Kwee Siang |
Jilid 3________________
Ia kaget tercampur
penasaran. Ia merasa pasti, bahwa kedua tahang besi yang sangat berat itu, tak akan bisa menangkis
ceceran pedang jika ia menyerang dengan menggunakan kecepatan.
Memikir begitu, ia
lantas saja berseru: "Toahweeshio, kali ini kau hati2" Pedangnya menggetar dan seperti
kilat, ia mengirim enam belas tikaman berantai.
"Tang-tang-tang !
- - -" enambelas kali Cap-lak chioe Soen loei kiam (Pedang geledek enambelas kali menikam)
menikam di tahang besi!
Melihat gerak gerik Kak-wan
yang sangat repot dan bingung waktu diserang, semua orang percaya, bahwa memang
sebenarnya ia tidak mengerti ilmu silat.
Pada waktu Ho Ciok Too
baru mulai menyerang, semua orang sangat berkuatir. "Ho Kie-sie, jangan berlaku kejam
!" teriak Boe sek dan Boe siang hampir berbareng,
"Ho Toako, jangan
turuskan tangan jahat!" seru Kwee Siang.
Tapi heran sungguh,
dalam caranya yang sangat luar biasa dan tidak sesuai dengan ilmu silat, Kak-wan mengangkat
kedua tahang besi itu pergi datang dan semua tikaraan itu mampir ditahang air.
Sedang semua orang bisa
melihat bahwa si-pendeta sebenaraya tak mengerti ilmu silat, Ho Ciok Tao seadiri, yang
serangan2nya digagalkan hingga ia jadi sangat mendongkol, sedikitpun tidak
merasa, bahwa lawannya menangkis tikaman2nya dengan gerakan wajar yang telah dapat berkat
latihan Lweekang yang sangat tinggi. Maka itu, sesudah Cap-lak chioe Soen-loei-kiam,
gagal, sambil membentak keras, ia menikam kempungan Kak-wan, "Celaka
!"seru sipendeta yang datam repotnya merangkap kedua tangan yang mencekal tahang. Berbareng
dengan terdengarnya suara nyaring akibat beradunya besi, pedang Ho-Ciok Too tergencet diantara
kedua tahang itu. Buru2 ia mengerahkan tenaga dalam dan coba membetot senjatanya,
tapi sedikitpun tidak bergeming. Cepat bagaikan kilat, tangan kirinya menghantam muka lawan.
Semua orang terkesiap.
Kak-wan yang sedang mencekal tahang besi itu, tak bisa menangkis lagi. Pada detik yang
sangat berbahaya mendadak Thio Koen Po melompat dan menghantam pundak Ho Ciok Too
dengan pukulan Soe thong Pat ta yang didapat dari Yo Ko. Pada saat yang bersamaan,
Lweekang Kak wan sudah mengalir masuk kedalam tahang dan tiba-tiba saja sepasang
"arus" air menyembur dari kedua tahang itu dan menyambar muka Ho Ciok Too, sehingga
pukulannya kebentrok dengan air yang menyemprot dan ke dua dua nya basah kuyup.
Oleh karena tangan
kanannya mencekal pedang yang di gencet tahang air dan tangan kiri menyambut sambaran air,
maka ia tidak bisa menangkis lagi pukulan Thio Koen Po. "Bak !", pukulan itu mengenakan
tepat di pundaknya. Sekali lagi semua orang terkejut, sebab Thio Koen Po yaug masih
seperti bocah, ternyata memiliki Lweekang yang cukup tinggi, sehingga badan Ho Ciok Too
bergoyang2 dan terhuyung kebelakang beberapa tindak.
"O mi-to-hoed
!" teriak Kak wan. "Ho Kie soe, ampuni Loo ceng ! Tikaman-tikaman mu menenakuti
sangat." Sehabis berkata begitu, ia menyusut air dan keringat yang
membasahi mukanya dan lalu
minggir kesamping.
Sekarang Ho Ciok Too
naik darah nya. "Aku dengar dalam kuil Siauw lim sie berkumpul banyak sekali orang
pandai dan ternyata memang benar begitu," katanya dengan suara mendongkol.
"Malahan seorang bocah cilik memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Bocah
!
Mari kita main2. Jika
kau bisa melayani aku dalam sepuluh jurus, Ho Ciok Too tidak akan datang lagi ke wilayah
Tiong goan untuk se lama-lamanya."
Boe sek, Boe siang dan
yang lain-lain tahu bahwa Thio Koen Po adalah kacung Cong kengkok dan sebegitu jauh belum
pernah belajar silat. Entah bagaimana secara kebetulan, ia berhasil memukul orang
she Ho itu. Mereka yakin, bahwa jika bertempur sungguh sungguh, dalam sejurus saja
bocah itu bisa binasa dalam tangan lawannya.
"Ho Kie soe
salah," kata Boo siang. "Kau bergelar Koein loen Samseng dan ilmu
silatmu telah menggetarkan
seluruh jagat. Bagaimana kau boleh bertempur dengan satu kacung tukang masak air dan
menyapu lantai ? Jika kau tidak kau main-main sepuluh jurus.
Ho Ciok Too
menggelengkan kepala. "Tak bisa," katanya. "Hinaan pukulan itu,
bagaimana bisa disudahi saja.
Bocah! Sambutlah!" Hampir berbareng dengan bentakannya, tangannya menyambar kedada Thio
Koen Po. Jarak antara dia sangat dekat, sehingga biarpun Boe sek dan Boe siang ingin
menolong, sudah tidak keburu lagi. Semua orang menduga, bocah itu akan segera terluka
berat.
Diserang dengan pukulan
hebat itu, kedua kaki Thio Koen Po tidak bergerak. Ia hanya menggeser ujung kakinya
kekanan dan badan nya lantas saja turut berputar kekanan. Dalam gerakan itu, ia sudah
berhasil mengempos pukulan lawan. Hampir berbaring, dengan tinju kiri melindungi pinggang,
telapak tangan kanannya menyambar. Itulah pukulan Yoe co an hoa chioe (Pukulan menembus
bunga) salah satu pukulan pokok dari ilmu silat Siauw lim pay.
Apa yang luar biasa,
yalah, waktu memukul tubuhnya kokoh teguh bagaikan gunung, sedang pukulannya dahsyat
seperti gelombang sungai Tiang kang. Semua orang kaget bukan main, karena pukulan itu
bukan pukulan seorang pemuda yang masih hijau, tapi pukulan seorang tokoh kenamaan dari
Rimba Persilatan. Sesudah pundaknya terpukul, Ho Ciok Too tahu, bahwa tenaga dalam
pemuda itu banyak lebih kuat dari pada Phoa Thian Keng dan kedua saudara seperguruannya.
Tapi ia yakin, bahwa dalam sepuluh jurus, ia akan dapat merobohkannya. Melihat
sambaran Yoe coan hoa chioe yang sangat hebat itu, tanpa merasa ia
memuji. "Bocah!
Lihay benar pukulanmu!"
Jantung Boe siang
berdebar2. Ia melirik Boe sek dan berkata seraya bersenyum: "Boe sek Soetee, aku memberi
selamat, bahwa dengan diam-diam kau sudah mendapat murid yang begitu berbakat !"
Boe sek menggelengkan
kepala dan berkata dengan suara perlahan. "Bukan ...."
Sementara itu, dengan
beruntun Thio Koen Po sudah mengirim empat serangan berantai yaitu Auw po lat kiong
(Menggeser kaki manarik busur), Tan hong tauw yang (Burung hong menghadap matahari),
Sioe teek kiat chiang (Di bawah tangan baju memotong tangan) dan Jie long tan jan (Jie long
memikul gunung). Setiap pukulan di sertai dengan Lweekang yang sangat tinggi, sehingga
semua pendeta jadi kagum bukan main. Thian beng, Boe sek, Boe siang dan Cit loo dari
Sim sian tong saling mengawasi dengan hati berdebar debar.
"Pukulanpukulannya yang sangat bagus dan
cepat, masih dapat dimengerti," kata Boe siang. "Tapi bagaimana dengan Lwee
kangnya yang begitu hebat?"
Sesaat itu dengan paras
muka ke merah2-an Ho Ciok Too mengirim pukulan yang keenam.
"Sedang seorang
bocah saja aku sudah tak mampu jatuhkan, bagaimana aku berani datang di perguruan silat
ditempatnya Siauw lim sie dan mengirim surat tantangan ." pikirnya.
"Bukankah
perbuatanku itu hanya jadi bahan tertawaan orang2 gagah dikolong langit?" sambil memikir begitu,
ia memutar badan dan lalu menyerang dengan pukulan Thian san soat piauw (Salju melayang2
digunung Thiansan), dalam sekejap seluruh badan Thio Koen po sudah dikurang dengan
pukulan2 yang menyambar2 bagaikan turunnya salju.
Kecuali Yo Ko yang
pernah memberi petunjuk kepadanya dipuncak Hwa san, Koen Po belum pernah menerima
pelajaran dari lain guru, Oleh karena itu, ia jadi kaget bukan main ketika melihat serangan2 yang
sehebat itu. Pada detik yang sangat berbahaya, dalam bingungnya ia memutar pinggang
kekiri, mengangkat kedua tangannya sampai meleWati dagu dan telapakan tangan kiri ber hadapan
dengan telapak tangan kanan. Itulah pukulan Song coan chioe (pukulan sepasang
lingkaran) dari Siauw limpay, serupa pukulan yang teguh kokoh bagaikan gunung jika disertai
dengan tenaga Lweekang yang kuat dan dapat memunahkan segala rupa serangan. Maka itulah
semua serangan Ho Ciok Too, tak perduli dari mana datangnya, dapat ditangkis dengan Song
coan chioe.
Sampai disitu, kegirangan
pihak Siauw Lim sie tak dapat ditekan lagi. Dengan serentak murid2 Tat mo tong
bersorak sorai.
Sedang sorakan masih
belum mereda, sambil membentak keras, Ho Ciok Too meninju dada lawannya, pukulan itu
adalah pukulan biasa saja, tapi disertai dengan tenaga dalam yang sangat dahsyat. Buru2
Koen Po menolak dengan kedua telapakan tangannya dalam pianhoa citseng.
"Buk!", telapakan tangan dan tinju beradu keras. Badau Ho Ciok Too
ber goyang2 sedang Thio Koen Po
terhuyung ke belakang beberapa tindak.
"Huh!"
demikian terdengar suara Ho Ciok Too yang tanpa tenaga dalam mengubah gerakannya lalu maju
setindak dan sekali lagi mengirim tinju deugan sepenuh tenaga. Thio Koen Po yaug ilmu
silatnya saugat terbatas, kembali menangkis dengan Pian hoa cit seng yaitu mendorong dengan
keduu telapakan tangaunya. "Buk !", tubuh Koen Po sempoyongan lima tindak kebelakaug,
sedang badan Ho Ciok Too terhuyung kedepan, "Tinggal satu pukulan lagi !"
bentaknya dengau paras muka pucat.
"Sambutlah dengan
seantero tenagamu!" ia maju dua tindak, memasang kuda2 dan mengirim pukulan dengan gerakan
perlahan.
Sesaat itu, ratusan
pendeta Siauw lim sie mengawasi sambil menahan napas. Semua orang yakin, bahwa dengan
pukulan itu, Ho Ciok Too mempertaruh nama besarnya dan bahwa ia tentu menggunakan
seantero tenaga Lwee kang yang dimilikinya.
Untuk ketiga kalinya,
Koen Po menyambut dengan Pian hoa cit seng. Sekali ini, beradunya tinju dan telapak
tangan tidak mengeluarkan suara apapun juga. Kedua lawan dengan berbareng mengempos
semangat mengarahkan seluruh Lweekang mereka.
Mengenai ilmu silat, Ho
Ciok Too lebih unggul ratusan kali lipat daripada Thio Koen Po tapi dalam tenaga Lweekang,
ia masih belum bisa mengatasi pemuda itu. Semua orang tak pernah mimpi, bahwa secara
kebetulan Koen Po memperoleh pelajaran dari Kioe yang Cin ken keng dan memiliki tenaga
dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Sama juga mereka
bertahan sambil memusat seantero tenaga dalam di tangan mereka. Sekonyong2, berbareng dengan
keluarnya suara "huh", Ho Ciok Too mundur setindak karena ia merasa darahnya meluap
ke atas, Se bisa2 ia masih mau coba mempertahankan diri, tapi mendadak matanya gelap
dan ia lantas memuntahkan darah dari mulutnya. Walau tidak tahu apa artinya memuntahkan
itu tak tabu, bahwa lawannya sudah terluka berat Thio Kaen Po kaget bukan main.
"Celaka !" teriaknya sambil memburu untuk memapah lawan.
Ho Ciok Too mengebas
tangannya dan seraya tertawa getir, ia berkata. "Ho Ciok Too! Ho Ciok Too! Kau benar2
orang edan!" berpaling kearah Thian beng Siansoe dan menyoja sampai ketanah.
"Ilmu silat Siauw lim-sie sudah kesohor ribuan tahun dan benar saja nama
itu bukan nama
kosong," katanya. Hari ini aku bisa membuka kedua mataku lebih lebar.
Sehabis berkata begitu, ia
memutar badan dan dengan sekali menotol tanah dengan ujung kakinya, tubuhnya melesat
beberapa tombak jauhnya. Ia berhenti sebentar dan menengok kearah Kakwan.
"Kak-wan
Taysoe," katanya. "Orang itu mengatakan, bahwa kitab suci berada
didalam minyak. Ia minta aku
menyampaikan perkataannya kepadamu." Dilain saat dengan menotol tanah beberapa kali
dengan ujung kakinya, ia sudah berada diluar dari rentetan pohon2 pek yang tumbuh disepanjang
jalan. Semua pendeta merasa kagum bukan main, karena sesudah terluka berat ia masih
bisa bergerak begitu cepat. Kepandaian dan keuletan itu sesungguhnya jarang ter dapat dalam
Rimba Persilatan.
Sesudah musuh berlaen,
semua pendeta segera mengawasi Thian beng untuk mendengar perintah lebih jauh.
Tiba2 seorang pendeta tua yang bertubuh kurus dari Cit loo Sim sian tong berkata dengan suara
nyaring dan menyeram kan.
"Siapa yang sudah
turunkan ilmu silat kepada murid itu?"
Semua orang bergidik
mendengar suara itu yang menyerupai bunyinya seekor burung malam.
Thian bong, Boe sek dan
Boe siang yang juga ingin mengajukan pertanyaan tersebut, dengan serentak mengawasi Kak
wan dan Thio Po. Tapi guru dan murid itu tidak lantas menjawab.
Mereka berdiri bengong
dengan mulut ternganga.
"Kak wan memiliki
Lweekang yang sangat tiggi, tapi bisa dilihat nyata, bahwa ia belum pernah belajar ilmu
silat," kata Thian beng.
"Apa yang
mengherankan adalah ilmu silat Siauw lim dari anak itu. Siapakah yang sudah mengajarkannya?"
Semua murid Tat mo tong
dan Lo han tong menunggu jawaban dengan hati berdebar2. Semua orang menganggap bahwa
bocah itu yang sudah merobohkan musuh sedemikian tangguh, pasti bakal mendapat
hadiah besar, sadang gurunya pun akan mendapat pujian tinggi.
Melihat Thio Koen Po
tidak mejawab pertanyaannya, alis sipendeta tua mendadak berdiri dan pada paras mukanya
terdapat sinar Pembunuhan. " Hei! Aku tanya kau. Siapa yang mengajar Lohan koen
kepadamu?" tanyanya pula dengan suara keras.
Thio Koen Po segera
merogoh saku dan mengeluarkan sepasang Tiat lo han (Lo han besi) yang diberikan
kepadanya oleh Kwee Siang.
"Teecoe (murid)
belajar dari kedua Tiat lo han ini," jawabnya. "Dengan se-benar2nya
Tee coe belum pernah mendapat
pelajaran ilmu silat dari siapa juga pun."
Sipendeta tua maju
setindak dan berkata pula dengan suara perlahan. "Kau bicaralah setulus2nya. Siapa yang
sudah turunkan ilmu silat kepadamu?" Walaupun diucapkan seperti berbisik, suara itu
yang disertai Lweekang yang tinggi, dapat nyata oleh semua orang.
Thio Koen Po merasa
sangat kecewa, tapi karena tidak merasa bersalah, maka biarpun melihat paras muka sipendeta
tua yang menyeramkan, sedikitpun ia tidak merasa keder. "Tidak, dalam kuil ini, belum
pernah ada seorang pun yang mengajar ilmu silat kepada Teecoe"
katanya dengan suara
nyaring. "Teecoe selalu berdiam di Keng kok, menyapu lantai, masak air dan melayani Kak
wan Soehoe. Beberapa pukulan Lo han-koen itu telah dipelajari oleh Tee-coe sendiri dan
jika ada gerak-gerik yang kurang benar, Teecoe memohon Loo soehoe sudi memberi petunjuk.
Si pendeta tua
mengeluarkan suara di hidung dan kedua mata yaug ber-api2, ia menatap wajah Thio Koeh Po. Lama
sekali ia mengawasi muka pemuda itu tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Kak wan tahu, bahwa
pendeta Sim sian-tong itu mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim-sie dan ia
adalah Soesiok (paman guru) dari Thian beng Siausoe. Melihat sikap situa tehadap muridnya,
ia merasa sungguh tidak mengerti. Tiba2 waktu kedua matanya kebentrok dengan mata
pendeta tua yang penuh dengan sorot kebencian, dalam otaknya berkelebat suatu
keingatan. Ia ingat bahwa duapuluh tahun lebhn berselang, secara ke betulan dalam Cong kek kok ia
mandapatkan se jilid buku tipis dengan tulisan tangan, yang mencatat suatu peristiwa besar
dalam kuil Sauw lim-sie.
Kejadiannya seperti
berikut. Pada tujuh puluh tahun lebih yang lalu, Hong thio kuil Siauw lim-sie adalah Kouw tin
Siansoe, itu Soecouw atau kakek guru dari Thian beng Siansoe.
Menurut adad, setiap
tahun sekali ada hari perayaan Tiong-coe, di Tat mo tong diadakan ujian ilmu silat yang
dikepalai oleh Hong thio, sIoe coe dari Tat mo-tong dan Lo han-tong. Tujuan dari ujian itu adalah
untuk melihat kemajuan para murid Siauw limsie selama satu tahun.
Diluar dugaan, waktu
diadakan ujian pada tahun itu, telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menyedihkan.
Sesudah semua murid
memperlihatkan kepandaiannya, pemimpin Tat mo tong, Kouw tie Siansoe, segera naik
kemimbar dan membincangkan
kepandaian setiap murid. Selagi Kouw-tie enak bicara, tiba2 muncul seorangTauw-to, atau
pendeta yang memiara rambut, yang lantas saja berteriak; "Omongan Kouw tie Siansoe
omongan kentut anjing! Dia sebenarnya tak tahu apa artinya ilmu silat dan berani mati, ia
menduduki kursi Soei-co dari Tat mo-tong. Sungguh memalukan!"
Dengan kaget semua
pendeta mengawas orang itu yang ternyata adalah Tauw to yaag bekerja didapur sebaai tukang
menyalakan api. Pada sebelum guru mereka membuka mulut, murid2 Tat mo-tong sudah balas
mencaci dengan kegusaran yang meluap-luap.
"Jangan banyak
bacot kau!" teriak Si Tauw to "Gurunya kentut anjing, muridnyapun
kentut anjing!" Sehabis
memaki, ia berdiri di tengah ruangan dengan sikap menantang. Sejumlah pendetalantas saja maju
untuk menghajar Tauwto itu, tapi satu demi satu, mereka dirobohkan secara mudah sekali.
Apa yang lebih hebat lagi si Tauwto tidak berlaku sungkan2. Sembilan murid utama dari Tat mo
tong telah dijatuhkan dengan luka berat atau patah kaki tangannya.
Kouw tie Siansoe kaget
tercampur gusar. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Tauwto itu adalah ilmu Siauw
limpay, sehingga dia bukan seorang luar yang sengaja datang untuk mengacau. Sambil
menahan amarah, Kouwtie meanaya siapa gurunya. "Aku belajar sendiri, tak satu manusia pun
yang mengajar aku," jawabnya.
Apa latar belakang
perbuatan Tauwto itu? Ternyata, selama baberapa tahun ia sering dianiaya olah pemilik bagian
dapur yang beradat berangasan dan suka main pukul orang sebawahannya. Tiap kali
ia muntah darah akibat pukulan pemilik dapur itu yang sering turun tangan tanpa mengenal
kasihan. Dengan mendedam sakit hati yang sangat besar, diam2 ia belajar silat. Ia
mendapat kesempatan luas untuk mencuri pelajaran, karena hampir semua murid Siauwlim si
pandai ilmu silat jika seseorang bertekat untuk melakukan serupa pekerjaan lama atau
cepat, ia pasti akan berhasil.
Dibantu dengan
kecerdasan otaknya yang melebihi manusia biasa, maka dalam tempo belasan tahun, ia sudah
memiliki, kepaudaian yang sangat tinggi. Tapi ia masih tetap menyembunyikan kepadaianaya
itu dan terus bekerja sebagai tukang menyalakan api yang dengar kata Kalau
dipukul oleh sipemilik dapur, ia sama sekali tidak melawan. Berkat Lweekangnya yang sangat
kuat, ia sekarang tidak takut lagi segala pukulan. Dengan sabar ia berlatih terus. Sesudah
merasa, bahwa kepandaiannya berada diatas semua pendeta Siawlim sie, pada hari ujian
silat, dihari Tiongcoe, barulah ia turun tangan.
Sakit hati yang sadah didendam
belasan tahun lamanya, menanam rasa benci terhadap semua pendeta Siauwlimsie,
didalam lubuk hatinya, maka itu ia sudah menyerang tanpa sungkan2 lagi.
Sesudah mengetahui
sebab musabab kejadian itu, Koawti Siansoe tertawa dengan seraya berkata, "Aku sungguh
merasa kagum akan kegiatanmu itu." Ia turun dari mimbar dan satu pertempuran hebat
lantas saja terjadi. Pada masa itu, Kouwtie adalah orang yang berkepandaian paling
tinggi di-kuil Siauwlimsie.
Mereka berdua segera
serang menyerang dengan menggunakan ilmu2 pukulan yang paling hebat dan dalam tempo
cepat, mereka sudah bertempur kurang lebih 500 jurus.
Semakin lama
pertempuran semakin hebat, sehingga mencapai sesuatu titik yang sangat berbahaya. Pada saat
itu, karena mengingat jerih payahnya si Touw to untuk memiliki kepandaianya yang
begitu tinggi, dalam hati Kouw tie muncul perasaan sayang dan kasihan.
Maka itu, sambil
mementang kedua tangannya, ia membentak. "Mundurlah!"
Tapi sungguh sayang, si
Tauw to salah tampah maksud orang yang baik. Ia menduga, bahwa dengan mementang kedua
tangannya, Kouw tie Siansoe ingin menyerang dengan Sin ciang Pat ta (Delapan pukulan
Tangan Malaikat), salah satu ilmu terlihay dari Siauw lim sie. Ia ingat, bahwa waktu
berlatih dengan ilmu itu, seorang murid Tat mo tonG pernah mematahkan satu balok kayu dengan
pukulan kedua tangannya. Maka ita, ia tahu hebatnya Sin ciang Pat ta.
Biar bagaimanapun juga,
biar memiliki kepandaian tinggi tapi karena ia belajar dengan mencuri dan tidak
mendapat petunjak guru yang pandai, maka ia masih belum bisa menyelami ilmu Siauw
lim pay sampai didasarnya.
Ia sama sekali tak
tahu, bahWa dengan mementang kedua tangannya, Kouw tie Siansoe sebenarnya mengeluarkan
pukulan Hoen kay cian ( pukulan memecah dan membuka) untuk meminjam dan
memindahkan tenaga, dengan tujuan menghentikan pertempuran begitu lekas kedua belah pihak
melompat mundur. Ia menduga, bahwa Koauw tie ciaag (pukulan pembelah hati), pukulan
keenaam dari Sin ciang Pat ta. Dengan menduga begitu, ia berkata dalam hatinya:
"Tak begitu gampang kau ambil jiwaku !" la melompat dam memukul
dengan kedua tangannya.
Pukulan kedua tangan
itu menyambar bagaikan gunung roboh. Dengan hati mencelos Kouw tie Siansoe buru2
membalik tangannya untuk menangkis, tapi sudah tak keburu lagi Dengan satu suara "buk
!", tulang lengan kiri dan empat tulang dadanya patah ! Semua pendata
kaget dan bingung dengan
serentak mereka memburu untuk memberi pertolongan. Tapi Kouw tie yang sudah terluka
berat, hanya tersengal2 napasnya dan tidak dapat mengeluarkan sepatah kata lagi. Malam itu ia
menutup mata.
Selagi seluruh Siauwlim
sie diliputi kedukaan basar, malam itu siauw-To diam-diam menyatroni dam
membinasakan sipendeta pemilik dapur serta lima pendeta yang mepunyai ganjelan dengannya.
Kejadian itu
menerbitkan kegemparan dan kegusaran yang tiada taranya dalam sejarah Siauwlim sie. Pendeta pimpinan
lantas saja mengirim puluhan pendeta yang berkepandaian tinggi untuk membekuk Tauw to
kejam itu, tapi sesudah mencari sana sini diseluruluh Kang-lam, dan Kang-pak(daerah
sebelah selatan dan utara Sungai Besar), usaha mereka tidak berhasil.
Dan akibat dari
peristiwa itu, dalam Siauw lim sie belakangan muncul gelombang yang merupakan perebutan kekuasaan
dan saling salah menyalahi. Dalam gusarnya, pemimpin La han tong, Kouw hoei
Sian soe, telah pergi di See ek dimana ia kemudian membentuk sebuah cabang Siauw lim pay.
Phoa Thian Keng dan kedua saudara seperguruannya adalah murid2 Kouw hoei Sian soe.
Demikian bunyi catetan
dalam buku tipis itu, yang kebetulan dapat dibaca oleh Kak wan.
Sesudah itu, ilmu silat
Siauw lim sie merosot banyak. Untuk mencegah terulangnya kejadian itu, para pemimpin lalu
mengadakan peraturan, bahwa setiap murid Siauw lim sie hanya boleh belajar silat dibawah
pimpinan guru dan bahwa siapa pun juga tidak boleh mencari belajar, orang yang melanggar
diancam dengan hukuman sangat berat paling berat hukuman masih paling enteng
diputuskan tulang dan uratnya, supaya dia orang barcacat. Selama puluhan tahun, peraturan itu
dipertahankan dengan kerasnya dan tak pernah terjadi lagi peristiwa mencari belajar silat.
Sesudah lewat banyak tahun, per-lahan2 orang2 mulai melupakan kejadian hebat itu.
Si pendeta tua anggota
Sim sian tong itu, adalah salah seorang murid Kouw tie Sian soe.
Selama puluhan tahun,
ia tak pernah melupakan kebinasaan gurunya yang sangat menyedihkan. Maka
itulah, begitu tahu Thio Koen Po memiliki ilmusilat tinggi tanpa mempunyai guru,
kejadian yang sudah lampau kembali terbayang didepan matanya dan rasa sedih dan gusar
me-luap2 dalam hatinya.
Mengingat apa yang
telah dibacanya, tanpa merasa Kak wan mengeluarkan keringat dingin "Loo hong
thio!" teriaknya. "Ini .... Koen Po...."
Belum habis perkataan
itu, Boe siang Siansoe sudah membentak. "Murid2 Tat mo tong!
Majulah! Bekuk
dia!"
Hampir berbareng dengan
perintah itu, delapan belas murid Tat mo tong segera melompat maju untuk mengurung
Kak wan dan muridnya. Karena mereka membuat lingkaran besar, Kwee Siang pun turut
terkurung di dalamnya.
"Murid2 Lo han
tong! Mengapa kau belum mau maju?" seru si pendeta Sim sian tong. Semua murid Lo ham tong
segera bergerak serentak dan membuat tiga lingkaran lain diluar lingkaran murid2 Tat mo tong, Thio Koen Po jadi
bingung bukan main, Apakah dengan mengalahkan Ho Ciok Too, ia telah melanggar peraturan
kuil ! "Soehoe!" teriaknya. "Aku... aku... "
Kurang lebih sepuluh
tahun, Kak wan telah hidup ber-sama2 muridnya dan kecintaan mereka tiada bedanya seperti
kecintaan antara ayah dan anak. Ia tahu, bahwa jika Koen Po sampai kena ditangkap, biarpun
tidak mati, ia bakal jadi orang bercacad.
"Kalau tak mau
turun tangan sekarang, mau tunggu sampai kapan lagi?" tiba2 terdengar bentakan Boe siang Sian
soe.
Delapan belas murid Tat
mo tong lantas saja mendesak dengan hebataya. Tanpa memikir lagi, Kak wan memutar
sepasang tahang besi yang bembuat sebuah lingkaran, disertai dengan tenaga Lweekangnya yang
sangat dahsyat, sehingga semua pendeta-pendeta itu tidak bisa maju. Bagaikan
senjatanya itu sepasang bandringan, kedua tahang besi itu ter-putar2 dan untuk menyelamatkan
diri, murid2 Tat mo tong terpaksa melompat kebelakang. Sesudah semua penyerang
terpukul mundur, tiba2 Kak wan menyapu dengan kedua tahangnya dan Kwee Siang masuk
ketahang kiri dan Koen Po masuk ketahang kanan. Sesudah itu, bagaikan
terbang, ia turun
gunung dengan memikul kedua orang muda itu. Semakin lama suara berkerincingnya rantai
jadi semakin jauh dan beberapa saat kemudian, tidak kedengaran lagi.
Karena peraturan Siauw
lim-sie selalu dijalankan dengan keras. Maka, sesudah Sioe-co Tat mo-tong mangeluarkan
perintah untuk menangkap Thio Koen Po, biarpun tahu tak bisa menyandak, semua murid
Tat mo-tong lantas saja mengubar. Dalam pengejaran itu, terlihatlah siapa yang
berkepandaian lebih rendah dan mengentengkan badannya masih agak cetek, lantas saja
ketinggalan dibelakang. Sesudah siang terganti malam, hanya lima orang saja yang masih
mengejar terus. Tiba2 jalanan terpecah jadi beberapa cagak. Mereka jadi bingung sebab tak tahu,
jalanan mana yang diambil Kak wan. Demikianlah, mau tak mau dengan masgul mereka
kembali kekuil untuk mendengar perintah jauh.
Sesudah kabur seratus
li lebih, barulah Kak wan berani menghentikan tindakannya. Ternyata, ia sudah masuk kedalam
sebuah gunung yang sepi. Meskipun memiliki Lweekang yang sangat tinggi, tapi
sesudah lari begitu lama dengan pikulan yang begitu berat, ia tidak bertenaga lagi, Kwee Siang dan Koen Po
lanas saja melompat keluar dari tahang yang separuhnya masih penuh air. Mereka basah
kuyup dan sesudah mangalami kekagetan hebat, paras maka mereka masih kelihatan pucat.
"Soehoe," kata Koen Po. "Kau mengaso dulu disisi, aku mau pergi
cari makanan"
Tapi dalam gunung yang
sepi, dimana ia mancari makanan? Sesudah pergi beberapa jam, ia kembali dengan hanya
membawa buah buahan hutan. Sesudah menangsal perut mereka mengaso dengan
menyender dibatu2.
"Toahweeshio,"
kata Kwee Siang. "Para pendata Siauw lim-sie kelihatannya aneh-aneh."
Kak wan tidak menjawab.
Ia hanya mengeluarkan suara "hemm"
"Benar2
gila," kata pula si nona. "Dalam kuil itu tak seorangpun yang bisa
melawan Koen loen Sam seng Ho Ciok
Too, yang hanya dapat dipukul mundur dengan mengandalkan tenaga kalian berdua. Tapi
sebaliknya dari berterima kasih, mereka berbalik mau menangkap saudara Thio. Benar2 gila!
Mereka agaknya tak bisa membedakan yang mana hitam, yang mana putih."
Kak wan menghela napas.
"Dalam hal ini kita tidak dapat menyalahkan Loo hong thie dan Boe siang soeheng"
katanya. "Dalam Siauw lim sie terdapat sebuah peraturan . .. " Ia tak
bisa meneruskan perkataannya
karena lantas batuk tak henti2nya.
"Toahweeshia, kau
terlalu letih" kata Kwee Siang seraya me-mukul2 punggung sipendeta "Besok saja baru
kau ceritakan."
Kak wan menghela napas,
"Benar aku terlalu capai." katanya.
Thio Koen Po segera
mengumpulkan cabang kering dan membuat perapian untuk mengeringkan pakaian
Kwee Siang dan pakaian nya sendiri. Sesudah itu mereka bertiga lalu tidur dibawah satu
pohon besar.
Ditengah malam sinona
tersadar. Tiba2 ia medengar Kak wan bicara seorang diri, seperti juga sedang menghafat kitab
suci. Antara lain ia berkata: "... Tenang dia merintangi kulit dan buluku, niatku sudah
masuk ketulang dia. Dan tangan saling bartahan. Hawa menembus.
Yang dikiri berat, yang
pikiran kosong, sedang yang dikanan sudah pergi. Yang kanan berat, yang kanan kosong, yang
kiri sudah pergi . . . "
Sekarang Kwee Siang
mendapat kepastian, bahwa apa yang dihafal si pendeta adalah kitab ilmu silat .
"Toahweahsio tidak
mengerti ilmu silat, tapi ia seorang kutu buku yang membaca dan menghafal segala apa
yang dihadapinya," katanya didalam hati. "Beberapa tahun berselang, dalam pertempuran
pertama dipuncak Hwa san. la telah memberitahukan, bahwa disamping kitab Leng keh keng,
Tat mo Loo couw juga menulis sebuah kitab iImu silat yaag dinamakan Kioe yang Cin keng. Ia
mengatakan bahwa pelajaran dalam kitab itu dapat menguatkan dan menyehatkan badan. Tapi
sesudan berlatih menurut petunjuk2 kitab itu, tanpa marasa guru dan murid itu sudah
memanjat tingkatan yang sangat tinggi dalam dunia persilatan. Hari itu, waktu diserang olah
musuhnya Siauw Siang Coe, dengan sekali membalas saja, ia berhasil melukakan penyerangnya.
Kepandaian yang setinggi itu belum tentu dimiliki Thia-thia atau Toakoko. Cara Thio Koen
Po merobohkan Ho Ciok Too lebih2 mengagumkan. Apakah itu semua bukan berkat
pelajaran Kioe yang Cin keng? Apakah yang barusan dijajalnya bukan Kioe yang Cin
keng?"
Mengingat begitu,
perlahan-lahan supaya tidak mengagetkan sipendeta, ia bangun dan duduk.
Ia memasang kuping
terang terang dan mengingat ingat apa yang di katakan Kakwan "Kalau benar apa yang dihafal
Toa hwe shio adalah Cioe yang Cin keng, aku tentu tidak bisa menyelami artinya dalam
tempo cepat, pikirnya. "Biarlah besok aka minta petunjuknya."
Sesaat kemudian, Kak
wan berkata kata pula: "... Lebih dulu dengan menggunakan hati memerintahkan badan,
mengikuti orang lain, tidak mengikuti kemauan sendiri. Belakangan badan bisa mengikuti
kemauan hati. Menurut kemauan hati dengan tetap mengikuti orang.
Mengikuti kemauan
sendiri artinya mandek, mengikuti orang lain artinya hidup. Dengan mengikuti kemauan orang
lain, kita bisa mengukur besar kecilnya tenaga orang itu, bisa mengenal panjang
pendeknya lawan. Dengan adanya pengetahuan itu, bisa maju dan bisa mundur dengan
leluasa."
Mendengar sampai di
situ. Kwee Siang menggeleng2kan kepala. "Tak benar, tak benar." katanya didalam hati.
"Ayah dan ibu sering mengatakan, bahwa jika berhadapan dengan lawan kita harus lebih
dulu mengusai lawan dan sangat sampai diri kita kita dikuasai lawan.
Apa yaag dikatakan Toa
hweshio tak benar."
Selagi sinona memikir
perkataan Kak wan, si pendeta sudah berkata lagi. "Lawan tidak bergerak, kita tidak
bergerak. Lawan bergerak sedikit, kita mendului. Tenaga seperti juga longgar, tapi tidak
longgar, hampir dikeluarkan, tapi belum dikeluarkan. Tenaga putus, pikiran
putus....."
Semakin mendengari Kwee
Siang jadi semakin bingung. Semenjak kecil, ia telah dididik bahwa "orang yang
bergerak lebih dulu mengusai lawan, sedang yang terlambat gerakannya dikuasai lawan. Dengan
lain perkataan, pokok dasari lmu silatnya yalah 'mendului lawan'.
Tapi Kak wan
mengatakan, bahwa mengikuti kemauan sendiri artinya mandek, mengikuti kemauan orang lain
artinya hidup. Dan itu semua adalah sangat bertentangan dengan apa yang telah dipelajarinya.
"Jika aku
berhadapan dengan musuh dan pada saat penting, aku mengikuti kemauan musuh2 mau ketimur aku ketimur
musuh mau kebarat aku kebarat bukankah demikian, aku seolah olah cari penggebak
sendiri?" kata nya di dalam hati.
Ilmu silat yg berpokok
dasar. "Menguasai lawan dengan bergerak belakangan" baru dihargai orang pada jaman
kerajaan Beng, pada jaman makmurnya partai Boe ciang pay. Maka dapatlah di mengerti,
bahwa di waktu itu buntut kerajaan Song perkataan Kak wan membingungkan sangat
hatinya Kwee Siang.
Dengan adanya
kesangsian itu, banyak perkataan si pendeta tidak dapat ditangkap Kwee Siang. Ketika melirik,
ia lihat Thio Koen Po sedang bersila dan mendengari perkataan gurunya dengan sepenuh
perhatian. "Biarlah, tak perduli ia benar atau salah, aku mendengari saja," pikirnya.
"Dengan mataku sendiri, aku menyaksikan Toa hwashio melukakan Siauw Siang Coe dan mengusir
Ho Ciok Too. Sebagai orang yang memiliki kepandaian begitu tinggi, apa yang
dikatakannya tentu mempunyai alasan kuat." Memikir begitu, ia lantas saja memusatkan pikirannya
dan mendengari setiap perkataan yang diucapkan si pendeta.
Kak wan menghafal terus
dan kadang2 dalam kata2nya terselip bagian2 dari kitab Leng-kakeng.
Hal ini sudah terjadi
karena Kioe Yang Cin ken sebenarnya ditulis diantara huruf2 kitab Leng-ka-keng, sehingga
si pendeta, yang sifatnya agak tolol, dalam menghafal Kioe-yan Cin keng, sudah menyelipkan
kata2 dari kitab itu. Tentu saja Kwee Siang jadi makin bingung.
Tapi berkat kecerdasan
otaknya, ia berhasil juga menangkap sebagian dari apa yahg didengarnya.
Rembulan mendoyong
kebarat dan makin lama suara sipendeta jadi makin perlahan.
"Teahweeshio"
kata si nona dengan suara membujuk. "Kau sudah sangat capai, tidurlah
lagi"
Tapi Kak wan sepzrti
juga tidak mendengarnya dan berkata pula dengan suara terlebih keras.
" ...Tenaga
dipinjam dari orang. Hawa dikeluarkan dari tulang punggung. Dari kedua pundak masuk di tulang
punggung dan berkumpul di pinggang. Inilah hawa yang dari atas turun kebawah dan dinamakan
"Hap" (MenutuP). Kemudian, dari pinggang hawa itu naik ketulang punggung dan dari
tulang punggung meluas sampai di lengan dan bahu tangan. Inilah hawa yang naik dari bawah
keatas dan dinamakan "Kay" (Membuka). "Hap" berarti mengumpulkan, sedang
"Kay" berarti melepaskan. Siapa yang Paham akan artinya
"Hap" dan "Kay" akan
mengerti juga artinya Im-Yang (negatif dan positif). . . ."
Suaranya semakin
perlahan dan akhirnya tidak terdengar lagi, seperti orang sudah pulas.
Kwee Siang dan Thio
Koen Po tidak berani mengganggu dan hanya mengingat apa yang barusan didengar.
Tak lama kemudian,
bintang2 mulia menghilang, rembulan menyilam kebarat dan sesudah cuaca berubah gelap
untuk kira2 semakanan nasi, disebelah timur mulai kelihatan sinar terang.
Kak wan masih tetap
bersila sambil meramkan kedua matanya, sedang badannya tidak bergerak dan pada
bibirnya tersungging satu senyuman. "Kwee Kauwnio, apa kau tidak lapar?" bisik Koen
Po. "Aku mau pergi sebentaran untuk cari bebuahan. Ketika menengok, tiba2 ia lihat
berkelebatnya satu bayangan manusia dibelakang pohon dan samar2, orang itu seperti juga mengenakan
jubah petapaan warna kuning. Ia tersiap dan membentak: "Siapa ?"
Seorang pendeta tua
yang bertubuh jangkung muncul dari belakang pohon dan pendeta itu bukan lain daripada
pemimpin Lo han tong, Boe sek Siansoe.
Kwee Siang kaget
tercampur girang. "Toahweeshio," tegurnya. "Mengapa kau terus membuntut? Apakah kau
mau menangkap juga guru dan murid ini ?"
"Biar bagaimana
juga, loo ceng (aku sipendeta tua) masih bisa melihat apa yang benar dan apa yang salah,"
jawabnya dengan paras muka sungguh2. "Aku bukan seorang yang tak tau peraturan. Sudah lama
sekali loo ceng tiba disili dan jika mau turuh tangan, loo ceng tentu tidak menunggu sampai
sekarang. Kak wan soeteee, Boe siang Sian soe dan murid2 "Tat mo tong mengejar kejurusan
timur. Lekas kalian lari kesebelah barat."
Tapi pendeta itu terus
bersila dan sedikit pun tidak bergerak. Koen Po mendekati seraya memanggil. "Soe
hoe, bangunlah ! Lo han tong Sioe co ingin bicara denganmu."
Kak wan bersila terus.
Dengan jantung memukul keras, Koen Po menyentuh pipi gurunya yang dingin bagaikan
es. Ternyata, Kak wan sudah meniggalkan dunia yang fana ini.
Simurid munubruk dan
memeluk gurunya sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati.
"Soehoe ! Soehoe
!" teriaknya sambil menangis tersedu-sedu.
Boe sek Siauseo
merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara perlahan : "dilangit tak ada awan, ditempat
penjuru terang benderang angin membawa bau harum, seluruh gunung sunyi senyap. Hari ini
bertemu dengan kegirangan besar. Bebas dari bahaya dan bebas pula dari segala
penderitaan. Apa tak pantas untuk diberi selamat ?" Sehabis berdoa, orang beribadat itu segera
berlalu tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi.
Bukan saja Koen Po tapi
Kwee Siangpun mengucurkan tidak sedikit air mata. Sesuai dengan agama mereka jenazah
semua pendata Siauw lim sie yang meninggal dunia diperabukan.
Maka itu mereka lalu
mengumpulkan kayu dan cabang2 kering dan kemudian membakar jenazah Kak wan.
Sesudah bares, Kwee
Siang berkata dengan suara terharu. "Saudara Thio, kurasa pendeta2 Siauw lim sie akan
terus berusaha untuk menangkap kau. Maka itu kau harus berlaku hatihati.
Disini saja kita
berpisahan dan di hari kemudian, kita tentu akan mendapat ke sempatan untuk bertemu
lagi."
"Air mata sipemuda
itu mengalir turun kedua pipinya. "Kwee Kouwnio katanya dengan suara parau." Kemana
saja kau pergi, aku mau mengikut."
Mendengar jawaban itu,
sinona merasa pilu bukan main dan ia berkata dengan suara gemetar.
"Aku adalah orang
yang tengah menjelajah dunia dan aku sendiripun tak tahu kemana akan bakal menuju." Ia
berdiam sejenak dan lula berkata pula. "Saudara Thio berusia sangat muda dan tak punya
pengalaman dalam dunia Kang ouw, disamping itu pendata pendeta Siauw lim sie tentu bakal terus
menerus manguber kau. Begini saja." Seraya berkata begitu, ia meloloskan gelang emas
dari pergelangan tangannya dan lalu menyerahkannya kepada pamuda itu.
"Bawahlah gelang ini kekota Siang yang dan minta bertemu dengan ayah
ibuku," katanya lagi.
"Mereka pasti akan memperlakukan kau dengan baik. Begitu lantas kau sudah barada dibawah
perlindungan kedua orang tuaku para pendata Siauw lim sia pasti tak akan menyukarkan
kaulagi." Dengan air mata berlinang linang, Koen Pa menyambuti gelang mas itu.
Sesaat kemudian Kwee
Siang berkata pula dengan suara gerak. "Beritahukanlah kedua orang tuaku, bahwa aku tak kurang
suatu apapun dan aku harap mereka tidak memikiri diriku.
Ayahku paling suka
dengan pemuda yang gagah dan sesudah bertemu dengan kau mungkin sekali ia akan
mengambil kau sebagai murid. Adikku sederhana dan polos dan aku merasa pasti ia bisa bergaul rapat
denganmu. Hanya Ciecieku yang agak sombong dan jika kalau ada orang yang punya salah
sedikit saja, ia lalu menyemprotnya tanpa sungkan2lagi. Tapi asal kau bisa mengalah, kurasa
tak bakal terjadi apa-apa yaag tidak diingini." Sehabis berkata ia memutar badan dan terus
berjalan pergi.
Dapat dibayangkan
bagaimana besar kedukaan Thio Koen Po pada waktu itu. Dengan berlalunya Kwee Siang
ia betul merasa, bahwa ia hidup sebatang kara dalam dunia yang lebar.
Lama, lama sekali ia
berdiri bengong didepan tumpukan sisa kayu dan abu bekas membakar guranya. Sesudah
kenyang memeras air mata, perlahan-lahan, dengan hati seperti diris-iris, ia berjalan pergi. Tapi
baru saja belasan tombak, ia kembali lagi dan lalu mengambil pukulan serta sepasang tahang
besi, peninggalan mendiang gurunya. Sesudah itu, barulah ia meninggalkan tempat itu
dengan tindakan lumbung, dengan kesepian dan dengan kedukaan besar.
Berselang kurang lebih
setengah bulan, ia tiba didaerah Ouwpak dan sudah tak jauh lagi dari kota Siang yang. Untung
juga, berkat pertolongan Boe sek Siang soe, dalam perjalanan itu ia tidak bertemu dengan
pengejar pengejarnya.
Hari itu, diwaktu
lohor, ia berada dikaki sebuah gunung yang besar. Waktu tanya seorang dusun, baru ia tahu,
bahwa gunung itu guanung Boe tong atau Boe tong san, yang bukan saja besar dan angker,
dengan hutan2 lebat serta tebing2 curam, tapi juga sangat indah pemandangan alamnya.
Selagi enak berjalan
sambil memandang keindahan alam, tiba2 ia dilewati oleh dua orang pemuda dan pemudi dusun
yang berjalan sambil berendeng pundak. Dilihat gerak geriknya tak bisa salah lagi
mereka suami istri.
Dengan kupingnya yang
sangat tajam, Koen po dapat menangkap perkataan si isteri yang sedang ngomeli
suaminya. "Kau satu laki2 sejati, tapi sebaliknya dari mendirikan rumah tangga dengan tenaga
sendiri, kau selalu mengandal kepada Ciecie dan Ciehoemu, sehingga akhirnya kau dihina.
Kita berdua masih punya tangan dan kaki dan kita pasti bisa cari makan sendiri. Andaikata kita
mesti hidup miskin dengan menanam sayur, tapi kita hidup dengan merdeka. Kau lelaki
yang tak punya tulang punggung dan sungguh percuma kau hidup dalam dunia. Orang sering
kata, kecuali mati, tak ada urusan besar. Apa kau tidak bisa hidup tanpa mengadai kepada orang
lain?"
Sang suami tak berani
menjawab mukanya berwarna ungu, seperti juga hati babi. Tanpa disengaja, perkataan
wanita itu mengenakan jantung ati Koen Po. "Kau satu laki2 sejati, tapi sebaliknya dari mendirikan
rumah tangga dengan tenaga sendiri, kau selalu mengandal pada Cieciee dan Ciehoemu,
sehingga akhirnya kau dihina. Apa kau tidak bisa hidup tanpa mnegandal kepada orang
lain?" Ia berdiri terlongong memikir kata2 itu. Dilain saat, sang suami mengucapkan bebera
perkataan yang tidak dapat didengar oleh nya. Sesudah itu, mereka tertawa
berkakakan. Rupanya silelaki sudah mengambil putusan untuk berdiri sendiri dan isterinya jadi
girang sekali.
"Kwee Kouwhio
mengatakan, bahwa Cie-cie nya beradat jelek dan biasa menyemprot orang tanpa sungkan? sehingga
aku harus selalu mengalah," pikirnya. "Aku adalah seorang laki2 sejati, perlu apa aku
mesti menunduk begitu rupa didepan orang hanya untuk bisa hidup dengan selamat? Kedua
suami istri dusun itu masih mempunyai semangat untuk berdiri diatas kaki sendiri. Masa aku,
Thio Koen Po, mesti selalu bernaung dibawah atas orang dan hidup dengan memperhatikan
sorot mata tuan rumah?"
Sesudah berpikir
beberapa lama, ia segera mengambil putusan gagah. Dengan memikul kedua tahang besi, ia segera
mendaki Boe tong san. Mulai waktu itu, ia minum air gunung makan buah2an dan melatih
diri berdasarkan Kioe yang Ci keng yang didapat dari gurunya. Berkat kecerdasan dan juga
karena apa yang dipelajari ialah
sebuah kitab luar biasa dalam dunia persilatan, maka dalam tempo belasan tahun
Lweekangnya sudah mencapai tingkatan tinggi. Pada suatu hari, selagi jalan2 digunung itu, ia
menyaksikan pertarungan sengit antara seekor ular dan seekor burung. Dengan segala
kegesitannya burung itu meyerang dari berbagai jurusan, tapi ia masih kalah setingkat dari ular
itu, hingga akhirnya dia terpaksa melarikan diri. Tiba2 saja Koen Po mendapat serupa ingatan
dan tujuh malam, ia merenungkan ingatan itu dalam guha. Mendadak ia tersadar,
kedua matanya, seolah menembus suatu tabir rahasia. Ia sekarang dapat memahami suatu pokok
dasar yang luar biasa dalam dunia persilatan, yaitu: Dengan "Joe" (kelembekan) melawan
"Kongı (kekerasan).
Tanpa merasa ia dongak
dan tertawa terbahak-bahak. Tertawa kegirangan itu berarti muncul sutiu Tay cong soe
(guru besar) baru dalam Rimba persilatan. Dan ilmu yang didapatnya sendiri, digabung
dengan Lweekang berdasarkan Kioe yang Cin keng, ia telah menggubah semacam ilmu silat yang
belakangan dikenal sebagai ilmu silat Boe tong
sedang muridnya telah bersatu dalam suatu "partai" persilatan baru
yang dinamakan Boe tong pay.
Sesudah lewat lagi sekian tahun, pada waktu berkelana di Tiongkok Utara, ia telah bertemu
dengan tiga puncak gunung (Sam Hong) yang luar biasa dan oleh karenanya ia lalu
menggunakan gelar Sam Hong untuk dirinya sendiri dan luar biasa dalam sejarah persilatan di
Tiongkok.
Bagaimana dengan Kwee
Siang? Puluhan tahun lamanya, sinoana berkelana diempat penjuru untuk mencari Yo Ko dan
Siauw Liong Lie. Demi kecintaan yang suci murni dari muda sampai tua ia men-cari2
tanpa rasa menyesal sedikitpun juga. Tapi Yo Ko dan Siauw Liong Lie telah melenyapkan
diri dan tak muncul lagi dalam dunia pergaulan. Waktu mencapai usia enampuluh tahun, tiba2
Kwee Siang terbuka matanya dan ia tersadar, akan kemudian mencukur rambut dan
hidup sebagai pendeta perempuan dipuncak gunung Go bie san.
Disitulah, dengan tekun
ia melatih diri dam mempelajari ilmu silat,sehingga kian lama kepandaiannya jadi kian
tinggi. Belakangan ia juga menerima murid dan serta cucu muridnya mempersatukan diri
kedalam satu partai persilatan yang dikenal kedalam partai persilatan yang dikenal sebagai Go
bie pay.
Dilain pihak, sesudah
menderita kekalahan didepan kuil Siauw lim, Koen Loen Sam Seng Ho Ciok Too pulang
kedaerah barat dan sesusai dengan sumpahnya selama hidup ia tak pernah menginjak lagi wilayah
Tiong Goan. Sesudah berusia lanjut, barulah ia mengambil seorang murid yang mewarisi seni
memetik Khim, ilmu main catur, dan ilmu silat pedangnya. Itulah sebabnya mengapa, walau
pun bersumber didaerah Barat yang jauh, akan tetapi murid2 Koenloen-pay rata rata boen boecoan cay (mahir
dalam ilmu surat dan dan ilmu pedang).
Dikemudian hari, partai
rimba persilatan yang paling tersohor ialah Siauw Lim, Boe tong, Go bie dan Koen loen.
Dalam keempat partai tersebut banyak sekali orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi,
Pada hari itu, waktu
Kak wan Taysoe menghafal Kioe yang Cin keng, sebelum ia meninggal dunia ada tiga orang
yang mendengarnya yaitu Boe sek Siansoe, Kwee Siang dan Thio Koen Po. Oleh karena
pengetahuan padat dan kecerdasan ketiga orang itu berbeda-beda maka apa yang didapati merekapun
berbeda-beda pula. Dengan begitu pelajaran ilmu silat Siauw lim Go bie dan Boe tong banyak
sekali perbedaanya dan sedikit persamaanya.
Kwee Siang adalah putri
ahli2 silat kelas utama dan pelajarannyapun beraneka warna. Maka itu ilmu silat Go bie
banyak sekali corak ragamnya dan satu saja dapat dipahami sampai kedasar2nya, sudah
cukup untuk membuat orang itu mendapat nama besar.
Mengenai Boe sek
Siansoe, pada waktu mendengari Kioe yang Cin keng, ia sendiri memang sudah menjadi seorang
ahli kenamaan. Didapatinya Kioe yang Cin keng hanyalah mempertiggi
kepandaiannya, tapi pada dasar pokoknya ia tidak menarik keuntungan apapun juga.
Diantara ketiga orang
itu, yang menarik ke untungan paling banyak ialah Thio Koen Po. Pada waktu itu, kecuali
empat jurus ilmu silat yang ia dapat dari Yo Ko dan beberapa macam pukulan Lo han koen,
belum pernah ia belajar ilmu silat. Maka itu ia telah menarik pelajaran2 yang paling murni dari
kitab Kioe yang Cin keng. Akan tetapi, oleh karena ia memang tidak pernah belajar dibawah
pimpinan guru yang pandai, maka ia kekurangan dasar2 ilmu silat, sehingga banyak sekali
bagian Kioe yang Cin keng yang tidak begitu dimengerti olehnya.
Belakangan, sesudah
mempelajari pertarungan antara ular dan burung, barulah ia tersadar akan seluk beluknya
iimu silat. Akan tetapi kejadian itu telah lama dilupakan, sehingga banyak bagian dalam
kitab Kioe yang Cin keng sudan tidak diingat lagi olehnya.
Dengan demikian ilmu
silat Siauw Lim, Boe tong dan Go bie masing2 mempunyai keunggulan sendiri2 dan
kekurangannya2. Ketiga guru besar partai partai itu sama-sama memetik bagian-bagian
dari Kioe yang Cin keng dan berdasarkan bakat serta kecerdasan masing-masing, mereka
mempelajari, memperbaiki dan lalu menggubah imu-ilmu silat yang luar biasa.
Sebagaimana diketahui
kerajaan Goan adalah kerajaan bangsa Mongol yang berkuasa di Tiongkok. Selama jaman
penjajahan itu, ilmu surat tidak lagi begitu diperhatikan lagi, karena para penyinta negeri
ber-lomba2 belajar ilmu silat. Pada jaman itu, dalam dunia Kang ouw banyak muncul orang2
luar biasa yang
berkepandaian luar biasa pula. Jumlah mereka lebih besar dan kepandaian mereka lebih tinggi dari pada
orang2 dijaman buntutnya kerajaan Song, yaitu pada jaman Kwee Ceng, Oey Yong, Yo Ko,
Siauw-Liong Lie pay sebagainya. Orang2 gagah yg muncul didaerah Barat kebanyakan murid2 dari
Koen-loen-pay, sedang jago2 di wilayah Tiong goan, sebagian besar adalah orang2
Siauw-Lim, Boe-tong dan Go-bie. Disamping itu, masih ada ratusan malahan ribuan partai partai
lain yang lebih kecil. Demikianlah sedikit pendahuluan dari kisah Membunuh Naga atau
Ie-thian To-liong-kie.
TAHUN itu adalah tahun
kedua dari Kaizar Goan-soen-tee. Robohnya Kerajaan Song sudah genap enam puluh tahun. Waktu itu bulan Shagwee
(Bulan Ketiga) Cong soe (orang gagah) yang berusia kira kira tigapuluh tahun,
mengenakan baju biru itu dan pakai sepatu rumput, kelihatan berjalan di jalan raya dengan
tindakan lebar. Di kedua pinggir jalanan itu, buah tho yang merah dan pohon Hoe yang hijau
memperlihat kan keindahannya, tapi orang itu tidak memperhatikan sedikitpun jua.
"Hari ini Shagwee
Jie Tie ( Bulan Ketiga tanggal 24)" katanya didalam hati. "Sampai Sie gwee Ceekauw (Bulan
Keempat tanggal 9 ) masih ada empat belas hari. Dengan tidak membuang2 tempo barulah aku bisa
tiba pada waktunya di Giok-hie-kiong, Boetong-san untuk memberi selamat ulang
tahun ke sembilan puluh pada In-soe (guru)."
Orang gagah itu she
Jie, bernama Thay Giam, murid ketiga dari Thio Sam Hong (Thio Koen Po), Couw soe Boe-tong-pay.
Sesudah berusia tujuh puluh tahun, ialah sesudah ilmu silatnya mencapai tingkatan
sangat tinggi, barulah Thio Sam Hong menerima murid. Maka itu biarpun sendiri sudah berusia
sembilan puluh tahun, tapi tujuh muridnya masih muda. Murid kepala, Song Wan Kiauw belum
cukup empat puluh lahun. Sedang murid yang paling kecil, Boh Kok Seng,baru berusia
belasan tahun.
Tapi meskipun begitu,
meskipun murid2 itu masih berusia muda, mereka sudah melakukan pekerjaan2 yang
menggemparkan dunia Kang ouw. Kalau menyebutkan nama mereka, orang2 Rimba Persilatan selalu
mengacungkan jempol. Boe-tong Cit-hiap ( Tujuh Pendaikar dari Boe tong) adalah pendekar2
dari sebuah partai yang lurus bersih." kata mereka Pada permulaan tahun
itu, Jie Thay Giam mendapat titan gurunya untuk pergi ke propinsi Hokkian guna
membinasakan seorang penjahat besar yang sangat menindas rakyat jelata.
Penjahat itu bukan saja
berkepandaian tinggi, tapi juga licin luar biasa. Sesudah menyelidiki dua bulan lebih,
barulah ia berhasil mencari sarang penjhat itu, yang lalu ditantang olehnya.
Dalam pertempuran yang
sangat hebat, ia telah membinasakan musuh nya dangan pukulan kesebelas dari Thay kek
koen Hian-hian Tohoat. Manurut perhitungan, ia bisa menyelesaikan tugasnya dalam tempo
sepuluh hari, tapi diluar dugaan ia memerlukan waktu lebih dari dua bulan. Saat
manghitung2, hari ulang tahun kesembilan puluh gurunya ternyata sudah dekat sekali sehingga oleh
karenanya, ia buru2 berangkat pulang dari kota Lang lam.
Makin lama jalannya
jadi makin sempit dan sisi kanan jalanan itu berdampingan dengan pantai laut. Tiba2 ia
lihat tanah datar yang licin mengkilap bagaikan kaca dan dibagi jadi petakan2 yang luasnya
kira-kira 7-8 tombak persegi. Sebagai orang yang sering berkelana disebelah selatan dan
utara Sungai besar, Thay Giam mempunyai banyak pengalaman, tapi belum pernah ia melihat
tanah yang begitu luar biasa. Sesudah menanya seorang penduduk pribumi, baru ia tahu,
bahwa petakan2 itu bukan lain daripada sawah garam Untuk membuat garam, penduduk disitu
memasukkan air laut kedalam sawah tersebut. Setelah kering, mereka keruk tanah yang
mengandung garam yang kemudian dimasak dan dijemur lagi sampai menjadi garam yang
putih bersih.
"Sudah tigapuluh
tahun aku makan garam, tapi baru sekarang kutahu bagaimana sukarnya membuat garam,"
katanya didalam hati.
Selagi enak berjalan,
se,-konyong2 ia melihat 30 orang lebih yang deagan memikul piKulan, mendatangi dengau cepat
dari jalanan Kecil disebelah barat. Mereka itu mengenakan pakaian seragam baja dan celana
pendek warna hijau, dan kepala mereka ditutup dengan tudung lebar.
Sekelebatan saja, ia
bisa menebak, bahwa isi pikulan itu ialah garam.
Ia tahu, bahwa pembesar
disepanjang pantai biasanya sangat kejam dan rakus dan biasa memungut bea Cukai
garam yang sangat berat. Maka itu, walaupun bertempat tinggal ditepi lautan, rakyat tidak
kuat makan garam resmi, dan terpaksa membeli garam gelap. Dilihat potongan badan dan
gerakan orang2 itu hampir boleh dipastikan, bahwa apa yang diangkat mereka adalah garam
gelap. Hal ini sedikitpun tak mengherankan. Yang mengherankan adalah pikulan mereka.
Setiap pikulan bukan bambu dan juga bukan kayu berwarna hitam dan tak mempunyai sifat
melenting (membal), sehingga bisa diduga, bahwa pemikul2 itu terbuat dari besi. Apa yang
lebih mengherankan lagi, ialah, walaupun saban orang mikul barang yang beratnya tak kurang
dari tigaratus kati, tapi tindakan mereka cepat luar biasa, seolah tidak menginjak tanah dan dalam
sekejap mereka sudah melewati Jie Thay Giam.
"Kawanan pengusaha
garam gelap ini memang juga terdiri dari jago2," katanya dida lam hati.
"Sudah lama aku
dengar, bahWa Hay see pay (Partei Pasir laut) di Kanglam yang jual bell garam gelap, mempunyai
pengaruh yang sangat besar dan anggauta yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi,
adalah sangat luar biasa, jika duapuluh lebih ahli silat beramai-ramai memikul garam.ı
Jie Thay Giam adalah
seorang yang gemar menyelidiki hal2 aneh. Diwaktu biasa, ia tentu akan mencari tahu
kejadian yang luar biasa itu. Tapi Sekarang , mengingat hari ulang tahun gurunya, ia sungkan
membuang tempo dan sambil mengempos, ia lalu menyusul dan melewati pemikul2 garam
itu, yang jadi heran melihat tindakan Jie Thay Clam yang begitu enteng.
Lewat magrib Jie Thay
Giam tiba diSebuah kota kecil dan dari keterangan seorang penduduk, ia mengetahui, bahwa
kota itu adalah Am tong tin dalam wilayah Cie yauw koan. Dari situ, sesudan menyeberang
sungai Cian tong kang ia akan tiba di Lim an dan dengan membelok kejurusan barat laut,
sesudan melewati propinsi Kang say dan Ouw lam, barulah ia tiba di Boe-tong. Malam itu,
karena tak ada perahu untuk menyeberang sungai, ia terpaksa menginap disebelah rumah
penginapan kecil di Am tong tin.
Sesudah makan malam,
baru saja mencuci kaki untuk naik keranjang, tiba2 ia dengar suara ribut-ribut dari
sejumlah orang yang mau menumpang nginap. Mendengar lidah Ciat kang timar dan suara yang
nyaring luar biasa, ia melongok keluar dan ternyata, bahwa orang2 itu bukan lain daripada
kawan pemikul garam yang ia bertemu tadi. Menurut kebiasaan, orang2 dari perdagangan garam
gelap adalah kaum kasar yang suka sekali minum arak dan makan minum seperti setan
kelaparan. Tapi berbeda dengan yang lain, mereka hanya minta
disediakan nasi,
sayur-sayur dan tauw hu.
Sesudah bersantap,
tanpa minum setetes arak, mereka lalu pergi tidur. Jie Thay Ciam sendiri lantas saja bersamadhi
dan melatih lweekang untuk beberapa lama sesudah itu, ia segera merebahkan badan diatas
pembaringan.
Kira2 tengah malam,
dikamar sebelah sekonyong konyong terdengar suara keresekan. Pada waktu itu, Jie Thay
Giam sudah menyelami ilnu silat Boe tong pay dan ia sudah mencapai tingkatan yang sangat
tinggi, sehingga, biarpun sedang pulas nyenyak, suara keresekan itu sudah cukup untuk
menyadarkannya.
Tiba2 ia dengar suara
orang berbisik. "Perlahan2. Jangan mengageti tamu dikamar sebelah supaya tidak
menimbulkan banyak urusan". Pintu kamar dibuka per lahan lahan dan
duapuluh orang lebih itu lantas
keluar kedalam pekarangan penginepan. Jie Thay Giam mengitip dijendela. Sambil
memikul pikulan, mereka semua keluar dangan melompati tembok, Walaupun tembok itu
tidak tinggi, tapi bahwa mareka bisa melompatinya sambil memikul barang yang begitu
berat, merupakan bukti, bahwa kepandaian mereka tak boleh di pandang
enteng.
"Ilmu Silat mereka
belum bisa menandingi aku, tapi dua puluh orang lebih yang rata2 memiliki kepandaian
tinggi, bukan kejadian yang sering ditemui," kata Jia Thay Giam didalam hati. Untuk
beberapa saat ia berdiri bengong dengan perasaan sangsi. Kata2 orang itu "jangan mengageti
tamu dikamar sebelah supaya tidak menimbalkan banyak urusan?" sangat mengganggu pikirannya.
Jika ia tidak dengar perkataan itu, biarpun terbiasa, ia tentu sungkan memperdulikan urusan
orang.
Tapi kata2 itu sudah
lantas membangunkan rasa kesatriannya. "Kejahatan apa yang mau dilakukan mereka
tanyanya didalam hati.
"Sesudah
berpapasan denganku, tak bisa tidak aku mesti mencampuri. Jika aku bisa
menolong satu dua orang,
meskipun tidak keburu hadir dalam peringatan hari ulang tahun In-soe, In-soe tentu tak akan gusari
aku."
Jie Tay Giam sudah
memikir begitu, olah karena setiap kali menerima murid baru, paling dulu Thio Sam Hong
menasehati, bahwa sesudah berhasil dalam mempelajari ilmu silat, si murid harus mengutamakan
sifat2 kesatria dan selalu bersedia menolong sesama manusia yang memerlukan pertolongan.
Itulah sebabnya mengapa nama Boe-tong Cit-hiap tersohor bukan main. Mereka tersohor
bukan saja sebab berkepandaian tinggi, tapi juga sebab sepak terjangnya sangat
mulia.
Demikianlah, pada saat
itu, dengan mengingat nasehat gurunya, Jie Thay Giam segera menyoren golok dan
membekal kantong senjata rahasia, akan kemudian melompat keluar dari jendela dan tembok.
Begitu berada di luar
rumah penginapan, ia dengar suara tindakan kaki kejurusan timur laut.
Buru2 ia mengempos
semangat dan mengejar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Malam itu malam tak
berbintang, langit gelap gulita, ditutup awan awan tebal. Melihat tindakan orang orang
itu yang cepat liar biasa, seolah olah mereka tidak merasakan tindihan pikulan yang sangat
berat, Jie Thay Giam jadi semakin heran. "Penjual garam gelap berjalan ditengah malam buta
adalah kejadian yang biasa saja," pikirnya. "Apa yang luar biasa
adalah kepandaian orang2 itu.
Dengan memiliki ilmu silat yang begitu tinggi, kalau benar2 mereka mau berbuat jahat,
jangankan merampok rumah hartawan, sedangkan sekalipun menggarong gudang pemerintah,
mereka masih dapat melakukan tanpa bisa dicegah oleh opas2 atau tentara dikota ini.
Mengapa mereka mau memikul garam ditengah malam buta untuk mendapatkan keuntungan
yang sangat kecil? Tak bisa jadi. Dalam hal ini pasti terselip latar belakang yang luar
biasa." Memikir begitu ia terus menguntit.
Berselang kurang lebih
setengah jam, kawanan penjual garam gelap itu sudah melalui dua puluh li lebih.
Sedikipun mereka tak merasa dibuntuti orang, karena ia berjalan dengan terburu-buru dan juga
sebab yang menguntit mempunyai ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi.
Tak lama kemudian,
mereka tiba dijalanan yang berdampingan dengan pantai laut dimana gelombang demi
gelombang menerjang ketepi dengan mengeluarkan suara keras.
Selagi enak berjalan,
mendadak salah seorang yang rupanya jadi pemimpin rombongan mengeluarkan seruan
perlahan dan semua kawannya segera menghentikan tindakan. "Siapa?" bentak si pemimpin.
"Apa sahabat2 dari
Tiga Pinggir Air?" Balas tanya seorang yang berada di tempat gelap.
"Benar, siapa
tuan?" tanya pula si pemimpin.
Jie Thay Giam bingung.
"Apa itu, sahabat sahabat dari Tiga Pinggir Air?" tanya didalam hati.
Tapi dilain saat ia
mandusin dan dapat menebak bahwa "Tiga Pinggir Air" berarti
"Hay-seepay" terdapat huruf
"Air".
"Aku menasehati
supaya kamu jangan campur-campur urusan To liong to," kata pula orang yang berada ditempat
gelap. ( To-Liong to Golok membunuh naga ).
Si pemimpin terkejut.
"Apa tuan juga datang urusan To liong-to?" tanyanya.
"Hu hu hu "
orang itu tertawa dingin. Dia tidak memberi jawaban.
Mendengar suara tertawa
itu, jantung Jie Thay Giam memukul keras. Suara itu aneh tak mungkin dilukiskan
bagaimana anehnya dan begitu masuk kedalam kuping, pikiran orang yang mendengarnya
lantas kalang kabut, se akan akan belasan ular bulu merayap ditulang punggung. Dengan
perasaan sangat heran indap indap ia maju kedepan.
Dengan matanya yang
terlatih, segera juga ia melihat, bahwa ditengah jalan menghadang seorang lelaki yang
tubuhnya kurus dan kecil. Karena gelap gulita, ia tak dapat melihat tegas muka orang itu. Apa
yang dapat di lihatnya ialah orang itu mencekal sebatang tongkat, sedang pada pakaiannya
terdapat titik titik sinar yang berkeredepan, sehingga ia menarik kesimpulan bahwa orang itu
mengenakan jubah sulam.
"To Liong to
adalah mustika partai kami," kata pula si pemimpin Hey see pay. "Golok
itu telah di curi orang dan
adalah sewajarnya saja jika kami berusaha untuk mendapatkan nya kembali."
Sikurus lagi-lagi
tertawa dingin dan tetap menghadang di tengah jalan.
Mendadak, seorang yang
berdiri dibelakang si pemimpin, membentak dengan suara keras "Minggir! Dengan
mencegat kami, kau hanya mencari mampus..."
Belum habis
perkataannya, ia sudah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan jatuh kebelakang. Semua kawannya
terkesiap. Hampir berbareng, sinar berkeradepan di jubah sikurus kering
bergoyang goyang beberapa kali dan dia menghilang dari pemandangan.
Para anggauta Hay see
pay kaget tercampur gusar, karena kawan ia yang baru jatuh sudah putus napasnya dan badannya
meringkuk beberapa antaranya sudah melepaskan pikulan untuk mengejar sikurus.
Tapi musuh itu yang gerakannya cepat bagaikan kilat sudah tak kelihatan bayang2annya
lagi.
Jie Thay Giam heran
bukan main. "Senjata rahasia apa yang digunakan oleh sijubah sulam?" tanyanya didalam hati.
"Cara bagaimana ia dapat membinasakan orang dengan tangan dan badan tidak bergerak?
Aku berdiri cukup dekat, tapi tak bisa lihat gerakan apapun juga." la terus bersembunyi
dibelakang batu besar, supaya tidak dilihat oleh orang2 Hey see pay yang sedang gusar.
"Biarlah kita
tinggalkan jenazah Loo sie di tempat ini untuk sementara waktu," demikian terdengar lagi suara
pemimpin. "Kita harus membereskan dulu urusan yang lebih penting.
Sebentar, sesudah
selesai urusan kita, baru kita merawat jenazah Loo sio. Kitapun harus nyelidiki siapa adanya
musuh itu. Semua kawannya mengiakan dan segera berlalu sambil memikul pikulan mereka.
Sesudah mereka pergi
jauh barulah Jie Thay Giam keluar dari tempat sembunyi dan mendekati jenazah.
Orang itu mati dengan badan meringkuk seperti seekor udang dan dari tanda tandanya
kebinasaannya disebabkan racun yang sangat hebat. Sebab takut kena racun, ia tak berani menyentuh
mayat itu. Ia jadi sangsi dan sesudah berpikir beberapa saat, ia lalu mengempos semangat dan
menyusul kawanan Hay soe pay yang sudah pergi agak jauh.
Sesudah melalui
beberapa li si pemimpin rombongan tiba-tiba mengeluarkan seruan perlahan dan semua kawannya
segera berpencaran dan mendekati sebuah gedung disebelah timur laut dengan tindakan
perlahan.
"Apakah golok To
liong to berada dalam rumah itu?" tanya Jie Thay Giam dalam hati.
Diatas gedung besar itu
terdapat sebuah lubang asap, darimana terus mengepul asap hitam yang dalam tempo lama
berkumpul ditengah udara, tanpa mau buyar. Kawanan penjual garam gelap itu segera
menaruh pikulan ditanah dan setiap orang lalu mengeluarkan sendok kayu yang digunakan untuk
menyendok semacam benda dari dalam keranjang mereka. Benda itu lalu ditaburkan
diseputar gedung. Melihat warna yang putih bagaikan salju, Jie Thay Giam merasa pasti, bahwa
benda tu ialah semacam garam.
"Apa yang
disaksikan olehku pada malam ini sungguh luar biasa," pikirnya. "Jika
diceritakan kepada In soe belum
tentu ia mau percaya."
Waktu menyebarkan garam
itu, orang2 Hay see pay kelihatan sangat ber hati2 seperti juga kuatir benda itu
menyentuh badan mereka. Sebagai seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kang ouw, Jie Thay Giam
lantas saja mengerti bahwa garam itu mengandung racun hebat untuk mencelakakan
penghuni gedung itu. Jiwa kesatrianya lantas saja terbangun. "Siapa salah, siapa benar, aku
tak tahu, " pikirnya."Tapi perbuatan orang Hay soe pay terlalu
rendah.
Biar bagaimanapun juga,
aku harus memberitahukan penghuni rumah itu, supaya dia jangan sampai celaka dalam
tangan manusia2 rendah," Melihat orang2 itu belum menyebar kan garam dibagian belakang
rumah, buru2 ia mengmbil jalan mutar kebelakang gedung dan lain melompat masuk kedalam
tembok pekarangan.
Dalam pekarangan yang
sangat luas berdiri lima buah bangunan dengan tigapuluh atau empatpuluh kamar dan
apa yang mengheran kan, seluruh gedung itu gelap gulita, tidak terlihat sinar lampu
atau lilin. "Dirumah tengah, dari mana mengepul asap hitam, pasti ada manusianya, pikir-Jie
Thay Glam. Karena kuatir penghuni runah menganggapnya sebagai musuh, ia lalu
mengambil sebatang cabang kering, menyalakan api dan lalu menyulutnya.
Sambil mengangkat obor
itu tinggi2 ia berkata."Murid Boe-tong-pay. Jie Thay Giam, datang berkunjung untuk
memberitahukan satu rahasia. Aku tidak mengandung maksud kurang baik, harap kalian jangan
curiga," Walau perlahan suaranya tajam dan jauh, sehingga menurut perhitungan, setiap
perkataannya bisa didengar oleh penghuni dalam lima rumah itu. Tapi sesudah mengulangi
perkataannya dua kali, ia masih juga belum mendapat jawaban.
Jie Thay Giam adalah
seorang pendekar dari sebuah partai kenamaan dan tentu saja nyalinya labih besar dari
manusia biasa. Biarpun gedung itu menyeramkan, ia sungkan memperlihatkan kelemahan. Tanpa
menghunus golok dan dengan hanya mengempos semangat supaya panca indranya jadi lebih
tajam, ia segera bertindak masuk kedalam rumah yang mangeluarkan asap hitam.
Setelah melewati sebuah
cim chee, ia tiba diruangan belakang. Mendadak ia berdiri terpaku, sebab dipinggir ruang
itu menggeletak dua mayat, yang satu mengenakan pakaian too jin (imam), sedang yang
lain memakai pakaian petani. Usia kedua orang itu sudah lanjut dan mukanya menyeramkan,
seperti juga kesakitan hebat sebelum menghembuskan napas yang penghabisan. Tapi
dibadan mereka sedikitpun tidak terlihat tanda-tanda luka barang tajam.
Jie Thay Giam berjalan
terus untuk menyelidiki keadaan rumah itu. Ia mendapat kenyataan bahwa setiap pintu
terbuka lebar tapi semua kamar gelap gulita, sehingga ia tak bisa lihat apa yang terdapat dalam
kamar-kamar itu. Kecuali obor yang dibawanya, tidak terdapat lain penerangan seluruh
rumah yang luas itu. Meskipun bernyali besar, mau tak mau hatinya berdebar juga.
Dari situ, ia terus
pergi keruangan samping, dimana ia melihat pemandangan yang lebih hebat lagi. Dalam ruangan
itu, menggeletak mayat dua puluh orang lebih dengan senjata2 mereka.
Dilihat dari muka
mayat2 itu, sebagian sudah mati lama juga sebagaian lagi baru saja mati.
"Dari senjatanya,
diantara mereka terdapat orang2 pandai." katanya didalam hati.
"Senjata untuk menotok jalan
darah, roda Ngo-heng-loen, Poan-koan pit dan sebagainya. Jika orang2 itu tidak mahir dalam
ilmu menotok jalan darah, mereka tentu tidak menggunakan senjata itu.
Mengapa mereka mati
disini? Mengapa ?"
Semula ia masuk gedung
itu dengan sikap sembarangan. Tapi sekarang sesudah melihat mayatnya begitu banyak
jago-jago, ia lantas saja berhati-hati. "Murid Boe-tong-pay Jie Thay Giam minta bertemu
dengan Cianpwee untak melaporkan suatu urusan," teriaknya kembali.
Jawaban tetap tidak
ada, tapi diruangan tengah terdengar suara orang meniup api dan suara merontoknya perapian.
Dengan tindakan hati-hati, ia lalu menghampiri suara itu dan sesudah melewati tembok dan
sekosol, tibalah ia di ruangan tengah.
Ia terkejut sebab
merasakan menyambarnya hawa yang sangat panas. Ditengah-tengah ruangan terdapat sebuah
dapur besar yang terbuat dari batu dan api di dalam dapur itu menjilat-jilat keatas.
Diseputar dapur berdiri tiga orang yang sedang meniup dengan menggunakan tenaga
Lweekang, sedang diatas dapur menggeletak melintang sedatang pedang yang panjangnya
kira-kira empat kaki. Sebab panasnya, dari merah sinar api berubah hijau dan dari hijau berubah
merah, tapi sinar golok tersebut masih tetap berkeredepan dan
sedikitpun tidak
melumer atau rusak karena panas api.
Ketiga orang rata2
berusia kurang lebih enampuluh tahun dan mereka semua mengenakan jubah hijau. Muka
mereka penuh debu dan jubah mereka banyak berlubang akibat peletikan api, diatas kepala
mereka mengepul uap putih dan saraya mengempos semangat, perlahan2 mereka meniup api.
Setiap kali ditiup, api itu menjilat keatas kira2 lima kaki tingginya dan menggulung golok yang
berkeredepan itu. Jie Thay Giam mengerti, bahWa ketiga orang tua itu memiliki tenaga
dalam yang sangat tinggi. Dengan berdiri ditempat yang berapa tombak jauhnya dari perapian
itu, ia sudah merasakan hebatnya hawa panas, sehingga dapatlah dibayangkan panasnya
hawa yang menyambar ketiga kakek itu, yang berdiri dipinggir dapur.
Tapi aneh sungguh,
biarpun digulung api yang bersinar hijau, golok itu masih tetap utuh dan Warna nya tidak berubah
sama sekali.
Mendadak diatas genteng
terdengar suara menyeramkan "Berhenti! Marah golok mustika itu adalah kedosaan
besar."
Jantung Je Thay Giam
memukul keras, karena ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara si jubah sulam. Tapi
ketiga kakek itu tidak menghiraukannya dan malahan meniup semakin hebat. Mendadak hampir
berbareng dengan terdengar nya suara tertawa dingin, satu bayangan yang bersinar emas
berkelebatan dan bagaikan jatuhnya selembar daun, sijubah sulam sudah berdiri ditengah-tengah
ruangan. Dengan bantuan sinar api, Jie Thay Giam bisa lihat tegas romannya orang itu,
yang ternyata adalah seorang pemuda yang baru berusia kurang lebih duapuluh tahun, dengan
muka yang tampan, tapi pucat dan bersorot hijau. Sulaman benang emas dijubahnya yang
sangat indah dan mewah, merupakan gambar-gambar harimau, singa bunga-bunga. Dengan
sikap tenang dan tanpa membawa senjata, ia berkata dengan suara dingin "Tiang pek
sam khim, mengapa kau akan merusakkan senjata mustika itu ? "Seraya berkata, begitu ia maju
setindak.
Sikakek yang berdiri
disebelah barat mendadak mementang lima jari tangannya yang, terus menyambar kemuka orang.
Sijubah sulam mengempas dan maju lagi setindak. Kakek yang berdiri disebelah timur
dengan cepat meagambil satu martil yang terletak di pinggir dapur dan lalu menghantam kepala
orang. Tapi gerakan pemuda itu gesit luar biasa. Dengan sekali miringkan badan, ia
kermbali bisa meloloskan diri dari serangan kedua Martil itu menghantam tempat
kosong dan jatuh dilantai dengan muncratnya lelatu api. Ternyata batu lantai bukan biasa,
tapi batu gunung yang sangat keras.
Sikakek yang disebelah
barat lantas saja bantu menyerang dengan kedua tangan yang jari2nya dipentang seperti cakar
ayam. Ia menyerang secara nekat2an dengan pukulan-pukulan yang membinasakan, sehingga
Jie Thay Giam jadi merasa sangat heran, "Sakit hati apa yang didendam orang-orang
ini, sehingga mereka berkelahi dengan menggunakan pukulan pukulan yang kejam itu?"
tanyanya didalam hati.
Tapi kepandaian si
jubah sulam benar-benar luar biasa. Walaupun diserang oleh kedua kakek itu, ia masih bersenyum
senyum dan melayani dengan sikap acuh tak acuh. Sesudah bertempur beberapa
jurus, si kakek yang ber senjata martil membentak: "Siapa tuan ? Biar maui golok mustika,
tuan harus lebih dulu memberitahukan she dan namamu,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar