jilid 1
MUSIM semi gembira-ria,
Setiap peringatan Han-sit, Bunga Lee-hoa mekar semua.
Sutera putih licin, Bau
harum bertebaran, Pohon2 bagaikan giok, Tertutup salju berhamburan.
Malam yang sunyi, Sinar
yang mengambang, Cahaya, yang dingin.
Diantara bumi dan
langit, Sinar perak menyelimuti semesta alam.
Ah, dia bagaikan Dewi
dari gunung Kouwsia, Bakatnya cerdas dan suci, Wataknya agung dan murni.
Laksaan sari bunga
besar kecil tak ketentuan, Tapi siapa berani mengatakan, dia tak berendeng
dengan bunga2 kenamaan?
Jiwanya gagah, Kepintarannya
berlimpah2, Sesudah rontok, semua sama.
Maka itu, dia pulang
kekeraton langit' Guna melihat keindahan nan ABADI.
Sajak diatas sajak
"Boe siok liam" (Cita2 hidup bebas dari segala keduniawian), adalah
buah kalam seorang ahli silat ternama dijaman Lan-song (kerajaan Song Selatan).
Orang itu she Khoe bernama Cie Kie (Kee) bergelar Tiang coen coe, salah seorang
dari Coan cin Cin Cit coe (Tujah Coe dari agama Coan cin kauw)
Dalam sajak itu Khoe
Cie Kie bicara tentang bunga Leehoa. Tapi sebenarnya, dalam melukiskan
keagungan bunga Leehoa, ia ingin memberi pujian kepada seorang wanita cantik yang
mengenakan pakaian serba putih. la membandingkan wanita itu seperti "Dewi
dari gunung Kouw sia, bakatnya cerdas dan suci, wataknya agung dan murni."
Ia memujinya sebagai manusia yang "jiwanya gagah kepintarannya
ber-limpah2." Siapakah wanita yang mendapat pujian sedemikian tinggi dari
seorang, beribadat yang berilmu itu ?
Ia adalah Siauw Liong
Lie, seorang jago betina partai Kouw bok pay (partai Kuburan tua). Ia suka
mengenakan pakaian serba putih, sehingga se-olah2 pohon giok yang tertutup
salju Dengan sifat2nya yang bersih dingin is se-akan2 sinar rembulan yang
menyelimuti semesta alam dengan sinarnya yg teduh dan dingin.
Waktu masih berdiam di
Ciong Lan Sam Siauw Liong Lie pernah jadi tetangga Kho Cie Kie dan sesudah
melihat gadis itu yang elok luar biasa. Cie Kie segera menulis sajak "Boe
siokliam" untuk memujinya.Tapi sekarang Kho Cie Kie sudah lama meninggal
dunia, sedang Siauw Liong Lie pun sudah menikah dengan Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Akan tetapi, pada suatu
hari, dijalanan gunung Siauw sit san, di propinsi Holam, terlihat seorang gadis
remaja yang sedang berjalan sambil menundukkan kepada dan menghafal sajak "Boe
siokliam." Gadis itu, yang berusia kira-kira delapan belas tahun dam
mengenakan pakaian warna kuning menunggang seekor keledai kurus. Perlahan-lahan
binatang itu mendaki jalanan gunung yang sempit. Sambil termenung2 diatas
tunggangannya, sinona berkata dalam hatinya. "Ya ! Memang juga, hanyalah
seorang seperti Liong Cie-cie yang pantas menjadi isteri dia." "Dia"
adalah Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Keledai berjalan terus,
perlahan-lahan. Si nona menghela papas dan berkata dengan suara perlahan.
"Berkumpul gembira, berpisahan menderita......" Gadis tersebut, yang
berpakaian sederhana dan yang pada pinggangnya tergantung sebatang pedang
pendek, berjalan dengan paras muka tenang, sehingga dengan muka sekelebatan
saja, orang bisa menebak, bahwa ia adalah seorang yang sudah biasa berkelana
dalam dunia Kangouw. Ia berada dalam usia remaja, usia riang gembira. Menurut ukuran
biasa, dalam usia belasan, pemuda atau pemudi tak mengenal apa yang dinamakan
penderitaan atau kedukaan. Akan tetapi, nona itu berada di luar dari ukuran
biasa. Pada paras mukanya yang cantik bagaikan sekuntum bunga mawar, terlihat
sinar yang guram. Alisnya berkerut, seolah-olah serupa pikiran berat sedang
menindih hati iya.
Nona itu she Kwee
bernama siang, puteri ke dua dari Tayhiap Kwee Ceng dan Liehiap Oey Yong. Dalam
dunia Rimba Persilatan, ia di juluki sebagai "Siauw-tong-sia" (si
Sesat kecil dari Timur). Dengan seekor keledai dan sebatang pedang, ia
berkelana untuk menghilangkan kedukaan. Tapi diluar dugaan semakin jauh ia
berkelana mendaki gunung2 yang indah dan sunyi semakin besar kedukaannya. Jalan
kecil itu, dibuat atas perintah Kaizar Kocong dari kerajaan Tong, untuk
memudahkan lalu lintas kekuil Siau-lim-sie.
Sesudah berjalan
beberapa lama, Kwee Siang melihat lima buah air terjun digunung seberang dan
dibelakang sebuah tikungan, apat2 terlihat tembok dap genteng dari se buah kuil
yang besar luar biasa.
Sambil mengawasi bangunan2
yang berderet, si nona berkata dalam hatinya. "Semenjak dulu Siauw lim sie
dikenal sebagai pusat pelajaran ilmu silat. Tapi mengapa, selama dua kali diadakan
pertandingan di puncak gunung Hwa-san, diantara lima jago utama tidak terdapat orang
yang berkepandaian Cukup tinggi? Atau apakah, karena sudah memiliki ilmu yang sangat
tinggi, mereka sung kan mencampuri segala pergaulan didalam dunia?" Sambil
berpikir, ia mendekati kuil itu.
Ia turun dari
tunggangannya dan menuju ke pintu kelenteng. Ia melewati pohon2 itu yang berdiri
sejumlah pay batu yang sebagian besar sudah rusak, sehingga hurup2nya tak dapat
dibaca lagi. Si nona menghela napas. "Ah ! Huruf2 yang terpahat di pay
batu sudah hampir tak terbaca karena lamanya tempo, tapi mengapa, huruf2 yang
terukir dalam hatiku, semakin lama jadi semakin tegas ?" katanya didalam
hati. Dalam saat, ia berpapasan dengan sebuah pay batu yang sangat besar dengan
hurufnya yang masih dapat di baca. Pay itu ternyata hadiah Kaizar Tong-thay-tong
sebagai pujian untuk jasa2nya para pendeta Siauw-lim-Sie
Menurut catatan
sejarah, pada waktu masih jadi Raja muda Cin-ong, Tong-thay-cong pernah membawa
tentara untuk menghukum Ong Sie Oen. Dalam peperangan itu, banyak pendeta siauw-lim-sie
memberi bantuan dan yang paling terkenal berjumlah tiga belas orang. Antara mereka
itu, hanya seorang she Tham yang suka menerima pangkat jenderal sedang yang lainnya,
sesudan peperangan selesai, lantas meminta diri. Tong-thay-cong tak dapat
menahan mereka dan sebagai pernyataan terima kasih kepada setiap orang, ia
menghadiahkan satu jubah pertapaan yang sangat indah.
"Pada jaman antara
kerajaan Soe dan Tong ilmu silat Siau Lim sie sudah tersohor dikolong langit,"
kata Kwee Siang didalam hati.
"Selama beberapa
ratus tahun, ilmu silat itu tentu sudah memperoleh banyak kemajuan. Tahu berapa
banyak orang yang berilmu bersembunyi dalam kuil yang besar ini?"
Selagi dia melamun
dibelakang pohon, tiba2 terdengar suara berkerincingnya rantai besi, disusul
dengan suara seseorang yang sedang menghafal Hoed keng (Kitab Suci agama Budha).
Antara perkataan2 yang di hafal ia menangkap kata2 seperti berikut. "...
Dari cinta timbul ke jengkelan, dari cinta timbul ketakutan. Jika seseorang
menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan."
Jantung si nona memukul
keras. Ia bengong mengulangi kata2 itu. "Dari cinta timbul kejengkelan dan
ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan
dan ketakutan."
Dilain saat, suara
kerincingan rantai besi dan suara pembacaan Kitab Suci sudah jadi semakin jauh.
"Aku mesti tanya dia," kata si nona dalam hati. "Aku mesti
tanya, bagaimana seseorang bisa menyingkir dari cinta, bisa terbebas dari
kejengkelan dan ketakutan". Buru2 ia mengikat tali les keledai disatu
pohon dan lalu mengubar kearah suara itu. Ternyata, dibelakang pohon2 terdapat
satu jalan kecil yang menanjak keatas dari seorang pendeta yang memikul dua
tahang besar sedang naik ditanjakan itu. Dengan cepat Kwee Siang mengudak dan
waktu berada dalam jarak belasan tombak dari si pendeta, tiba2 terkesiap. la
mendapat kenyataan, bahwa yang dipikulnya sepasang tahang besi yang tiga kali
lipat lebih besar dari tahang biasa. Yang mengejutkan ialah, dileher, di tangan
dan dikaki sipendeta dilibatikan rantai besi yang besar, sehingga menimbulkan
suara berkerincingan. Berat kedua tahang besi itu ratusan kati dan ditambah
dengan air dapat dibayangkan betapa beratnya.
".. Toah hweeshio
(pendeta besar) "teriak si nona. "Berhenti dulu ! Aku ingin
bertanya."
Si pendeta menengok,
mereka saling memandang. Pendeta itu ternyata Kak-wan yang pada tiga tahun
berselang pernah bertemu Kwee Siang di puncak ganung Hwa-san. Si Nona tahu,
biarpun pendeta itu agak tolol, ia memiliki Iweekang yang sangat tinggi, yang tak
kalah dari siapapun juga. "Ah! Kukira siapa," katanya. "Tak
tahunya Kak kwan Taysoe. Mengapa kau jadi begini ?"
Kak kwan manggut kan
kepalanya sambil tersenyum dan merangkapkan kedua tangannya, tapi ia tak
menjawab pertanyaan si nona. Lalu ia memutar badan dan berjalan pula
"Kak Wan Taysoe
!" teriak Kwee Siang. "Apakah tidak mengenal aku ? Aku Kwee
Siang!"
Kak wan kembali
menengok, ia tertawa dan memanggut2kan kepala, tapi kakinya bertindak terus.
"Siapa yang
mengikat kau dengan rantai?" tanya sinona. "Siapa yang menghina
kau?"
Sambil berjalan terus
Kak wan menggoyang2 tangan kirinya dibelakang kepala, sebagai isyarat supaya
sinona jangan terlalu melit. Kwee Siang jadi semakin heran. Mana ia bisa puas
dengan begitu saja? Ia segera mengudak untuk mencegat pendeta yang aneh itu,
tapi diluar dugaan, sesudah mengubar beberapa lama, Kak wan yang dilibat rantai
dan memikul tahang, masih tetap berada disebelah depan. Sinona jadi jengkel. Ia
mengempos semangat dan mengudak dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Bagaikan seekor walet tubuhnya yang langsing melesat kedepan dan satu tangannya
coba menjambret sebuah tahang.
Menurut perhitungan,
jambretan itu tak akan melesat. Tapi diluar dugaan, tangan Kwee Siang jatuh
ditempat kosong, hanya kacek dua dim dari tahang itu. "Toahweeshio ! Lihay
benar kau !" teriaknya. "Lihatlah! Biar bagaimanapun juga aku akan menyandak
kau."
Jalanan semakin
menanjak,kebelakang gunung. Dengan tenang Kak Wan percepat tindakannya,
sehingga berkerincingnya rantai jadi semakin ramai. Si ubar dengan sekuat tenaga,
nafasnya tersengal2, tapi ia terpisah kurang lebih setombak dari pendeta ltu.
Ia kagumi bukan main dan berkata dalam hatinya : "Diatas gunung Hwa-san,
ayah dan ibu pernah mengatakan, bahwa hweeshio ini memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Waktu itu agak masih percaya. Sekarang baru terbukti, perkataan
ayah dan ibu adalah benar."
Tak lama kemudian
merekapun tiba didepan sebuah rumah kecil dan Kak Waa sagera pergi kebelakang
dam menuang air kedua tahang itu kedalam sumur. Kwee siang jadi lebih heran.
"Toa hweeshio, apa
kau sudah gila? " tanyanya. "Mengapa kau menuang air kedalam
sumur?"
Paras muka sipendeta
tetap tenang. Ia hanya tersenyum. Mendadak Kwee siang tertawa nyaring. "
Ah! Kutahu sekarang," katanya. "Kau sedang melatih ilmu silat bukan
?"
Kak Wan kembali
meng-geleng2kan kepala. Sinona jadi mendongkol. "Kau seorang gagu, barusan
aku mendengar kau menghafal Kitab Suci." katanya. "Mengapa kau tak
mau menjawab pertanyaanku ?"
Si pendeta merangkap
kedua tangannya, Sedang dilihat dari paras mukanya, ia seperti ingin meminta
maaf. Tapi ia tetap membungkam dan sesudah mengangkat kedua tahangnya, ia lalu turun
di jalanan tadi.
Kwee siang melongok
sumur itu. Ia hanya melihat air yang bening dan merasakan hawa yang dingin.
Tiada apapun yang luar biasa. Ia berdiri bengong dan hati bimbang mengawasi
bayangan Kak wan yang semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah menguber mati
matian, ia merasa letih dan lalu duduk dipinggir sumur sambil memandang keadaan
diseputarnya. Ia berada ditempat yang lebih tinggi dari pada kuil Siauw liem
sie. Di pandang dari jauh kuil itu, angker dan indah. Ia mendongak dan memandang
puncak. yang menjulang kelangit dan berderet2 bagaikan sekosol, sedang di bawah
puncak2 itu terdapat awan putih yang mengambang kian kemari. Di lain saat, sayu
sayu kupingnya mendengar suara lonceng di kuil yang dibawa keatas olen tiupan
angin. Dalam keadaan begitu, ia merasa berada di suatu tempat suci yang jauh
dari keduniawian.
"Kemana perginya
murid si pendeta itu?" tanyanya didalam hati. "Kalau dia sendiri tak
mau bicara, biar kucari itu." Perlahan lahan ia turun gunung untuk mencari
Thio Koen Po, murid Kak wan.
Sesudah berjalan
beberapa lama, ia kembali mendengar suara berkerincingnya rantai besi dan jauh-jauh
Kak wan kelihatan mendatangi sambil memikul dua tahang besinya. Kwee siang baru
baru melompat dan menyembunyikan diri di belakang pohon. "Biarlah aku
intip padanya." pikirnya, "Permainan gila apa yang tengah
dilakukannya?"
Tak lama kemudian, Kak
wan sudah tiba di tempat bersembunyinya. Kwee Siang yg mendapat kenyataan,
bahwa sambil berjalan pendeta itu membaca sejilid buku dengan penuh perhatian.
Mendadak ia melompat dan berteriak. " Toah wee shio, buku apa yang di baca
olehmu ?"
"Aduh ! Kaget
benar aku !" teriak sipendeta tanpa merasa. "Nakal sungguh kau!"
Si nona tertawa geli.
"Toa hwee shio, mengapa tadi kau berlagak gagu ?" tanyanya dengan dada
mangejek, Muka pendeta itu lantas saja berubah pucat, seperti orang ketakutan.
Ia menengok ke Kiri kanan dan menggoyang-goyangkan tangannya.
"Apa yang di
takuti olehmu ?" tanya pula Kwee Siang dengan perasaan heran.
Sebelum Kak wan keburu
menjawab, dari dalam hutan mendadak muncul dua orang pendeta yang mengenakan
jubah kuning. "Kak wan!" bentak sipendeta yang jalan didepan.
"Hm! Kau berani bicara dan melanggar larangan kami ? Hm! Kau berani bicara
dengan seorang luar.
Apa pula demang seorang
wanita. Sekarang kau harus menghadap pada tetua Kayloet tong (dewan per
udang-undangan dari kalangan Buddha)." Kak wan kelihatan berduka. Ia
menunduk dan mengangguk, akan kemudian berjalan mengikuti dibelakang kedua
pendeta itu.
Kwee Siang lantas saja
naik darahnya "Hai ! Dikolong langit mama ada aturan tak boleh bicara
?" bentaknya. "Aku bicara dengan Tay soe itu, karena aku mengenalnya.
Ada sangkut paut apakan dengan kau berdua ?"
Pendeta yang bertubuh
jangkung melotot matanya. "Semenjak ribuan tahun, seorang wanita belum
pernah dipermisikan masuk kedalam daerah Siauw lim sie." katanya.
"Lebih baik nona cepat-capat turun gunung supaya tidak menghadapi kesukaran."
Sinona jadi semakin
gusar. "Eh, kalau wanita masuk disini, mau apa kau?" bentaknya."
Apa perempuan tak sama dengan lelaki? Mengapa kamu menyusahkan Kak wan Taysoe?
Sesudah mengikatnya dengan rantai besi, kau mengeluarkan larangan
gila-gila." Si jangkung mengeluarkan suara dihidung "Kaizar sendiri
tak pernah mencampuri urusan dalam kuil kami," katanya dengan suara tawar.
"Nona tak usah
banyak bicara." Kwee Siang berjingkrak. "Kutahu Kak wan Taysoe
seorang baik dan karena ia seorang baik, kau berani menghinanya," katanya.
"Huh-huh! Dimana adanya Thian beng Siansoe, Boe sek Hweeshio dan Boe Siang
Hweeshio? Panggil mereka? Aku mau menanyakan urusan gila ini!"
Kedua pendeta itu
terkejut. Harus diketahui, bahwa Thian beng Siansoe adalah Hongthio atau kepala
dari kuil Siauw lim sie, sedang Boe sek Siansoe pemimpin Lo-han-tong Pan Boe
siang Siansoe pemimpin Tak mo tong dengan kedudukan yang sangat tinggi, mereka
dihormat oleh segenap pendeta yang belum pernah berani menyebutkan Hoat nia
(nama sesudah jadi pendeta) mereka dan biasa menggunakan panggilan "Loo
hong thio" "Lo han tong Co-soe" atau "Tat mo tong Cocoa.
" Maka itu, tidaklah heran jika mereka kaget tercampur gusar waktu mendengar
sinona menyebut nama ketiga, pemimpin dengan suara kasar.
Hoat mia pendeta yang
bertubuh jangkung itu, adalah Hong bang, murid kepala Co coe (pemimpin) Kay
Loet tang. Atas perintah coe coe, bersama Hong yan, adik seperguruannya ia menilik
gerak-gerik Kak kwan. "Lie sie cue (nona) !" bentaknya sambil menahan
amarah.
"Jika kau terus
berlaku kurang sopan ditempat yang suci ini, Siauwceng tak akan berlaku sangkan
lagi."
"Kau kira aku
takut ?" Kwee Siang balas membentak. "Lekas buka rantai yang melibat
Kak wan Taysoe. Jika tidak, aku akan cari Thian beng Loo hwaeshio untuk berurusan
lebih jauh."
Bagaimana siauw tong
sia Kwee Siang bisa berada digunung Siaw sit san ?
Sesudah berpisah dengan
Yo Ko dan Siauw Liong Lie dipuncak Hwa san, tiga tahun lamanya ia tak pernah
menerima warta tentang kedua sahabat itu. Karena berkuatir, ia segera minta permisi
dari kedua orang tuanya untuk pesiar keberbagai tempat, dengan tujuan mendengar
berita tentang Yo Ko. la bukan terlalu ingin bertemu muka dengan kedua suami
isteri itu. Ia sudah merasa puas jika bisa mendengar warta tentang sepak terjang
mereka. Tapi semenjak berpisah, Yo Ko dan Siauw Liong Lie tak pernah muncul
dalam dunia Kangouw. Tiada orang tahu dimana mereka menyembunyikan diri.
Sesudah berkelana disebagian besar wilayah Tiong g an, dari utara keselatan,
dari timur kebarat, belum pernah Kwee Siang nendengar disebut-sebutnya, nama
"Sintiauw Tayhiap Yo Ko."
"Waktu tiba
dipropinsi Holam, dia ingat dulu Yo Ko pernah mengatakan bahwa ia kenal Hong
thio dari, kuil Siauw Lim sie. Mengingat begitu dalam hatinya muncul harapan,
kalau Thian beng SianSoe mengetahui segala sesuatu mengenai Yo Ko. la lalu
mendaki Siauw sit san, tapi tak dinyana, begita tiba ia bertemu dengan kejadian
mengheran kan.
Melihat dipinggang Kwee
Siang tergantung sebatang pedang pendek, Hong beng dan Hoang yan jadi semakin
gusar. "Tinggal kan pedangmu disini dan lekas pergi dari gunung!"
bentak Hoang yang dengan mata melotot. Mendengar perintah itu, kegusaran sinona
jadi bertambah2. Ia membuka ikatan tali pedang dari pinggangnya dan sambil
menggusarkannya dengan kedua tangan ia berkata seraya tertawa dingin. "Baiklah,
aku menurut perintah!"
Semenjak kecil Hongyan
sudah mencucikan diri dikuil Siauw Lim sie. Selama belasan tahun, ia selalu
mendengar bahwa Siauw lim sie adalah pusat dari ilmu silat dan siapapun juga, biarpun
ahli silat yang berkepandaian paling tinggi, tak akan berani melewati pintu
kuil dengan membawa senjata. Sekarang walaupun Kwee Siang masih belum masuk
dipintu, tapi ia sudah berada dalam lingkungan Siauw lim. Dengan usianya yang
masih begitu muda, apa pula ia hanya seorang wanita, dapat dimengerti jika Hong
Yang tidak mempandang sebelah mata kepada Kwee Siang. Begitu ia mengangsurkan
senjatanya, si pendata menafsirkan, bahwa nona itu sudah menyerah dengan
ketakutan. Dengan paras muka ber seri2 sambil mengebas tangan-jubah yang
menutupi kedua tangannya; ia segera menelonjorkan tangan
untuk menjemput pedang
Si nona.
Tapi baru saja lima
jarinya menyentuh sarung pedang, lengannya bergetaran, seperti kena arus kilat.
Ia merasakan semacam tenaga yang sangat besar menerobos keluar dari pedang itu
dan mendorongnya dengan hebat, sehingga tak ampun lagi ia roboh terguling dan
terus menggelinding kebawah tanjakan. Sesudah tergelincir belasan tombak, untuk
juga ia berhasil menjemput satu pohon kecil di pinggir jalanan dan dapat
menolong dirinya, Darah Hong beng mendidih; paras mukanya merah padam.
"Perempuan celaka!" bentaknya,
"Kau rupanya sudah
makan nyali singa, sehingga berani unjuk keganasan di Siauw Lim sie."
Sambil mencaci, ia
menghantam dengan kedua tangannya.
Melihat gerakan orang,
Kwee Siang tahu, bahwa kepandaian pendeta itu banyak lebih tinggi daripada
kawannya yang barusan terguling. Dengan capat ia mengangkat pedangnya yang masih
berada didalam sarung dan menotok pundak Hong bang bagaikan kilat, si pendeta mengegos,
sambil coba menjambret sarung pedang. "Jangan berkelahi! Jangan
berkelahi!" teriak Kak wan dengan suara bingung.
Jembretan Hong beng
ternyata berhasil, tapi baru saja ia mau membetot sarung pedang, lengannya
mendadak kesemutan dan ia mengeluarkan teriakan tertahan.
"Celaka!"
Hampir berbaring, Kwee Siang menyapu dengan kakinya dan tubuh Hong beng tergelincir
ke bawah, ia menderita lebih hebat dari pada Hong yang dan baru berhenti
sesudah menggelinding duapuluh tombak lebih dengan badan dan muka berlepotan
darah. Peristiwa itu membuat sinona agak menyesal. "Ah! Aku naik ke Siauw
Lim sie untuk mendengar2 warta tentang Yo Toako," pikirnya. "Siapa
nyana, aku kebentrok dengan mereka."
Melihat Kak wan berdiri
di pinggir jalan dengan paras muka berduga, ia segera menghunus pedang dan
membacok rantai yang melibat kaki pendeta itu. Biarpun bukan pedang mustika, senjata
Kwee Siang bukan senjata sembarangan. Dengan berkerincingan, tiga rantai sudah putus
terbacok.
"Jangan! Jangan
!" si pendeta coba mencegah. "Mengapa jangan ?" tanyanya. Ia
mengawasi Hong beng dan Hong yang yang sedang berlarilari dan berkata pula.
"Dua hweshio jahat itu tentu mau melapor. Mari kita mabur. "Mana muridmu,
si orang she Thio ? Kita ajak dia lari ber sama-sama."
Kak wan meng geleng2kan
kepala dan mengawasi si nona dengan sorot mata berterima kasih. Tiba-tiba Kwee
Siang mendengar suara orang dibelakangnya. "Terima kasih untuk kebaikan nona.
Aku berada di sini."
Si nona menengok dan
melihat di belakang nya berdiri seorang pemuda yang berusia kurang lebih tujuh
belas tahun, dengan alis tebal, mata besar dan badan tinggi besar, tapi paras mukanya
masih ke-kanak-kanakkan la segera mengenali bahwa pemuda itu bukan lain dari pada
Thio Koen Po, yang pernah bertemu di puncak gunung Hwa-san. Tubuh anak itu
sudah banyak lebih tinggi, tapi mukanya tidak banyak berubah. Kwee Siang
girang. "Dua hwe-shio jahat itu telah menghinakan gurumu," katanya.
Mari kita kabur"
"Mereka sebenarnya
tidak menghinakan Soe-hoe." kata Koen Po.
"Tidak menghinakan",
menegas si nona. "Mereka melibatkan rantai di kaki tangan gurumu dan
melarang gurumu bicara. Apa itu tidak menghina?" Kak-wan tertawa getir. Ia
kembali menggelengkan kepala sambil menuding kebawah sebagai nasehat supaya
Kwee Siang buruburu kabur sendiran. Tapi Siauw tong-sia Kwee Siang adalah
manusia yang memiliki sifat-sifat kesatria. Ia yakin bahwa di kuil Siauw
Lim-sie terdapat ahli-ahli silat yang tak terhitung berapa banyaknya. Tapi
melihat keganjilan, ia tak bisa berpeluk tangan. Melihat Kak wan Koen Po
ayal-ayalan ia jadi bingung karena kuatir keburu di cegat. "Lekas! Kalau
mau bicara, boleh bicara dibawah gunung. katanya sambil menyeret tangan pak
gurunya dan murid itu. Tapi baru saja ia mengeluarkan perkataan itu dari bawah
tanjakan sudah muncul tujuh delapan pendeta yang masing2 bersenjata toya Cee
bie koen.
"Perempuan dari
mana berani mengganas di Siauw lim sie?" teriak satu antaranya.
"Soeheng jangan
kurang ajar," kata Koen Po. "la adalah ..."
"Jangan
menyebutkan namaku!", memotong Kwee Siang. Ia mengerti bahwa ia sudah menerbitkan
keonaran yang mungkin tak bisa dibereskan lagi dengan jalan damai. Sebagai jago
betina bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya sendiri, ia sungkan meyeret2
kedua orang tuanya. Maka itu ia lalu menambahkan dengan suara perlahan:
"Mari kita kabur. Tapi kau jangan se kali menyebut nama kedua orang tuaku
atau lain-lain sahabat". Se-konyong2, terdengar suara bentakan dan diatas
gunung kembali muncul tujuh delapan pendeta.
Melihat jalanan didepan
dan dibelakang sudah tercegat, Kwee Siang jadi mendongkol. "Semua gara2mu
berdua yang seperti nenek2 sedikitpun tak punya semangat laki2. Bilang sekarang.
Mau pergi atau tidak ?" Koen Po berpaling kepada gurunya seraya berkata:
"Soehoe inilah kebaikan budi dari Kwee Kouwnio . . . " Sesaat itu,
dibawah tanjakan kembali muncul empat pendeta yang berjubah warna kuning,
Mereka tidak bersenjata, tapi selagi mendaki tanjakan, gerakan mereka gesit dan
cepat luar biasa. Diam2 Kwee Siang mengakui, bahwa mereka adalah orang2 yang berkepandaian
tinggi.
Sekarang sinona
mengerti, bahwa ia tak kan dapat melarikan diri lagi. Ia segera ber diri tegak dengan
sikap angkuh, siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan. Begitu datang
dekat, pendeta yang berjalan paling depan segera berteriak dengan suara nyaring:
"Atas perintah tetua Lo-han-Tong, kau harus meninggalkan senjatamu.
Sesudah itu, kau harus pergi ke Pendopo Lip swat teng dikaki gunung untuk
memberi penjelasan dan mendengar keputusan kami."
Kwee Siang tertawa
dingin. "Ah! Lagak hweeshio2 Siauw Lim sie sungguh tak berbeda dengan
pembesar2 negeri," katanya dengan nada mengejek. "Bolehkah aku
mendapat tahu, apa para Toa hweeshio menjadi pembesar dari kerajaan Song atau
menjadi pembesar dari kaizar Mongol ?"
Pada waktu itu, daerah disebelah
utara sungai Hway soei sudah jatuh kedalam tangan tentara Mongol dan Siauw sit
san dengan Siauw lim sienya justeru berada diwilayah kekuasaaan Mongol. Sampai
sebegitu jauh, karena bertahun-tahun repot menyerang kota Siangyang, maka bala tentara
Mongol masih belum sempat memperhatikan soal2 lain, sehingga sampai sebegitu juga,
Siauw lim sie masih belum diganggu.
Mendengar perkataan
Kwee Siang yang sangat tajam, paras muka pendeta itu lantas saja berubah merah.
Ia merasa, bahwa perkataannya memang tidak pantas, karena dengan berkata begitu,
Siauw lim sie se olah-olah mau jadi hakim sendiri terhadap orang luar. Maka
itu, sambil merangkap kedua tangannya, ia segera berkata pula dengan suara
manis. "Ada urusan apa Lie sie coe datang berkunjung kekuil kami? Memohon
kau suka meninggalkan senjata dan pergi kependopo Lip swat teng untuk sekedar
minum teh dan beromong-omong."
Kwee Siang mengeluarkan
suara dihidung, "Huh! Kau orang melarang aku masuk kekuil mu, apa dalam
kuilmu terdapat mustika yang menjadi ternoda karena dilihat olehku?"
katanya sambil melirik Thio Koen Po dan berkata pula dengan suara perlahan.
" Kau mau ikut tidak?" Pemuda itu menggelengkan kepala dan moyongkan
mulut kearah Kak wan, sebagai tanda, bahwa ia mau menetap disamping gurunya. "Baiklah,"
kata sinona dengan suara nyaring "Aku tak campur lagi." Ia mengangkat
kaki dan turun ditanjakan itu.
Sijubah kuning yang
pertama lantas minggir kesamping, tapi yang kedua dan yang ketiga merintang
sambil mengangkat tangan mereka. "Tunggu dulu," kata salah seorang.
"Tinggalkan dulu senjatamu."
"Kami tak akan
menahan senjata Lie sie coe dalam tempo lama," kata si jubah kuning yang pertama.
"Begitu lekas Lie coe sudah turun gunung, kami akan segera
mengembalikannya. peraturan ini adalah peraturan Siauw lim sie sudah
dipertahankan selama ribuan tahun, sehingga kami meminta Lie sie coe suka
memaaf kannya."
Mendengar permintaan
yang sopan itu, sinona bimbang. " Jika membantah, aku tentu mesti bertempur
dan seorang diri, bagaimana bisa melawan jumlah mereka yang begitu besar?"
Pikirnya. "Tapi, kalau aku meninggalkan senjata, aku seperti juga
menghilangkan muka ayah, ibu, kakek ciecie, Toako dan Liong Cie cie." Sebelum
ia mengambil keputusan, tiba2 satu bayangan kuning berkelebat, disusul dengan bentakan.
"Kau bukan saja membawa senjata, tapi juga sudah melakukan orang. Semenjak
dulu, belum pernah ada manusia yang berani berbuat begitu." Hampir
berbareng, lima jeriji menyambar sarung pedang Kwee Siang.
Jika dia tidak
diserang, sesudah memikir masak-masak, mungkin sekali si nona akan menyerahkan
senjatanya. Harus diketahui, bahwa sifat gadis itu berbeda dengan Kwee Hoe, kakaknya.
Walaupun gagah, ia tidak sembrono. Melihat keadaan yang merugikan dirinya, ia bisa
menahan sabar untuk kembali lagi dikemudian hari dengan membawa, bala-bantuan. Tapi
usaha si pendeta untuk merebut pedangnya, sudah meniadakan segala mungkinan perdamaian.
Mana bisa ia menyerahkan senjatanya dengan begitu saja?
Ilmu Kin na Chioe hoat
(ilmu menangkap menyengkeram) pendeta itu memang sangat lihay. Sekali
menjambret, ia berhasil menyengkeram sarung pedang. Dalam keadaan terdesak,
Kwee Siang mencekal gagang pedang dan membetotnya. "Sret!", pedang
tercabut dan mengeluarkan sinar menyilau, kan mata. Hampir berbareng si pendeta
berteriak, karena lima jarinya terpapas putus. Dalam kesakitan, ia menotok muka
si nona dengan sarung pedang yang dicekal dalam tangan kanannya. Kwee Siang
memapaki dan "trang!", sarung pedang itu jadi dua potong. Pendeta itu
tidak bisa menyerang lagi dan dengan paras muka pucat ia lalu melompat mundur.
Kawan2nya jadi gusar bukan main, dengan serentak mereka memutar toya dan maju
mengepung.
"Ah, hari ini aku
pasti tak bisa meloloskan diri tanpa melukakan banyak orang," kata Kwee Siang
dalam hatinya. Sambil mencekal pedangnya erat2, ia segera menerjang dengan
Lok-eng Kiam-hoat. Lok-eng Kiam-hoat yang digubah Oey Yok Soe dari ilmu pukulan
Lok-eng Cianghwat, merupakan salah satu kepandaian istimewa dari pulau Tho hoa
dan tidak kalah lihapnya dari pada Giok siauw Kiam hoat. Begitu menerjang,
pedang si nona menyambar2 bagaikan kilat dan dalam sekejap dua orang pendeta
sudah terluka. Akan tetapi, ia berada diatas angin hanya untuk sementara waktu
dan tidak lama kemudian, keadaannya mulai terjepit, karena semakin lama jumlah
pengepung jadi semakin besar.
Sesudah bertempur
beberapa puluh jurus, Kwee Siang hanya bisa membela diri, tanpa mampu menyerang
pula. Sebenarnya dalam keadaannya yang terdesak, seperti itu para pendeta sebenarnya
bisa segera merobohkannya. Akan tetapi, sebab Siauw lim sie mengutamakan belas
kasihan, mereka merasa tak tega untuk melakukannya. Tujuhan mereka hanyalah
untuk merebut senjata sinona dan kemudian mengusirnya dari sit san.
Tapi merebut pedang
bukan pekerjaan mudah dan sesudah lewat lagi puluhan jurus, Kwee Siang masih
dapat mempertahankan senjatanya. Semakin lama para pendeta itu jadi semakin heran.
Mereka merasa pasti, bahwa gadis kecil ita adalah puteri atau murid seorang
ahli silat kenamaan dan oleh karena nya, mereka lebih2 tidak berani melukakan
nya, sebab hal itu bisa berbuntut panjang.
Maka itu, sambil
mengepung, salah seorang buru2 pergi kekuil dan melaporkan kepada Boe sek
Siansoe, pemimpin Loo han tong. Tak lama kemudian, seorang pendeta tua yang
bertubuh jangkung kurus mendekati gelanggang pertempuran dan lalu menonton
sambil tersenyum. Dua orang pendeta segera
melompat keluar dari
gelanggang dan bicara bisik-bisik dengan pendeta tua itu. Sementara itu, Kiam
hoat sinona sudah kulihat.
"Hai! Kau semua
benar-benar tak mangenal malu !" teriaknya. "Kau orang mengugulkan Siauw
lim sie sebagai pusat pelajaran ilmu silat, tapi tak tahunya, puluhan Toa
hweeshio menarik keuntungan dengan jalan mengerubuti." "Berhenti!"
membentak sipendeta tua bukan lain dari pada Boe sek Siansoe, sambil
bersenyum. Mendengar
perintah itu dengan serentak semua pendeta melompat keluar dari gelanggang dan
berdiri dipinggiran. "Nona," menegur Boe sek dengan suara sabar. "Bolehkah
aku mendapat tahu she dan nama nona yang mulia. Siapa nama orang tuamu dan siapa
gurumu ? Ada urusan apa nona datang berkunjung ke kuil kami ?"
"Hari ini aku
sudah mengacau hebat dan jika diketahui ayah ibu dan Toakoko, mereka tentu akan
mengomel," kata Kwee Siang dalam hatinya. Memikir begitu, ia lantas saja mengeluarkan
suara dihidung. "Tak mung kin aku memberitahukan namaku," jawabnya.
"Aku mendaki gunungmu karena ketarik dengan pemandangannya yang sangat
indah dan sama sekali tidak mengandung maksud apapun juga. Tapi siapa nyana,
Siauw lan-sie lebih angker dari pada keraton kaizar. Tak keruan-ruan, kau ingin
merampas senjataku. Taysoe, aka ingin tanya. Apakah aku pernah menginjak pintu
kuilmu?' Ia berdiam sejenak sambil mengawasi Boe sek dan kemudian berkata pula.
"Dulu, pada wakta Tat-Mo Couw soe menurunkan ilmu silat, kurasa tujuannya
yang terutama adalah supaya para pendata memiliki tubuh yang kuat supaya dapat
menjalankan tugas2 keagamaan se-baik2nya. Tapi ternyata semakin lama nama
Sauw lim sie semakin
terkenal, ilmu silatnya jadi semakin tinggi dan kebiasaan mengeroyoknyapun jadi
semakin kesohor! Baiklah, Toa hweeshio, jika kau mau merebut juga senjataku,
ambillah! Tapi, kecuali kau membinasakan aku, kejadian ini pasti akan diketahui
oleh semua orang dalam Rimba persilatan."
Mendengar perkataan
sinona yang sangat tajam itu. Boe Sek tergugu. Untuk sejenak ia mengawasi si
nona dengan mulut ternganga dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata. "Aku
sendiri takut kejadian ini diketahui orang, tapi dia rupanya lebih takut
lagi." kata Kwee Siang dalam hatinya. Memang juga puluhan pendeta
mengerubuti seorang wanita bukan kejadian yang boleh dibuat bangga." Ia
segera melontarkan pedangnya dan bertindak untuk turun gunung.
Boe sek maju setindak
sambil mengebas dengan lengan dan pedang itu lantas saja tergulung lengan
jubah. Seraya mencekal senjata itu yang bernoda darah dengan kedua tangannya ia
berkata: "Jika nona enggan menjawab pertanyaanku, biarlah aku
mengembalikan saja senjata ini dan dengan segala kehormatan aku mengantar nona
turun dari gunung ini." Kwee Siang tertawa. "Toa-hweeshio adalah
seorang yang mengerti urusan dan boleh di buat contoh oleh pendeta2
disini." ia memuji sambil mengulur tangan untuk menyambuti. Tapi begitu
lekas jerijinya menyentuh gagang pedang, ia terkesiap.
Ternyata, dari
telapakan tangan Boe-sek keluar semacam tenaga menyedot sehingga pedang itu tak
dapat diangkat. Tiga kali Kwee Siang mengempos semangat dan mengerahkan Lwekang,
tapi ia belum juga bisa berhasil.
"Eh. Toahweesio,
kau sengaja memperlihatkan kepandaianmu, ha?" tanyanya dengan mendongkol.
Mendadak, bagaikan kilat
tangannya menyambar dan mengebut jalanan darah Thian-teng-hiat dan
Kie-koet-hiat di leher Boe-sek, yang jadi kaget bukan main dan buru2 melompat kebelakang.
Pada detik ia terkejut dan Lweekangnya jadi agak kendor, si nona membetot dan
berhasil merebut pulang senjatanya.
"Sungguh indah Lan
hoa Hoed hiat Chioe (Ilmu Bunga anggrek mengebut jalanan darah )!" memuji
Boe sek. "Nona, masih pernah apakah kau dengan majikan pulau Tho
hoa?"
"Majikan pulau Tho
hoa?" ia menegas seraya tertawa "Dia dikenal sebagai Loo-tong sia (
si Sesat Tua dari Timur )." Tong sia Oey Yok Soe, pemilik Tho hoa, adalah
kakek Kwee Siang. Orang tua yang adat nya
aneh sering memanggil
cucu perempuan nya sebagai "Siauw-tong-sia" yang lalu membalas dengan
menggunakan istilah "Loo-tong-sia". Sebaliknya dari jengkel, sang
kakek jadi girang dan menerima baik panggilan si cucu nakal. begitu mendengar
jawaban Kwee Siang, Boe-sek sendiri segera menarik ke simpulan bahwa sinona tak
punya hubungan rapat dengan orang tua itu. Jika masih tersangkut keluarga, ia
tentu tak akan mengeluarkan kata-kata yang agak kurang ajar. Memikir begitu,
hati Boe-sek jadi lebih lega.
Diwaktu masih muda,
Boe-sek Siang-soe pernah menjagoi di kalangan Rimba Hijau. Maka itu, biarpun ia
sudah menjadi orang beribadat puluhan tahun lamanya, sifat-sifat Jagoannya masih
belum hilang. Semakin Kwee Siang menolak untuk memberitahukan nama gurunya dan
asal-usulnya, semakin besar hasratnya untuk menyelidiki. la tertawa ter
bahak-bahak seraya berkata. "Nona kecil mari kita main-main sedikit untuk
menjajal mata si pendeta tua. Coba kita lihat, apakah dalam sepuluh jurus, aku
bisa atau tidak menerka asal usul ilmu silatmu ?" "Bagaimana jika kau
tak mampu ?" tanya si nona.
Boe-sek kembali tertawa
terbahak-bahak. "Jika kau bisa melayani aku dalam sepuluh jurus dan aku
masih belum bisa menebak asal-usul ilmu silatmu, aku akan turut segala kemauanmu."
jawabnya. "Dengan Tay-soe itu dulu aku pernah bertemu muka dan sekarang
aku ingin meminta apa-apa untuknya," kata Kwee siang sambil menunjuk Kak
wan. "Kalau dalam sepuluh jurus kau masih belum bisa menebak siapa guruku
aku minta kau suka meluluskan permohonanku untuk tidak menyukarkan Tay-soe itu
lagi.
Boe-sek merasa sangat
heran. Sepanjang pengetahuannya, selama sepuluh tahun mengurus kitab-kitab di
Cong-keng-kok ( perpustakaan.) Kak wan belum pernah berhubungan dengan orang
luar. Bagaimana ia bisa mangenal sinona? Maka itu, sambil mengawasi Kwee Siang dengan
sorot mata tajam, ia berkata. "Kami belum pernah berniat untuk sengaja menyakitinya.
Jika melanggar, setiap pendeta dalam kuil ini, tak perduli siapapun juga, diharuskan
mendapat hukuman. Maka dari itu, adalah kurang tepat jika nona menggunakan istilah
menyusahkan."
"Hm!" kata
Kwee Siang seraya tertawa dingin. "Biar apapun yang dikatakan olehmu, kau tetap
seorang yang pandai putar putar omongan. Boe sek mengangkat kedua tangannya
seraya berkata. "Baiklah. Aku luluskan permintaanmu ! Jika loohap kalah,
biarlah aku mewakili Kak wan Soetee memikul tiga ribu seratus delapan pikul
air. Nona kecil, hati2 aku akan segera menyerang."
Diam2 Kwee Siang
menentukan siasat. "Pendeta ini pasti memiliki kepandaian tinggi dan jika
dibiarkan ia menyerang lebih dulu, aku mesti mengeluarkan ilmu silat ayah dan
ibu untuk membela diri." pikirnya. "Paling benar aku mendului dan
mengirim sepuluh serangan aneh beruntun-runtun."
Boe sek habis
mengucapkan perkataannya Kwee Siang segera menikam dengan pukulan Bancie cian-hong
dari Lok eng Kiam hoat. Dengan pukulan itu, ujung pedang menggetar tak hentinya,
sehingga musuh sukar menebak arah serangannya. Boe sek yang tahu lihaynya pukulan
tersebut, tidak berani menyambut secara berhadapan dan buru2 melompat.
"Awas,sekarang
kedua!" teriak si nona seraya memutar senjatanya dan lalu menikam dari bawah
keatas dengan tipu Thin sin to hian (Malaikat langit jungkir balik) dari Coan
cia Kiam boat. "Thin sin to hian!" seru Bee sek. "Belum tentu
benar," kata si nona sambil me nyengir.
Begitu mengegos, Boe
sek membalik tangan kanannya dan lima jerijinya yang dipentang menyambar kearah
muka Kwee Siang. Sinona terkejut karena ia sama sekali tak menduga, bahwa
pendeta itu bisa mengirim serangan membalas secara begitu cepat. Dalam keadaan
terdesak, ia menggoyangkan pedangnya berapa kali dan menyambut dengan Ok kian
lum Louw (Anjing jahat mencepat jalan) dari Tah kauw Pang hoat (ilmu tongkat
memukul anjing).
Harus diketahui, bahwa
diwaktu kecil, nona Kwee bersahabat rapat dengan mendiang Louw Yoe Kak, Pangca
dari Kaypang (Partai pengamis). Mereka sering makan minum ber sama2, bersenda
gurau dan tempo2 atas desakan sinona , mereka berlatih. Meskipun dalam Kaypang terdapat
peraturan, bahwa Tah kauw Pang hoat hanya boleh diturunkan kepada seorang pangcoe,
tapi lama2 berkat pergaulannya dengan orangtua itu maka Kwee Siaug bisa
berhasil untuk mencari beberapa pukulan dari ilmu silat tongkat yang luar biasa
itu. Jika diingat, bahwa bekas pangcoe Oey Yong sekarang Yek lu Chi, adalah
suami kakak perempuannya, maka sinona sebe narnya mempunyai kesempatan luas
untuk melihat latihan-latihan Tah kauw Pang hoat. Maka itu walaupun tak
mengerti intisari dari pada ilmu silat tersebut, dalam keadaan terjepit, ia
masih bisa menggunakannya untuk menolong diri.
Boe sek kaget bukan
main sebab pada saat lima jarinya hampir menyentuh pergelangan tangan sinona,
mendadak sehelai sinar putih berkelebat dan pedang menyambar dari arah yang
sebenarnya tak mungkia dilakukan, sehingga hampir-hampir jerijinya terbabat
putus. Untung juga, pada detik terakhir ia masih keburu melompat kebelakang.
Tapi meskipun begitu, tak urung lengan jubahya tergores ujung pedang dan
menjadi robek. Paras muka Boe sek lantas saja berubah pucat dan keringat dingin
mengucur dari dahinya. Kwee Siang berbunga hatinya. "Taysoe apa kau tahu
ilmu pedang apa itu?" tanyanya sambil menyengir.
Dalam dunia memang
tidak terdapat Kim-boat yang serupa itu. Sesudah mencuri Tah kauw Pang hoat,
dengan otaknya yang sangat cerdas, sinona megubah pukulan Kiam hoat berdasarkan
ilmu tongkat itu, sehingga dengan demikian, ia telah membuat seorang pendeta Siauw
limsie yang berilmu tinggi, tak bisa menjawab pertanyaannya. "Ha! Jika aku
bisa menyerang lagi dengan beberapapu kulan Tah kauw Pang hoat, pendeta tua ini
pasti akan dapat dirobohkan katanya didalam hati. "Sungguh sayang, aku
hanya memiliki satu pukulan yang semengga-mengganya ini."
Sebelum sang lawan
sempat bergerak, Kwee siang sudah mendului lagi dan menotol baberapa kali
bagian bawah Boe sek dengan ujung pedang. Kali ini ia menyerang Leng po wie po (Leng
po bertindak dengan ayunya), yaitu salah satu pukulan dari Giok lie Kiam hoat
yang didapat dari Siauw Liong lie.
Sebagaimana diketahui,
Giok lie Kiam hoat ilmu pedang gubahan Lim Tiauw Eng dan setiap pukulannya
mempunyai gerakan Leng po wie go jadi lebih menyolok karena dilakukan oleh nona
Kwee yang cantik dan ayu. Dengan perasaan kagum, para pendeta mengawasi
serangan itu sambil menahan napas.
Harus dike tahui, bahwa
Tat mo Kiam boat, Lo han Kiam boat dan lain2 ilmu pedang dari Siauw lim sie
mengutarakan "kekerasan", sedang Giok lie Kiam boat, yang jarang
terlihat dalam Rimba Persilatan justru berbeda dengan silat Siauw lim pay.
Begitu sinona meyerang dengan Leng-po we-po, seperti pendeta lainnya Boe sek
pun mengawasi dengan rasa kagum dan heran. Seumur hidup, belum pernah ia
menyaksikan ilmu pedang yang seindah itu dan cepat2 ia meloncat ke samping
dengan harapan sinona akan mengulangi serangannya.
Dalam saat, Kwae Siang
kembali mengubah cara bersilatnya. la sekarang berlari ketimur dan kebarat
sambil membabat berulang dengan pedangnya. Thio Koen Po yang menonton dipinggir
jalan mengawasi serangansi nona dengan mata membelalak dan tiba2 ia mengeluarkan
teriakan : "Ah!" Ternyata, yang digunakan Kwee Siang adalah pukulan
Soe tong Pat ta (Empat menembus Delapan meyampaikan), yaitu ilmu silat yang
pada tiga tahun berselang telah diturunkan oleh Yo Ko kepada Koen Po. Waktu itu
Kwee Siang kebetulan dapat melihatnya dan sekarang lalu menggunakan untuk
menghadapi Boe sek. Soe thong Pat-ta yang dulu diajar Yo Ko ialah Canghoat ilmu
silat tangan kosong. Dengan mengubahnya menjadi Kiam hoat (ilmu pedang),
pengaruh ilmu itu jadi banyak berkurang, sehingga jika dulu Thio Koen Po
berhasil mengalahkan In Kek See, sekarang Kwee Siang tidak bisa berbuat banyak
terhadap Boe sek.
Dengan be-runtun2 KWee
Siang sudah menyerang lima kali, tapi Boe sek masih juga belum bisa meraba asal
usul ilmu silat sinona. Diwaktu muda ia malang melintang dalam dunia Kangouw
dan, mempunyai pengalaman yang sangat luas. Semenjak mengetuai Lo-han tong pada
belasen tahun berselang, ia telah menggunakan seluruh temponya untuk
menyelidiki ilmu silat barbagai partai dau membandingkannya dengan ilmu Siauw
lim-sie. Ia menggodok semua pengalamannya dan pendapatnya itu untuk
menyempurnakan ilmu partainya. Maka itu, ia selalu percaya penuh bahwa dengan
sekali melihat, ia sudah bisa tahu asal usul ilmu silat setiap ahli. Tapi di
luar dugaan, hari ini ia "ketemu batunya". Kakek, ayah-ibu paman2, kakak2
Kwee Siang rata2 adalah ahli2 silat nomor satu pada jaman itu. Dalam menghadapi
serangan yang bermacam2 coraknya, kapandaian Boe-sek masih lebih dari cukup
untuk
membela diri. Tapi
untuk mengetahui siapa guru sinona, ia masih belum bisa me-raba2.
"Jika aku
membiarkan ia menyerang lebih dulu, jangankan dalam sepuluh jurus, sedangkan
seratus jurus sekalipun, belum tentu aku bisa menebak asal usul ilmu
silatnya," pikir Boa sek.
"'Jalan satu2 nya
adalah menyerang dengan hebat, supaya ia terpaksa mengeluarkan imu silatnya
yang asli guna monolong diri" Memikir begitu cepat bagaikan kilat , ia
mengepos kekiri dan menghantam dengan pukulan Song Koan koen, dengan merapatKan
kedua tangannya dan sepulun jarinya ditekuk bagai kan ceker. Melihat sambaran
yang sangat dahsyat, Kwee Siang tidak berani menyambut kekerasan, dengan
kekerasan. Dengan membungkuk sedikit dan dengan satu gerakan yang sangat indah
dan lincah, ia berhasil meloloskan diri dari bawah kedua tangan lawan. Tipu itu
adalah tipu yang pernah digunakan Eng Kouw waktu bertempur dengan Yo Ko di Ban
Hoa Kok (lembah laksaan bunga).
"Bagus, sungguh
bagus gerakanmu!" memuji Boe sek "sambutlah lagi satu
seranganku." Ia membuat sebuah lingkaran dengan tangan kirinya, sedang
sikut kanan ditaruh didada dengan telapakan tangan menghadap keatas. Itu lah
pukulan Oei eng loh kee (Burung kuning hinggap dicagak) dari Siauw lim koen.
Sebagai seorang tetua Siauw lim sie, biarpun paham dengan ilmu silat berbagai
partai, tapi dalam setiap pertempuran, ia selalu harus menggunakan ilmu partai
sendiri yang paling asli.
Kwee Siang kaget sebab
begitu lekas Boe sek membuat lingkaran ditengah udara ia lantas saja merasakan
tindihan semacam tenaga yang sangat kuat. Buru2 membalik pedang dan dengan
gagang pedang, ia menotok jalanan darah Wan-koet-hiat, Yang kok hiat dan Yang
loo hiat di pergelangan tangan si pendeta. Ilmu molok itu adalah It yang cie
yang ia belajar dari Boe Sioe Boen. Sebenarnya pelajarannya masih sangat cetek
dan belum bisa digunakan untuk melukakan musuh. Tapi gerakan menotok tiga
jalanan darah itu adalah salah satu pukulan yang paling lihay dari It yang cie.
Maka itu, begitu melihat gerakan tangan si nona, Boe sek kaget tak kepalang dan
cepat2 ia menarik pulang serangannya. Andaikata ia menyerang terus dan tertotok
pergelangan tangannya, ia pasti tak akan terluka, sebab totokan itu tidak di
sertai dengan Lwekang It yang cie yg disegani orang. Tapi sebagai orang yang
berpengalaman, Boe sek sungkan mempertaruhkan nama besarnya dalam satu pukulan
itu.
Kwee Siang tertawa
nyaring. "Toahweeshie kau ternyata mengenal ilmuku yang sangat lihay,"
katanya seraya menyengir.
Boe sek tidak
menyambut, ia hanya mangeluarkan suara "Hm" dan lalu menyerang dengan
pukulan Tan-hong-tiauw-yang (Angin dan matahari). Dengan pukulan itu, kedua
tangannya terpentang lebar dan terangkat tinggi, sehingga si nona sukar
menggunakan It-yang cie lagi.
Tapi Kwee Siang tak
kehabisan modal. Dengan cepat ia menyilangkan kedua telapak tangannya dan balas
menyerang deugan Biauw-chioe-kong-kong (Tangan yang lihay kelihatan kosong),
yaitu jurus ketujuh puluh dua dari Kong beng koen, gubahan Loo hoan tong.
Cioe Pek Tong Kong beng
koen adalah ilmu yang belum pernah tersiar didunia maka untuk sekian kalinya,
Boe sek ter-heran2. Dengan cepat ia berkelit kesamping dan hampir berbareng mengirim
pukulan Pi na hoa cit seng (Tujuh bintang). Bagaikan arus kilat, tahu2 tangannya
sudah menyentuh telapakan tangan si nona, yang jika tidak melawan dengan
menggerakkan Lwekang, tulang tangannya pasti akan patah.
Kwee Siang mengerti,
bahwa tangannya sudah ada dibawah kekuasaan lawan, tapi hati nya masih
penasaran. Jangan kegirangan dulu kau! Belum tentu bisa mematah tulang
tanganku," katanya didalam hati. Ia segera mengempos semangat melawan
tenaga si pendeta dengan Catpo-san-chioe ( Kipas-besi ) . llmu ini yang
merupakan ilmu simpanan dari Tiat-Ciang-kang (ilmu tangan besi) adalah satu
ilmu "keras" yang paling ditakuti dalam Rimba Persilatan.
Sebagai seorang ahli,
Boe sek tentu saja mangenal ilmu itu dan jantungnya memukul keras. Ia jadi
serba salah. Jika ia menggunakan kekerasaan sinona bisa terluka berat dan ia
sama sekali tidak bermaksud untuk mencelakai gadis itu. Disamping itu untuk
berterus terang, ia memang merasa agak segan terhadap Tiat-ciang-kang. Sesudah
memikir sejenak, ia segera menarik pulang tangannya.
Sekali lagi, si nakal
tertawa nyaring. " Awas! Pukulan yang ke sepuluh. Apa kau masih belum bisa
menebak partaiku ?" teriaknya. Sambil berteriak begitu, ia mengebas keatas
dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menyambar kejanggut Boe-sek.
Tanpa merasa, semua pendeta mengeluarkan seruan tertahan, sebab pukulan itu,
yang diberi nama Kouw hay hoei tauw ( Memutar kepala di laut kesengsaraan )
adalah salah situ pukulan Kin na chioe hoat ( Ilmu menangkap dan menyengkeram),
dari Siauw lin pay sendiri. Tapi Kouw hay hoei tauw agak berlainan dengan Kim
na chioe hoat lain cabang, karena biasanya hanya di gunakan pada saat berbahaya
untuk menolong jiwa. Dengan pukulan itu, tangan kiri sipenyerang menolak kepala
musuh, sedang tangan kanan menyambar leher, sehingga jika berhasil, leher musuh
bisa patah, setidaknya terluka berat.
Melihat sinakal berani
menggunakan pukulan tersebut dihadapannya, seolah seorang sasterawan
mengugulkan diri dihadapan Nabi Khong Coe. Boe sek jadi geli dalam hatinya. Selama
puluhan tahun, ia sudah melatih pukulan tersebut sehingga setiap gerakanya sudah
terjadi secara wajar. Secepat kilat, ia miringkan badan dan menggeser maju
kakinya, sedang tangan kirinya menyambar kebawah ketiak si nona dan tangan
kanannya mencekal belakang lutut Kwee Siang.
Pukulan itu yang diberi
nama Sia can tiauw hay (Mengempit gunung melompati lautan) merupakan pukulan
tunggal untuk memunahkan Kouw hay hoei-tauw. Si nona kaget tak kepalang dan
tahu2 ke dua kakinya sudah terangkat naik dari muka bumi. Sebenarnya dengan
menggunakan sikut, ia masih bisa menyikut lawan. Tapi sebab gerakan Boe sek
cepat luar biasa, sebelum sempat bergerak, ia sudah tak berdaya.Dengan
demikian, putri Kwee Ceng telah dikalahkan.
Selagi kedua tangannya
mencekal sinona, mendadak Boe sek terkesiap. "Celaka !" ia mengeluh.
"Aku hanya memperoleh kemenangan dalam pertempuran, tapi masih belum tahu siapa
gurunya dan apa nama partainya." Kwee Siang memberontak sekuat tenaga.
"Lepaskan aku!" teriaknya. "Cring!" serupa benda jatuh dari
saku sinona. "Toahweeshio, apa benar2 kau tak mau melepaskan diriku
?" serunya dengan suara ke takutan.
Boe sek Siansoe adalah
seorang berlibat yang berilmu tinggi dan yang mencintai segenap makhluk Tuhan.
Maka itu, mendengar suara sinona cilik, is lantas saja tertawa ter bahak2. "Nona
kecil, loolap sudah berusia lanjut dan pantas menjadi kakekmu," katanya
seraya tersenyum. "Apa kau masih perlu merasa takut ?" Sehabis
berkata begitu, dengan menggunakan tenaga yang diperhitungkan, ia melontarkan
tubuh sinona kira2 dua tombak jauhnya dan kedua kaki Kwee Siang hinggap dimuka
bumi tanpa kurang suatu apa.
Sebagai ksatria yang
tak akan menjilat ludah sendiri. Boe sek segera manggutkan kepalanya untuk
mengaku kalah. Selagi kepalanya mengangguk, tiba-tiba ia melihat serupa benda
hitam diatas tanah dan benda itu adalah sepasang Lohan (pendeta yang berilmu
tinggi) yang terbuat daripada besi. "Toahweeshio, apa kau mengaku kalah
?" tanya Kwee Siang.
Boe sek mengangkat
mukanya yang berseri-seri dan seraya tertawa girang, ia menjawab. "Bagaimana
aku bisa kalah dari seorang bocah cilik? Aku tahu, ayahmu adalah Tay hiap Kwee
Ceng, ibumu Liehiap Oey Yong dan majikan pulau Thoa hoa adalah kakekmu. Ayahandamu
memiliki kepandaian yang beraneka ragam, karena ia pernah berguru dengan Kanglam
Citkoay, dengan Kioe-cie sin-kay, tokoh-tokoh Coancien pay dan lain lain partai
lagi. Kwee Jie kaouwnio, kau adalah putrinya pendekar kelas satu pada jaman ini
sehingga tidaklah heran, jika kau memiliki kepandaian luar biasa."
Kwee Siang kemekmek, ia
tak pernah mimpi akan mendengar jawaban begitu. Melihat paras bingung dimuka
sinakal, sambil tertawa geli Boe sek membungkuk dan menjemput dua Lo han besi
itu.
"Kwee Jie kouwnio,
aku si pendeta tua tak boleh mendustai seorang bocah cilik," katanya.
"Aku berhasil
menebak asal usulmu karena melihat sepasang Lo Han besi ini. Apa Yo Tayhiap
baik ?"
"Apa kau pernah
berjumpa dengan Toako dan Liong cici?" ia balas menanya. "Aku dating kemari
justru untuk mendengar-dengar tentang mereka. Kau mungkin belum tahu, bahwa toakoku
dan Liong sudah merangkap menjadi suami istri."
Boe sek mengangguk
beberapa kali, "Pada beberapa tahn yang lalu, Yo Tayhiap pernah datang
berkunjung kekuil kami untuk beberapa hari dan aku merasa sangat cocok dengannya,"
menerangkan si tua. "Belakangan kami mendengar, bahwa ia membinasakan kaizar
Mongol diluar kota Siangyang, sehingga namanya menggetarkan seluruh dunia.
Waktu menerima warta itu, kami semua merasa girang bukan main. Tapi sekarang
kami tak tahu, dimana ia berada. Ah. Kalau begitu ia sudah menikah. Aku berani
memastikan, bahwa istrinya adalah seorang wanita yang boen boe song coan (mahir
dalam ilmu surat dan ilmu perang)."
Kwee Siang berdiri
bengong dan mengawasi ketempat jauh. Ia menghela napas seraya berkata dengan
suara perlahan. "Kalau begitu, kalian pun tak tahu dimana mereka berada.
Siapa yang bisa memberi keterangan?"
Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata pula, "Sekarang baru kutahu, kau adalah Boe sek Siansu.
Tak heran. Jika kau memiliki memiliki begitu tinggi. Hmm! Aku belum menghaturkan
terima kasih untuk hadiah ulang tahunku. Sekarang belum terlambat. Biarlah hari
ini saja aku menghaturkan banyak terima kasin kepadamu."
Sipendeta tertawa.
"Orang sering mengata kan, bahwa tanpa berkelahi tidak bisa menjadi sahabat,"
katanya. "Bagi kita berdua, Kata-kata itu sungguh tepat sekali. Eh, kalau
kau bertemu dengan Yo Tayhiap, kuharap kau jangan memberitahukan bahwa aku si
tua telan menghina seorang wanita muda,"
Kedua mata sinona
memandang puncak2 gunung yang tertutup awan, "Sampai kapan. ... sampai
kapan baru akan bisa bertemu dengannya" katanya.
Sebagaimana diketahui,
pada waktu Kwee Siang merayakan hari ulang tahunnya yang keenam belas, Yo Ko
telah mengundang jago jago Rimba persilatan untuk berkumpul di kota Siang yang,
guna memberi selamat panjang umur. Pada hari itu, dengan memandang muka Yo Ko,
ahli-ahli silat dari "jalanan hitam" dan "jalanan putih"
telah berkumpul di Siangyang. Boe sek yang kebetulan sedang repot tak bisa
datang berkunjung dan hanya mengirim seorang wakil untuk memberi selamat dan
menyampaikan barang antaran, Dan barang antaran yang dikirimnya bukan lain
sepasang Lo han besi itu dipasang alat alat dan jika alat2 tersebut diputar,
anak2an itu segera menjalankan satu pukulan Lo han koen. Yang membuatnya adalah
seorang pendeta aneh yang pada satu abad berselang pernah bertempat tinggal
dikuil Siauw lim sie. Kwee Siang yang masih ke kanak2an merasa sangat ketarik
dengan mainan yang selalu di bawa2nya
didalam saku. Pukulan Kauw hay hoei tauw yang barusan digunakannya, sebenarnya
telah didapat oleh si nona dari kedua Lo han besi itu. Tak dinyana, karena
gara2 itu juga hari ini asal usulnya telah ditebak jitu oleh Boe sek Siansoe.
"Berhubung dengan
peraturan yang turun tumurun, aku merasa menyesal tak bisa mengundang Kwee
Jie-kouwnio datang berkunjung kekuil kami," kata Boe sek. "Aku
percaya kau tak akan jadi kecil hati."
"Tak apa2,"
kata sinona dengan masgul. "Ada yang aku hendak tanyakan."
Sambil menunjuk Kak
wan, pendeta tua itu berkata pula. "Tentang Soeteeku itu, aku akan menerangkan
kepadamu perlahan2. Begini saja. "Si tua akan menemani kau turun gunung
dan kita cari sebuah rumah makan, supaya aku bisa menjadi tuan rumah untuk
minum beberapa cawan arak. Bagaimana pikiranmu?"
Mendengar kata2 itu,
semua pendeta kaget tercampur heran. Boe sek Siansoe adalah seorang yang mempunyai
kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim sie. Bahwa ia sudah berlaku begitu
hormat terhadap seorang gadis remaja, adalah suatu kejadian luar biasa.
"Taysoe, janganlah
kau berlaku begitu sungkan," kata sinona de ngan perasaan jengah."
Aku menyesal bahwa barusan dengan semberono aku sudah melakukan perbuatan
sangat tak pantas terhadap beberapa Sueheng. Aku memohon Taysoe sudi
menyampaikan maafku kepada mereka.
Biarlah kita berpisahan
disini saja dan dilain hari, kita pasti akan bertemu pula." Sehabis berkata
begitu, ia segera memberi hormat, lalu memutar dapan dan mulai bertindak turun
dari tanjakan itu.
"Nona kecil,
mengapa kau menolak tawaranku yang diajukan dengan setulus hati?" kata Boe
sek sambil tertawa. "Beberapa tahun berselang, karena sedang repot, aku
tak bisa menghadiri pesta hari ulang tahunmu, sehingga sampai sekarang hatiku
masih merasa tak enak. Kalau hari ini aku tidak mengatarkan kau sampai 30 li,
aku seperti juga tidak mengenal peraturan untuk melayani tamu terhormat."
Mendengar kata2 itu
yang tulus iklas dan juga karena merasa senang dengan cara2 si tua yang polos,
Kwee Siang segera berpaling dan berkata sambil bersenyum."Marilah." Dengan
berendeng pundak mereka turun dari tanjakan itu dan tak lama kemudian, tibalah mereka
dipendopo Lip swat teng. Tiba2 mereka mendengar suara tindakan kaki dan waktu menengok,
mereka melihat, bahwa orang yang membuntuti adalah Thio Koan Po. " Saudara
Thio," menegur Kwee Siang." Apakah kau juga ingin mengatarkan
tamu?" Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. "Benar!"
jawabnya.
"Pada saat itulah,
se-konyong2 dari jauh mereka melihat seorang pendeta bertindak keluar dari
pintu kuil dan kemudian lari turun sekeras kerasnya dengan menggunakan ilmu mengentengkan
badan. Alis Boe sek berkerut. "Ada apa begitu ter-buru2 ?" tanyanya.
Begitu berhadapan
dengan Boe sek, pendeta itu memberi hormat dan lalu bicara bisik2. Paras muka
si tua laatas saja berubah. "Apa benar ada kejadian begitu?"
teriaknya. "Loo hong-thio (pemimpin kuil) mengudang Sioe-co (kepala bagian)
untuk berdamai." jawabnya.
Melihat paras muka
Boe-sek. Kwee Siang mengerti, bahwa Siauw-lim-sie sedang menghadapi urusan
sulit. Maka itu, ia lantas saja berkata: "Loo-sian-soe, dalam persahabatan
yang paling penting adalah kecintaan hati. Segala adat istiadat tiada sangkut
pautnya dengan persahabatan. Jika Loo-sian-soe mempunyai urusan, uruslah saja.
Di lain hari, kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk makan minum sepuas
hati." "Tak heran Yo Tay hiap begitu menghormatimu," memuji Boe
sek. "Kau benar2 seorang gagah, seorang jago betina. Aku merasa girang
bisa bersahabatan dengan seorang seperti kau." Kwee Siang bersenyum deagan
paras muka ke-merah2 an dan sesudah mereka saling memberi hormat, si pendeta
tua segera kembali kekuil Siauw-lim-sie.
Sinona lalu meneruskan
perjalanannya dengan dibuntuti Thio Koen Po dari belakang. Pemuda itu tak
berani berjalan berendeng, ia mengikuti dalam jarak lima-enam tindak.
"Saudara Thio,
mengapa mereka menghinakan gurumu ?" tanya nona Kwee sambil menengok kebelakang.
"Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi, gurumu sebenarnya boleh tak
usah takuti mareka."
Koen Po mempercepat
tindakannya. "Mereka bukan sengaja menghina Soehoe," jawabnya.
"Peraturan di
dalam kuil selalu dipegang keras sehingga siapapun juga membuat pelanggaran, tak
akan terluput dari hukuman."
Kwee Siang jadi heran.
"Gurumu adalah seorang kesatria dan dalam dunia jarang terdapat manusia
yang hatinya begitu mulia," katanya. "Kedosaan apakah yang telah di
perbuatnya ?"
Pemuda itu menghela
napas panjang. "Latar belakang kejadian ini sebetulnya sudah di ketahui nona,"
jawabnya. "Yang menjadi gara-gara adalah kitab Leng-keh-keng."
"Ah ! Kitab yang
dicuri Siauw Siang Coe dan In Kek See ?" menegas si nona.
"Benar,"
jawabnya. "Hari itu, waktu berada di puncak Hwa-san, atas petunjuk Yo Tay
hiap, aku telah menggeledah badan kedua orang. Sesudah turun gunung, mereka tak
kelihatan mata hidungnya lagi. Dengan apa boleh buat, Soesoe dan aku segera
kembali kekuil dan melaporkan kepada Sioe co dari Kay-loet-ton. Leng keh keng
adalah kitab yg di tulis oleh Tatmo Couwsoe sendiri dan merupakan salah sebuah
barang berharga dalam Siauw-lim-sie. Maka itu dapatlah dimengerti, jika Soehoe
tak bisa terlolos dari hukuman.
"Gurumu dihukum
tak boleh bicara ?" tanya pula si nona.
"Ya, menurut
peraturan yang sudah turun temurun," sahutnya. Menurut peraturan itu,
seorang yang dihukum harus memikul air dengan kaki tangan dilibat rantai dan
tak boleh bicara".
"Menurut katanya
para tetua hukuman memikul air malahan ada baiknya untuk yang terhukum. Dengan
membungkam, ia mendapat kemajuan dalam latihan rokhani dan dengan memikul air
tangannya akan bertambah besar."
Si nona tertawa geli.
"Kalau begitu, gurumu sebetulnya bukan menjalani hukuman, tapi sedang
melatih badan." katanya. "Ah ! Memang aku yang terlalu rewel dan suka
mencampuri urusan orang lain."
"Bukan, bukan
begitu," kata Koen Po dengan cepat, "Untuk kebaikan nona, Soehoe
merasa sangat berterima kasih dan tak akan melupakannya." Kwee Siang
menghela nafas. "Lain orang sudah melupakan aku sama sekali," katanya
didalam hati.
Sesaat itu, tiba2
terdengar suara bunyi keledai yang sedang makan rumput didalam hutan.
"Saudara Thio, tak
usah kaum engantar lebih jauh lagi." katanya sambil bersiul dan tunggangannya
segera menghampiri. Koen Po mengawasi dengan sorot mata duka. Ia kelihatannya
merasa berat untuk berpisahan, tapi ia tak mengeluarkan sepatah kata, Kwee
Siang yang dapat membaca jalan pikiraannya, segera merogoh saku dan
mengeluarkan sepasang Lo han besi. "Kau ambilah ini" katanya seraya
mengangsurkannya.
Koen Po terkejut, ia
tak berani menyambutinya. "Ini . ini . ." katanya ter-putus2.
"Aku berikan ini
kepadamu," kata si nona , "Kau ambil lah." Pemuda itn tergugu:
"Aku . . aku .."
SiNona segera
memasukkan sepasang han besi itu kedalam saku Koen Po dan kemudian melompat
naik keatas punggung keledai.
Tapi, sebelum ia
berangkat, diatas tanjakan se konyong2 terdengar teriak: "Kwee Jie-bouwnio!
Tahan!" Si nona menengok dan melihat Boe Sek Siansoe sedang mendatangi dengan
ber-lari2.
"Pendeta tua itu
ternyata kukuh sekali," pikirnya. "Perlu apa ia mengatarkan
aku?"
Begitu berhadapan
dengan sinona, Boe Sek segera berkata pada Koen Po: "Lekas kau kembali kekuil.
Kau tak boleh berkeliaran lagi digunung ini."
Pemuda itu mengangguk
sambil melirik sinona, ia segera mendaki tanjakan. Sesudah Koen Po berada jauh.
Boe sek segera mengeluarkan selembar kertas dari dalam lengan jubahnya dan
berkata: "Kwee Jie-kauw nio, apa kau kenal tulisan siapa ini ?" Sinona
menyambuti dan membaca dua baris huruf yang tertulis diatasnya. "Sepuluh
hari kemudian, Koen-leon Sam seng (Tiga nabi gunung Koen-loen san) akan datang
berkunjung ke Siauw lim-sie untuk meminta pelajaran,"
"Siapa Koen loen
Sam seng ?" tanya sinona "Suaranya sombong sekali!"
"Kalau begitu nona
pun tak mengenal mereka katanya." Situa berdiri bengong. "Urusan ini benar
benar mengherankan," katanya dengan suara perlahan.
"Mengapa
mengherankan ?" tanya Kwee Siang.
"Biarpun baru
pernah bertemu, aku menganggap nona sebagai seorang sahabat lama dan aku bersedia
untuk menerangkan se-jelas2nya kata Boe-sek. "Apa nona tahu dari mana
datangnya kertas ini ?"
"Diantarkan oleh
suruhan Koe-loen Sam-seng." Jawabnya.
"Jika disampaikan
oleh seorang suruhan, kami tentu tak menjadi heran." kata siPendeta.
"Orang sering
mengatakan, bahwa pohon yang tinggi selalu mengundang serangan angin. Dan sudah
sejak lama, selama beberapa ratus tahun, Siauw lim sie dikenal sebagai sumber pelajaran
ilmu silat dan oleh karena demikian, banyak sekali ahli silat datang berkunjung
untuk menjajal kepandaian kami. Hal ini adalah hal yang lumrah. Dipihak kami,
setiap kali orang menantang, kami selalu coba membujuknya, supaya ia
membatalkan niatan itu. Sedapat mungkin, kami coba mengelakkan pertandingan.
Kami sungkan merebut kemenangan. Orang2 yang masih suka berkelahi, mana boleh
jadi murid Budha.
"Benar, perkataan
Taysoe benar sekali," ka ta sinona sambil mengangguk.
Akan tetapi, pada
umumnya, seorang ahli silat yang datang berkunjung, masih penasaran jika belum
memperlihatkan kepandaiannya," kata pula Boe sek. "Maka itu, dalam
kuil kami dibentuk bagian Lo han tong yang bertugas untuk melayani para tamu
itu." Sinona tertawa-tawa geli. "Aha ! Kalau begitu Taysoe bertugas
sebagai tukang berkelahi," katanya. Situa tertawa getir. "Sebagian
besar ahli ahli silat yang datang kemari dapat dilayani oleh para murid dan aku
tak usah turun tangan sendiri," katanya. "Tapi hari ini karena
melihat gerakan2 nona yang luar biasa, aku terpaksa turun tangan sendiri."
"Terima kasih
banyak2 atas pujian Toahweeshio," kata sinona sambil membungkuk dan tertawa
manis.
"Ah, aku sudah
melantur kelain tempat," kata Boe sek. "Sekarang kita kembali pada
surat tantangan itu. Untuk bicara sejujurnya kertas ini diambil dari dalam
tangan patung Hang-liong Lo-han yang terdapat didalam kamar Lo-han-tong." "E
eh! Siapa yang menaruhnya?" tanya si nona.
Sipendeta meng garuk2
kepala. "Kami tak tahu, inilah justru yang mengherankan," jawabnya. "Dalam
Siauw lim-sie terdapat ratusan pendeta, sehingga seorang luar tak mungkin menyelinap
masuk, tanpa diketahui. Apa pula kamar Lo han tong siang malam dijaga oleh delapan
murid dengan bergantian. Barusan, mendadak saja seorang murid melihat kertas
itu didalam tangan Hang liong Lo han dan ia segera melaporkan kepada
Loo-hong-thio. Semua orang jadi heran tak habisnya dan mereka lalu memanggil
aku untuk diajak berdamai." Mendengar sampai disitu, Kwee Siang lantas
saja dapat menebak jalan pikiran sipendeta.
"Bukankah kau
merasa curiga terhadapku?" tanyanya. "Kalian menganggap, bahwa aku mempunyai
hubungan dengan manusia2 yang menamakan dirinya sebagal Koen-loen Samseng. Aku
mengacau diluar dal mereka diam2 masuk ke Lo han-tong untuk menaruh surat itu. Bukankah
begitu dugaanmu?"
"Aku sendiri
tidak, hatiku bebas dari segala prasangka," sahutnya. "Tapi nona
tentu bisa mengerti, jika Loo-hong-thio dan Boe siang Soe-heng agak curiga.
Secara kebetulan, surat itu muncul pada waktu nona mau berangkat."
"Sekali lagi aku
memastikan, bahwa aku tidak mengenal tiga manusia itu," kata Kwee Siang.
"Toa-hweeshio, apa
yang mesti ditakuti? Jika mereka benar2 berani menyateroni, iringlah segala
kemauannya." "Takut kami tentu tak takut," kata situa.
"Jika nona tidak bersangkut paut dengan mereka, aku boleh tak usah
berkuatir lagi."
Kwee Siang mengerti,
bahwa maksud si pendeta tua adalah baik sekali. Boe sek rupanya menyangka tiga
orang itu ada berhubungan dengan dirinya, sehingga jika sampai bergerak ketiga
orang itu sampai terluka, si pendeta akan merasa tak enak hati terhadapnya.
Maka itu, ia lantas saja berkata. "Toa hweesio, jika mereka datang baik2
dan bicara baik2, kau boleh menyambutnya secara baik2 pula. Tapi kalau mereka
kurang ajar, hajarlah, supaya mereka tahu lihaynya Siauw lim-sie. Dilihat dari
suratnya, mereka kelihatannya sombong luar biasa."
Bicara sampai di situ,
dalam otaknya mendadak berkelebat serupa pikiran dan ia lalu berkata pula:
"Toa, hweeshio, apa tak mungkin didalam kuil terdapat konconya yang diam2
sudah menaruh kertas itu ditangan Hang liong Lo han?" "Kemungkinan
ini sudah direnungkan oleh kami," sahutnya. "Tapi rasanya tak mungkin
terjadi. Tinggi tangan Hang liong Lo han da ri lantai ada tiga tombak lebih dan
murid yang
membersihkannya, selalu
harus menggunakan tangga. Orang yang memiliki ilmu mengentengkan badan sangat
tinggi, belum tentu bisa mencapainya. Andaikata benar ada pengkhianat, dia
pasti tak mempunyai ilmu yang begitu tinggi."
Penuturan yang sangat
manarik itu sudah nembangkitkan rasa kepengin tahu dalam hati Kwee Siang. Ia
kepingin tahu, bagaimana macamnya Koen loen Sam Seng dan kepingin tahu pula bagaimana
kesudahan pertemuan itu. Hanya sayang, tak mungkin ia menyaksikan itu semua dengan
mata sendiri, karena Siauw lim-sie tak bisa menerima tamu wanita.
Melihat sinona
ter-menung2. Boe sek menduga, bahwa nona itu sedang memikiri daya upaya untuk
mengelakkan ancaman bahaya. Maka dari itu, sambil tersenyum ia berkata.
"Kwee Jie kouwnio, selama ribuan tahun Siauw-lim-sie telah mengalami
banyak gelombang dan taufan, tapi begitu jauh, belum pernah dirusak orang. Jika
Koen loen Sam sang sungkan di ajak berunding, kamipun tak akan mengorbankan
keangkeran Siauw lim sie dengan begitu saja.
Kwee Jie kouwnio,
setengah bulan kemudian, kau boleh men-dengar2, apa Koen loen Sam seng sudah
berhasil menghancurkan kuil kami" Waktu mengucapkan kata2 yang paling
akhir, muncullah kembali keangkeran Boe sek di jaman muda, suaranya nyaring dan
berpengaruh, sedang kedua matanya ber-kilat2.
"Toa hweeshio,
jangan kau gampang2 naik darah," kata sinona sambil tertawa geli.
"Cara2 yang berangasan tak sesuai dengan kedudukanmu sebagai murid Sang
Buddha. Baiklah setengah bulan lagi, aku menunggu warta menggirangkan."
Sehabis berkata begitu, ia mengedut les keledai dan lalu mulai turun gunung.
Diam2 ia mengambil keputusan, bahwa sepuluh hari kemudian ia akan kembali untuk
menonton keramaian.
Sambil jalankan keledai
perlahan2, rupa2 pikiran ber-kelebat2 dalam otak si nona. "Mungkin sekali
Koen loen Sam seng tak mem punyai kepandaian berarti, sehingga aku tak bakal menyaksikan
keramaian, yang menarik nati," pikirnya. "Ah jika di antara mereka
terdapat orang2 yang memiliki kepandaian kira2 seperti kakek, ayah, ibu atau Yo
Toa koo, peritiwa Sam seng mengacau Siauw lim sie barulah sedap ditonton."
Mengingat Yo Ko,
hatinya lantas saji berduka. Selama tiga tanun, ia telah menjelajahi berbagai
tempat, tapi selalu menubruk angin. Ciong lim -san Kuburan Mayat Hidup
sunyisenyap, dilembah Ban hoa kok hanya terdapat rontokan laksaan bunga, Coat
ceng kok hanya penuh dengan tampukan puing, sedang di Hong leng touw pun, ia tidak
bisa menemukan tapak2 Yo Ko dan Siauw Long Lie. Ia menghela napas ber-ulang2
dan berkata dalam hatinya.
"Andaikata, kubisa
bertemu dengan dia nya, apa artinya pertemuan itu ? Bukan kah akan hanya
menambah luka yang pedas perih ? Bukankah hanya menyingkirnya dia ke tempat
jauh banyak baiknya untuk diriku ? Hai ! Terang2an kutahu, bahwa apa yang
kupikir adalah bayangan bunga di kaca atau bayangan rembulan di muka air. Tapi.
. . aku tak berkuasa untuk menindas dorongan hati . .untuk menindih keinginan
mencari dia."
Sambil melamun, la
membiarkan keledainya jalan sejalan-jalannya. Diwaktu lohor ia sudah terpisah
agak jauh dari Siau sit san, Disepanjang jalan, ia menikmati pemandangan yang sangat
indah dan dari jauh ia memandang puncak timur dari Siauw sit san yang menjulang
kelangit. Mendadak, dari antara pohon-pohon siong yang sudah ribuan tahun
tuanya, lapat lapat terdengar suara khim. "Si apa yang menaruh khim
ditengah gunung yang sunyi ini ?" tanyanya didalam hati. Karena kepingin
tahu, ia melompat turun dari keledainya dan berjalan kearah suara tetabuhan
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar