.
Tetapi iapun seorang sangat cerdik, dengan suara keras
segera ia berseru: “Ui-pangcu, tongkat-mu itu sudah
kukembalikan, sekarang silakan maju lagi buat coba-coba.”
Dengan kata-katanya ini, betul saja ada orang menyangka
tadi bukannya Oey Yong yang merebut, tetapi Hotu yang
kembalikan tongkat bambu itu untuk minta bertanding secara
teratur. Hanya beberapa orang yang sangat tinggi
kepandaiannya yang dapat melihat sebenarnya Oey Yong telah
merebut pentung itu dengan ilmu silat yang maha tinggi.
Di samping sana Kwe Hu menjadi dongkol mendengar
kata-kata Hotu itu, selamanya belum pernah gadis ini melihat
seorang berani berlaku kurangajar terhadap ibunya, maka
tanpa pikir, dengan cepat pedangnya telah dilolosnya.
“Hu-moay, biar aku gantikan kau maju,” kata Siu-bun tiba-
tiba.
Tun-si juga berpikir sama, tanpa janji kedua saudara Bu
itu telah melompat ke tengah berbareng.
“lbu guruku adalah orang terhormat,” demikian kata yang
satu, lalu yang lain menyambung: “mana sudi dia bergebrak
dengan manusia liar seperti kau ini ?”
Dan yang duluan segera sambung lagi: “Kau boleh coba
dulu ilmu kepandaian Siauya (tuan muda) ini!”
Melihat umur kedua saudara Bu ini meski muda, tetapi
gerak-geriknya tangkas dan kuat, tampaknya pernah
mendapat ajaran guru pandai, diam-diam Hotu berpikir:
“Kedatangan kami hari ini memang bertujuan pamer
kepandaian untuk jatuhkan nama jago silat bangsa Han, kalau
bisa bertarung beberapa babak adalah lebih baik. Cuma
mereka berjumlah lebih banyak, kalau terjadi keroyokan pasti
sukar untuk menang.”
Karena pikiran itu, segera iapun berkatalah: “Para
Enghiong yang hadir, kedua anak bawang ini ingin bertanding
dengan aku, jika Siau-ong terima tantangannya, mungkin
orang akan bilang aku orang tua akali anak kecil, tetapi bila
tak bertanding, rasanya seperti jeri terhadap dua bocah saja,
baiknya begini saja, kita janji dulu bertanding tiga babak,
pihak mana bisa menangkan dua babak, itu berarti menang
dan memperoleh kedudukan Beng-cu. pertandingan Siau-ong
tadi dengan Loh-pangcu boleh tak usah dihitung, sekarang
juga kita mulai pertandingan yang baru, bagaimana pendapat
kalian dengan usulku ini ?”
Beberapa kata-kata itu diucapkan dengan mengagulkan
kedudukannya dan menonjolkan pihaknya yang suka
mengalah.
Maka Kwe Ceng dan Oey Yong lantas bisik-bisik berunding
dengan para tetamunya, mereka mengusulkan Kwe Ceng, Hek
Tay-thong dan si Su-seng, sastrawan murid It-teng Taysu itu
sebagai tiga jago mereka, si Su-seng maju dalam babak
pertama melawan Hotu, Hek Tay-thong babak kedua
menempur Darba dan Kwe Ceng terakhir menandingi Kim-lun
Hoat-ong.
Dengan barisan jago mereka ini apa pasti menang atau
tidak, sesungguhnya merekapun belum yakin, jika ilmu silat
Kim-lun Hoat-ong benar-benar tinggi luar biasa hingga Kwe
Cing tak mampu menandingi boleh jadi tiga babak akan kalah
semua, hal ini benar-benar suatu kekalahan yang
mengenaskan.”
Karena itu semua orang menjadi ragu-ragu tak berani
ambil keputusan.
“Aku ada suatu akal dan pasti akan menang.” tiba-tiba Ui
Yong berkata.
Girang sekali Kwe Ceng, selagi ia mau tanya, tiba-tiba
didengarnya angin senjata sudah samber menyamber, ia lihat
Bu-si Hengte dengan pedang mereka sudah mulai menempur
Hotu dengan serunya.
Kwe Ceng, Oey Yong dan si Su-seng murid It-teng Taysu
merasa kuatir atas keselamatan murid mereka, mau-tak-mau
mereka mengikuti pertandingan seru itu dengan penuh
perhatian.
Pihak mana bakal unggul bertanding tiga babak merebut
kedudukan Beng-cu? Apakah Yo Ko ikut pamer kepandaian ?
Kuatkah Kwe Ceng melawan Kim-lun-hoat-ong ? Kemana saja
Siao-liong-li selama ini ?
Nah, saksikan bagaimana dia pukul mundur jago-jago Mongol
bersama Yo Ko ?

Jilid 19
Kiranya setelah mendengar Hotu menghina mereka
sebagai bocah vang masih ingusan, Bn-si Hengte menjadi
tidak kepalang murkanya, lebih-lebih karena kata-kata itu
diucapkan di hadapan “si dia”, bukankah hal itu membikin
mereka sangat malu? Maka tanpa pikir lagi segera mereka
lolos pedang terus merangsang maju.
Nyata mereka sangka ilmu silat Hotu tidak seberapa
lihaynya, buktinya dengan gampang saja ibu gurunya telah
dapat merebut tongkat bambu dari tangannya, mereka pikir
meski Loh Yu-ka kena dikalahkan olehnya, hal ini mungkin
ilmu silat Loh Yu-ka yang tak berguna, mereka juga
mengunggulkan sudah mendapatkan pelajaran silat dari Kwe
Cing, seorang diri mungkin bukan tandingannya, tetapi kalau
dua orang maju bersama, sekali-kali tidak terkalahkan.
Siapa tahu, baru beberapa jurus saja, kedua pedang
mereka sudah terkurung oleh kipasnya Hotu hingga tak bisa
berkutik
Hotu sengaja pamerkan kepandaiannya di depan orang
banyak ia tunggu waktu Bu Siu-bun menusuk, tiba-tiba jari
telunjuk kirinya menahan batang pedang orang ke atas,
berbareng itu kipasnya mendadak diayun dari samping dan
menghantam pedang orang, maka terdengarlah suara nyaring
sekali, tahu-tahu pedang panjang itu patah menjadi dua.
Kaget sekali Bu-si Hengte, lekas-lekas Siu-bun melompat
pergi, sebaliknya Tun-si kuatir adiknya di lukai, dari belakang
segera ia tusuk punggung orang untuk memaksa musuh tak
sempat mengejar
Diluar dugaannya, tipu serangannya ini sudah
diperhitungkan Motu sebelumnya, tanpa berpaling sedikitpun,
kipas lempitnya tahu-tahu diputar ke belakang, dengan tepat
sekali pedang Tun-si kena terkacip, berbareng itupun Hotu
puntir dengan jarinya.
Kalau Tun-si memutar mengikuti puntiran kipas Hotu maka
tulang pundaknya sudah pasti akan keseleo, Karena itu
terpaksa ia lepaskan pedang dan melompat ke belakang, Maka
tertampak-lah pedangnya mencelat ke udara sembari
mengeluarkan sinar yang gemilapan untuk kemudian baru
jatuh kembali.
Terkejut sekali Bu-si Hengte tercampur gusar, Tun-si
siapkan telapak tangan kiri di depan dan pasang kuda-kuda
gaya Hang-liong-sip ciang, sebaliknya Siu-bun meluruskan
tangan kanan ke bawah dengan jari telunjuk menjengkit
sedikit, ia menunggu bila musuh berani merangsang maju
segera akan dilayaninya dengan It-yang-ci.
Melihat kuda-kuda kedua pemuda yang kukuh, agaknya
Hotu tak berani juga memandang ringan ia pikir
kemenangannya sudah cukup, lebih baik disudahi saja untuk
menjaga segala kemungkinan.
Hendaklah diketahui bahwa Hang-liong-sip-pat-ciang (18
jurus ilmu pukulan penakluk naga) ajaran Ang Chit-kong dan
It-yang-ci (ilmu jari betara surya) ajaran It-teng Taysu yang
berjuluk Lam-tie atau raja dari selatan itu, kedua ilmu itu
terhitung ilmu kelas wahid dalam dunia silat, meski latihan Bu-
si Hengte masih cetek, tetapi kuda-kuda yang mereka pasang
sudah begitu kuat untuk orang biasa mungkin tak mengetahui
di mana letak kelihayannya, tetapi bagi Hotu tergolong ahli,
diinsafinya tidak mudah untuk mengalahkannya.
“Hahaha,” demikian ia bergelak ketawa, “kalian berdua
silakan kembali saja, kita hanya tentukan unggul dan asor
sampai di sini, tetapi tidak perlu adu jiwa !”
Nyata lagu suaranya sudah banyak lebih halus daripada
tadi.
Bu-si Hengte juga insaf bila menempur orang dengan
tangan kosong, kekalahan mereka pasti akan lebih
menyedihkan, maka dengan muka merah terpaksa mereka
undurkan diri dengan lesu, mereka menyingkir ke samping,
tetapi tidak berdiri di se-keliling Kwe Hu lagi.
“Bu-keh Koko, mari kita bertiga tempur dia lagi,”
mendadak Kwe Hu berteriak sambil mendekat mereka.
Semua orang jadi ketarik oleh teriakan si gadis, sedang
Kwe Hu dengan cepat sudah lolos pedangnya.
“Hu-ji, jangan sembrono !” lekas-lekas Kwe Ceng
membentak.
Memang Kwe Hu paling takut pada sang ayah, terpaksa ia
mundur kembali sambil pelototi Hotu dengan marah.
Melihat rupa si gadis yang cantik molek, dengan
tersenyum Hotu memanggut. Tetapi sekali lagi Kwe Hu
pelototi orang, habis ini ia berpaling dan tak menggubrismu.
Tadinya Bu-si Hengte kuatir ditertawai Kwe Hu karena
kekalahan mereka, kini melihat si gadis membela mereka
dengan sesungguh hati, suatu tanda hati si gadis menaruh
simpatik juga pada mereka, tentu saja mereka sangat
terhibur.
“Pertandingan tadi dengan sendirinya tak terhitung juga,”
sementara Hotu membuka suara lagi sambil pentang kipasnya,
“Kwe-tayhiap, pihak kami adalah guruku, suhengku dan Cayhe
sendiri bertiga ilmu silatku paling rendah, maka babak
pertama juga aku yang maju dahulu, dari pihakmu siapakah
yang sudi turun kalangan memberi petunjuk sedikit padaku?
Cuma harus diingat, siapa yang bakal menang atau kalah,
sekarang bukan main-main lagi.”
Karena tadi mendengar Oey Yong bilang “ada akal” yang
pasti akan menang, Kwe Ceng yakin sang isteri yang pintar
cerdik dan banyak akal, walau pun benar, diketahui apa tipu
daya yang hendak di aturnya, namun dalam hati ia sudah tak
takluk:
“Baik,” segera iapun menjawab tantangan-orang, “kita
lantas tentukan unggul dan asor dalam tiga babak, pihak
mana yang kalah, selanjutnya harus tunduk pada perintah
Beng-cu, sekali-kali tak boleh menolak.”
Hotu tahu ilmu silat yang paling tinggi di pihak lawan
adalah Kwe Ceng, tetapi gurunya yakin bisa menangkannya.
Ada lagi Oey Yong, mesl tadi gunakan tipu aneh merebut
tongkat dari tangannya, tetapi melihat gaya orang yang lemah
lembut, kalau betul-betul saling gebrak, belum tentu akan
begitu lihay, sedang yang lain-lain sama sekali tak terpikir
olehnya.
“Baiklah, apa para hadirin yang lam ada usul pula, silakan
berkata lekas,” begitulah ia menanya sembari matanya
memandang sekeliling ruangan “Dan nanti kalau unggul atau
asor sudah diputuskan, hendaklah kalian juga tunduk pada
perintah Beng-cu.”
Sebenarnya banyak kesatria2 yang hendak menjawab
tantangannya, tetapi menyaksikan Loh Yu-ka dan Bu-si
Hengte dikalahkan dia secara gampang saja, agaknya
kepandaiannya juga belum dikeluarkan semua hingga tak
diketahui masih berapa banyak ilmu silatnya yang tersimpan,
maka seorangpun segan buka mulut, mereka hanya
memandang Kwe Ceng dan Oey Yong dan pasrah saja kepada
suami isteri ini.
“Kau bilang mau maju pada bahak pertama, lalu
suhengmu babak kedua dan akhirnya gurumu babak ketiga,
apakah acara ini sudah pasti dan tak digeser lagi bukan?” tiba-
tiba Oey Yong menanya.
“Ya, betul.” sahut Hotu.
“Kemenangan pasti berada pada kita sudah,” kata Ui
Yong, tetapi bukan kepada Hotu melainkan membisiki orang-
orang yang berada disampingnya.
“Tipu akal apakah yang kau atur?” tanya Kwe Ceng
bingung.
“Jangan kuatir,” sahut Oey Yong pelahan. “Kita pasang kuda
rendahan untuk menandingi kuda bagus mereka…” berkata
sampai disini, tiba-tiba Oey Yong pandang si Su-seng dari Tay-li,
karena itu, dengan tersenyum Su-seng itu menyambung
dengan pelahan: “dengan kuda bagus kita menandingi kuda
tengahannya dan dengan kuda tengahan kita menandingi
kuda jeleknya. jika tiga babak berakhir maka tanpa susah2
Dian Ki- mendapatkan hadiah seribu emas dari raja.”
Kwe Ceng tak pandai dalam hal kesusastraan, ia menjadi
bingung entah apa yang mereka maksudkan.
Melihat sang suami masih belum paham, segera Oey Yong
membisikinya: “Cing-koko, kau pandai dalam ilmu militer,
kenapa kau melupakan tipu akal bagus dari kakek-moyang
ilmu militer Sun-cu?”
Karena peringatan ini barulah Kwe Ceng ingat pada kitab
militer yang dahulu pernah dibacanya, dimana Oey Yong pernah
ceritakan suatu kisah padanya bahwa di jaman Cian-kok,
panglima dari negeri Ce, Dian Ki, berlomba kuda dengan raja
Ce sendiri dengan taruhan seribu tail emas. Untuk ini Sun-cu
telah ajarkan suatu akal yang pasti menang pada Dian Ki,
yakni gunakan kuda paling jelek buat lawan kuda terpilih raja
Ce, sebaliknya gunakan kuda pilihan sendiri untuk melawan
kuda terjelek lawan dan kuda cukupan buat menandingi kuda
jelek sang raja, dengan demikian hasilnya yalah menang 2
kalah l, maka hadiah 1000 tahil emas telah digondol Dian Ki.
Kini maksud Oey Yong juga mencontoh siasat Sun-cu itu.
“Cu-suheng, dengan ilmu kepandaianmu It-yang-ci, untuk
mengalahkan pangeran Mongol ini tentunya tidak sulit,”
demikian kata Oey Yong.
Su-seng dari negeri Tay-li itu she Cu bernama Cu-liu,
dahulu ilmu sastranya menjagoi negerinya dan terpilih sebagai
Conggoan (suatu gelar kebesaran dlm ujian kestssasteraan
tertinggi di hadapan raja dan pernah juga menjabat sebagai
Caysiang (perdana menteri negeri Tayli daerah Hunlam),
dengan sendirinya kepintarannya dan kecerdasannya melebihi
orang biasa.
Waktu mula-mula ia masuk perguruan It-teng Taysu (yang
tadinya adalah Sri Bagindanya), diantara empat saudara
seperguruan ber-turut-urut” direbut “Hi-Jiau-Keng-Tok” atau si
Nelayan, si Tukang Kayu, si Petani dan si Sastrawam jadi ilmu
silatnya terhitung paling rendah. Akan tetapi sepuluh tahun
kemudian ia sudah menanjak sebagai orang kedua diantara
empat saudara perguruan itu, Dan kini, ilmu silatnya malah
sudah jauh di atas sesama saudara seperguruan yang lain.
Lebih-lebih ilmu It-yang-ci boleh dikatakan sudah
mewariskan seluruh kemahiran It-teng Taysu, Diambil secara
rata2 ilmu silatnya meski belum setingkat dengan Kwe Ceng,
tetapi sudah jauh melebihi jago segolongan Ong Ju-it, Hek
Tay-thong, Loh Yu-ka dan lain-lain.
Begitulah, maka demi mendengar kata-kata sang isteri,
Kwe Ceng yang selamanya berpikir sederhana dan bicara terus
terang, segera ia menyambung ucapan Oey Yong tadi: “Ya, Cu-
suheng pasti bisa menangkan orang Mongol ini, akupun dapat
mengalahkan padri Tibet Darba itu, tetapi Hek-susiok yang
harus melawan Kim-lun Hoat-ong, inilah yang terlalu
berbahaya, meski kalah-menang tidak banyak hubungannya
lagi dengan keadaan seluruhnya, tetapi dikuatirkan musuh
terlalu keji hingga Hek-susiok sukar melawannya.”
Namun Hek Tay-thung adalah seorang berjiwa besar, ia
tahu pertandingan ini berhubungan dengan soal nasib negara,
berbeda sama sekali dari pada perebutan nama dan
keuntungan diri sendiri seperiti umumnya terjadi di kalangan
Bu-lim, kalau pertandingan ini sampai dimenangkan imam
negara MongoI, hal ini bukan saja dunia persilatan bangsa
Han kehilangan muka, bahkan susah juga untuk bersatu padu
buat melawan musuh dan membela nasib negara.
Karena itu, dengan keras segera iapun berkata. “Soal
diriku tak perlu dikuatirkan, asal bermanfaat bagi negara.
sekalipun aku harus mati di tangan musuh tidaklah
menjadikan pikiranku.”
“Soal itu jangan kuatir,” kata Oey Yong, “Bila dalam
pertandingan tiga babak kita sudah menangkan dua babak,
maka babak ketiga dengan sendirinya tak perlu dilangsungkan
lagi.”
Kwe Ceng menjadi girang oleh penjelasan ini, berulang kali
ia menyatakan benar.
“Jika begitu tugas Cayhe nyata tidak ringan kalau tidak
bisa menangkan pangeran Mongol itu tentu bakal dicaci maki
oleh kesatria seluruh jagat buat selamanya,” kata Cu Cu-liu
dengan tertawa.
“Jangan kau merendah diri, silakan majulah,” ujar Oey Yong.
Lalu Cu Cu-liu majulah ke tengah, ia kiong-chiu memberi
salam kepada Hotu lebih dulu.
“Babak pertama, biarlah aku yang belajar kenal dengan
Tianhe (Putera Pengeran)” demikian ia berkata, “Aku she Cu
bernama Cu-iiu. asal orang Kimbeng, Hunlam, murid It-teng
Taysu, hidupku paling suka bersyair dan membaca, maka soal
ilmu silat banyak yang- terlantar, hal ini hendaklah Tianhe
suka banyak memberi petunjuk.”
Habis berkata, ia membungkuk memberi hormat pula, lalu
dari bajunya ia keluarkan sebatang pit, ia menggores2
beberapa kali di udara, lagaknya tepat sekali sebagai seorang
terpelajar.
“Semakin aneh orangnya, semakin tinggi kepandaiannya.
agaknya tidak boleh pandang enteng padanya,” demikian pikir
Hotu: Karena itu, iapun balas memberi hormat dan membuka
suara: “Siau-ong minta belajar sedikit pada Cianpwe, silakan
keluarkan senjata saja !”
“Mongol adalah negeri yang masih biadab dan belum
mendapat ajaran Nabi, kalau Tiante minta belajar, sudah tentu
akan kuberi petunjuk seperlunya,” sahut Cu-liu.
Mendongkol sekali hati Hotu oleh kata-kata orang yang
menghina negerinya.
“Baiklah, dan ini adalah senjataku, kau memakai golok
atau pedang ?” tantangnya segera sembari kebas-kebas
kipasnya.
Cu-liu tidak lantas menjawab, ia angkat dulu pit-nya dan
menulis di udara satu huruf “pit”, lalu dengan tertawa ia
menyahut: “Selama hidupku selalu berdampingan dengan
batang pit, senjata apa yang bisa kugunakan?”
Waktu Hotu menegasi, ia lihat alat tulis orang memang
benar-benar sebatang pit yang terbuat dari garan bambu
dengan ujung bulu kambing, pada bagian ujung bulu masih
berlepotan tinta bak pula, sama sekali berlainan dengan Boan-
koan-pit atau potlot jaksa yang terbikin dari baja yang biasa
digunakan untuk Tiam-hiat oleh jago silat
Dan karena merasa heran, selagi ia hendak menanya,
mendadak matanya terbeliak, tahu-tahu dan depan dilihatnya
berjalan masuk seorang gadis berbaju putih.
Setelah masuk gadis itu berdiri di depan pintu, sinar
matanya mengerling pelahan pada setiap orang, agaknya ada
seseorang yang sedang di-carinya.
Waktu itu sebenarnya pandangan semua orang lagi
dicurahkan pada Cu-liu dan Hotu yang hampir saling gebrak
itu, tetapi begitu si gadis baju putih itu masuk, tanpa tertahan
sinar mata semua orang beralih kepadanya, wajah gadis itu
kelihatan putih lesi seperti orang habis sakit, dibawah sinar lilir
yang terang benderang, wajahnya sedikitpun tiada warna
darah, namun hal ini semakin menunjukkan kehalusan si gadis
yang lain dari pada yang lain, wajahnya pun cantik luar biasa.
Biasanya orang suka menggunakan kata-kata “secantik
bidadari” sebagai bahasa hiasan untuk wanita cantik tetapi
betapa cantiknya bidadari sebenarnya, siapapun tiada yang
tahu. Kini demi nampak si gadis, tanpa terasa dalam hati
semua orang lantas timbul kesan seperti apa yang dikatakan
“”secantik bidadari” itu.
Dalam pada itu, demi nampak si gadis baju putih itu,
girang Yo Ko bukan buatan, dadanya seakan-akan mendadak
dipukul sekali dengan palu, bagaikan orang gila saja ia
melompat keluar dari pojok ruangan itu terus merangkul erat-
erat gadis itu.
“Kokoh! Kokoh! O! Kokoh!” demikian ia berteriak-teriak.
Kiranya gadis ini memang betul Siao-Iiong-li adanya.
Setelah meninggalkan Yo Ko di gunung Cong-lam-san,
seorang diri ia telah kembali ke kamar batu dalam kuburan
kuno itu dengan selulup lagi melalui lorong di bawah sungai
itu.
Dahulu waktu ia masih tinggal dalam kuburan itu bersama
Sun-popoh, hatinya waktu itu boleh dikatakan setenang air
berhenti, sedikitpun tak berbuat tetapi sejak bertemu Yo Ko
dan sesudah mengalami banyak rintangan, hendak kembali
lagi kepada ketentraman batinnya yang dulu itu ternyata
sudah tidak mungkin lagi Asai dia berlatih di atas ranjang batu
pualam, segera ia ingat Yo Ko pernah tidur juga diatas
ranjang itu, bila ia sedang makan menyanding meja, segera ia
ingat pula si Yo Ko selalu mendampinginya makan.
Karena itulah, ia menjadi uring-uringan sendiri, tidak
seberapa lama ia berlatih, segera ia merasa hatinya menjadi
gelisah dan sukar melatih diri lagi.
Keadaan begitu dapat dilewatkan sebulan, akhirnya ia tak
tahan lagi, ia ambil keputusan buat pergi mencari Yo Ko,
kalau ketemu, cara bagaimana ia akan hadapi pemuda itu, hal
ini ia sendiripun tidak tahu.
Setelah turun gunung, ia melihat segalanya serba baru
baginya, sudah tentu ia tak kenal jalan pula, apalagi ke mana
harus mencari si Yo Ko? Dan karena kurang pergaulan, iapun
tidak kenal tata-krama segala, siapa yang dia ketemukan
segera ia tanya: “Kau melihat Yo Ko tidak?”
Bila perutnya lapar, ia ambil saja milik orang dan dimakan,
ia tidak kenal apa harus membayar atau tidak. karena itu tidak
sedikit keonaran dan lelucon yang terjadi sepanjang
perjaIanannya. Baiknya semua orang melihat rupanya begitu
cantik molek, siapa saja suka mengalah padanya dan tidak
menarik panjang persoalannya.
Suatu hari, tanpa sengaja di dalam hoteI ia mendengar
percakapan dua lelaki bahwa para kesatria dari seluruh jagat
hendak pergi menghadiri Eng-hiong-yan di Liok-keh-ceng, ia
menduga boleh jadi Yo Ko berada di sana juga, maka
sesudah menanya arah jalannya iapun berangkatlah menuju
Liok-keh-ceng.
Diantara para kesatria yang hadir itu, kecuali Hek Tay-
thong, In Ci-peng dan Thio Ci-keng bertiga, tiada orang lain
lagi yang mengetahui dari mana asal usulnya Slao liong-li,
cuma melihat kecantikannya sungguh luar biasa, dalam hati
mereka timbul kesan yang aneh.
Dalam pada itu demi kenali Siao-liong-li, muka In Ci-peng
mendadak menjadi pucat bagai mayat, tubuhnya pun
gemetar, sebaliknya Ci-keng me-lirik2 sang Sute sambil
tertawa dingin.
Kwe Ceng dan Oey Yong juga rada heran.
“Ko-ji, nyata kau memang berada di sini, sungguh susah
payah aku mencari kau,” demikian kata Siao-liong-li.
Saking terharunya, Yo Ko mengalirkan air mata.
“Kau… kau tak akan meninggalkan aku lagi bukan?”
tanyanya dengan terguguk-guguk.
“ltulah aku tak tahu,” sahut Siao-liong-li sambil geleng
kepala.
“Kemana kau pergi, ke sana juga aku ikut kau,” kata Nyo
Ko pasti.
Begitulah, meski dalam ruangan pendopo itu berjubel-
jubel dengan tetamu yang ribuan jumlahnya, tetapi kedua
muda-mudi itu seakan-akan berada berduaan saja dan
bercakap-cakap dengan seenaknya. Siao-liong-li memegangi
tangan Yo Ko, hatinya entah lagi suka atau duka waktu itu.
Melihat Siao-liong-ii yang menggiurkan, meski Hotu
terguncang juga hatinya, tetapi ia tidak tahu gadis ini bukan
lain adalah orang yang dahulu pernah dilamarnya ke Cong-
lam-san itu, ia lihat pakaian Yo Ko compang-camping berbau
busuk, tetapi sikapnya begitu kasih sayang pada si gadis,
tanpa terasa timbul rasa cemburunya dan dongkoI pula.
“Hai, kami hendak adu kepandaian, kalian hendaklah
menyingkir dahulu,” demikian ia lantas berseru.
Tak sempat lagi Yo Ko menjawab, iapun tidak banyak
cingcong, ia gandeng tangan Siao-liong-li dan diajaknya duduk
di samping kalangan untuk menceritakan pengalaman masing-
masing sesudah berpisah selama ini.
Nampak orang sudah minggir, lalu Hotu berpaling dan
berkata lagi pada Cu Cu-liu: “Baiklah, jika kau tak pakai
senjata, boleh juga kita bertanding dengan tangan kosong.”
“Bukan begitu maksudku,” sahut Cu-liu seakan-akan
sedang bersanjak. “Negeri Tionghoa kami adalah negeri
bermartabat tinggi dan berlainan dengan negeri Mongol yang
masih liar, laki-laki sejati hanya bicara secara halus,
pertemuan antara sobat cukup dengan pakai pit, kini milikku
hanya pit saja, buat apa harus pakai senjata?”
“Kalau begitu, awas, serangan!” kata Hotu mendadak,
kipasnya terpentang, segera ia menyabet ke depan.
Lekas-lekas Cu-liu melangkah ke samping sambil geleng-
geleng kepala, sedang tangan kiri mendadak meraba ke depan
dengan tangan kanan yang memegang pit terus mencoret ke
muka Pangeran Hotu.
Melihat gerak-gerik orang enteng gesit, tipu serangannya
aneh, Hotu tak berani main merangsang, ia ingin pahami dulu
cara bersilat orang barulah mengambil siasat perlawanannya.
“Awas, Tianhe, pit-ku ini biasanya menjapu bersih beribu
perajurit!” kata Cu-liu tertawa, berbareng itu ujung pit-nya
lantas menutul lagi ke depan.
Ilmu silat Hotu meski dipelajari di daerah Tibet, tetapi
gurunya, yaitu Kim-lun Hoat-ong luas sekali pengalamannya,
setiap cabang, setiap aliran persilatan di daerah Tionggoan
tiada yang tak dipahaminya, dan karena mulai belajar Hotu
sudah ber-cita2 mau tonjolkan nama besarnya ke daerah
Tionggoan, maka Kim-lun Hoat-ong pernah memberikan
perincian semua tipu-tipu serangan lihay dari berbagai cabang
dan aliran silat pada muridnya ini.
Tak terduga Cu-liu pakai senjata aneh, tipu serangannya
juga lain dari yang lain, gerak-geriknya bebas, ujung pit-nya
menggores ke sana dan mencoret ke sini di udara, tampaknya
seperti lagi menulis saja, tetapi tempat dimana ujung pit-nya
mengarah justru adalah Hiat-to atau jalan darah berbahaya di
tubuh lawan.
Kiranya Cu Cu-liu ini adalah ahli seni-tulis (disamping seni-
lukis, di Tiongkok dikenal juga seni-tulis, yakni mengutamakan
tulisan bagus dengan gaya tersendiri yang indah dan
bertenaga, ada yang disebut “Cau-su”, yakni tulisan yang
mendekati “coretan” secara bebas dan ada lagi yang disebut
“thay-su” yang ditulis secara lugu dan orisinil) di daerah
selatan, meski ia belajar silat, tetapi ilmu sastranya tak pernah
dikesampingkan semakin tinggi ilmu silatnya. akhirnya ia
malah menciptakan sendiri semacam kepandaian yang dia
lebur antara It-yang-ci dengan seni-tulisnya. Karena itu, kalau
lawannya tidak cukup punya dasar ilmu sastra, sungguh susah
hendak melawan ilmu silatnya yang aneh ini.
Baiknya Pengeran Hotu suka berlagak terpelajar sejak kecil
iapun pernah bersekolah dengan guru sastra bangsa Han,
karena itu ia masih bisa menahan serangan Cu-liu, ia lihat
diantara gaya tulisan orang terseling pula gaya menutuk dan
di antara menutuk bergaya pula menuIis, sehingga diantara
kegagahannya tercampur juga gaya lembutnya orang
terpelajar.
Kwe Ceng tidak paham ilmu sastra, dengan sendirinya ia
terheran-heran oleh permainan silat itu. sebaliknya Oey Yong
keturunan keluarga cendekia-wan, baik silat maupun surat
lengkap dipelajari semua, kini dilihatnya ilmu silat Cu-liu yang
aneh tetapi hebat ini, ia menjadi kagum tak terhingga.
Dalam pada itu, Kwe Hu yang ikut saksikan pertarungan
itu agaknya merasa bingung, ia mendekati sang ibu dan
menanya: “Mak, ia corat-coret dengan pit-nya kian-kemari,
permainan apakah ini?”
Karena seluruh perhatiannya lagi dicurahkan ke kalangan
pertempuran, maka sekenanya Oey Yong menjawab : “Pang-
hian-ling-pi.”
“Pang-hian-ling-pi apakah itu?” tanya lagi Kwe liu semakin
bingung.
Tetapi Oey Yong lagi terpesona oleh pertarungan itu maka
tak dijawabnya pertanyaan Kwe Hu.
Kiranya “Pang-hian-ling-pi” adalah suatu judul karangan
yang ditulis pada suatu pilar oleh pembesar ahala Tong yang
bernama di Sui-liong, tulisan itu dilakukan dengan gaya “Khay-
su” yang amat bagusnya.
Dan sekarang Cu-liu telah mencemooh karangan itu
dengan menulisnya pakai “It-yang-su” atau tulisan dengan It-
yang-ci, ia gunakan ujung pit sebagai gantinya jari, maka
setiap coretan, setiap goresan, dilakukan dengan menurut
aturan dan mirip sekali seperti lagi menitis secara “Khay-su”.
Meski Hotu tak kenal lihaynya It-yang-ci, tetapi sedikitnya
ia masih paham setiap huruf dalam karangan “Pang-hian-ling-
pi”, maka sebelum alat tulis orang bergerak, ia sudah bisa
menduga ke mana goresan dan coretan hendak dilakukan,
dengan begitu ia bisa menjaga diri secara rapat dan belum
tertampak tanda-tanda bakal kalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar