Jilid 2____________
Sesudah datang lebih
dekat, ia mendapat kenyataan, bahwa suara khim itu diiringi dengan suara lain, seperti
semacam nyanyian.
Semenjak kecil, di
bawah pimpinan ibunya Kwee Siang telah mempelajari berbagai ilmu sehingga, walaupun
tidak terlalu mendalam, ia mengenali baik ilmu menabuh khim, ilmu main tiokie ( catur
Tioaghoa ) , Unit surat dan melukis yang umumnya di miliki oleh orang2 terpelajar pada jaman
itu, di tambah dengan otaknya yang sangat cerdas, ia tak usah kalah dari orang2 biasa dan
malahan ia masih sanggup menimpali kakeknya dalam ilmu musik dan melayani Coe Coe Lioe
dalam ilmu surat. Sekarang mendengar suara tabuh tabuhan yang
agak aneh itu, ia
segera mendekati dengan indap-indap.
Dalam jarak belasan
tombak, barulah terang baginya, bahwa suara khim itu diiringi oleh suara ratusan burung. Dengan
rasa heran, ia lalu mengintip dari belakang satu pohon besar dan terlihat seorang lelaki
yang mengenakan baju putih sedang duduk di bawah tiga pohon siong sambil menabuh khim. Di
dahan2 ketiga pohon itu terdapat ratusan ekor burung besar dan kecil yang menyanyi
menurut irama tabuh2an itu. Suara khim dan bunyi burung adalah sedemikian akur
sehingga didengar dari jauh, sukar sekali orang dapat membedakan, yang mana suara khim, yang
mana suara burung.
Kwee Siang terpesona
dan dengan hati ber debar2, ia mendengari musik luar biasa itu, yang semakin lama jadi
semakin keras. Tiba2 di sebuah kejauhan terdengar ramai suara gerakan sayap burung yang
mendatangi dengan cepat sekali dan di lain saat ratusan burung gereja tiba di situ, sebagaian
segera hinggap di cabang2, sebagian pula terbang ber-putar2. Tiba-tiba Kwee Siang ingat suatu
hal. "Ah" katanya di dalam hati. "Apakah lagu ini bukan lagu Pek niauw hong ( Ratusan burung
menghadap kepada burung Hong) yang sudah tak dikenal lagi dalam dunia ?
Menurut katanya kakek,
dalam lagu tersebut suara khim menyerupai bunyi burung Hong yang bisa menyebabkan
kedatangan ratusan burung. Tapi, apa benar dalam dunia terdapat ilmu memetik khim yang
begitu tinggi?"
Berapa lama kemudian,
suara itu berubahlah perlahan, kawanan burung mulai meninggalkan dahan2 dan lalu terbang
berputaran diatas pohon. Mendadak terdengar suara "ting" dan orang ita berhenti memetik
alat musiknya. Setelah terbang memutar beberapa kali lagi, ratusan burung itupun turut
bubar.
Orang itu dongak dan
sesudah menghela napas, dari mulutnya terdengar nyanyian seperti berikut.
Mengapa siang hari
begitu cepat saatnya
Ratusan tahun lewat
dalam sekejap mata
Langit yang luas tiada
batasnya.
Takdir mendurita tak
bisa dibantah.
Lihatlah rambut si
Niekauw suci.
Sebagian sudah seperti
salju yang putih.
Thian kong bertemu
dengan Gioklie
Tertawa ter-bahak2
laksana kali.
Aku ingin mengeluarkan
kereta.
Dan mendorongnya pulang
kekampung halaman.
Pak tauw menuang air
kata2.
Dan mengajak semua
orang minum secawan.
Kekayaan dan, kemewahan
tak jadi idam-idaman.
Yang diharapkan ialah
awet muda sepanjang jaman.
Suara orang itu sedih
sekali, seperti juga ia merasakan, bahwa penghidupan manusia dalam dunia ini diliputi
dengan kesengsaraan yang tidak habis2nya. Kwee Siang jadi turut merasa terharu, tanpa merasa
dua butir air mata mengalir turun kedua pipinya. Ia mendongak seraya berkata.
"Memutar pedang!
Mengangkat alis!
Air bening, batu putih,
mengapa bersimpang siur?
Manusia hidup tanpa
sahabat sejati.
Hidup ribuan tahun,
tiada berarti."
Tiba2 dari bawah khim,
orang itu menghunus sebatang pedang bersinar hijau. "Aha Kalau begitu, dia seorang Boe
boe coan cay (pandai ilmu surat dan ilmu perang)" pikir si nona.
"Coba kulihat ilmu
silatnya.
Perlahan2 orang itu
berjalan kesebidang tanah lapang. Tapi sebaliknya dia bersiasat, ia menggores tanah dengan
pedangnya, segaris demi segaris.
"E eh? Kiam hoat
apa itu?" tanya sinona dalam hatinya. "Benar2 dia manusia aneh."
Orang itu terus memcuat
garisan2 melintang, sesudah menggores sembilan belas kali ia berhenti dan lain mulai
membuat garisan2 membujur, yang jaraknya bersamaan satu sama
lain, yaitu kurang lebih satu kaki. Seperti juga garisan melintang, ia membuat sembilanbelas
garisan membujur.
Dengan menuruti caranya
orang itu, Kwee Siang meng-garis2 tanah dengan telunjuknya.
"Wah! Kurang
ajar!" katanya didalam hati, "Papan Wie-kie !" ( Wie kie semacam
catur yang menggunakan biji putih
dan biji hitam).
Sesudah selesai, dengan
ujung pedang ia membuat bundaran disudut kiri atas dan sudut kanan papan catur itu.
Kemudian ia membuat tanda silang, juga disudut kiri atas dan sudut kanan bawah.
Kwee Siang yang
mengintip dari sebelah kejauhan, mengerti, bahwa orang itu sedang mengatur biji Wie kie,
tanda bundar mewakili biji putih, tanda silang merupakan biji hitam.
Orang itu lalu mulai
jalankan biji2nya. Sesudah jalan enambelas biji, ia kelihatan bersangsi.
Apakah biji putih harus
bergulat terus atau mengambil sikap membela diri disepanjang pinggiran papan? la
menancap pedangnya ditanah dan mengawasi papan dengan berpikir keras.
"Dilihat begini,
dia seorang yang hidup kesepian," pikir sinona: "Ia memetik khim
sendirian dan berkawan dengan
burung." Ia tak punya kawan untuk main Wie kie dan harus main
seorang diri"
Sesudah memikir
beberapa saat, orang itu lalu mulai jalankan lagi biji2 Wie kie. Ternyata, biji putih sungkan mengalah
dan sa tu pertempuran hebat lantas saja terjadi disudut kiri atas. Putih dan hitam lantas ber
gerak2 dan saling makan dengan serunya sama2 coba merebut kedudukan Tionggoan
(tengah2). Tapi, biar bagaimanapun, karena memang sudah kalah setingkat, biji putih
terus berada dibawah angin. Sesudah jalan 93 kali, biji putih sudah terjepit, tapi masih
ber gulat terus sedapat mungkin.
Si nona menonton
pertempuran itu dengan hati berdebar. Tiba2 tanpa merasa ia berteriak.
"Mengapa tak mau
meninggalkan Tiong goan dan mundur ke See ek (sebelah barat)"
Orang itu terkejut. Ia
melihat bahwa bagian barat papan catur itu memang terdapat sebidang tanah yang kosong, dan
jika biji putih menerjang kesitu, masih bisa dipertahankan keadaan seri."
"Bagus !
Bagus!" serunya dan lalu menjalankan biji putih kejurusan barat. Sesudah
jalan beberapa kali, barulah
ia ingat kepa da orang yang memberi tunjuk. Ia melemparkan pedangnya diatas tanah
dan memutar tubuh. "Orang yang berilmu siapakah yang memberi pelajaran ?"
teriaknya. "Aku sungguh merasa berterima kasih."
Sehabis berkata begitu
ia mengoya kearah Kwee Siang.
Si nona mendapat
kenyataan, bahwa orang itu, yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bermuka lonjong panjang
dan bermata dalam, sedang badannya jangkung kurus. Sebagai seorang jago betina
yang tak menghiraukan perbedaan antara lelaki dan perempuan, perlahan lahan Kwee Siang berjalan
keluar dari tempat sembunyinya dan berkata seraya tertawa.
"Barusan aku
merasa kagun waktu mendengar Sian-seng memetik khim dengan diiring nyanyian dari ratusan
burung. Sesudah itu, dengan tak kurang rasa kagumku, kumelihat Sianseng membuat papan
Wie kia dengan menggaris tanah dan main Wie xie dengan menggunakan pedang,
Karena itu, aku jadi banyak mulut dan aku harap Sianseng sudi memaafkan."
Mendengar perkataan
sinona, orang itu kelihatan girang sekali. "Dari kata2mu. nona ternyata mahir dalam ilmu
memetik khim," katanya sambil bersenyum. "Jika sudi, aku memohon nona suka perdengarkan satu
dua lagu."
"Memang benar aku
pernah belajar menabuh dari ibuku, tapi jika dibandingkan dengan kepandaianmu, aku masih
kalah jauh sekali," kata sinona. "Tapi jika menolak terlalu keras, aku merasa tak enak
hati. Biarlah aku akan mendengarkan sebuah lagu. Tapi jangan tertawa."
"Bagaimana aku berani
?" kata orang itu sambil mengangsurkan khimnya dengan kedua tangan.
Khim itu sudah berusia
tua dan enteng se kali. Sesudah mengakurkan tali2nya. Kwee Siang segera memetik lagu Kho
phoa. Kepandaian sinona memang tidak seberapa tinggi dan lagu yang didengarnya tidak
luar biasa. Tapi walaupun begitu, pada paras muka orang itu terlukis rasa kaget tercampur
girang. Mengapa? Karena lagu Kho phoa mengenakan jitu pada apa yang dipikirnya,
sehingga ia merasa amat girang dan berterima kasih ter hadap sinona.
Sesudah selesai Kwee
Siang menabuh, untuk beberapa saat ia masih bengong dengan mata mengawasi ketempat
jauh.
Syair lagu Ko phoa
diambil dari Sie keng (Kitab Syair). Itulah sebuah nyanyian dari seorang Tay soa, seorang yang
mengasingkan diri dari pergaulan umum.
Dalam syair itu
dikatakan bahwa cita2 yang luhur dari seorang laki2 sejati yang berkelana sebatangkara didaerah
pegunungan tidak akan berubah, biarpun pada mukanya terlihat sinar kedukaan dan didalam
hatinya terdapat rasa kesepihan.
Perlahan2 si nona menaruh
khim diatas tanah dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lalu barjalan pergi, akan
kemudian melompat keatas punggung keledai dan meneruskan perjaanan yang tak tentu
rimbanya.
Siang dan malam lewat
dengan cepatnya dan dalam sekecap tibalah hari kesepuluh, yaitu hari yang dijanjikan Koen
loen Sam seng untuk menyataroni Siauw lim sie. Sudah berapa hari Kwee Siang mengasah
otak untuk mencari daya guna masuk kekuil Siauw lim sie, tapi ia belum juga
berhasil." Sungguh malu aku menjadi anak ibuku", pikirnya dengan
mendongkol.
"Ibuku begitu
pintar, anaknya sedemikian tolol. Biarlah aku datang saja diluar kuil dan menunggu kesempatan.
Mungkin sekali, selagi repot berkelahi, mereka tak sempat merintangi aku."
Pagi itu sudah
menangsal perut dengan makanan kering, ia tujukan keledainya ke Siauw lim sie. Waktu berada dalam
jarak kurang lebih sepuluh li dari kuil, tiba2 ia mendengar suara kaki kuda dan dari jalanan
gunung di sebelah kaki kelihatan mandatangi tiga penunggang kuda.
Ketiga ekor kuda itu
satu bulu dauk, satu kuning dan satu lagi putih bertubuh tinggi besar dan cepat sekali larinya.
Dalam sekejap, mereka sudah melewati sinona dan menuju kearah kuil.
Ketiga penunggang kuda
itu rata2 berusia kira2 limapuluh tahun. Mereka mengenakan baju pendek warna hijau dan
diatas pelana masing2 tergantung kantong kain yang berisi alat senjata. " Ah!
Mereka tentulah Koen loen Sam seng, " pikir Kwee Siang. "Jika
terlambat, bisa2 aku ketinggalan
nonton."
Ia segera menjepit
perut keledai dengan lututnya dan menepuk leher binatang itu. Sambil berbunyi kerena,
keledai itu lantas saja lari congklang. Biarpun kurus kecil, dia ternyata kuat sekali dan cepat
larinya. Tak lama kemudian, dia sudah bisa menyusul dan membuntuti ketiga penunggang kuda itu.
Sekarang si nona bisa
melihat lebih tegas. Penunggang kuda dauk bertubuh kate kecil, Penungggang kuda kuning
berpotongan badan sedang dan penungggang kuda putih seorang jangkung kurus.
Selanjutaya ia pun mendapat kenyataan, bahwa ketiga binatang itu berbulu sangat panjang sampai
dikakinya sehingga berbeda sekali dengan kuda di wilayah Tiong goan.
Begitu tahu ada yang
membututi, ketiga orang itu segera menggeprak tunggannya yg lantas saja kabur sekeras-kerasnya
sehingga Kwee Siang lantas saja ketinggalan jauh sekali.
Sesudah me]alui
dua-tiga-li, si nona belum juga melihat bayangan2 ketiga penunggang kuda itu. Biarpun kuat,
tenaga keledai kecil kurus itu, sangat terbatas.
Napasnya sudah
tersengal-sengal dan dia kelihatannya sudah lelah sekali. "Binatang tak punya guna!"
bentak sinona. "Biasanya kau banyak lagak dan selalu mau lari cepat cepat.
Tapi waktu aku justeru
memerlukan tenagamu kau lantas saja keok." Melihat tak gunanya coba menyusul lagi, ia
lalu melompat turun dari punggung si kurus dan duduk mengaso di sebuah pendopo batu
dipinggir jalan dan membiarkan keledai makan rumput.
Belum lama ia duduk
mengaso sekonyong konyong terdengar pula suara kaki kuda dan ketiga penunggang kuda yg tadi
sesudah male wati satu lembah, kelihatan mendatangi.
"Eh, mengapa
mereka kembali begitu cepat?ı tanyanya di dalam hati.
Setibanya dipendopo
satu itu, mereka segera melomat turun dari tunggangan mereka dan lalu duduk mengaso
bersama-sama si nona. Orang yang bertubuh kate kecil, bermuka merah dan yang paling menyolok
adalah hidungnya yang merah mengkilap seolah olah bara.
Ia mempunyai paras yang
selalu tersungging senyuman. Si tua yang bertubuh jangkung kurus, pucat sekali mukanya,
di antara warna putih pias terdapat sinar biru, seolah olah ia
tak pernah kena sorotan matahari. Dengan demikian, warna kedua orang itu bertentangan satu
sama lain: yang satu merah membara, yang lain pucat pias. Orang ketiga, yang badannya
sedang sedang saja, tidak mempunyai ciri ciri luan biasa, kecuali
mukanya yang berwarna
kuning seperti orang sakitan.
Sesudah menyapu ketiga
orang itu dengan matanya yang bening tajam, Kwee Siang ber senyum seraya menanya:
"Samwe Loosian seng (ketiga tuan) apakah kalian barusan mengunjungi Siauw lim
sie? Mengapa, baru naik kalian sudah turun kembali?"
Si muka pucat melirik
seperti orang kekhi tapi si muka merah tertawa dan balas menanya dengan suara manis.
"Bagaimana nona tahu, kami pergi ke Siauw lim-sie ?"
"Kalau bukan ke
kuil kemana lagi?" kata Kwee Siang.
Si muka merah
mengangguk. "Benar," katanya. "Kemana nona sendiri mau
pergi?"
"Kalian pergi ke
Siauw Lim sie, akupun mau kesitu," jawabnya.
Tiba2 simuka pucat
menyelak:" Siauw lim sie tak pernah mempermisikan orang perempuan masuk kedalam kuil dan
juga tak pernah mempermisikan masuknya orang yang membawa senjata."
Ia bicara dengan suara
sombong, tanpa melirik kepada si nona.
Kwee Siang jadi
mendongkol. "Tapi mengapa kalian sendiri membawa senjata?" tanyanya.
"Bukankah dalam
kantong dicelana, berisi senjata ?"
"Bagaimana kau
bisa dibandingkan dengan kami," kata simuka pucat dengan suara tawar.
"Sombong sungguh!
Siapa sebenarnya kalian?" tanya sinona dengan suara yang sama tawarnya. "Apa
Koen loen Sam seng sudah bertempur dengan pendeta2 Siauw 1im sie?"
"Bagaimana
kesudahannya ?"
Mendengar kata2 Koen
loen Sam sang," ketiga Orang itu jadi kaget bukan main dan paras muka mereka lantas saja
berubah.
"Nona kecil,"
kata simuka merah.'"Bagaimana kau tahu hal Koen loen Sam seng ?'
"Tentu saja
kutahu," jawabnya.
Mendadak simuka pucat
maju setindak dan membentak: "She apa kau ? Siapa gurumu Ada urusan apa kau datang
kesini ?'
"Bukan
urusanmu," sinona balas membentak.
Simuka pucat yang
sangat berangasan dan yang selama puluhan tahun selalu dihormati orang, lantas saja meluap
darahnya. la segera mengangkat tangan untuk menggaplok si jelita yang dianggap sangat kurang
ajar. Tapi sebelum tangannya melayang, tiba2 ia ingat kedudukannya yang sangat tinggi. la
insyaf bahwa adalah sangat tidak pantas, jika sebagai seorang tua, ia menghina seorang muda,
lebih2 seorang wanita. Mengingat begitu, ia mengurungkan niatnya untuk menggampar muka,
tapi tangannya menyambar terus kepinggang sinona dan tiba2 pedang Kwee Siang
bersama sarungnya sudah pindah tangan! Kecepatan orang tua itu,
sungguh sukar
dilukiskan.
Selama berkelana dalam
dunia Kangouw kejadian getir itu belum pernah dialami oleh nona.
Kepandaian yang
dimilikinya memang belum cukup untuk malang melintang dengan leluasa.
Akan tetapi, jago2
Rimba Persilatan sebagian besar tahu, bahwa ia adalah puteri Kwee Ceng, sedang pentolan2 dalam
kalangan tersesat juga banyak sekali mengenalnya karena atas undangan Yo Ko, mereka
pernah datang di Siang yang untuk memberi selamat panjang umur kepadanya. Maka itu
semua orang berlaku sungkan terhadap si nona, jika tidak memandang muka Kwee Ceng,
memandang Yo Ko. Di samping itu si nona mempunyai paras yang cantik dan adat yang polos
terbuka. Ia tidak pernah bersikap sombong dan memandang siapapun juga sebagai sesama
manusia. Bukan jarang ia mengajak buaya2 kecil minum arak ber-sama2.
Dengan demikian,
biarpun dunia Kang ouw penuh dengan duri dan bahaya, sebegitu jauh ia berkelana dengan tak
kurang suatu apa. Belumm pernah ada orang yang berani
mengnina padanya.
Ia kemekmek waktu
mendapat kenyataan bahwa pedangnya telah dirampas si tua. Ia angin coba merebut kembali,
tapi ia tahu ke pandaiannya masih kalah terlalu jauh. Tapi kalau menyudahi saja, hatinya
sangat penasaran.
Sementara itu, sambil
megang pedang orang dalam tangan kirinya, si muka pucat berkata dengan suara dingin:
"Aku akan menyimpan pedangmu ini untuk sementara waktu. Bahwa kau sudah berani
berlaku begitu karang ajar terhadapku, adakah karena seorang tua dan gurumu kurang
mengajarmu. Beritahukanlah, supaya mereka datang kepadaku untuk meminta pulang pedangmu ini.
Dengan baik2 aku akan menasehati ayah ibu dan gurumu, supaya mereka lebih
memperhatikan kau."
Paras muka si nona
lantas saja berubah merah. Si tua seolah2 memandangnya sebagai bocah nakal yang kurang ajar.
Dengan gusar, ia berkata dalam hatinya.
"Bagus! Kau
mencaci aku seperti juga mencaci kakek, ayah dan ibuku. Apa benar kau punya kepandaian begitu
tinggi sehingga kau begitu sombong?" Sesudah dapat menenteramkan hatinya yang bergoncang
keras, sambil menahan amarah ia menanya, "siapa namamu ?"
Si muka pucat
mengeluarkan suara di hidung. "Apa? Kau berani menanya siapa nama
ku?"
bentaknya. "Kau
sungguh-sungguh tak tahu adat. Kau harus mengatakan begini, Bolehkah aku mendapat tahu, she
dan nama Loo cianpwee yang mulia ?" Mengerti ?"
"Jangan
rewel!" bentaknya. "Aku merdeka untuk menggunakan kata apapun juga.
Berapa harganya pedang itu?
Kau seorang tua, tapi tidak menghargai usiamu yang tua. Tak malu mencuri pedang orang!
Sudahlah ! Aku tak mau pedang itu" Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dari
pendopo.
Se-konyong2 satu
bayangan berkelebat dan simuka merah menghadang didepannya. "Seorang gadis remaja tak boleh
gampang marah," katanya saraya ber-senyum2.
"Kalau sudah
menikah, apa kau boleh marah2 seperti anak kecil dihadapan mertua? Baiklah, sekarang aku
memberitahukan kau. Dalam beberapa hari sesudah melalui perjalanan berlaksa
kami bertiga saudara seperguruan baru saja tiba di Tionggoan dari daerah See ek (daerah sebelum
barat) . ..."
"Aku sudah
tahu," memotong sinona sambil monyongkan mulutnya. Didaerah Tiong-goan memang tidak terdapat
namamu bertiga. Ketiga orang itu saling
meagawasi.
"Nona, bolehkah
aku mendapat tahu siapa gurumu ?" tanya si muka merah.
Sebenarnya Kwee Siang
tak suka memberi tahu nama ayah dan ibunya, tapi sekarang, karena sudah jengkel, ia
lantas saja menjawab: "Ayah she Kwee bernama Ceng. Sedang ibuku she Oey bernama Yong. Aku
tak punya garu, hanya kedua orang tuaku yang menurun kan sedikit ilmu silat."
Ketiga kakek itu saling
mengawasi. Saaat kemudian barulah simuka pucat berkata. "Kwee Ceng? Oey Yong? Dari
partai mana mereka ? Murid siapa ?"
Dengan pertanyaan itu
sinona jadi gusar. Nama kedua orang tuanya tersohor dikolong langit, jangankan orang2 dari
Rimba Persilatan, sedangkan rakyat jelatapun mengenal Kwee Tay hiap, seorang pendekar
yang telah bantu membela kota Siang-yang.
Tapi, melihat paras
sungguh2 dari ketiga orang itu, Kwee Siang segera mendapat lain ingatan.
"Koen-loen-san
terletak didaerah barat dan terpisah jauh dari wilayah Tionggoan"
pikirnya.
"Ketiga orang
lihai memiliki ilmu ilmu silat yang sangat tinggi, tapi ayah dan ibu belum pernah me-nyebut2 nama
mereka. Maka itu, memang mungkin sekali, mereka belum pernah mendengar nama kedua
orang tuaku." Mengingat begitu darahnya yang barusan sudah meluap, mereda kembali.
"Aku sendiri she Kwee bernama Siang," katanya pula. "Siang adalah Siang dari Siang
yang. Nah sesudah memperkenalkan diri, bolehkah menanya she dan nama kalian yang mulia
?"
Si muka merah tertawa
hahahihi. "Bocah perkataanmu tepat sekaii, " katanya. "Dengan jawabanmu itu, kau
menghormati orang yang lebih tua," Sambil menunjuk si muka kuning, ia berkata pula:
"Itulah Tosoeko (kakak seperguruan yang paling tua) kami. Ia she Phoa
bernama Thian Keng. Aku sendiri
adalah Jie soe heng (kakak kedua),aku she Phoe, namaku Thian Loo" la menuding
pada si muka pucat dan melanjutkan perkataannya. "Yang itu adalaa Sam soetee( adik ketiga),
she Wie, bernama Thian Bong. Kau lihat! Kami bertiga saudara seperguruan masing2
mengambil huruf "Thian (Langit) untuk nama kami."
"Hm!" Kwee
Sing mengeluarkan suara dihidung dan berdiam sejenak mengingat2 tiga nama itu. "Tapi apakah
kalian sudah bertanding dengan pendeta2 Siauw lim se?
Kalau sudah, siapa yang
lebih unggul?" tanyanya kemudian.
Si muka pucat Wie Thian
Bong lantas saja menjadi gusar dan membentak dengan suara keras.
"Eh, bagaimana kau
tahu? Bahwa kami ingin menjajal ilmu dengan Siauwlim sie hanya diketahui oleh beberapa
orang saja. Bagaimana kau bisa tahu? Lekas bilang! " Seraya berteriak ia mendekati
Kwee Siang dan menatap wajah si-nona dengan mata melotot.
Tentu saja Kwee Siang
jadi dongkol. Jika mereka menanya baik2 mungkin sekali ia akan memberitahukan dengan
segala senang hati. Tapi dengan cara yang kasar itu, ia lantas saja mengambil putusan untak
menutup rahasia. "namamu bertiga sebenarnya kurang tepat. "
katanya dengan suara
tawar "Mengapa tak dirubah menjadi Thian Ok (Ok berarti jahat)?"
"Apa kau
kata?" bentak Thian Bong.
"Kwee Siang
menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku sungguh jarang lihat manusia yang begitu galak seperti
kau" katanya dengan adem.
"Sesudah merampas
barangku, kau masih bersikap begitu ganas. Bukankah kau seperti juga penitisan dari binatang
jahat dilangit?"
Tiba2 tenggorokan Wie
Thian Bong mengeluarkan suara aneh, se olah2 menggaungnya binatang buas dan
dadanya lantas saja melembung keatas, sedang rambut dan alisnya bangun serentak.
"Samtee!"
kata Phoei Thian Loo simuka merah dengan cepat. "Jangan kau naik darah."
Sanbil berkata begitu,
ia menyeret tangan Kwee Siang kebelakangnya, sehingga badannya sendiri berada diantara
kedau orang itu, Melihat hebatnya gerak gerik Wie Thian Bong sehingga jika ia turun
tangan, pukulannya tentu hebat luarbiasa, hati si nona jadi keder juga.
Sementara itu, dengan
tangannya Wie Thian Bong mencabut pedang Kwee Siang, sedang jariji tangan kirinya
mementil badan pedang. "Cring!" pedang itu patah dua.
Kemudian ia memasukkan
pedang buntung itu ke dalam sarungnya seraya berkata dengan suara mengejek:
"Siapa yang kepingin senjata yang tak gunanya ini ?"
Bukan main kagetnya si
nona. Biarpun kepandaian itu belum bisa menandingi Ian cia San thong (ilmu mementil)
dari kakeknya tapi tenaga Lwee kang yang begitu dahsyat sungguh jarang terlihat dalam
Rimba persilatan
Melihat perubahan pada
paras muka si nona, Wie Thian Bong jadi bungah hatinya. Ia dongak dan tertawa ter-bahak2.
Suara tertawa itu, yang disertai Lwee kang sangat menusuk kuping dan malahan
menggoncangkan juga genteng2 di atas pendopo batu itu.
Se-konyong2, berbareng
dengan suara gedbrakan, atap pendopo berlubang besar dan dari lubang itu jatuh serupa
benda yang sangat besar.
Semua orang terkejut,
terhitung Wie Thian Bong sendiri. Ia sama sekali tak pernah menduga, bahwa suara tertawanya
biarpun di sertai Lwee kang bisa merusakkan atap pendopo batu.
Waktu orang tahu, benda
apa yaag jatuh itu, rasa kaget jadi semakin besar. Ternyata yang rebah di lantai adalah
seorang lelaki yang mengenakan baju putih dan kedua tangannya memeluk khim. Ia rebah
disitu sambil meramkan kedua matanya, se-olah2 sedang tidur pulas.
Mendadak terdengar
teriakan Kwee Siang "Aha ! Kau berada di sini ?"
Orang itu bukan lain
dari pada si pria yg pandai memetik khim dan yaag telah di temui si nona pada beberapa hari
berselangi.
Per-lahan2 orang ita
membuka matanya. Begitu melihat Kwee Siang, ia melompat bangun seraya berkata.
"Nona, aku cari kau kesegala tempat. Tak tahunya kau berada disini."
"Perlu apa kau
cari aku?" tanyanya. "Aku lupa menanya she nona yang mulia dan nama
yang besar," jawabnya.
"Apa itu she mulia
nama besar?" kata Kwee Siang seraya mencebikan bibir. Aku paling sebal dengan kata2 yang
banyak kembangnya."
Orang itu kelihatan
kaget, tapi di lain saat ia tertawa besar. "Benar, nona," katanya
"Memang, semakin manusia
berlagak pintar semakin kosong otaknya."
Sambil berkata begitu,
ia mengawasi Wie Thian Bong dengan mata melotot dan kemudian tertawa dingin.
Kwee Siang jadi girang
sekali. Ia tak nyana si baju putih seorang yang menarik.
Paras muka Wie Thian
Bong yang pucat jadi lebih pucat lagi. "Siapa tuan?" tanyanya.
Ia tidak menggubris dan
sambil berpaling kepada Kwee Siang, ia menanya: "Nona, siapa namamu ?"
"Aku she Kwee
bernama Siang." jawabnya
Orang itu menepuk kedua
tangannya dan berseru dengan suara girang. "Ah ! Mataku benar2 kotokan tak mengenali
gunung Thay san yang besar. Kalau begitu kau Kwee Toakouwnio yang namanya kesohor
diseluruh jagat! Kecauli manusia-manusia tolok, siapapun juga mengenal ayahmu Kwee
Ceng Kwee Tayhiap, dan ibumu, Oey Yong Oey Liehiap Dalam dunia Kangoaw, siapakah
yang tidak mengenal mereka? Mereka adalah orang2 yang boenboe-song-coan (mahir dalam
ilmu surat dan ilmu perang ), mahir menggunakan macam senjata dan sudah
menyelami dasarnya berbagai ilmu silat paham dalam ilmu penabuh khim, tio kie, menulis
huruf-huruf indah, melukis, bersyair, dan bersajak. Dari dulu sampai sekarang, kepandaian
mereka jarang tandingan didalam dunia. Ha ha ha ! Tapi masih juga terdapat
manusia-manusia yang tidak mengenal mereka!"
Kwee Siang jadi girang
sekali. "Kalau begitu sudah lama dia bersembunyi diatas atap pendopo dan sudah
mendengari pembicaraanku dengan ketiga orang itu."
katanya di dalam hati,
"Didengar dari perkataannya, ia pun belum mengenal kedua orang tuaku. Kalau sudah
mengenal, ia tentu tak akan memanggil aku sebagai Kwee Toakouwnio (nona Kwee yang paling
besar). Sungguh lucu ia mengatakan ayahku mahir dalam ilmu menabuh khim, main tio
kie, menulis huruf indah dan sebagainya. Memikir begitu, seraya bersenyum ia menanya.
"Siapa namamu?"
"Aku she Ho,
namaku Ciok Too." jawab nya, (Ho Ciok Too berarti Tidak cukup berharga untuk dibicarakan).
"Ho Ciok
Too?" menegas si nona. "sungguh satu nama yang merendahkan
diri."
"Benar."
jawabnya. "Tapi namaku banyak lebih baik dari pada nama yang menggunakan perkataan2 sombong
seperti "Langit dan bumi". Sedikitnya namaku tidak memuakkan orang yang
mendengarnya."
Siapapun mengerti, ia
sedang mengejek ketiga Soehengtee itu (saudara seperguruan yang menggunakan huruf
"Thian" langit itu), maka sesudah manyaksikan cara Ho Ciok Too menjatuhkan diri dari
lubang atap mereka tahu bahwa orang itu bukan sembarangan orang dan oleh karenanya,
se-bisa2 mereka menahan sabar. Tapi mendengar ejekan yang paling belakang, Wie Thian
Bong meluap darahnya. Dengan sekali membalik tangan la menggapelok dagu orang.
Ho Ciok Too menundukkan kepalanya dan molos dari bawah bahu.
Mendadak Wie Thian Bong
merasa tangan kirinya kesemutan dan tahu2 pedang, Kwee-Siang yang sedang dicekalnya
sudah berpindah tangan. Sebagaimana diketahui, waktu merampas pedang itu dari tangan
nona Kwee, gerakannya cepat luar biasa, Dari sini dapatlah dibayangkan, bagaimana
cepat gerakan Ho Ciok Too yang dengan begitu mudah sudah berhasil merampas
senjata itu.
Wie Thian Bong
terkesiap. Dilain detik, dengan gusar ia menerjang dan lima jerijinya yang dipentang bagaikan
gaetan, menyambar pundak Ho Ciok Too. Dengan sekali mengegos Ho Ciok Too sudah berhasil
menyelamatkan diri. Sementara itu, hampir berbareng Phoa Thian Keng dan Phoei Thian
Loo melompat keluar dari pendopo. Dengan gergetan, Wie Thian Bong mengirim serangan2
berantai dengan kedua tangannya dan dalam sekejap, ia sudah menyerang tujuh delapan
kali. Tapi lawannya tetap bersikap tenang. Kemudian diserang bagaikan hujan dan
angin sedikitpun ia tidak membalas. Dengan mengengos kekiri kanan, kedepan dan kebelakang,
ia kelit pukulan2 hebat itu.
Biarpun masih bersia
muda dan kepandaiannya tidak seberapa tinggi, nona Kwee Siang adalah puterinya ahli2
silat nomor satu pada jaman itu dan dengan sendirinya, ia mempunyai mata yang sangat tajam.
Melihat gerakan Ho Ciok Too yang begitu gesit dan lincah, ia yakin bahwa orang itu adalah
barbeda dengan berbagai ilmu silat yang terdapat diwilayah Tionggoan.
Sementara itu, sesudah
menyerang dua puluh jurus lebih tanpa berhasil, tiba2 Wie Thian Bong menggeram dan
mengubah silatnya. Jika tadi serangan2 dikirim bagaikan kilat, sekarang
gerakan-gerakannya banyak lebih perlahan, tapi disertai dengan tenaga yang
sangat hebat. Sesudah ia
menyerang beberapa jurus, Kwee Siang yang berada didalam pendopo, turut merasakan
sambaran-sambaran pukulannya, sehingga buru-buru ia melompat keluar.
Ho Ciok Too pun lantas
saja mengubah sikap. Kini ia tak berani memandang enteng lagi musuhnya. Setelah
menyelipkan pedang Kwee Siang dipinggangnya, berdiri tegak dan badannya seolah-olah
sebuah gunung yang kokoh teguh. "Kau menggunakan ilmu keras?"
tanya Ho Ciok Too, lalu
"Apa kau rasa diriku tidak mampu ?" Pada saat kedua tangan Wie Thian Bong menyambar,
sambil mengerahkan Lweekang, ia memapaki dengan tangan kirinya. Karena melawan
keras! "Tak!" kedua tangan beradu dengan dahsyatnya. Badan Wie Thian Bong ber-goyang2
terhuyung kebelakang dua tiga tindak, sedang kedua kaki Ho Ciok Too tetap berdiri
tegak.
Wie Thian Bong yang
selala menganggap bahwa Gwakangnya (ilmu luar, yaitu ilmu yang menggunakan teanga
kekerasan) jarang tandingan, jadi penasaran sekali.
Sesudah menarik napas
panjang, sambil membentak keras sekali lagi is menghantam dengan kedua tangannya. Ho
Ciok Too pun mengeluarkan teriakan nyaring, dan satu tangannya kembali memapaki
pukulan lawan. "Dak !", kedua bau tangan beradu pula, kali ini hebat
luar biasa, sehingga debu
dan pasir meluruk turun dari lubang diatap pendopo. Hampir berbareng dengan bentrokan itu,
tubuh Wie Thian Bong terhuyung lagi dan sesudah sempoyongan empat lima tindak, barulah ia
bisa berdiri tegak.
Sesudah dikalhkan dua
kali, Wie Thian Bong jadi mata merah. Rambutnya terurai, kedua matanya melotot,
sehingga macamnya menakuti sekali. Dengan kedua tangan memegang perut, dia menarik
napas panjang. Dilain saat, dadanya melesak kedalam, perut melembung keluar, se-akan2 sebuah
tambur dan tulang2nya berkerotokan.
Dalam keadaan yang
menyeramkan itu, setindak demi setindak ia mendekati lawannya.
Melihat begitu, Ho Ciok
Too mengerti, bahwa lawannya akan segera menyerang dengan menggunakan seantero
kepandaian dan tenaga Lwekang. Ia tak berani berayal lagi dan buru2 monyedot nafas untuk
mengerahkan Lweekang.
Menurut kebiasaan,
sesudah mengerahkan Lweekang yang hebat itu, dari jarak empat lima tindak, Wie Thian Bong
sudah mengirim pukulan. Tapi sekarang ia tak berbuat begitu.
Dengan perlahan, ia
terus maju hingga berhadapan dengan lawan. Sesudah itu, barulah kedua tangannya bergerak,
yang satu memukul muka, yang lain menyambar kepunggung. Tujuan kedua pukulan, itu
adalah untak membuyarkan seantero Lwekang Ho Ciok Too.
Ho Ciok Too pun lantas
saja menyambar dengan kedua tangannya. Tangan kiri menempel dengan tangan kiri,
tangan kanan dengan tangan kanan. Tetapi didalam tangan itu, dia mengeluarkan dua tenaga
yang berbeda, satu "keras" dan yang satu "lembek". Dengan
begitu tangan Wie Thian Bong
yang memukul keras kepunggung seperti juga menghantam kapas, sedang tangan kanan
yang menyambar kemuka se-akan2 menyentuh tembok tembaga.
"Celaka !"
Wie Thian Bong mongeluh. Hampir berbareng, ia merasakan dorongan tenaga yang sangat hebat dan
tanpa ampun lagi badannya didorong keluar dari pendopo.
Itulah akibat keras
melawan keras. Yang bertenaga lebih lemah, dialah yang celaka. Didorong dengan tenaganya
sendiri yang berbalik dan ditambah dengan dorongan tenaga Ho Ciok Too, Wie Thian Bong pasti
bakal muntah darah.
Pada saat yang sangat
berbahaya, yaitu sedetik sebelum roboh, tiba2 Phoa Thian Keng dan Phoei Thian Loo
membentak keras: "Keluarkan pukulan!" Dengan berbareng mereka mendorong kedepan dan
tenaga tangan mereka merupakan semacam tembok lembek yang tidak kelihatan.
Punggung Wie Thian Bong bersandar diarus tenaga itu dan ia tertolong dari luka berat didalam
badan. Tapi meskipun begitu, isi perutnya mendapat goncangan hebat, tulang2nya seolah
terpukul hancur dan ia merasakan kesakitan biasa disekujur badannya.
Melihat saudara
seperguruannya dirobohkan secara begitu menyedihkan bukan main gusar nya Phoei Thian Loo,
tapi paras mukanya masih tetap tersenyum. "Kekuatan tenaga tangan tuan sangat jarang
terdapat didalam dunia," katanya. "Aka sugguh marasa tahluk."
Mendengar kata2 xu,
Kwee Siang tertawa. Dalam hatinya. "Koen loen Sam seng tiada bedanya seperti kodok
didalam sumur" pikirnya. "Mengenai tenaga tangan siapakah yang dapat menadingi ayahku
dalam pukulan Hang Liong Sip pat ciang?"
Sesudah berdiam
sejenak, seraya tertawa hahahihi, si-muka marah berkata pula: "Aku si tua yang tak punya
kepandaian berarti, sekarang ingin meminta pengajaran dari Kiam hoat tuan"
"Phoei-heng
berlaku sangat manis terhadap Kwee Kouwnio dan akupun tak mempunyai ganjelan
terhadapmu," jawabn:ya. "Aku rasa kita boleh tak usah menjajal
kepandaian."
Kwee Siang terkejut.
Kalau begitu, ia menghajar Wie Thian Bong karena kurang ajar terhadapku,"
katanya didalam hati.
Sementara itu, tanpa
menggubris penolakan orang, Phoei Thian Loo segera menghampiri tungggangannya dan
mengambil sebatang pedang panjang dari kantong senjata. "Srt!" ia menghunusnya dan paras
mukanya latas saja berubah keren!. Sambil melonjorkan tangan kirinya, ia
mendongakkan pedang yang dicekal dalam tanganaya. Itulah pukulan yang diberi nama Sian-jin-tit-loan
(Dewa mengunjuk jalan).
Ho Ciok Too bersenyum
seraya berkata "Jika Phoei-heng mau juga bertanding, biarlah aku melayani beberapa jurus
dengan menggunakan pedang Kwee Kouwnio."
Sehabis berkata begitu
ia mencabut pedang buntung yang terselip dipinggangnya. Pedang itu asal nya memang pedang
pendek. Panjangnya tak lebih daripada dua kaki. Sesudah dipatahkan Wie Thiang
Bong, yang ketinggalan hanya tujuh delapan dim, sehingga lebih pendek daripada pisau
belati biasa.
Sambil mencekal sarung
pedang ditangan kirinya, tanpa menegur lagi ia segera mengirim tiga serangan kilat yang
cepat luar biasa. Hanya karena senjatanya terlalu pendek, maka serangan2 itu tidak mengenakan
sasarannya. Phoei Thian Loo terkesiap. "Cepat sungguh gerakannya !"
pikirnya.
"Kiam-hoat apa itu? Jika ia menggunakan pedang panjang, jiwaku mungkin
sudah melayang"
Dilain pihak, sesudah
menyerang tiga kali beruntun, Ho Ciok Too melompat kesamping dan berdiri tegak. Ia hanya
mengenggos dan berkelit, waktu Phoe Tnian Loo balas menyerang.
Tiba2 selagi dihujani
serangan, sekali lagi ia mengirim tiga tikaman berantai, sehingga silat lawan jadi kalang
kabut. Dilain saat, seperti tadi, ia meloncat lagi kesamping dan berhenti menyerang. Dipermainkan
begitu rupa. Phoei Thian Lpo meluap darahnya. Sambil membentak keras ia
menyerang seraya memutar pedangnya yang lantas saja me nyambar2 bagaikan kilat.
Badannya yang kurus kecil se-akan2 dikurung sinar pedang yang berkelebat seperti titiran.
Semakin lama
pertempuran dilakukan semakin cepat, sehingga gerakan2 kedua lawan itu sukar dapat dilihat
tegas. Se-konyong2 terdengar bentakan Ho Ciok Too.
"Awas !"
Hampir berbareng dengan bentakan itu, sarung pedang yang dicekal dalam tangan kirinya, menyambar.
"Trang !", sarung itu masuk diujung pedang lawan dan pedang buntung meluncur ketenggorokan
Phoei Thian Loo.
Walaupun lihay, simuka
merah tak bisa menangkis lagi, sebab pedangnya tak bisa bergerak.
Tapi sebagai orang yang
kepandaian tinggi, dalam bahaya ia tak jadi bingung. Buru2 ia melepaskan pedangnya
dan sambil melenggakkan kepala, ia membuang diri dan bergulingan ditanah.
Sebelum Phoei Thian Loo
melompat bangun tiba2 berkelebat satu bayangan dan tangan Phoei Thian Keng sudah
mencekal gagang pedang yang barusan dilepaskan oleh Soetee nya.
Dengan sekali membetot,
ia sudah mencabut pedang itu dari sarung pedang buntung yang dipegang Ho Ciok Too.
"Sungguh indah
gerakan itu!" puji Ho Ciok Too dan Kwee Siang hampir berbaring.
Ternyata, sikakek yang
mukanya seperti orang berpenyakitan dan tidak pernah mengeluarkan sepatah kata, memiliki
kepandaian yang paling tinggi diantara ketiga orang2 itu.
"Aku sungguh
merasa sangat takluk akan kepandaian tuan." kata Ho Ciok Too sambil membungkuk. Ia
berpaling pada Kwee Siang dan berkata pula "Kwee Kouwnio. sesudah mendengar lagumu pada
beberapa hari yang lalu, aku telah menggubah sebuah lagu baru yang aku ingin
mempersembahkan kepadamu untuk dinilai."
"Lagu apa ?"
tanya sinona.
Tanpa menghiraukan tiga
otang tua itu, ia lantas saja bersila diatas tanah, meletakkan khimnya dipangkuan dan
lalu menyetel tali2 nya.
Melihat begitu, Phoa
Thian Keng lalu mendekati dan berkata. "Tuan sudah merobohkan kedua Soeteeku dan
sekaranglah aku yang ingin meminta pengajaranmu."
Ho Ciok Too
menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak, sudah cukup," katanya.
"Pertandingan
silat tidak menimbulkan banyak kegembiraan. Sekarang aku ingin memetik khim untuk
diperdengaran kepada Kwee Kouwnio. Laguku adalah sebuah lagu baru. Jika suka, kalian boleh
duduk mendengari. Kalau tidak, kalian merdeka untuk
berlalu." Sehabis berkata begitu, jari2 nya mulai memetik tetabuhan itu.
Sesudah mendengari
beberapa saat, Kwee Siang jadi kaget bercampur girang. Semenjak belajar memetik khim,
belum pernah ia mendengar lagu yang begitu luar biasa. Luar biasa, karena lagu itu
merupakan kombinasi dari lagu Ko-phoa yang pernah diperdengarkan olehnya dan lagu Kian kee (nama
semacam rumput). Kedua lagu itu yang sebenarnya sangat berbedaan telah digubah
begitu rupa sehingga merupakan sebuah lagu baru yang sangat merdu dan harmonis,
Syair lagu ini antara lain berbunyi.
Siorang pertapaan.
Berkelana dipegunungan
Rumput,Kian kee hijau2.
Embun berubah menjadi
salju.
Dan sidia.
Berada disatu sudut
dunia
Mendengar sampai
disitu, hati sinona berdebaran. "Siapa sidia ?" tanyanya dihati.
"Apa dimaksudkan aua ?
Mengapa suara khim itu sedemikian merdu dan mengharukan hati?"
Mengingat begitu,
mukanya lantas saja bersemu dadu. Ia merasa kagum bukan main, sebab dalam kombinasi itu,
yang telah merupakan sebuah lagu Kian kee masih bisa mempertahankan
kepribadiannya sendiri.
Phoa Thian Keng dan
kedua Soeteenya, yang tidak mengerti ilmu musik, jadi mendongkol bukan main. Disamping
cara2 Ho Ciok Too yang terus memetik tali2 khim tanpa memperdulikan mereka,
dianggapnya sebagai suatu hinaan.
Sesudah mendengari
beberapa saat, Phoa Thian Kheng tidak dapat menahan sabar lagi. Ia mendekati dan sambil
menotok pundak kiri Ho Ciok To dengan ujung pedang, ia membentak.
"Bangun kau ! Mari
kita jajal kepandaian."
Ho Ciok Too yang sedang
memusatkan seluruh semangat kepada tetabuhannya, seolah olah tidak mendengar
tantangan itu. Ia seperti juga sedang berkelana disatu pegunungan yang amat indah dan dari jauh ia
melihat seorang gadis jelita yang tengah berdiri diatas sebuah pulau kecil yang dikurung
air...
Tiba2 ia merasa pundak
kirinya sakit dan ia tersadar. Ia dongak dan melihat Phoa Thian Kheng berdiri
didekatnya sambil mencekal pedang terhunus yang barusan telah digunakan untuk menotol
pundaknya. Ia mengerti, bahwa jika tidak melawan, mungkin sekali ia akan terluka secara konyol.
Hanya sungguh sayang, lagunya belum selesai. Sebagai seorang seniman tulen, ia tak
rela menghentikan lagunya ditengah jalan.
Maka itu, tangan
kirinya segera mengulurkan pedang buntung yang lalu digunakan untuk menangkis senjata Phoa
Thian Kheng, sedang tangan kanannya tetap memetik tali2 khim.
Dengan kedua mata tetap
memperhatikan tetabuhannya, Ho Ciok Too menangkis setiap serangan lawan. Phoa
Thian Kheng jadi semakin gusar dan menyerang tambah hebat. Tapi kemanapun juga
pedangnya menyambar, Ho Ciok Toa selalu menangkis.
Kwee Siang yang sedang
kesengsem juga tidak memperdulikan serangan itu. Akan tetapi ia mendongkol, sebab suara
bentrokan senjata telah merusak irama. Ia membentak. "Hai ! Apa kau tuli akan merdunya
lagu ini. Jangan merusak ! Cobalah kau menyerang menurut tempo tepukan tanganku"
Tapi tentu saja Phoa
Thian Kheng tak meladeni. Sambil membentak keras, dengan gusar ia mengobah kiam hoatnya
dan menyerang bagaikan hujan angin sehingga suara bentrokan senjata jadi semakin
gencar dan irama khim jadi semakin dikacaukan.
Ho Ciok Too juga
mendongkol dan seraya menambah Lweekang, ia menangkis satu tikaman.
"Trang !"
pedang Phoa Thian Keng patah dua. Hampir berbareng, tali kelima dari Cithian khim ( khim yang
bertali tujuh ) juga putus.
Paras muka Phoa Thian
Keng jadi pucat bagaikan mayat. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meloncat keluar dari
pendopo batu dan kemudian, bersama kedua Soeteenya, dia melompat naik kepunggung
tunggangan mereka yang segera dikaburkan keatas gunung.
Kwee Siang heran.
"E eh!" katanya. "Mengapa mereka lari kearah kuil ?" Ia
nengok dan melihat Ho Ciok Too
sedang memegang tali Khim yang putus itu dengan paras duka.
"Mengapa dia
begitu jengkel ?" tanyanya di dalam hati. ""Berapakah harganya
tali khim?
Ho Ciok Too menghela
napas dan berkata dengan suara perlahan: "Tujuh tahun aku barlatih, tapi hatiku tetap belum
bisa tenang. Tangan kiriku berhasil mematahkan senjata, tapi tangan kanan memutuskan tali
khim."
Sekarang si nona baru
mengerti, bahwa ia berduka karena merasa kepandaiannya belum sempurna. Ia tertawa
seraya barkata: "Dengan tangan kiri melawan musuh dan tangan kanan memetik khim, kau sebenarnya
menggunakan ilmu Hoen sin Jie yong (ilmu memecah pikiran). Dalam dunia
ini, hanya tiga orang yang mahir dalam ilmu itu. Bahwa kau belum mencapai taraf yang
tinggi, tak usah dibuat jengkel!"
"Siapa tiga orang
itu?" tanya Ho Ciok Too.
"Yang pertama
adalah Loo boan thiong Cioe Pek Thiong," jawabnya. "Yang kedua ayanku sendiri, sedang yang
ketiga Yo Hoe jin, Siauw Liong Lie. Selain tiga orang itu, malahan kakekku, ibuku atau
SintiauwTayhiap Yo Ko tiada yang mampu memiliki ilmu yang luar biasa itu."
"Bolehkah kau
memperkenalkan orang2 berilmu itu kepadaku ?" tanya Ho Ciok Too.
"Kalau kau mau
bertemu dengan Thia thia (ayah) mudah sekali," jawabnya. "Tapi dua
orang lainnya sangat sukar
dicari, karena mereka tak punya tempat kediaman yang tentu"
Ho Ciok Too berdiri
bengong, seperti juga ia masih merasa sangat menyesal karena putus nya tali khim itu. Si nona
tertawa seraya berkata dengan suara menghibur."Dengan sekali gebrak.
kau sudah berhasil
merobohkan Koen loen Sam-seng dan hasil itu boleh dibuat bangga. Perlu apa kau berduka karena
hal yang remeh itu?"
Ho Ciok Too terkesiap.
"Koen-loen Samseng?" ia menegas, "Apa kau kata? Bagaimana kau tahu?"
"Bukankah ketiga
orang itu dikenal sebagai Koen-loen Sam sang?" tanyanya. "Kepandaian mereka mamang cukup
tinggi, tapi jika mau coba2 membentur Siauw lim sie, kurasa mereka agak tahu diri . . .
" Melihat paras muka Ho Ciok Too mengunjuk perasaan heran yang semakin besar, si nona
lalu menaya. "Mengapa kau kelihatannya heran?"
"Koen loan Sam
seng . . . Koen loan Sam seng Ho Ciok Too . . . itulah aku sendiri!"
katanya dengan suara perlahan.
Sekarang giliran Kwee
Siang yang terheran heran. "Kau... kau Koen loen Sam seng?" tanyanya. " Mana
yang dua lagi?
"Koen loen Sam
seng hanya satu orang," jawabnya, "Di See ek aku telah mendapat nama walaupun bukan nama
besar. Kawan2 disitu menganggap, bahwa aku memiliki kepandaian tinggi dalam
ilmu main khim, ilma pedang dan ilmu main catur, sehingga oleh karena nya, kata
mereka, aku boleh dinamakan sebagai Khim seng dan Kiam seng dan Kie sang (Nabi khim, Nabi
pedang dan nabi kie. Kie berarti Tio kie atau catur). Lantaran aku suka sekali berdiam digunung
Koen loen san, maka mereka memberi julukan -Koen loan Sam
seng- kepadaku. Tapi
aku selalu merasa malu dengan istilah Seng itu. Mana bisa manusia seperti aku menamakan
diri sebagai seorang nabi ? Biarpun gelaran itu diberikan oleh orang lain, tak boleh aku
menerimanya dengan begitu saja. Maka itulah, aku segera mengubah namaku, Aku menggunakan
nama Ho Ciok Too, yang jika disambung jadi -Koen loan Sam seng Ho Ciok Too- (Koen
loen Sam seng tidak cukup berharga untuk dibicarakan). Dengan demi kian orang tidak
bisa mengatakan, bahwa aku manusia sombong."
Si nona menepuk2 tangan
dan tertawa geli, "Oh, begitu?" katanya: "Mati hidup aku
menduga, bahwa Koen loen Sam
seng terdiri dari tiga orang. Tapi siapakah ketiga orang tua itu ?"
"Mereka adalah
orang2 Siauw lim pay." Kwee Siang terkejut. "Siauw lim pay ?" ia
menegas.
"Hm ! . . . . Ilmu
silat mereka kurang. Yang lain cukup tinggi ...
benar! Ilmu pedang
sikakek muka merah memang Tat mo Kiam hoat. Tak salah! Si muka penyakitan paling
belakang menyerang dengan ilmu Wie to Hok mo kiam (ilmu pedang telukan iblis), Tadi
aku tidak bisa melihatinya karena dalam ilmu pedang itu terdapat banyak
sekali perubahan. Tapi.
. mengapa mereka mengaku baru datang dari See-ek ?"
"Ada
sebabnya," jawab Ho Ciok Too, "Pada musim semi tahun lalu, aku main
khim di puncak Keng sin hong gunung
Koen loen san. Tiba-tiba aku mendengar suara pertempuran di luar gubuk. Aku segera
keluar dan melihat dua orang yang masing-masing terluka berat sedang berkelahi mati-matian,
Aku berteriak supaya berhenti, tapi dia tak meladeni. Karena merasa tak tega, aku segera
memisahkan mereka. Begitu dipisahkan, salah seorang terbalik matanya dan menarik napasnya
yang penghabisan. Yang satu lagi belum mati dan dulu aka membawanya kedalam
gubukku dan coba menolong dengan memberikan pel Siauw yang tan kepadanya. Tapi sebelah
lukanya terlalu berat, obatku tidak berhasil. Sebelum meninggal, ia memperkenalkan diri
sebagai In Kek See.."
"Ah!" seru
sinona, "Orang yang satunya lagi mestiaya Siauw Siang Coe. Bukankah orang yang binasa lebih pula
bertubuh jangkung kurus dan bermuka seperti mayat ?"
"Benar,"
jawabnya. "Bagaimana kau tahu?". Kata sinona sambil tertawa.
"Aka tak nyana pada akhirnya kedua mustika
hidup itu mampus dengan saling bunuh."
Ho Ciok Too menghela
napas dan berkata pula: " Sebelum mati, In Kek See mengatakan bahwa selama hidup, ia
telah berbuat banyak sekali kedosaan dan sekarang ia merasa sangat menyesal, tapi sudah
terlambat. Ia memberitahukan, bersama Siauw Siang Coe, ia telah mencuri sejilit kitab
suci dari Siauw lim sie. Sesudah memiliki kitab itu, mereka saling curiga.
Masing2 merasa kuatir,
bahwa jika yang satu memahami kitab itu terlebih dulu dan berhasil mempertinggi ilmu
silatnya, dia segera menurunkan tangan jahat untuk membinasakan yang lain guna memiliki
sendiri kitab suci itu. Demikianlah, masing2 saling mengawasi dua sungkan berpisahan.
Mereka makan disatu meja dan tidur satu ranjang Sedikitpun hati mereka tak pernah tenang.
Diwaktu makan, masing-masing kuatir racun. Diwaktu tidur, masingmasing takut kalau-kalau yang
satu turunkan tangan jahat selagi pulas. Di samping itu,
mereka juga kuatirkan
kejaran pendeta2 Siauw lim sie. Mereka kabur sampai di See-ek.
Setibanya di Keng sin
hong, keduanya sudah lelah sekali. Mereka mengerti bahwa dengan hidup begitu terus
menerus, belum sepuluh hari, mereka tentu sudah binasa. Mereka jadi nekat dan terus
bertempur untuk mengakhiri keadaan yang gila itu. In Kek See mengatakan, bahwva ilmu silat Siauw
Siang Coe sebenarnya banyak lebih tinggi dari padanya. Semula ia tak mengerti, mengapa
dalam perkelahian, Siauw Siang Coe hanya lebih unggul sedikit.
Belakagan ia baru igat,
bahwa kawan yang berubah jadi musuh itu telah mendapat luka di gunung Hwa-san. Jika
mereka tidak saling curiga, mereka tentu tak akan mendaki Koen loensan."
Mendengar penuturan
itu, Kwee Siang kelihatan berduka. Ia menghela napas berkata: "Hai! Karena sejilid kitab,
mereka bersama-sama mengorbankan jiwa. Berapa harganya kitab itu ?"
Ho Ciok Too mengangguk
dan kemudian melanjutkan perkataannya : "In Kek See bicara dengan napas
tersengal-sengal dan suara ter-putus2. Akhirnya ia meminta supaya aku suka pergi kekuik
Siauw-lim-sie dan menemui seorang pendeta yang bernama Kak wan. Ia memberitahukan, bahwa
kitab suci itu berada didalam minyak. Aku heran mengapa didalam minyak? Selagi mau
menayakan terlebih terang, ia sudah tak tahan lagi dan pingsan. Ia pingsan untuk tidak
tersadar pula. Sesudah ia mati, aku teras memikiri arti perkataannya. Di
dalam minyak ? Apa ia
maksud kan kitab itu di bungkus didalam kain minyak. Dengan teliti aku memeriksa jenazah
mereka, tapi aku tak bisa mendapatkan kitab itu. Sesudah menerima permintaan orang, aku
tidak bisa menyampingkan dengan begitu saja. Mengingat bahwa aku memang belum pernah
menginjak wilayah Tiong-goan, maka dengan menggunakan kesempatan itu, aku
segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil Siauw lim sie sebagian guna memenuhi pesanan
orang dan sebagian lagi guna pesiar"
"Tapi mengapa kau
sudah mengirim surat tantangan ?" tanya Kwee Siang.
Ho Ciok Too bersenyum
waktu menjawab: "Asal mulanya adalah gara2 ketiga orang itu.
Mereka bertiga adalah
murid2 Siauw lim sie yang tidak mencukur rambut. Menurut katanya orang2 Rimba persilatan
di daerah Barat (See ek), mereka adalah orang orang dari tingkatan Thian dan tingkatannya
itu sama tingginya dengan Hong thio Siauw lim sie Thian heng Siansoe. Menurut dugaan
orang. Soecouw mereka dulu telah kebentrokan dengan saudara2 seperguruannya dalam
kuil Siauwlim sie dan sebagai akibat bentrokan itu, ia pergi ke daerah Barat dan mendirikan
sebuah cabang Siauw lim pay. Hal ini bukan hal yang mengherankan.
Ilmu silat Siauw lim
sie telah di bawah oleh Tatmo Couw soe dari Thian tiok (India) ke Tiong goan (Tiongkok asli).
Sekarang dari Tiong goan di angkat pula ke daerah Barat. Tak mengherankan, bukan ?
"Mendengar
julukanku sebagai Koen loen Sam seng, mereka bertiga jadi penasaran. Mereka sesumbar ingin menjajal
kepandaianku. Mereka tidak menghiraukan gelaran Khim seng dan Kie sang. Tapi gelaran
Kiam seng (Nabi pedang) ? Ha ! Tak boleh dibiarkan saja?"
"Secara kebetulan
muncul urusan In Kek See. Maka itu, aku segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil
Siauwlimsie, sekalian menjajal2 kepandaian mereka. Sebelum tiba di Tiong goan, aku sengaja
menyingkirkan diri dari mereka. Tapi tak dinyana, mereka bisa datang begitu
cepat."
"Oh, begitu?"
kata Kwee Siang. Semua dugaan ternyata meleset semua. Sekarang ketiga orang itu sudah tiba
dikuil. Entah apa yang dikatakan mereka !"
"Dengan pendeta2
Siauw lim-sie, aku tak punya ganjelan apapun juga," kata Ho Ciok Too.
"Itu sebabnya,
untuk menunggu kedatangan tiga orang itu, aku menjanjikan sepuluh hari.
Sekarang penjajalan
kepandaian sudah dilakukan, segala apa sudah jadi beres. Mari kita naik keatas. Sesudah aku
menyampaikan pesanan In Kek See, kita boleh lantas turun lagi."
Si-nona mengerutkan
alis. "Pendeta2 Siauw lim-sie mempunyai semacam peraturan yang sangat keras, yaitu, wanita
dilarang masuk kedalam kuil," kata Kwee Siang.
"Fui ! Aturan apa
itu?" kata Ho Ciok Too. "Bagaimana kalau kita menerobos masuk ?"
Sebenarnya Kwee Siang
adalah seorang gadis pemberani yang suka cari urusan. Tapi karena merasa malu hati
terhadap Boe sek Sian soe, ia segera menggelengkan kepala seraya berkata:
"Jangan! Aku
menunggu di luar kuil, kau masuk sendiri saja, supaya jangan banyak
urusan."
"Baiklah,"
kata Ho Ciok Too. "Lagu yang tadi belum selesai. Begitu kembali, aku akan memetik sekali
lagi"
Per-lahan2 mereka
mendaki gunung, tapi sesudah tiba didepan pintu, mereka belum melihat bayangan satu
manusiapun.
"Sudahlah, aku
juga tak perlu masuk," katanya. "Aku akan panggil saja pendeta
itu." Sehabis berkata begitu, ia
berteriak. "Ho Ciok Too datang berkunjung ke Siauw limsie, ingin menyampaikan omongan
kepada Kakwan Taysoe."
Hampir berbareng dengan
teriakannya, belasan lonceng besar dalam kuil berbunyi dengan serentak, sehingga
seluruh Siauw sit san se olah2 tergetar.
Mendadak pintu kuil
terbuka dan dari kiri kanan keluar dua basis pendeta yang mengenakan jubah warna abu2. Kedua
barisan itu masing terdiri dari lima puluh empat murid Lohan tong dan jumlah mereka
adalah sesuai dengan seratus delapan Lo han. sesudah itu keluar delapan belas pendeta yang
badannya dikerebungi jubah pertapan warna kuning Mereka adalah murid2 Tat mo tong yang
berusaha lebih tinggi daripada murid2 Lo han tong. Sesaat kemudian dari dalam
kuil berjalan keluar tujuh pendeta yang sudah berusia lanjut. Mereka adalah Cit loo (Tujuh
Tetua) dari Simsian tong yang berkedudukan sangat tinggi. Beberapa diantaranya memiliki
ilmu silat luar biasa, tapi yang lain tidak mengenal ilmu silat dan ia duduk dalam Sim
siantong karena pengetahuannya yang sangat mendalam mengenai agama Buddha. Mereka malahan
sangat dihormati oleh Hong thio Siauw limsie sendiri.
Paling akhir keluarlah
Hong thio Thian beng Sansea, yang diampit olah kepala Tat ma tong Boe Shian Siansoe dan
kepala Lo han tong Boesek Siansoe. Phoa Thian Keng, Phoei Thian Loa dan Wie Thian Bong
mengikuti di sebelah belakang, bersama kurang lebih delapan puluh murid2 Siauw lim sie,
yang tidak jadi pendeta.
Itulah penyambutan yang
hebat luar biasa dan dapat dikatakan belum pernah, atau sedikitnya langka sekali,
diberikan kepada seorang tamu. Menurut kebiasaan pembesar negeri, biarpun pangkatnya sangat
tinggi, atau tokoh Rimba persilatan Paling banyak disambut oleh Hongthio, Boesek dan
Boesiang sebegitu jauh di ingat orang Cii Loo dari Sim sian tong belum pernah keluar
menyambut tamu.
Mengapa sekarang
diadakan upacara penyambutan yang begitu besar? Sebab yang terutama yalah karena Ho Ciok
Too tanpa diketahui oleh siapapun juga, sudah menaruh surat tantangan dalam tangan patung
Hang liong Lohan. Kepandaian yang luar biasa itu mengejutkan hatinya para pemimpin Siauw lim
sie. Selain itu, Phoa thian Keng dan kedua Soeteenya yang baru tiba dari See ek, juga
telah menceritakan lihaynya Koen loan Sam seng, sehingga para pemimpin Siauw lim sie
lebih berwaspada lagi.
Karena berpisahan
sangat jauh, Siauwlimpay cabang See ek sangat jarang berhubungan dengan cabang Tiong
cioe yaitu Siauw lim sie dan siauw sit san. Akan tetapi, para pendata tahu, bahwa Soe siok
couw mereka mereka yang telah pergi ke Barat memiliki kepandaian yang sangat tinggi,
sehingga murid marid atau cucu2 muridnya tentu juga bukan sembarangan ahli silat. Maka itu,
sesudah mendengar keterangan Phoa Thian Keng bertiga, para pemimpin Siauw lim sie lantas
saja mangambil tindakan2 yang seperlunya. Disamping tindakan2 didalam kuil, pucuk
pimpinan juga telah mengeluarkan perintah, supaya murid Siauw lim sie, tak perduli pendeta
atau orang biasa yang bertempat tinggal dalam lingkungan lima ratus li harus segera datang
kekuii guna menunggu perintah2 selanjutnya.
Semua para pendeta itu
menganggap bahwa Koen loen Sam seng terdiri dari tiga orang Sesudah mendapat
keterangan Phoei Thian Keng, barulah mereka tahu bahwa Koen loan Sam seng hanya seorang dan
bahwa ia memperoleh gelaran itu sebab mahir dalam tiga macamilmu, yaitu ilmu main
khim, ilmu pedang dan ilmu main catur. Mengenai ilmu main khim dan main catur, para
pendeta tidak menghiraukannya. Yang mereka harus ber-siap2 yalah untuk menghadapi ilmu pedang
dari orang itu. Maka itulah, semenjak mendapat tantangan, siang malam ahli-ahli pedang
Siauw lim sie berlatih keras.
Sementara itu, karena
merasa sengketa dengan Koen loan Sam seng adalah gara-gara mereka, Phoa Thian Keng dan
kedua Soetee nya ingin sekali bisa membereskan pertikaian tersebut dengan tangan mereka
sendiri, Untuk memapaki dengan menunggang kuda, setiap hari ia meronda disekitar
gunung. Mereka kepingin sekali menjajal kepandaian lawan diluar kuil dan sesudah itu barulah
mereka ingin balik kekuil, supaya Koen loen Sam seng bisa mengukur tenaga dengan para
pendeta.
Dengan demikian mereka
pikir biarlah dilihat, apa cabang Tiong cioe atau cabang See ek dari Siauw lim pay yang lebih
unggul.
Tapi diluar dugaan,
dalam pertandingan di pendopo batu, dengan mudah mereka telah dirobohkan oleh Ho Ciok
Tao.
Begitu mendapat warta
tentang kekalahan Phoa Thian Keng dan 2 Soeteenya Thian beng Sian soe insaf, bahwa hari
itu adalah hari memutus utuh runtuhnya nama Siauw lim sie.
Biar bagaimanapun juga,
gelar "sumber pelajaran Lima silat dikolong langit" yang sudah dipertahankan Siauw lim
sie selama ribuan tahun, tak boleh hancur dalam tangannya. Tapi dalam pada itu, ia agak
keder, karena merasa bahwa kepandaiannya, kepandaian Boe sek dan Boe siang, Tidak lebih
unggul banyak diatas kepandaian Phoa Thian Keng bertiga, itulah sebabnya mengapa dengan
terpaksa ia mengundang Cit long Sim sian tong untuk turut keluar menyambut, guna mem
beri bantuan jika perlu. Tapi sampai berapa tinggi kepandaian tujuh tetua itu, ia dan Boe
sek serta Boa siang juga tak tahu pasti. Apa jika ada bahaya Cit loo bisa menolong muka siauw lim
sie masih merupakan sebuah teka teki.
Begitu berhadapan
dengan Ho Ciok Too dan Kwee Siang, Thian beng segera merangkap kedua tangannya seraya
berkata. "Apakan Kie soe (tuan) yang mahir dalam ilmu Khim Knim Kie? Loo ceng (aku
pendeta tua) tidak bisa menyambut dari jauh dan untuk itu, aku harap Kie soe, suka
memaafkan,"
Ho Ciok Too segera membalas
hormat dengar membungkuk. "Boanseng (orang yang tingkatannya rendah)
merasa tidak enak hati sudah mengacau dikuil yang angker ini dan Boan seng sungguh tidak
sanggup menerima penyambutan yang begini besar"
Mendengar jawaban itu,
Thian beng berkata dalam hatinya. Kata2nya cukup menyenangkan.
Dilinat dari romannya,
ia baru berusia kira2 tiga puluh tahun. Apa benar ia mempunyai kepandaian
tinggi?" Memikir begitu, ia lantas saja berkata lagi: "Ho Kie toe
jangan terlalu sungkan. Marilah kita
masuk untuk minum air teh dingin dan Lie kie soe (nona) ini ..." ia tidak meneruskan
perkataannya dan pada paras mukanya terlihat perasaan sangsi.
Melihat pendeta itu mau
menolak Kwee Siang, Ho Ciok Loo dongak dan tertawa tawa 2.
"Loo hong
thio," Katanya, "Boan-seng datang kemari karena menerima permintaan
seseorang untuk menyampaikan
sepatah kata. Sesudah menyampaikan ita, Boan seng akan segera berlalu. Akan tetapi,
peraturan dalam Kuil Loa bong thio yang memandang tinggi kepada pria data memandang rendah
kepada wanita, adalah peraturan yang tidak dimengerti olehku. Harus diketahui, bahwa ilmu
Sang-Buddha tiada batasnya dan semua makhluk Tuhan adalah sama rata. Maka itu, menurut
Boan seng, peraturan itu agak bertentangan dengan pelajaran Sang Buddha."
Thian beng Sian soe
adalah seorang pendeta yang berilamu tinggi dan berpandangan luas. Ia segera dapat
membedakan, apa yang benar dan apa yang salah.
Mendengar perkataan Ho
Ciok Too, ia segera bersenyum dan berkata. "Trima kasih atas petunjuk Kie soe.
Peraturan itu memang peraturan yang agak sempit. Kalau begitu, akupun mengundang nona untuk
turut minum teh."
Kwee Sang melirik
kawannya sambil bersenyum. sedang didalam hati ia memuji ketajaman lidah pemuda itu.
Thian beng segera
minggir kesamping dan mengangkat tangannya sebagai undangan supaya kedua tetamu itu masuk.
Tapi sebelum Ho Ciok Too bertindak dari samping kiri Thian beng tiba2 maju seorang
pendeta tua yang bertubuh krus ."Dengan bebeapa perkataan saja, Kie soe sudah meniadakan
peraturan Siauw lim sie yang sudah berjalaa ribuan tahun, katanya."
"Peraturan itu
bukan tak boleh dirubah. Tapi kita harus menyelidiki. apa orang yang menyebabkan berubah
peraturan2 itu, benar2 seorang yang berkepandaian tinggi. Maka itu aku mengharap Ho Kie
soe suka memberi sedetik pelajaran, supaya para pendeta bisa membuka mata dan tidak
merasa penasaranlagi karena mengetahui, bahwa orang yang merobah peraturan kami,
ia orang yang sungguh sungguh berkepandaian tinggi," Orang bicara
itu adalah Boe siang
Sian soe, kepala Tatmo tong. Ia bicara dengan suara nyaring luar biasa, sehingga telinga yang
mendengarnya merasa sakit sebagai akibat dari tekanan tenagaLweekang yang sangat
dahsyat.
Mendengar perkataan Boe
siang, paras muka Phoa Thian Keng dan kedua Soeteenya lantas saja berubah. Mereka
merasa diejek, bahwa mereka telah dijatuhkan oleh seorang yang belum tentu memiliki
kepandaian tinggi.
Sementara itu, waktu
melirik Bu sek Sia soe, Kwee Siang melihat sorot bingung dan jengkel pada muka pendeta itu.
"Toa hweeshio adalah seorang baik dan juga sahabat Toakoko,"
katanya didalam hati.
Jika Hiok Too dan pendeta Siau lim sie sampai bertempur, tak perduli siapa yang kalah dan
siapa menang hatiku merasa tak enak." Memikir begitu, lantas saja ia berkata dengan suara
nyaring.
"Ho Toako, aku
sebenarnya tidak perlu masuk kekuil. Beritahukanlah sekarang omongan yang ingin disampaikan
olehmu dan sesudah itu, kita boleh segera berlalu"
Sehabis berkata begitu,
sambil menunjuk Boe sek, ia melan jutkan perkataannya. "ltulah Boe sek Sian soe, sahabat
baikku. Kedua belah pihak sebaiknya jangan merusak keakuran."
Ho Ciok Too kelihatan
terkejut. "Oh, begitu ?" katanya sambil berpaling kepada Thian beng dan berkata pula :
"Loo hong thio, yang mana Kak wan Siansoe ? Aku menerima permintaan seseorang untuk
menyampaikan perkataan kapadanya."
"Kak wan Sian-soe
?ı menegas Thian beng dengan suara perlahan.
Dalam kuil Siauw
lim-sie, Kak wan berkedudukan rendah dan selama beberapa puluh tahun, ia menyembuyikan diri
dalam perpustakaan Cong keng-kok. Ia tidak banyak dikenal dari sebegitu jauh, belum
pernah orang menambahkan kata2 "Siansoe" dibelakang nama gelarnya.
Maka itu, untuk
sementara, Thian beng tak ingat siapa adanya. "Kak wan Siansoe".
Sesudah bengong beberapa saat,
barulah ia berkata: "A ! Ho Kie soe tentu maksudkan pendeta yang jaga kitab Lang keh
keng.
Apakah Kie soe mencari
dia dalam hubungan soal kitab itu ?"
"Entahlah,"
jawabnya sambil menggelengkan kepala.
Thian bang segera
berpaling kepada seorang murid dan berkata: "Coba panggil Kak wan."
Murid itu lantas saja
berlalu untuk mejalankan tugasnya.
Boe siang Siansoe yang
rupanya sangat bernapsu, sudah tak bisa menahan sabar lagi. Begitu mendapat kesempatan, ia
segera berkata pula: "Ho Kie sie, kau dijuluki sebagai Khim kiamkie Sam-seng dan kata Seng
itu tentu tak dapat dimiliki oleh sembarang orang. Tak usah disangsikan lagi, Kie
soe mempunyai kepandaian yang baik, tinggi dalam tiga rupa ilmu itu, 10 hari yang lalu, Kie
soe telah menulis surat dan berjanji untuk memperlihatkan kepandaianmu. Tapi
mengapa sesudah datang kemari, kau jadi begitu pelit dan sungkan memberi pelajaran
kepada kami ?"
Ho Ciok Too
menggelengkan kepala. "Nona ini sudah mengatakan, bahwa kedua belah pihak tidak boleh merusak
keakuran," katanya.
Boe siang jadi gusar
sekali. Ia terutama gusar karena, Ho Ciok Too sudah menantang lebih dulu dan tantangan itu
dianggap sebagai kekurang-ajaran terhadap Siauw-lim sie. Disamping itu, ia juga gusar
sebab Phoa Thian Keng dan kedua Soetee telah dirobohkan hingga diluaran orang bisa menyiarkan
cerita, bahwa murid Siauw-lim pay dijatuhkan oleh Kiam seng. Tapi iapun yakin, bahwa
sebagian besar murid2 Siauw-lim sie bukan tandingan Ho Ciok Too dan oleh karenanya, ia
segera mengambil keputusan untuk turun tangan sendiri. Ia maju dua tindak seraya berkata:
"Menjajal ilmu tak selamanya merusak keakuran. Mengapa Ho Kie soe menolak begitu keras
?" Ia berpaling kepada muridnya dan berkata pula. "Ambil pedang
!"
Didalam kuil sudah
diSediakan macam2 senjata, tapi pada waktu keluar menyambut tamu para pendeta itu tentu
saja merasa tak pantas untuk membawa senjata.
Dengan cepat murid itu
sudah keluar kembali dengan membawa tujuh delapan batang pedang yang lalu diangsurkan
kepada Ho Ciok Too. "Apa Kie soe membaWa pedang sendiri atau ingin meminjam senjata
kami?" tanyanya.
Sebaiknya dari
menjemput senjata yang diangsurKan Ho Ciok Too membungkuk dan mengambil sebutir batu
kecil. Tiba2 dengan mengunakan batu itu, ia membuat sembilan belas garis melintang dan
sembilan belas garis membujur diatas batu hijau yang menutupi jalanan didepan kuil, Setiap
garis itu sangat lurus, seperti juga di babat dengan menggunakan penggaris. Tapi apa
yang mengejutkan yalah setiap goresan masuk dibatu kira2 satu dim dalamnya. Batu hijau
itu adalah batu gunung Siauw sie san yang keras bagaikan besi. Ratusan
tahun orang mundar
mandir di atasnya, tanpa rusak sedikit juga.
Sesudah membuat garis2
itu yang merupakan papan catur, sambil tertawa Ho Ciok Too berkata: "Mengadu
pedang agak terlalu ganas, sedang suara khim pun sukar diadu. Maka itu, jika Toahweeshio merasa
gembira, mari kita main catur."
Apa yang diperlihatkan
Ho Ciok Too sangat mengejutkan hatinya Thian beng, Boesek, Boe siang dan Cit loo dari
Sim sian tong. Thian beng Siansoe yakin, bahwa Lweekang yang setinggi itu tidak
dipunyai oleh siapa pun juga dalam kuil Siauw limsie. Ia jadi bingung bukan main, tapi baru saja ia
memikir untuk mengaku kalah, tiba-tiba terdengar suara berkerincin dan rantai besi dan di
lain saat, Kak wan muncul sambil memikul dua tahang besi, sedang dibelakangnya mengikuti
seorang pemuda yang bertubuh jangkung. Begitu tiba dihadapan Thian beng, ia segera
memberi hormat seraya menanya. "Apakah Loo hong thio memanggil aku ?"
"Ho Kie soe ingin
bertemu dan bicara denganmu." jawabnya.
Ia memutar badan dan
merasa heran, sebab tak tahu siapa adanya orang itu. "Siauw ceng adalah Kak wan,"
ia memperkenalkan diri. "Omongan apa yang hendak disampaikan oleh Kie soe ?"
Sesudah membuat papan
catur, kegembira Ho Ciok Too terbangun. "Omongan itu aku akan beritahukan
sebentar." katanya. "Toahweesio manakah yang ingin melayani aku main
catur ?"
Ho Ciok Too adalah
seorang yang keranjingan main khim, pedang dan tiokie. Kalau gilanya datang, ia melupakan
apapun juga.
"Kepandaian Kie
soe dalam membuat papan catur dengan menggores batu, belum pernah di saksikan oleh
loolap," kata Thianbeng. "Samua pendeta dalam kuil kami tak dapat menandinginya."
Mendengar perkataan
Thian beng dan melihat papan catur itu, barulah Kak wan tahu, bahwa Ho Ciok Too datang di
Siauw Iim sie untuk memamerkan kepandaiannya.
Tanpa mengeluarkan
sepatah kata, ia menaruh kedua tahang besi di pundaknya sambil menyedot napas untuk
mangumpulkan semua tenaga dalamnya di kedua lutut.
Sesudah itu, setindak
demi setindak, ia berjalan digarisan pinggir dari papan catur itu.
Semua orang terkesiap
dan mengawasi tindakan Kak wan dengan mata membalalak. Mengapa ?
Ternyata, di tempat
yang dilewati rantai besi yang melibat di kakinya, terdapat goresangoresan yang lebarnya kira-kira
lima dim dan goresan-goresan itu telah merusak garis yang dibuat Ho Ciok too!
Sesaat kemudian, tanpa merasa semua pendeta bersorak sorai.
Thian beng, Boe Sek,
Boe siang dan lain2 pemimpin jadi kaget campur girang. Mereka tak pernah mimpi, bahwa
pendeta tua yang tolol2an itu, memiliki lweekang tinggi. Mereka sudah berkumpul didalam satu
kuil puluhan tahun lamanya, tapi tak seorangpun yang tahu kelihayan Kak Wan
Sebenarnya, biarpun
seseorang mempunyai tenaga dalam yang hebat, ia tak mungkin membuat goresan seperti
yang dibuat Kakwan diatas batu hijau yang amat keras itu. Hanyalah karena pendeta itu
memikul dua tahang besi berisi air yang beratnya kurang lebih enam ratus kati sehingga tenaga
yang sangat besar itu dapat disalurkan dari pundak ke rantai besi, maka selagi terseret, rantai
besi itu seolah olah semacam cangkul yang mencangkul garis2 papan catur. Tapi meskipun
demikian, walaupun Kak wan meminjam tenaga apa yang dipertunjuknya sudah
jarang sekali terlihat dalam Rimba Persilatan.
"Toahweeshio!"
teriak Ho Ciok Too. "Lwee kangmu hebat sekali, aku tak bisa
menandingi"
Kak wan menghentikan
tindakannya dan mengawasi tamu sambil bersenyum.
"Toahweeshio,"
kata pula He Ciok Too. "Kita tidak bisa main catur lagi dan aku mengaku kalah. Sekarang aku
ingin minta petunjukmu dalam ilmu pedang."
Hampir berbareng dengan
perkataannya, ia menghunus sebatang pedang panjang dari bawah Cit hian khim. Ia
segera bergerak untuk menyerang dan gerakannya yang pertama sangat luar biasa, yaitu ujung
pedang menuking dadanya sendiri, sedang gagang pedang menuding lawan.
Semua orang ter-heran2
sebab didalam dunia belum pernah ada Khiam boat yang begitu aneh.
"Loo ceng hanya
bisa membaca kitab, bersemedhi, menjemur buku dan menyapu lantai," kata Kak wan. "Mengenai
ilmu silat sedikitpun aku tidak mengerti,"
Ho Ciok Too tentu saja
mau percaya. Seraya tertawa dingin ia lompat menerjang. Tiba tiba ujung pedang itu
berbalik dan meluncur kedada si pendeta. Ternyata, dalam gerakannya yang pertama, yaitu? waktu
ujung pedang manuding dadanya sehdiri, ia sedang mengumpulkan tenaga dalam dan
kemudian, secara mendadak, membalikkan senjatanya dengan Lweekang itu.
Jika Ho Ciok Too
menghadapi ahli silat biasa, serangan itu pasti akan berhasil. Akan tetapi Lweekang Kak wan sudah
mencapai tarap dimana setiap gerakannya selalu terjadi secara wajar, menurut jalan
pikirannya, Maka itu, biarpun pedang menyambar bagaikan kilat, jalan pikiran si pendeta
lebih cepat dari sambaran pedang. Pada detik yang tepat, sebuah tahang melompat naik dan
"tang" pedang menikam tahang dan lantas saja melengkung seperti bulan sisir, Buru2 Ho Ciok
Too menarik pulang senjatanya, sedang tangan kirinya mengebas muka lawan. Sekali lagi
tahang yang lain naik dan tangannya terpental kesamping.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar