Senin, 11 Februari 2013

To Liong To 2




Jilid 2____________
Sesudah datang lebih dekat, ia mendapat kenyataan, bahwa suara khim itu diiringi dengan suara lain, seperti semacam nyanyian.
Semenjak kecil, di bawah pimpinan ibunya Kwee Siang telah mempelajari berbagai ilmu sehingga, walaupun tidak terlalu mendalam, ia mengenali baik ilmu menabuh khim, ilmu main tiokie ( catur Tioaghoa ) , Unit surat dan melukis yang umumnya di miliki oleh orang2 terpelajar pada jaman itu, di tambah dengan otaknya yang sangat cerdas, ia tak usah kalah dari orang2 biasa dan malahan ia masih sanggup menimpali kakeknya dalam ilmu musik dan melayani Coe Coe Lioe dalam ilmu surat. Sekarang mendengar suara tabuh tabuhan yang
agak aneh itu, ia segera mendekati dengan indap-indap.
Dalam jarak belasan tombak, barulah terang baginya, bahwa suara khim itu diiringi oleh suara ratusan burung. Dengan rasa heran, ia lalu mengintip dari belakang satu pohon besar dan terlihat seorang lelaki yang mengenakan baju putih sedang duduk di bawah tiga pohon siong sambil menabuh khim. Di dahan2 ketiga pohon itu terdapat ratusan ekor burung besar dan kecil yang menyanyi menurut irama tabuh2an itu. Suara khim dan bunyi burung adalah sedemikian akur sehingga didengar dari jauh, sukar sekali orang dapat membedakan, yang mana suara khim, yang mana suara burung.
Kwee Siang terpesona dan dengan hati ber debar2, ia mendengari musik luar biasa itu, yang semakin lama jadi semakin keras. Tiba2 di sebuah kejauhan terdengar ramai suara gerakan sayap burung yang mendatangi dengan cepat sekali dan di lain saat ratusan burung gereja tiba di situ, sebagaian segera hinggap di cabang2, sebagian pula terbang ber-putar2. Tiba-tiba Kwee Siang ingat suatu hal. "Ah" katanya di dalam hati. "Apakah lagu ini bukan lagu Pek niauw hong ( Ratusan burung menghadap kepada burung Hong) yang sudah tak dikenal lagi dalam dunia ?
Menurut katanya kakek, dalam lagu tersebut suara khim menyerupai bunyi burung Hong yang bisa menyebabkan kedatangan ratusan burung. Tapi, apa benar dalam dunia terdapat ilmu memetik khim yang begitu tinggi?"
Berapa lama kemudian, suara itu berubahlah perlahan, kawanan burung mulai meninggalkan dahan2 dan lalu terbang berputaran diatas pohon. Mendadak terdengar suara "ting" dan orang ita berhenti memetik alat musiknya. Setelah terbang memutar beberapa kali lagi, ratusan burung itupun turut bubar.
Orang itu dongak dan sesudah menghela napas, dari mulutnya terdengar nyanyian seperti berikut.
Mengapa siang hari begitu cepat saatnya
Ratusan tahun lewat dalam sekejap mata
Langit yang luas tiada batasnya.
Takdir mendurita tak bisa dibantah.
Lihatlah rambut si Niekauw suci.
Sebagian sudah seperti salju yang putih.
Thian kong bertemu dengan Gioklie
Tertawa ter-bahak2 laksana kali.
Aku ingin mengeluarkan kereta.
Dan mendorongnya pulang kekampung halaman.
Pak tauw menuang air kata2.
Dan mengajak semua orang minum secawan.
Kekayaan dan, kemewahan tak jadi idam-idaman.
Yang diharapkan ialah awet muda sepanjang jaman.
Suara orang itu sedih sekali, seperti juga ia merasakan, bahwa penghidupan manusia dalam dunia ini diliputi dengan kesengsaraan yang tidak habis2nya. Kwee Siang jadi turut merasa terharu, tanpa merasa dua butir air mata mengalir turun kedua pipinya. Ia mendongak seraya berkata.
"Memutar pedang!
Mengangkat alis!
Air bening, batu putih, mengapa bersimpang siur?
Manusia hidup tanpa sahabat sejati.
Hidup ribuan tahun, tiada berarti."
Tiba2 dari bawah khim, orang itu menghunus sebatang pedang bersinar hijau. "Aha Kalau begitu, dia seorang Boe boe coan cay (pandai ilmu surat dan ilmu perang)" pikir si nona.
"Coba kulihat ilmu silatnya.
Perlahan2 orang itu berjalan kesebidang tanah lapang. Tapi sebaliknya dia bersiasat, ia menggores tanah dengan pedangnya, segaris demi segaris.
"E eh? Kiam hoat apa itu?" tanya sinona dalam hatinya. "Benar2 dia manusia aneh."
Orang itu terus memcuat garisan2 melintang, sesudah menggores sembilan belas kali ia berhenti dan lain mulai membuat garisan2 membujur, yang jaraknya bersamaan satu sama lain, yaitu kurang lebih satu kaki. Seperti juga garisan melintang, ia membuat sembilanbelas garisan membujur.
Dengan menuruti caranya orang itu, Kwee Siang meng-garis2 tanah dengan telunjuknya.
"Wah! Kurang ajar!" katanya didalam hati, "Papan Wie-kie !" ( Wie kie semacam catur yang menggunakan biji putih dan biji hitam).
Sesudah selesai, dengan ujung pedang ia membuat bundaran disudut kiri atas dan sudut kanan papan catur itu. Kemudian ia membuat tanda silang, juga disudut kiri atas dan sudut kanan bawah.
Kwee Siang yang mengintip dari sebelah kejauhan, mengerti, bahwa orang itu sedang mengatur biji Wie kie, tanda bundar mewakili biji putih, tanda silang merupakan biji hitam.
Orang itu lalu mulai jalankan biji2nya. Sesudah jalan enambelas biji, ia kelihatan bersangsi.
Apakah biji putih harus bergulat terus atau mengambil sikap membela diri disepanjang pinggiran papan? la menancap pedangnya ditanah dan mengawasi papan dengan berpikir keras.
"Dilihat begini, dia seorang yang hidup kesepian," pikir sinona: "Ia memetik khim sendirian dan berkawan dengan burung." Ia tak punya kawan untuk main Wie kie dan harus main seorang diri"
Sesudah memikir beberapa saat, orang itu lalu mulai jalankan lagi biji2 Wie kie. Ternyata, biji putih sungkan mengalah dan sa tu pertempuran hebat lantas saja terjadi disudut kiri atas. Putih dan hitam lantas ber gerak2 dan saling makan dengan serunya sama2 coba merebut kedudukan Tionggoan (tengah2). Tapi, biar bagaimanapun, karena memang sudah kalah setingkat, biji putih terus berada dibawah angin. Sesudah jalan 93 kali, biji putih sudah terjepit, tapi masih ber gulat terus sedapat mungkin.
Si nona menonton pertempuran itu dengan hati berdebar. Tiba2 tanpa merasa ia berteriak.
"Mengapa tak mau meninggalkan Tiong goan dan mundur ke See ek (sebelah barat)"
Orang itu terkejut. Ia melihat bahwa bagian barat papan catur itu memang terdapat sebidang tanah yang kosong, dan jika biji putih menerjang kesitu, masih bisa dipertahankan keadaan seri."
"Bagus ! Bagus!" serunya dan lalu menjalankan biji putih kejurusan barat. Sesudah jalan beberapa kali, barulah ia ingat kepa da orang yang memberi tunjuk. Ia melemparkan pedangnya diatas tanah dan memutar tubuh. "Orang yang berilmu siapakah yang memberi pelajaran ?" teriaknya. "Aku sungguh merasa berterima kasih."
Sehabis berkata begitu ia mengoya kearah Kwee Siang.
Si nona mendapat kenyataan, bahwa orang itu, yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bermuka lonjong panjang dan bermata dalam, sedang badannya jangkung kurus. Sebagai seorang jago betina yang tak menghiraukan perbedaan antara lelaki dan perempuan, perlahan lahan Kwee Siang berjalan keluar dari tempat sembunyinya dan berkata seraya tertawa.
"Barusan aku merasa kagun waktu mendengar Sian-seng memetik khim dengan diiring nyanyian dari ratusan burung. Sesudah itu, dengan tak kurang rasa kagumku, kumelihat Sianseng membuat papan Wie kia dengan menggaris tanah dan main Wie xie dengan menggunakan pedang, Karena itu, aku jadi banyak mulut dan aku harap Sianseng sudi memaafkan."
Mendengar perkataan sinona, orang itu kelihatan girang sekali. "Dari kata2mu. nona ternyata mahir dalam ilmu memetik khim," katanya sambil bersenyum. "Jika sudi, aku memohon nona suka perdengarkan satu dua lagu."
"Memang benar aku pernah belajar menabuh dari ibuku, tapi jika dibandingkan dengan kepandaianmu, aku masih kalah jauh sekali," kata sinona. "Tapi jika menolak terlalu keras, aku merasa tak enak hati. Biarlah aku akan mendengarkan sebuah lagu. Tapi jangan tertawa."
"Bagaimana aku berani ?" kata orang itu sambil mengangsurkan khimnya dengan kedua tangan.
Khim itu sudah berusia tua dan enteng se kali. Sesudah mengakurkan tali2nya. Kwee Siang segera memetik lagu Kho phoa. Kepandaian sinona memang tidak seberapa tinggi dan lagu yang didengarnya tidak luar biasa. Tapi walaupun begitu, pada paras muka orang itu terlukis rasa kaget tercampur girang. Mengapa? Karena lagu Kho phoa mengenakan jitu pada apa yang dipikirnya, sehingga ia merasa amat girang dan berterima kasih ter hadap sinona.
Sesudah selesai Kwee Siang menabuh, untuk beberapa saat ia masih bengong dengan mata mengawasi ketempat jauh.
Syair lagu Ko phoa diambil dari Sie keng (Kitab Syair). Itulah sebuah nyanyian dari seorang Tay soa, seorang yang mengasingkan diri dari pergaulan umum.
Dalam syair itu dikatakan bahwa cita2 yang luhur dari seorang laki2 sejati yang berkelana sebatangkara didaerah pegunungan tidak akan berubah, biarpun pada mukanya terlihat sinar kedukaan dan didalam hatinya terdapat rasa kesepihan.
Perlahan2 si nona menaruh khim diatas tanah dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lalu barjalan pergi, akan kemudian melompat keatas punggung keledai dan meneruskan perjaanan yang tak tentu rimbanya.
Siang dan malam lewat dengan cepatnya dan dalam sekecap tibalah hari kesepuluh, yaitu hari yang dijanjikan Koen loen Sam seng untuk menyataroni Siauw lim sie. Sudah berapa hari Kwee Siang mengasah otak untuk mencari daya guna masuk kekuil Siauw lim sie, tapi ia belum juga berhasil." Sungguh malu aku menjadi anak ibuku", pikirnya dengan mendongkol.
"Ibuku begitu pintar, anaknya sedemikian tolol. Biarlah aku datang saja diluar kuil dan menunggu kesempatan. Mungkin sekali, selagi repot berkelahi, mereka tak sempat merintangi aku."
Pagi itu sudah menangsal perut dengan makanan kering, ia tujukan keledainya ke Siauw lim sie. Waktu berada dalam jarak kurang lebih sepuluh li dari kuil, tiba2 ia mendengar suara kaki kuda dan dari jalanan gunung di sebelah kaki kelihatan mandatangi tiga penunggang kuda.
Ketiga ekor kuda itu satu bulu dauk, satu kuning dan satu lagi putih bertubuh tinggi besar dan cepat sekali larinya. Dalam sekejap, mereka sudah melewati sinona dan menuju kearah kuil.
Ketiga penunggang kuda itu rata2 berusia kira2 limapuluh tahun. Mereka mengenakan baju pendek warna hijau dan diatas pelana masing2 tergantung kantong kain yang berisi alat senjata. " Ah! Mereka tentulah Koen loen Sam seng, " pikir Kwee Siang. "Jika terlambat, bisa2 aku ketinggalan nonton."
Ia segera menjepit perut keledai dengan lututnya dan menepuk leher binatang itu. Sambil berbunyi kerena, keledai itu lantas saja lari congklang. Biarpun kurus kecil, dia ternyata kuat sekali dan cepat larinya. Tak lama kemudian, dia sudah bisa menyusul dan membuntuti ketiga penunggang kuda itu.
Sekarang si nona bisa melihat lebih tegas. Penunggang kuda dauk bertubuh kate kecil, Penungggang kuda kuning berpotongan badan sedang dan penungggang kuda putih seorang jangkung kurus. Selanjutaya ia pun mendapat kenyataan, bahwa ketiga binatang itu berbulu sangat panjang sampai dikakinya sehingga berbeda sekali dengan kuda di wilayah Tiong goan.
Begitu tahu ada yang membututi, ketiga orang itu segera menggeprak tunggannya yg lantas saja kabur sekeras-kerasnya sehingga Kwee Siang lantas saja ketinggalan jauh sekali.
Sesudah me]alui dua-tiga-li, si nona belum juga melihat bayangan2 ketiga penunggang kuda itu. Biarpun kuat, tenaga keledai kecil kurus itu, sangat terbatas.
Napasnya sudah tersengal-sengal dan dia kelihatannya sudah lelah sekali. "Binatang tak punya guna!" bentak sinona. "Biasanya kau banyak lagak dan selalu mau lari cepat cepat.
Tapi waktu aku justeru memerlukan tenagamu kau lantas saja keok." Melihat tak gunanya coba menyusul lagi, ia lalu melompat turun dari punggung si kurus dan duduk mengaso di sebuah pendopo batu dipinggir jalan dan membiarkan keledai makan rumput.
Belum lama ia duduk mengaso sekonyong konyong terdengar pula suara kaki kuda dan ketiga penunggang kuda yg tadi sesudah male wati satu lembah, kelihatan mendatangi.
"Eh, mengapa mereka kembali begitu cepat?ı tanyanya di dalam hati.
Setibanya dipendopo satu itu, mereka segera melomat turun dari tunggangan mereka dan lalu duduk mengaso bersama-sama si nona. Orang yang bertubuh kate kecil, bermuka merah dan yang paling menyolok adalah hidungnya yang merah mengkilap seolah olah bara.
Ia mempunyai paras yang selalu tersungging senyuman. Si tua yang bertubuh jangkung kurus, pucat sekali mukanya, di antara warna putih pias terdapat sinar biru, seolah olah ia tak pernah kena sorotan matahari. Dengan demikian, warna kedua orang itu bertentangan satu sama lain: yang satu merah membara, yang lain pucat pias. Orang ketiga, yang badannya sedang sedang saja, tidak mempunyai ciri ciri luan biasa, kecuali
mukanya yang berwarna kuning seperti orang sakitan.
Sesudah menyapu ketiga orang itu dengan matanya yang bening tajam, Kwee Siang ber senyum seraya menanya: "Samwe Loosian seng (ketiga tuan) apakah kalian barusan mengunjungi Siauw lim sie? Mengapa, baru naik kalian sudah turun kembali?"
Si muka pucat melirik seperti orang kekhi tapi si muka merah tertawa dan balas menanya dengan suara manis. "Bagaimana nona tahu, kami pergi ke Siauw lim-sie ?"
"Kalau bukan ke kuil kemana lagi?" kata Kwee Siang.
Si muka merah mengangguk. "Benar," katanya. "Kemana nona sendiri mau pergi?"
"Kalian pergi ke Siauw Lim sie, akupun mau kesitu," jawabnya.
Tiba2 simuka pucat menyelak:" Siauw lim sie tak pernah mempermisikan orang perempuan masuk kedalam kuil dan juga tak pernah mempermisikan masuknya orang yang membawa senjata."
Ia bicara dengan suara sombong, tanpa melirik kepada si nona.
Kwee Siang jadi mendongkol. "Tapi mengapa kalian sendiri membawa senjata?" tanyanya.
"Bukankah dalam kantong dicelana, berisi senjata ?"
"Bagaimana kau bisa dibandingkan dengan kami," kata simuka pucat dengan suara tawar.
"Sombong sungguh! Siapa sebenarnya kalian?" tanya sinona dengan suara yang sama tawarnya. "Apa Koen loen Sam seng sudah bertempur dengan pendeta2 Siauw 1im sie?"
"Bagaimana kesudahannya ?"
Mendengar kata2 Koen loen Sam sang," ketiga Orang itu jadi kaget bukan main dan paras muka mereka lantas saja berubah.
"Nona kecil," kata simuka merah.'"Bagaimana kau tahu hal Koen loen Sam seng ?'
"Tentu saja kutahu," jawabnya.
Mendadak simuka pucat maju setindak dan membentak: "She apa kau ? Siapa gurumu Ada urusan apa kau datang kesini ?'
"Bukan urusanmu," sinona balas membentak.
Simuka pucat yang sangat berangasan dan yang selama puluhan tahun selalu dihormati orang, lantas saja meluap darahnya. la segera mengangkat tangan untuk menggaplok si jelita yang dianggap sangat kurang ajar. Tapi sebelum tangannya melayang, tiba2 ia ingat kedudukannya yang sangat tinggi. la insyaf bahwa adalah sangat tidak pantas, jika sebagai seorang tua, ia menghina seorang muda, lebih2 seorang wanita. Mengingat begitu, ia mengurungkan niatnya untuk menggampar muka, tapi tangannya menyambar terus kepinggang sinona dan tiba2 pedang Kwee Siang bersama sarungnya sudah pindah tangan! Kecepatan orang tua itu,
sungguh sukar dilukiskan.
Selama berkelana dalam dunia Kangouw kejadian getir itu belum pernah dialami oleh nona.
Kepandaian yang dimilikinya memang belum cukup untuk malang melintang dengan leluasa.
Akan tetapi, jago2 Rimba Persilatan sebagian besar tahu, bahwa ia adalah puteri Kwee Ceng, sedang pentolan2 dalam kalangan tersesat juga banyak sekali mengenalnya karena atas undangan Yo Ko, mereka pernah datang di Siang yang untuk memberi selamat panjang umur kepadanya. Maka itu semua orang berlaku sungkan terhadap si nona, jika tidak memandang muka Kwee Ceng, memandang Yo Ko. Di samping itu si nona mempunyai paras yang cantik dan adat yang polos terbuka. Ia tidak pernah bersikap sombong dan memandang siapapun juga sebagai sesama manusia. Bukan jarang ia mengajak buaya2 kecil minum arak ber-sama2.
Dengan demikian, biarpun dunia Kang ouw penuh dengan duri dan bahaya, sebegitu jauh ia berkelana dengan tak kurang suatu apa. Belumm pernah ada orang yang berani mengnina padanya.
Ia kemekmek waktu mendapat kenyataan bahwa pedangnya telah dirampas si tua. Ia angin coba merebut kembali, tapi ia tahu ke pandaiannya masih kalah terlalu jauh. Tapi kalau menyudahi saja, hatinya sangat penasaran.
Sementara itu, sambil megang pedang orang dalam tangan kirinya, si muka pucat berkata dengan suara dingin: "Aku akan menyimpan pedangmu ini untuk sementara waktu. Bahwa kau sudah berani berlaku begitu karang ajar terhadapku, adakah karena seorang tua dan gurumu kurang mengajarmu. Beritahukanlah, supaya mereka datang kepadaku untuk meminta pulang pedangmu ini. Dengan baik2 aku akan menasehati ayah ibu dan gurumu, supaya mereka lebih memperhatikan kau."
Paras muka si nona lantas saja berubah merah. Si tua seolah2 memandangnya sebagai bocah nakal yang kurang ajar. Dengan gusar, ia berkata dalam hatinya.
"Bagus! Kau mencaci aku seperti juga mencaci kakek, ayah dan ibuku. Apa benar kau punya kepandaian begitu tinggi sehingga kau begitu sombong?" Sesudah dapat menenteramkan hatinya yang bergoncang keras, sambil menahan amarah ia menanya, "siapa namamu ?"
Si muka pucat mengeluarkan suara di hidung. "Apa? Kau berani menanya siapa nama ku?"
bentaknya. "Kau sungguh-sungguh tak tahu adat. Kau harus mengatakan begini, Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama Loo cianpwee yang mulia ?" Mengerti ?"
"Jangan rewel!" bentaknya. "Aku merdeka untuk menggunakan kata apapun juga. Berapa harganya pedang itu? Kau seorang tua, tapi tidak menghargai usiamu yang tua. Tak malu mencuri pedang orang! Sudahlah ! Aku tak mau pedang itu" Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dari pendopo.
Se-konyong2 satu bayangan berkelebat dan simuka merah menghadang didepannya. "Seorang  gadis remaja tak boleh gampang marah," katanya saraya ber-senyum2.
"Kalau sudah menikah, apa kau boleh marah2 seperti anak kecil dihadapan mertua? Baiklah, sekarang aku memberitahukan kau. Dalam beberapa hari sesudah melalui perjalanan berlaksa kami bertiga saudara seperguruan baru saja tiba di Tionggoan dari daerah See ek (daerah sebelum barat) . ..."
"Aku sudah tahu," memotong sinona sambil monyongkan mulutnya. Didaerah Tiong-goan memang tidak terdapat namamu bertiga. Ketiga orang itu saling meagawasi.
"Nona, bolehkah aku mendapat tahu siapa gurumu ?" tanya si muka merah.
Sebenarnya Kwee Siang tak suka memberi tahu nama ayah dan ibunya, tapi sekarang, karena sudah jengkel, ia lantas saja menjawab: "Ayah she Kwee bernama Ceng. Sedang ibuku she Oey bernama Yong. Aku tak punya garu, hanya kedua orang tuaku yang menurun kan sedikit ilmu silat."
Ketiga kakek itu saling mengawasi. Saaat kemudian barulah simuka pucat berkata. "Kwee Ceng? Oey Yong? Dari partai mana mereka ? Murid siapa ?"
Dengan pertanyaan itu sinona jadi gusar. Nama kedua orang tuanya tersohor dikolong langit, jangankan orang2 dari Rimba Persilatan, sedangkan rakyat jelatapun mengenal Kwee Tay hiap, seorang pendekar yang telah bantu membela kota Siang-yang.
Tapi, melihat paras sungguh2 dari ketiga orang itu, Kwee Siang segera mendapat lain ingatan.
"Koen-loen-san terletak didaerah barat dan terpisah jauh dari wilayah Tionggoan" pikirnya.
"Ketiga orang lihai memiliki ilmu ilmu silat yang sangat tinggi, tapi ayah dan ibu belum pernah me-nyebut2 nama mereka. Maka itu, memang mungkin sekali, mereka belum pernah mendengar nama kedua orang tuaku." Mengingat begitu darahnya yang barusan sudah meluap, mereda kembali. "Aku sendiri she Kwee bernama Siang," katanya pula. "Siang adalah Siang dari Siang yang. Nah sesudah memperkenalkan diri, bolehkah menanya she dan nama kalian yang mulia ?"
Si muka merah tertawa hahahihi. "Bocah perkataanmu tepat sekaii, " katanya. "Dengan jawabanmu itu, kau menghormati orang yang lebih tua," Sambil menunjuk si muka kuning, ia berkata pula: "Itulah Tosoeko (kakak seperguruan yang paling tua) kami. Ia she Phoa bernama Thian Keng. Aku sendiri adalah Jie soe heng (kakak kedua),aku she Phoe, namaku Thian Loo" la menuding pada si muka pucat dan melanjutkan perkataannya. "Yang itu adalaa Sam soetee( adik ketiga), she Wie, bernama Thian Bong. Kau lihat! Kami bertiga saudara seperguruan masing2 mengambil huruf "Thian (Langit) untuk nama kami."
"Hm!" Kwee Sing mengeluarkan suara dihidung dan berdiam sejenak mengingat2 tiga nama itu. "Tapi apakah kalian sudah bertanding dengan pendeta2 Siauw lim se?
Kalau sudah, siapa yang lebih unggul?" tanyanya kemudian.
Si muka pucat Wie Thian Bong lantas saja menjadi gusar dan membentak dengan suara keras.
"Eh, bagaimana kau tahu? Bahwa kami ingin menjajal ilmu dengan Siauwlim sie hanya diketahui oleh beberapa orang saja. Bagaimana kau bisa tahu? Lekas bilang! " Seraya berteriak ia mendekati Kwee Siang dan menatap wajah si-nona dengan mata melotot.
Tentu saja Kwee Siang jadi dongkol. Jika mereka menanya baik2 mungkin sekali ia akan memberitahukan dengan segala senang hati. Tapi dengan cara yang kasar itu, ia lantas saja mengambil putusan untak menutup rahasia. "namamu bertiga sebenarnya kurang tepat. "
katanya dengan suara tawar "Mengapa tak dirubah menjadi Thian Ok (Ok berarti jahat)?"
"Apa kau kata?" bentak Thian Bong.
"Kwee Siang menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku sungguh jarang lihat manusia yang begitu galak seperti kau" katanya dengan adem.
"Sesudah merampas barangku, kau masih bersikap begitu ganas. Bukankah kau seperti juga penitisan dari binatang jahat dilangit?"
Tiba2 tenggorokan Wie Thian Bong mengeluarkan suara aneh, se olah2 menggaungnya binatang buas dan dadanya lantas saja melembung keatas, sedang rambut dan alisnya bangun serentak.
"Samtee!" kata Phoei Thian Loo simuka merah dengan cepat. "Jangan kau naik darah."
Sanbil berkata begitu, ia menyeret tangan Kwee Siang kebelakangnya, sehingga badannya sendiri berada diantara kedau orang itu, Melihat hebatnya gerak gerik Wie Thian Bong sehingga jika ia turun tangan, pukulannya tentu hebat luarbiasa, hati si nona jadi keder juga.
Sementara itu, dengan tangannya Wie Thian Bong mencabut pedang Kwee Siang, sedang jariji tangan kirinya mementil badan pedang. "Cring!" pedang itu patah dua.
Kemudian ia memasukkan pedang buntung itu ke dalam sarungnya seraya berkata dengan suara mengejek: "Siapa yang kepingin senjata yang tak gunanya ini ?"
Bukan main kagetnya si nona. Biarpun kepandaian itu belum bisa menandingi Ian cia San thong (ilmu mementil) dari kakeknya tapi tenaga Lwee kang yang begitu dahsyat sungguh jarang terlihat dalam Rimba persilatan 
Melihat perubahan pada paras muka si nona, Wie Thian Bong jadi bungah hatinya. Ia dongak dan tertawa ter-bahak2. Suara tertawa itu, yang disertai Lwee kang sangat menusuk kuping dan malahan menggoncangkan juga genteng2 di atas pendopo batu itu.
Se-konyong2, berbareng dengan suara gedbrakan, atap pendopo berlubang besar dan dari lubang itu jatuh serupa benda yang sangat besar.
Semua orang terkejut, terhitung Wie Thian Bong sendiri. Ia sama sekali tak pernah menduga, bahwa suara tertawanya biarpun di sertai Lwee kang bisa merusakkan atap pendopo batu.
Waktu orang tahu, benda apa yaag jatuh itu, rasa kaget jadi semakin besar. Ternyata yang rebah di lantai adalah seorang lelaki yang mengenakan baju putih dan kedua tangannya memeluk khim. Ia rebah disitu sambil meramkan kedua matanya, se-olah2 sedang tidur pulas.
Mendadak terdengar teriakan Kwee Siang "Aha ! Kau berada di sini ?"
Orang itu bukan lain dari pada si pria yg pandai memetik khim dan yaag telah di temui si nona pada beberapa hari berselangi.
Per-lahan2 orang ita membuka matanya. Begitu melihat Kwee Siang, ia melompat bangun seraya berkata. "Nona, aku cari kau kesegala tempat. Tak tahunya kau berada disini."
"Perlu apa kau cari aku?" tanyanya. "Aku lupa menanya she nona yang mulia dan nama yang besar," jawabnya.
"Apa itu she mulia nama besar?" kata Kwee Siang seraya mencebikan bibir. Aku paling sebal dengan kata2 yang banyak kembangnya."
Orang itu kelihatan kaget, tapi di lain saat ia tertawa besar. "Benar, nona," katanya "Memang, semakin manusia berlagak pintar semakin kosong otaknya."
Sambil berkata begitu, ia mengawasi Wie Thian Bong dengan mata melotot dan kemudian tertawa dingin.
Kwee Siang jadi girang sekali. Ia tak nyana si baju putih seorang yang menarik.
Paras muka Wie Thian Bong yang pucat jadi lebih pucat lagi. "Siapa tuan?" tanyanya.
Ia tidak menggubris dan sambil berpaling kepada Kwee Siang, ia menanya: "Nona, siapa namamu ?"
"Aku she Kwee bernama Siang." jawabnya
Orang itu menepuk kedua tangannya dan berseru dengan suara girang. "Ah ! Mataku benar2 kotokan tak mengenali gunung Thay san yang besar. Kalau begitu kau Kwee Toakouwnio yang namanya kesohor diseluruh jagat! Kecauli manusia-manusia tolok, siapapun juga mengenal ayahmu Kwee Ceng Kwee Tayhiap, dan ibumu, Oey Yong Oey Liehiap Dalam dunia Kangoaw, siapakah yang tidak mengenal mereka? Mereka adalah orang2 yang boenboe-song-coan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang ), mahir menggunakan macam senjata dan sudah menyelami dasarnya berbagai ilmu silat paham dalam ilmu penabuh khim, tio kie, menulis huruf-huruf indah, melukis, bersyair, dan bersajak. Dari dulu sampai sekarang, kepandaian mereka jarang tandingan didalam dunia. Ha ha ha ! Tapi masih juga terdapat manusia-manusia yang tidak mengenal mereka!"
Kwee Siang jadi girang sekali. "Kalau begitu sudah lama dia bersembunyi diatas atap pendopo dan sudah mendengari pembicaraanku dengan ketiga orang itu."
katanya di dalam hati, "Didengar dari perkataannya, ia pun belum mengenal kedua orang tuaku. Kalau sudah mengenal, ia tentu tak akan memanggil aku sebagai Kwee Toakouwnio (nona Kwee yang paling besar). Sungguh lucu ia mengatakan ayahku mahir dalam ilmu menabuh khim, main tio kie, menulis huruf indah dan sebagainya. Memikir begitu, seraya bersenyum ia menanya. "Siapa namamu?"
"Aku she Ho, namaku Ciok Too." jawab nya, (Ho Ciok Too berarti Tidak cukup berharga untuk dibicarakan).
"Ho Ciok Too?" menegas si nona. "sungguh satu nama yang merendahkan diri."
"Benar." jawabnya. "Tapi namaku banyak lebih baik dari pada nama yang menggunakan perkataan2 sombong seperti "Langit dan bumi". Sedikitnya namaku tidak memuakkan orang yang mendengarnya."
Siapapun mengerti, ia sedang mengejek ketiga Soehengtee itu (saudara seperguruan yang menggunakan huruf "Thian" langit itu), maka sesudah manyaksikan cara Ho Ciok Too menjatuhkan diri dari lubang atap mereka tahu bahwa orang itu bukan sembarangan orang dan oleh karenanya, se-bisa2 mereka menahan sabar. Tapi mendengar ejekan yang paling belakang, Wie Thian Bong meluap darahnya. Dengan sekali membalik tangan la menggapelok dagu orang. Ho Ciok Too menundukkan kepalanya dan molos dari bawah bahu.
Mendadak Wie Thian Bong merasa tangan kirinya kesemutan dan tahu2 pedang, Kwee-Siang yang sedang dicekalnya sudah berpindah tangan. Sebagaimana diketahui, waktu merampas pedang itu dari tangan nona Kwee, gerakannya cepat luar biasa, Dari sini dapatlah dibayangkan, bagaimana cepat gerakan Ho Ciok Too yang dengan begitu mudah sudah berhasil merampas senjata itu.
Wie Thian Bong terkesiap. Dilain detik, dengan gusar ia menerjang dan lima jerijinya yang dipentang bagaikan gaetan, menyambar pundak Ho Ciok Too. Dengan sekali mengegos Ho Ciok Too sudah berhasil menyelamatkan diri. Sementara itu, hampir berbareng Phoa Thian Keng dan Phoei Thian Loo melompat keluar dari pendopo. Dengan gergetan, Wie Thian Bong mengirim serangan2 berantai dengan kedua tangannya dan dalam sekejap, ia sudah menyerang tujuh delapan kali. Tapi lawannya tetap bersikap tenang. Kemudian diserang bagaikan hujan dan angin sedikitpun ia tidak membalas. Dengan mengengos kekiri kanan, kedepan dan kebelakang, ia kelit pukulan2 hebat itu.
Biarpun masih bersia muda dan kepandaiannya tidak seberapa tinggi, nona Kwee Siang adalah puterinya ahli2 silat nomor satu pada jaman itu dan dengan sendirinya, ia mempunyai mata yang sangat tajam. Melihat gerakan Ho Ciok Too yang begitu gesit dan lincah, ia yakin bahwa orang itu adalah barbeda dengan berbagai ilmu silat yang terdapat diwilayah Tionggoan.
Sementara itu, sesudah menyerang dua puluh jurus lebih tanpa berhasil, tiba2 Wie Thian Bong menggeram dan mengubah silatnya. Jika tadi serangan2 dikirim bagaikan kilat, sekarang gerakan-gerakannya banyak lebih perlahan, tapi disertai dengan tenaga yang sangat hebat. Sesudah ia menyerang beberapa jurus, Kwee Siang yang berada didalam pendopo, turut merasakan sambaran-sambaran pukulannya, sehingga buru-buru ia melompat keluar.
Ho Ciok Too pun lantas saja mengubah sikap. Kini ia tak berani memandang enteng lagi musuhnya. Setelah menyelipkan pedang Kwee Siang dipinggangnya, berdiri tegak dan badannya seolah-olah sebuah gunung yang kokoh teguh. "Kau menggunakan ilmu keras?"
tanya Ho Ciok Too, lalu "Apa kau rasa diriku tidak mampu ?" Pada saat kedua tangan Wie Thian Bong menyambar, sambil mengerahkan Lweekang, ia memapaki dengan tangan kirinya. Karena melawan keras! "Tak!" kedua tangan beradu dengan dahsyatnya. Badan Wie Thian Bong ber-goyang2 terhuyung kebelakang dua tiga tindak, sedang kedua kaki Ho Ciok Too tetap berdiri tegak.
Wie Thian Bong yang selala menganggap bahwa Gwakangnya (ilmu luar, yaitu ilmu yang menggunakan teanga kekerasan) jarang tandingan, jadi penasaran sekali.
Sesudah menarik napas panjang, sambil membentak keras sekali lagi is menghantam dengan kedua tangannya. Ho Ciok Too pun mengeluarkan teriakan nyaring, dan satu tangannya kembali memapaki pukulan lawan. "Dak !", kedua bau tangan beradu pula, kali ini hebat luar biasa, sehingga debu dan pasir meluruk turun dari lubang diatap pendopo. Hampir berbareng dengan bentrokan itu, tubuh Wie Thian Bong terhuyung lagi dan sesudah sempoyongan empat lima tindak, barulah ia bisa berdiri tegak.
Sesudah dikalhkan dua kali, Wie Thian Bong jadi mata merah. Rambutnya terurai, kedua matanya melotot, sehingga macamnya menakuti sekali. Dengan kedua tangan memegang perut, dia menarik napas panjang. Dilain saat, dadanya melesak kedalam, perut melembung keluar, se-akan2 sebuah tambur dan tulang2nya berkerotokan.
Dalam keadaan yang menyeramkan itu, setindak demi setindak ia mendekati lawannya.
Melihat begitu, Ho Ciok Too mengerti, bahwa lawannya akan segera menyerang dengan menggunakan seantero kepandaian dan tenaga Lwekang. Ia tak berani berayal lagi dan buru2 monyedot nafas untuk mengerahkan Lweekang.
Menurut kebiasaan, sesudah mengerahkan Lweekang yang hebat itu, dari jarak empat lima tindak, Wie Thian Bong sudah mengirim pukulan. Tapi sekarang ia tak berbuat begitu.
Dengan perlahan, ia terus maju hingga berhadapan dengan lawan. Sesudah itu, barulah kedua tangannya bergerak, yang satu memukul muka, yang lain menyambar kepunggung. Tujuan kedua pukulan, itu adalah untak membuyarkan seantero Lwekang Ho Ciok Too.
Ho Ciok Too pun lantas saja menyambar dengan kedua tangannya. Tangan kiri menempel dengan tangan kiri, tangan kanan dengan tangan kanan. Tetapi didalam tangan itu, dia mengeluarkan dua tenaga yang berbeda, satu "keras" dan yang satu "lembek". Dengan begitu tangan Wie Thian Bong yang memukul keras kepunggung seperti juga menghantam kapas, sedang tangan kanan yang menyambar kemuka se-akan2 menyentuh tembok tembaga.
"Celaka !" Wie Thian Bong mongeluh. Hampir berbareng, ia merasakan dorongan tenaga yang sangat hebat dan tanpa ampun lagi badannya didorong keluar dari pendopo.
Itulah akibat keras melawan keras. Yang bertenaga lebih lemah, dialah yang celaka. Didorong dengan tenaganya sendiri yang berbalik dan ditambah dengan dorongan tenaga Ho Ciok Too, Wie Thian Bong pasti bakal muntah darah.
Pada saat yang sangat berbahaya, yaitu sedetik sebelum roboh, tiba2 Phoa Thian Keng dan Phoei Thian Loo membentak keras: "Keluarkan pukulan!" Dengan berbareng mereka mendorong kedepan dan tenaga tangan mereka merupakan semacam tembok lembek yang tidak kelihatan. Punggung Wie Thian Bong bersandar diarus tenaga itu dan ia tertolong dari luka berat didalam badan. Tapi meskipun begitu, isi perutnya mendapat goncangan hebat, tulang2nya seolah terpukul hancur dan ia merasakan kesakitan biasa disekujur badannya.
Melihat saudara seperguruannya dirobohkan secara begitu menyedihkan bukan main gusar nya Phoei Thian Loo, tapi paras mukanya masih tetap tersenyum. "Kekuatan tenaga tangan tuan sangat jarang terdapat didalam dunia," katanya. "Aka sugguh marasa tahluk."
Mendengar kata2 xu, Kwee Siang tertawa. Dalam hatinya. "Koen loen Sam seng tiada bedanya seperti kodok didalam sumur" pikirnya. "Mengenai tenaga tangan siapakah yang dapat menadingi ayahku dalam pukulan Hang Liong Sip pat ciang?"
Sesudah berdiam sejenak, seraya tertawa hahahihi, si-muka marah berkata pula: "Aku si tua yang tak punya kepandaian berarti, sekarang ingin meminta pengajaran dari Kiam hoat tuan"
"Phoei-heng berlaku sangat manis terhadap Kwee Kouwnio dan akupun tak mempunyai ganjelan terhadapmu," jawabn:ya. "Aku rasa kita boleh tak usah menjajal kepandaian."
Kwee Siang terkejut. Kalau begitu, ia menghajar Wie Thian Bong karena kurang ajar terhadapku," katanya didalam hati.
Sementara itu, tanpa menggubris penolakan orang, Phoei Thian Loo segera menghampiri tungggangannya dan mengambil sebatang pedang panjang dari kantong senjata. "Srt!" ia menghunusnya dan paras mukanya latas saja berubah keren!. Sambil melonjorkan tangan kirinya, ia mendongakkan pedang yang dicekal dalam tanganaya. Itulah pukulan yang diberi nama Sian-jin-tit-loan (Dewa mengunjuk jalan).
Ho Ciok Too bersenyum seraya berkata "Jika Phoei-heng mau juga bertanding, biarlah aku melayani beberapa jurus dengan menggunakan pedang Kwee Kouwnio."
Sehabis berkata begitu ia mencabut pedang buntung yang terselip dipinggangnya. Pedang itu asal nya memang pedang pendek. Panjangnya tak lebih daripada dua kaki. Sesudah dipatahkan Wie Thiang Bong, yang ketinggalan hanya tujuh delapan dim, sehingga lebih pendek daripada pisau belati biasa.
Sambil mencekal sarung pedang ditangan kirinya, tanpa menegur lagi ia segera mengirim tiga serangan kilat yang cepat luar biasa. Hanya karena senjatanya terlalu pendek, maka serangan2 itu tidak mengenakan sasarannya. Phoei Thian Loo terkesiap. "Cepat sungguh gerakannya !"
pikirnya. "Kiam-hoat apa itu? Jika ia menggunakan pedang panjang, jiwaku mungkin sudah melayang"
Dilain pihak, sesudah menyerang tiga kali beruntun, Ho Ciok Too melompat kesamping dan berdiri tegak. Ia hanya mengenggos dan berkelit, waktu Phoe Tnian Loo balas menyerang.
Tiba2 selagi dihujani serangan, sekali lagi ia mengirim tiga tikaman berantai, sehingga silat lawan jadi kalang kabut. Dilain saat, seperti tadi, ia meloncat lagi kesamping dan berhenti menyerang. Dipermainkan begitu rupa. Phoei Thian Lpo meluap darahnya. Sambil membentak keras ia menyerang seraya memutar pedangnya yang lantas saja me nyambar2 bagaikan kilat. Badannya yang kurus kecil se-akan2 dikurung sinar pedang yang berkelebat seperti titiran.
Semakin lama pertempuran dilakukan semakin cepat, sehingga gerakan2 kedua lawan itu sukar dapat dilihat tegas. Se-konyong2 terdengar bentakan Ho Ciok Too.
"Awas !" Hampir berbareng dengan bentakan itu, sarung pedang yang dicekal dalam tangan kirinya, menyambar. "Trang !", sarung itu masuk diujung pedang lawan dan pedang buntung meluncur ketenggorokan Phoei Thian Loo.
Walaupun lihay, simuka merah tak bisa menangkis lagi, sebab pedangnya tak bisa bergerak.
Tapi sebagai orang yang kepandaian tinggi, dalam bahaya ia tak jadi bingung. Buru2 ia melepaskan pedangnya dan sambil melenggakkan kepala, ia membuang diri dan bergulingan ditanah.
Sebelum Phoei Thian Loo melompat bangun tiba2 berkelebat satu bayangan dan tangan Phoei Thian Keng sudah mencekal gagang pedang yang barusan dilepaskan oleh Soetee nya.
Dengan sekali membetot, ia sudah mencabut pedang itu dari sarung pedang buntung yang dipegang Ho Ciok Too.
"Sungguh indah gerakan itu!" puji Ho Ciok Too dan Kwee Siang hampir berbaring.
Ternyata, sikakek yang mukanya seperti orang berpenyakitan dan tidak pernah mengeluarkan sepatah kata, memiliki kepandaian yang paling tinggi diantara ketiga orang2 itu.
"Aku sungguh merasa sangat takluk akan kepandaian tuan." kata Ho Ciok Too sambil membungkuk. Ia berpaling pada Kwee Siang dan berkata pula "Kwee Kouwnio. sesudah mendengar lagumu pada beberapa hari yang lalu, aku telah menggubah sebuah lagu baru yang aku ingin mempersembahkan kepadamu untuk dinilai."
"Lagu apa ?" tanya sinona.
Tanpa menghiraukan tiga otang tua itu, ia lantas saja bersila diatas tanah, meletakkan khimnya dipangkuan dan lalu menyetel tali2 nya.
Melihat begitu, Phoa Thian Keng lalu mendekati dan berkata. "Tuan sudah merobohkan kedua Soeteeku dan sekaranglah aku yang ingin meminta pengajaranmu."
Ho Ciok Too menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak, sudah cukup," katanya.
"Pertandingan silat tidak menimbulkan banyak kegembiraan. Sekarang aku ingin memetik khim untuk diperdengaran kepada Kwee Kouwnio. Laguku adalah sebuah lagu baru. Jika suka, kalian boleh duduk mendengari. Kalau tidak, kalian merdeka untuk berlalu." Sehabis berkata begitu, jari2 nya mulai memetik tetabuhan itu.
Sesudah mendengari beberapa saat, Kwee Siang jadi kaget bercampur girang. Semenjak belajar memetik khim, belum pernah ia mendengar lagu yang begitu luar biasa. Luar biasa, karena lagu itu merupakan kombinasi dari lagu Ko-phoa yang pernah diperdengarkan olehnya dan lagu Kian kee (nama semacam rumput). Kedua lagu itu yang sebenarnya sangat berbedaan telah digubah begitu rupa sehingga merupakan sebuah lagu baru yang sangat merdu dan harmonis, Syair lagu ini antara lain berbunyi.
Siorang pertapaan.
Berkelana dipegunungan
Rumput,Kian kee hijau2.
Embun berubah menjadi salju.
Dan sidia.
Berada disatu sudut dunia
Mendengar sampai disitu, hati sinona berdebaran. "Siapa sidia ?" tanyanya dihati. "Apa dimaksudkan aua ? Mengapa suara khim itu sedemikian merdu dan mengharukan hati?"
Mengingat begitu, mukanya lantas saja bersemu dadu. Ia merasa kagum bukan main, sebab dalam kombinasi itu, yang telah merupakan sebuah lagu Kian kee masih bisa mempertahankan kepribadiannya sendiri.
Phoa Thian Keng dan kedua Soeteenya, yang tidak mengerti ilmu musik, jadi mendongkol bukan main. Disamping cara2 Ho Ciok Too yang terus memetik tali2 khim tanpa memperdulikan mereka, dianggapnya sebagai suatu hinaan.
Sesudah mendengari beberapa saat, Phoa Thian Kheng tidak dapat menahan sabar lagi. Ia mendekati dan sambil menotok pundak kiri Ho Ciok To dengan ujung pedang, ia membentak.
"Bangun kau ! Mari kita jajal kepandaian."
Ho Ciok Too yang sedang memusatkan seluruh semangat kepada tetabuhannya, seolah olah tidak mendengar tantangan itu. Ia seperti juga sedang berkelana disatu pegunungan yang amat indah dan dari jauh ia melihat seorang gadis jelita yang tengah berdiri diatas sebuah pulau kecil yang dikurung air...
Tiba2 ia merasa pundak kirinya sakit dan ia tersadar. Ia dongak dan melihat Phoa Thian Kheng berdiri didekatnya sambil mencekal pedang terhunus yang barusan telah digunakan untuk menotol pundaknya. Ia mengerti, bahwa jika tidak melawan, mungkin sekali ia akan terluka secara konyol. Hanya sungguh sayang, lagunya belum selesai. Sebagai seorang seniman tulen, ia tak rela menghentikan lagunya ditengah jalan.
Maka itu, tangan kirinya segera mengulurkan pedang buntung yang lalu digunakan untuk menangkis senjata Phoa Thian Kheng, sedang tangan kanannya tetap memetik tali2 khim.
Dengan kedua mata tetap memperhatikan tetabuhannya, Ho Ciok Too menangkis setiap serangan lawan. Phoa Thian Kheng jadi semakin gusar dan menyerang tambah hebat. Tapi kemanapun juga pedangnya menyambar, Ho Ciok Toa selalu menangkis.
Kwee Siang yang sedang kesengsem juga tidak memperdulikan serangan itu. Akan tetapi ia mendongkol, sebab suara bentrokan senjata telah merusak irama. Ia membentak. "Hai ! Apa kau tuli akan merdunya lagu ini. Jangan merusak ! Cobalah kau menyerang menurut tempo tepukan tanganku"
Tapi tentu saja Phoa Thian Kheng tak meladeni. Sambil membentak keras, dengan gusar ia mengobah kiam hoatnya dan menyerang bagaikan hujan angin sehingga suara bentrokan senjata jadi semakin gencar dan irama khim jadi semakin dikacaukan.
Ho Ciok Too juga mendongkol dan seraya menambah Lweekang, ia menangkis satu tikaman.
"Trang !" pedang Phoa Thian Keng patah dua. Hampir berbareng, tali kelima dari Cithian khim ( khim yang bertali tujuh ) juga putus.
Paras muka Phoa Thian Keng jadi pucat bagaikan mayat. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meloncat keluar dari pendopo batu dan kemudian, bersama kedua Soeteenya, dia melompat naik kepunggung tunggangan mereka yang segera dikaburkan keatas gunung.
Kwee Siang heran. "E eh!" katanya. "Mengapa mereka lari kearah kuil ?" Ia nengok dan melihat Ho Ciok Too sedang memegang tali Khim yang putus itu dengan paras duka.
"Mengapa dia begitu jengkel ?" tanyanya di dalam hati. ""Berapakah harganya tali khim?
Ho Ciok Too menghela napas dan berkata dengan suara perlahan: "Tujuh tahun aku barlatih, tapi hatiku tetap belum bisa tenang. Tangan kiriku berhasil mematahkan senjata, tapi tangan kanan memutuskan tali khim."
Sekarang si nona baru mengerti, bahwa ia berduka karena merasa kepandaiannya belum sempurna. Ia tertawa seraya barkata: "Dengan tangan kiri melawan musuh dan tangan kanan memetik khim, kau sebenarnya menggunakan ilmu Hoen sin Jie yong (ilmu memecah pikiran). Dalam dunia ini, hanya tiga orang yang mahir dalam ilmu itu. Bahwa kau belum mencapai taraf yang tinggi, tak usah dibuat jengkel!"
"Siapa tiga orang itu?" tanya Ho Ciok Too.
"Yang pertama adalah Loo boan thiong Cioe Pek Thiong," jawabnya. "Yang kedua ayanku sendiri, sedang yang ketiga Yo Hoe jin, Siauw Liong Lie. Selain tiga orang itu, malahan kakekku, ibuku atau SintiauwTayhiap Yo Ko tiada yang mampu memiliki ilmu yang luar biasa itu."
"Bolehkah kau memperkenalkan orang2 berilmu itu kepadaku ?" tanya Ho Ciok Too.
"Kalau kau mau bertemu dengan Thia thia (ayah) mudah sekali," jawabnya. "Tapi dua orang lainnya sangat sukar dicari, karena mereka tak punya tempat kediaman yang tentu"
Ho Ciok Too berdiri bengong, seperti juga ia masih merasa sangat menyesal karena putus nya tali khim itu. Si nona tertawa seraya berkata dengan suara menghibur."Dengan sekali gebrak.
kau sudah berhasil merobohkan Koen loen Sam-seng dan hasil itu boleh dibuat bangga. Perlu apa kau berduka karena hal yang remeh itu?"
Ho Ciok Too terkesiap. "Koen-loen Samseng?" ia menegas, "Apa kau kata? Bagaimana kau tahu?"
"Bukankah ketiga orang itu dikenal sebagai Koen-loen Sam sang?" tanyanya. "Kepandaian mereka mamang cukup tinggi, tapi jika mau coba2 membentur Siauw lim sie, kurasa mereka agak tahu diri . . . " Melihat paras muka Ho Ciok Too mengunjuk perasaan heran yang semakin besar, si nona lalu menaya. "Mengapa kau kelihatannya heran?"
"Koen loan Sam seng . . . Koen loan Sam seng Ho Ciok Too . . . itulah aku sendiri!" katanya dengan suara perlahan.
Sekarang giliran Kwee Siang yang terheran heran. "Kau... kau Koen loen Sam seng?" tanyanya. " Mana yang dua lagi?
"Koen loen Sam seng hanya satu orang," jawabnya, "Di See ek aku telah mendapat nama walaupun bukan nama besar. Kawan2 disitu menganggap, bahwa aku memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu main khim, ilma pedang dan ilmu main catur, sehingga oleh karena nya, kata mereka, aku boleh dinamakan sebagai Khim seng dan Kiam seng dan Kie sang (Nabi khim, Nabi pedang dan nabi kie. Kie berarti Tio kie atau catur). Lantaran aku suka sekali berdiam digunung Koen loen san, maka mereka memberi julukan -Koen loan Sam
seng- kepadaku. Tapi aku selalu merasa malu dengan istilah Seng itu. Mana bisa manusia seperti aku menamakan diri sebagai seorang nabi ? Biarpun gelaran itu diberikan oleh orang lain, tak boleh aku menerimanya dengan begitu saja. Maka itulah, aku segera mengubah namaku, Aku menggunakan nama Ho Ciok Too, yang jika disambung jadi -Koen loan Sam seng Ho Ciok Too- (Koen loen Sam seng tidak cukup berharga untuk dibicarakan). Dengan demi kian orang tidak bisa mengatakan, bahwa aku manusia sombong."
Si nona menepuk2 tangan dan tertawa geli, "Oh, begitu?" katanya: "Mati hidup aku menduga, bahwa Koen loen Sam seng terdiri dari tiga orang. Tapi siapakah ketiga orang tua itu ?"
"Mereka adalah orang2 Siauw lim pay." Kwee Siang terkejut. "Siauw lim pay ?" ia menegas.
"Hm ! . . . . Ilmu silat mereka kurang. Yang lain cukup tinggi ...
benar! Ilmu pedang sikakek muka merah memang Tat mo Kiam hoat. Tak salah! Si muka penyakitan paling belakang menyerang dengan ilmu Wie to Hok mo kiam (ilmu pedang telukan iblis), Tadi aku tidak bisa melihatinya karena dalam ilmu pedang itu terdapat banyak
sekali perubahan. Tapi. . mengapa mereka mengaku baru datang dari See-ek ?"
"Ada sebabnya," jawab Ho Ciok Too, "Pada musim semi tahun lalu, aku main khim di puncak Keng sin hong gunung Koen loen san. Tiba-tiba aku mendengar suara pertempuran di luar gubuk. Aku segera keluar dan melihat dua orang yang masing-masing terluka berat sedang berkelahi mati-matian, Aku berteriak supaya berhenti, tapi dia tak meladeni. Karena merasa tak tega, aku segera memisahkan mereka. Begitu dipisahkan, salah seorang terbalik matanya dan menarik napasnya yang penghabisan. Yang satu lagi belum mati dan dulu aka membawanya kedalam gubukku dan coba menolong dengan memberikan pel Siauw yang tan kepadanya. Tapi sebelah lukanya terlalu berat, obatku tidak berhasil. Sebelum meninggal, ia memperkenalkan diri sebagai In Kek See.."
"Ah!" seru sinona, "Orang yang satunya lagi mestiaya Siauw Siang Coe. Bukankah orang yang binasa lebih pula bertubuh jangkung kurus dan bermuka seperti mayat ?"
"Benar," jawabnya. "Bagaimana kau tahu?". Kata sinona sambil tertawa. "Aka tak nyana pada akhirnya kedua mustika hidup itu mampus dengan saling bunuh."
Ho Ciok Too menghela napas dan berkata pula: " Sebelum mati, In Kek See mengatakan bahwa selama hidup, ia telah berbuat banyak sekali kedosaan dan sekarang ia merasa sangat menyesal, tapi sudah terlambat. Ia memberitahukan, bersama Siauw Siang Coe, ia telah mencuri sejilit kitab suci dari Siauw lim sie. Sesudah memiliki kitab itu, mereka saling curiga.
Masing2 merasa kuatir, bahwa jika yang satu memahami kitab itu terlebih dulu dan berhasil mempertinggi ilmu silatnya, dia segera menurunkan tangan jahat untuk membinasakan yang lain guna memiliki sendiri kitab suci itu. Demikianlah, masing2 saling mengawasi dua sungkan berpisahan. Mereka makan disatu meja dan tidur satu ranjang Sedikitpun hati mereka tak pernah tenang. Diwaktu makan, masing-masing kuatir racun. Diwaktu tidur, masingmasing takut kalau-kalau yang satu turunkan tangan jahat selagi pulas. Di samping itu,
mereka juga kuatirkan kejaran pendeta2 Siauw lim sie. Mereka kabur sampai di See-ek.
Setibanya di Keng sin hong, keduanya sudah lelah sekali. Mereka mengerti bahwa dengan hidup begitu terus menerus, belum sepuluh hari, mereka tentu sudah binasa. Mereka jadi nekat dan terus bertempur untuk mengakhiri keadaan yang gila itu. In Kek See mengatakan, bahwva ilmu silat Siauw Siang Coe sebenarnya banyak lebih tinggi dari padanya. Semula ia tak mengerti, mengapa dalam perkelahian, Siauw Siang Coe hanya lebih unggul sedikit.
Belakagan ia baru igat, bahwa kawan yang berubah jadi musuh itu telah mendapat luka di gunung Hwa-san. Jika mereka tidak saling curiga, mereka tentu tak akan mendaki Koen loensan."
Mendengar penuturan itu, Kwee Siang kelihatan berduka. Ia menghela napas berkata: "Hai! Karena sejilid kitab, mereka bersama-sama mengorbankan jiwa. Berapa harganya kitab itu ?"
Ho Ciok Too mengangguk dan kemudian melanjutkan perkataannya : "In Kek See bicara dengan napas tersengal-sengal dan suara ter-putus2. Akhirnya ia meminta supaya aku suka pergi kekuik Siauw-lim-sie dan menemui seorang pendeta yang bernama Kak wan. Ia memberitahukan, bahwa kitab suci itu berada didalam minyak. Aku heran mengapa didalam minyak? Selagi mau menayakan terlebih terang, ia sudah tak tahan lagi dan pingsan. Ia pingsan untuk tidak tersadar pula. Sesudah ia mati, aku teras memikiri arti perkataannya. Di
dalam minyak ? Apa ia maksud kan kitab itu di bungkus didalam kain minyak. Dengan teliti aku memeriksa jenazah mereka, tapi aku tak bisa mendapatkan kitab itu. Sesudah menerima permintaan orang, aku tidak bisa menyampingkan dengan begitu saja. Mengingat bahwa aku memang belum pernah menginjak wilayah Tiong-goan, maka dengan menggunakan kesempatan itu, aku segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil Siauw lim sie sebagian guna memenuhi pesanan orang dan sebagian lagi guna pesiar"
"Tapi mengapa kau sudah mengirim surat tantangan ?" tanya Kwee Siang.
Ho Ciok Too bersenyum waktu menjawab: "Asal mulanya adalah gara2 ketiga orang itu.
Mereka bertiga adalah murid2 Siauw lim sie yang tidak mencukur rambut. Menurut katanya orang2 Rimba persilatan di daerah Barat (See ek), mereka adalah orang orang dari tingkatan Thian dan tingkatannya itu sama tingginya dengan Hong thio Siauw lim sie Thian heng Siansoe. Menurut dugaan orang. Soecouw mereka dulu telah kebentrokan dengan saudara2 seperguruannya dalam kuil Siauwlim sie dan sebagai akibat bentrokan itu, ia pergi ke daerah Barat dan mendirikan sebuah cabang Siauw lim pay. Hal ini bukan hal yang mengherankan.
Ilmu silat Siauw lim sie telah di bawah oleh Tatmo Couw soe dari Thian tiok (India) ke Tiong goan (Tiongkok asli). Sekarang dari Tiong goan di angkat pula ke daerah Barat. Tak mengherankan, bukan ?
"Mendengar julukanku sebagai Koen loen Sam seng, mereka bertiga jadi penasaran. Mereka sesumbar ingin menjajal kepandaianku. Mereka tidak menghiraukan gelaran Khim seng dan Kie sang. Tapi gelaran Kiam seng (Nabi pedang) ? Ha ! Tak boleh dibiarkan saja?"
"Secara kebetulan muncul urusan In Kek See. Maka itu, aku segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil Siauwlimsie, sekalian menjajal2 kepandaian mereka. Sebelum tiba di Tiong goan, aku sengaja menyingkirkan diri dari mereka. Tapi tak dinyana, mereka bisa datang begitu cepat."
"Oh, begitu?" kata Kwee Siang. Semua dugaan ternyata meleset semua. Sekarang ketiga orang itu sudah tiba dikuil. Entah apa yang dikatakan mereka !"
"Dengan pendeta2 Siauw lim-sie, aku tak punya ganjelan apapun juga," kata Ho Ciok Too.
"Itu sebabnya, untuk menunggu kedatangan tiga orang itu, aku menjanjikan sepuluh hari.
Sekarang penjajalan kepandaian sudah dilakukan, segala apa sudah jadi beres. Mari kita naik keatas. Sesudah aku menyampaikan pesanan In Kek See, kita boleh lantas turun lagi."
Si-nona mengerutkan alis. "Pendeta2 Siauw lim-sie mempunyai semacam peraturan yang sangat keras, yaitu, wanita dilarang masuk kedalam kuil," kata Kwee Siang.
"Fui ! Aturan apa itu?" kata Ho Ciok Too. "Bagaimana kalau kita menerobos masuk ?"
Sebenarnya Kwee Siang adalah seorang gadis pemberani yang suka cari urusan. Tapi karena merasa malu hati terhadap Boe sek Sian soe, ia segera menggelengkan kepala seraya berkata:
"Jangan! Aku menunggu di luar kuil, kau masuk sendiri saja, supaya jangan banyak urusan."
"Baiklah," kata Ho Ciok Too. "Lagu yang tadi belum selesai. Begitu kembali, aku akan memetik sekali lagi"
Per-lahan2 mereka mendaki gunung, tapi sesudah tiba didepan pintu, mereka belum melihat bayangan satu manusiapun.
"Sudahlah, aku juga tak perlu masuk," katanya. "Aku akan panggil saja pendeta itu." Sehabis berkata begitu, ia berteriak. "Ho Ciok Too datang berkunjung ke Siauw limsie, ingin menyampaikan omongan kepada Kakwan Taysoe."
Hampir berbareng dengan teriakannya, belasan lonceng besar dalam kuil berbunyi dengan serentak, sehingga seluruh Siauw sit san se olah2 tergetar.
Mendadak pintu kuil terbuka dan dari kiri kanan keluar dua basis pendeta yang mengenakan jubah warna abu2. Kedua barisan itu masing terdiri dari lima puluh empat murid Lohan tong dan jumlah mereka adalah sesuai dengan seratus delapan Lo han. sesudah itu keluar delapan belas pendeta yang badannya dikerebungi jubah pertapan warna kuning Mereka adalah murid2 Tat mo tong yang berusaha lebih tinggi daripada murid2 Lo han tong. Sesaat kemudian dari dalam kuil berjalan keluar tujuh pendeta yang sudah berusia lanjut. Mereka adalah Cit loo (Tujuh Tetua) dari Simsian tong yang berkedudukan sangat tinggi. Beberapa diantaranya memiliki ilmu silat luar biasa, tapi yang lain tidak mengenal ilmu silat dan ia duduk dalam Sim siantong karena pengetahuannya yang sangat mendalam mengenai agama Buddha. Mereka malahan sangat dihormati oleh Hong thio Siauw limsie sendiri.
Paling akhir keluarlah Hong thio Thian beng Sansea, yang diampit olah kepala Tat ma tong Boe Shian Siansoe dan kepala Lo han tong Boesek Siansoe. Phoa Thian Keng, Phoei Thian Loa dan Wie Thian Bong mengikuti di sebelah belakang, bersama kurang lebih delapan puluh murid2 Siauw lim sie, yang tidak jadi pendeta.
Itulah penyambutan yang hebat luar biasa dan dapat dikatakan belum pernah, atau sedikitnya langka sekali, diberikan kepada seorang tamu. Menurut kebiasaan pembesar negeri, biarpun pangkatnya sangat tinggi, atau tokoh Rimba persilatan Paling banyak disambut oleh Hongthio, Boesek dan Boesiang sebegitu jauh di ingat orang Cii Loo dari Sim sian tong belum pernah keluar menyambut tamu.
Mengapa sekarang diadakan upacara penyambutan yang begitu besar? Sebab yang terutama yalah karena Ho Ciok Too tanpa diketahui oleh siapapun juga, sudah menaruh surat tantangan dalam tangan patung Hang liong Lohan. Kepandaian yang luar biasa itu mengejutkan hatinya para pemimpin Siauw lim sie. Selain itu, Phoa thian Keng dan kedua Soeteenya yang baru tiba dari See ek, juga telah menceritakan lihaynya Koen loan Sam seng, sehingga para pemimpin Siauw lim sie lebih berwaspada lagi.
Karena berpisahan sangat jauh, Siauwlimpay cabang See ek sangat jarang berhubungan dengan cabang Tiong cioe yaitu Siauw lim sie dan siauw sit san. Akan tetapi, para pendata tahu, bahwa Soe siok couw mereka mereka yang telah pergi ke Barat memiliki kepandaian yang sangat tinggi, sehingga murid marid atau cucu2 muridnya tentu juga bukan sembarangan ahli silat. Maka itu, sesudah mendengar keterangan Phoa Thian Keng bertiga, para pemimpin Siauw lim sie lantas saja mangambil tindakan2 yang seperlunya. Disamping tindakan2 didalam kuil, pucuk pimpinan juga telah mengeluarkan perintah, supaya murid Siauw lim sie, tak perduli pendeta atau orang biasa yang bertempat tinggal dalam lingkungan lima ratus li harus segera datang kekuii guna menunggu perintah2 selanjutnya.
Semua para pendeta itu menganggap bahwa Koen loen Sam seng terdiri dari tiga orang Sesudah mendapat keterangan Phoei Thian Keng, barulah mereka tahu bahwa Koen loan Sam seng hanya seorang dan bahwa ia memperoleh gelaran itu sebab mahir dalam tiga macamilmu, yaitu ilmu main khim, ilmu pedang dan ilmu main catur. Mengenai ilmu main khim dan main catur, para pendeta tidak menghiraukannya. Yang mereka harus ber-siap2 yalah untuk menghadapi ilmu pedang dari orang itu. Maka itulah, semenjak mendapat tantangan, siang malam ahli-ahli pedang Siauw lim sie berlatih keras.
Sementara itu, karena merasa sengketa dengan Koen loan Sam seng adalah gara-gara mereka, Phoa Thian Keng dan kedua Soetee nya ingin sekali bisa membereskan pertikaian tersebut dengan tangan mereka sendiri, Untuk memapaki dengan menunggang kuda, setiap hari ia meronda disekitar gunung. Mereka kepingin sekali menjajal kepandaian lawan diluar kuil dan sesudah itu barulah mereka ingin balik kekuil, supaya Koen loen Sam seng bisa mengukur tenaga dengan para pendeta.
Dengan demikian mereka pikir biarlah dilihat, apa cabang Tiong cioe atau cabang See ek dari Siauw lim pay yang lebih unggul.
Tapi diluar dugaan, dalam pertandingan di pendopo batu, dengan mudah mereka telah dirobohkan oleh Ho Ciok Tao.
Begitu mendapat warta tentang kekalahan Phoa Thian Keng dan 2 Soeteenya Thian beng Sian soe insaf, bahwa hari itu adalah hari memutus utuh runtuhnya nama Siauw lim sie.
Biar bagaimanapun juga, gelar "sumber pelajaran Lima silat dikolong langit" yang sudah dipertahankan Siauw lim sie selama ribuan tahun, tak boleh hancur dalam tangannya. Tapi dalam pada itu, ia agak keder, karena merasa bahwa kepandaiannya, kepandaian Boe sek dan Boe siang, Tidak lebih unggul banyak diatas kepandaian Phoa Thian Keng bertiga, itulah sebabnya mengapa dengan terpaksa ia mengundang Cit long Sim sian tong untuk turut keluar menyambut, guna mem beri bantuan jika perlu. Tapi sampai berapa tinggi kepandaian tujuh tetua itu, ia dan Boe sek serta Boa siang juga tak tahu pasti. Apa jika ada bahaya Cit loo bisa menolong muka siauw lim sie masih merupakan sebuah teka teki.
Begitu berhadapan dengan Ho Ciok Too dan Kwee Siang, Thian beng segera merangkap kedua tangannya seraya berkata. "Apakan Kie soe (tuan) yang mahir dalam ilmu Khim Knim Kie? Loo ceng (aku pendeta tua) tidak bisa menyambut dari jauh dan untuk itu, aku harap Kie soe, suka memaafkan,"
Ho Ciok Too segera membalas hormat dengar membungkuk. "Boanseng (orang yang tingkatannya rendah) merasa tidak enak hati sudah mengacau dikuil yang angker ini dan Boan seng sungguh tidak sanggup menerima penyambutan yang begini besar"
Mendengar jawaban itu, Thian beng berkata dalam hatinya. Kata2nya cukup menyenangkan. 
Dilinat dari romannya, ia baru berusia kira2 tiga puluh tahun. Apa benar ia mempunyai kepandaian tinggi?" Memikir begitu, ia lantas saja berkata lagi: "Ho Kie toe jangan terlalu sungkan. Marilah kita masuk untuk minum air teh dingin dan Lie kie soe (nona) ini ..." ia tidak meneruskan perkataannya dan pada paras mukanya terlihat perasaan sangsi.
Melihat pendeta itu mau menolak Kwee Siang, Ho Ciok Loo dongak dan tertawa tawa 2.
"Loo hong thio," Katanya, "Boan-seng datang kemari karena menerima permintaan seseorang untuk menyampaikan sepatah kata. Sesudah menyampaikan ita, Boan seng akan segera berlalu. Akan tetapi, peraturan dalam Kuil Loa bong thio yang memandang tinggi kepada pria data memandang rendah kepada wanita, adalah peraturan yang tidak dimengerti olehku. Harus diketahui, bahwa ilmu Sang-Buddha tiada batasnya dan semua makhluk Tuhan adalah sama rata. Maka itu, menurut Boan seng, peraturan itu agak bertentangan dengan pelajaran Sang Buddha."
Thian beng Sian soe adalah seorang pendeta yang berilamu tinggi dan berpandangan luas. Ia segera dapat membedakan, apa yang benar dan apa yang salah.
Mendengar perkataan Ho Ciok Too, ia segera bersenyum dan berkata. "Trima kasih atas petunjuk Kie soe. Peraturan itu memang peraturan yang agak sempit. Kalau begitu, akupun mengundang nona untuk turut minum teh."
Kwee Sang melirik kawannya sambil bersenyum. sedang didalam hati ia memuji ketajaman lidah pemuda itu.
Thian beng segera minggir kesamping dan mengangkat tangannya sebagai undangan supaya kedua tetamu itu masuk. Tapi sebelum Ho Ciok Too bertindak dari samping kiri Thian beng tiba2 maju seorang pendeta tua yang bertubuh krus ."Dengan bebeapa perkataan saja, Kie soe sudah meniadakan peraturan Siauw lim sie yang sudah berjalaa ribuan tahun, katanya."
"Peraturan itu bukan tak boleh dirubah. Tapi kita harus menyelidiki. apa orang yang menyebabkan berubah peraturan2 itu, benar2 seorang yang berkepandaian tinggi. Maka itu aku mengharap Ho Kie soe suka memberi sedetik pelajaran, supaya para pendeta bisa membuka mata dan tidak merasa penasaranlagi karena mengetahui, bahwa orang yang merobah peraturan kami, ia orang yang sungguh sungguh berkepandaian tinggi," Orang bicara
itu adalah Boe siang Sian soe, kepala Tatmo tong. Ia bicara dengan suara nyaring luar biasa, sehingga telinga yang mendengarnya merasa sakit sebagai akibat dari tekanan tenagaLweekang yang sangat dahsyat.
Mendengar perkataan Boe siang, paras muka Phoa Thian Keng dan kedua Soeteenya lantas saja berubah. Mereka merasa diejek, bahwa mereka telah dijatuhkan oleh seorang yang belum tentu memiliki kepandaian tinggi.
Sementara itu, waktu melirik Bu sek Sia soe, Kwee Siang melihat sorot bingung dan jengkel pada muka pendeta itu. "Toa hweeshio adalah seorang baik dan juga sahabat Toakoko,"
katanya didalam hati. Jika Hiok Too dan pendeta Siau lim sie sampai bertempur, tak perduli siapa yang kalah dan siapa menang hatiku merasa tak enak." Memikir begitu, lantas saja ia berkata dengan suara nyaring.
"Ho Toako, aku sebenarnya tidak perlu masuk kekuil. Beritahukanlah sekarang omongan yang ingin disampaikan olehmu dan sesudah itu, kita boleh segera berlalu"
Sehabis berkata begitu, sambil menunjuk Boe sek, ia melan jutkan perkataannya. "ltulah Boe sek Sian soe, sahabat baikku. Kedua belah pihak sebaiknya jangan merusak keakuran."
Ho Ciok Too kelihatan terkejut. "Oh, begitu ?" katanya sambil berpaling kepada Thian beng dan berkata pula : "Loo hong thio, yang mana Kak wan Siansoe ? Aku menerima permintaan seseorang untuk menyampaikan perkataan kapadanya."
"Kak wan Sian-soe ?ı menegas Thian beng dengan suara perlahan.
Dalam kuil Siauw lim-sie, Kak wan berkedudukan rendah dan selama beberapa puluh tahun, ia menyembuyikan diri dalam perpustakaan Cong keng-kok. Ia tidak banyak dikenal dari sebegitu jauh, belum pernah orang menambahkan kata2 "Siansoe" dibelakang nama gelarnya.
Maka itu, untuk sementara, Thian beng tak ingat siapa adanya. "Kak wan Siansoe". Sesudah bengong beberapa saat, barulah ia berkata: "A ! Ho Kie soe tentu maksudkan pendeta yang jaga kitab Lang keh keng.
Apakah Kie soe mencari dia dalam hubungan soal kitab itu ?"
"Entahlah," jawabnya sambil menggelengkan kepala.
Thian bang segera berpaling kepada seorang murid dan berkata: "Coba panggil Kak wan."
Murid itu lantas saja berlalu untuk mejalankan tugasnya.
Boe siang Siansoe yang rupanya sangat bernapsu, sudah tak bisa menahan sabar lagi. Begitu mendapat kesempatan, ia segera berkata pula: "Ho Kie sie, kau dijuluki sebagai Khim kiamkie Sam-seng dan kata Seng itu tentu tak dapat dimiliki oleh sembarang orang. Tak usah disangsikan lagi, Kie soe mempunyai kepandaian yang baik, tinggi dalam tiga rupa ilmu itu, 10 hari yang lalu, Kie soe telah menulis surat dan berjanji untuk memperlihatkan kepandaianmu. Tapi mengapa sesudah datang kemari, kau jadi begitu pelit dan sungkan memberi pelajaran kepada kami ?"
Ho Ciok Too menggelengkan kepala. "Nona ini sudah mengatakan, bahwa kedua belah pihak tidak boleh merusak keakuran," katanya.
Boe siang jadi gusar sekali. Ia terutama gusar karena, Ho Ciok Too sudah menantang lebih dulu dan tantangan itu dianggap sebagai kekurang-ajaran terhadap Siauw-lim sie. Disamping itu, ia juga gusar sebab Phoa Thian Keng dan kedua Soetee telah dirobohkan hingga diluaran orang bisa menyiarkan cerita, bahwa murid Siauw-lim pay dijatuhkan oleh Kiam seng. Tapi iapun yakin, bahwa sebagian besar murid2 Siauw-lim sie bukan tandingan Ho Ciok Too dan oleh karenanya, ia segera mengambil keputusan untuk turun tangan sendiri. Ia maju dua tindak seraya berkata: "Menjajal ilmu tak selamanya merusak keakuran. Mengapa Ho Kie soe menolak begitu keras ?" Ia berpaling kepada muridnya dan berkata pula. "Ambil pedang !"
Didalam kuil sudah diSediakan macam2 senjata, tapi pada waktu keluar menyambut tamu para pendeta itu tentu saja merasa tak pantas untuk membawa senjata.
Dengan cepat murid itu sudah keluar kembali dengan membawa tujuh delapan batang pedang yang lalu diangsurkan kepada Ho Ciok Too. "Apa Kie soe membaWa pedang sendiri atau ingin meminjam senjata kami?" tanyanya.
Sebaiknya dari menjemput senjata yang diangsurKan Ho Ciok Too membungkuk dan mengambil sebutir batu kecil. Tiba2 dengan mengunakan batu itu, ia membuat sembilan belas garis melintang dan sembilan belas garis membujur diatas batu hijau yang menutupi jalanan didepan kuil, Setiap garis itu sangat lurus, seperti juga di babat dengan menggunakan penggaris. Tapi apa yang mengejutkan yalah setiap goresan masuk dibatu kira2 satu dim dalamnya. Batu hijau itu adalah batu gunung Siauw sie san yang keras bagaikan besi. Ratusan
tahun orang mundar mandir di atasnya, tanpa rusak sedikit juga.
Sesudah membuat garis2 itu yang merupakan papan catur, sambil tertawa Ho Ciok Too berkata: "Mengadu pedang agak terlalu ganas, sedang suara khim pun sukar diadu. Maka itu, jika Toahweeshio merasa gembira, mari kita main catur."
Apa yang diperlihatkan Ho Ciok Too sangat mengejutkan hatinya Thian beng, Boesek, Boe siang dan Cit loo dari Sim sian tong. Thian beng Siansoe yakin, bahwa Lweekang yang setinggi itu tidak dipunyai oleh siapa pun juga dalam kuil Siauw limsie. Ia jadi bingung bukan main, tapi baru saja ia memikir untuk mengaku kalah, tiba-tiba terdengar suara berkerincin dan rantai besi dan di lain saat, Kak wan muncul sambil memikul dua tahang besi, sedang dibelakangnya mengikuti seorang pemuda yang bertubuh jangkung. Begitu tiba dihadapan Thian beng, ia segera memberi hormat seraya menanya. "Apakah Loo hong thio memanggil aku ?"
"Ho Kie soe ingin bertemu dan bicara denganmu." jawabnya.
Ia memutar badan dan merasa heran, sebab tak tahu siapa adanya orang itu. "Siauw ceng adalah Kak wan," ia memperkenalkan diri. "Omongan apa yang hendak disampaikan oleh Kie soe ?"
Sesudah membuat papan catur, kegembira Ho Ciok Too terbangun. "Omongan itu aku akan beritahukan sebentar." katanya. "Toahweesio manakah yang ingin melayani aku main catur ?"
Ho Ciok Too adalah seorang yang keranjingan main khim, pedang dan tiokie. Kalau gilanya datang, ia melupakan apapun juga.
"Kepandaian Kie soe dalam membuat papan catur dengan menggores batu, belum pernah di saksikan oleh loolap," kata Thianbeng. "Samua pendeta dalam kuil kami tak dapat menandinginya."
Mendengar perkataan Thian beng dan melihat papan catur itu, barulah Kak wan tahu, bahwa Ho Ciok Too datang di Siauw Iim sie untuk memamerkan kepandaiannya.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menaruh kedua tahang besi di pundaknya sambil menyedot napas untuk mangumpulkan semua tenaga dalamnya di kedua lutut.
Sesudah itu, setindak demi setindak, ia berjalan digarisan pinggir dari papan catur itu.
Semua orang terkesiap dan mengawasi tindakan Kak wan dengan mata membalalak. Mengapa ?
Ternyata, di tempat yang dilewati rantai besi yang melibat di kakinya, terdapat goresangoresan yang lebarnya kira-kira lima dim dan goresan-goresan itu telah merusak garis yang dibuat Ho Ciok too! Sesaat kemudian, tanpa merasa semua pendeta bersorak sorai.
Thian beng, Boe Sek, Boe siang dan lain2 pemimpin jadi kaget campur girang. Mereka tak pernah mimpi, bahwa pendeta tua yang tolol2an itu, memiliki lweekang tinggi. Mereka sudah berkumpul didalam satu kuil puluhan tahun lamanya, tapi tak seorangpun yang tahu kelihayan Kak Wan
Sebenarnya, biarpun seseorang mempunyai tenaga dalam yang hebat, ia tak mungkin membuat goresan seperti yang dibuat Kakwan diatas batu hijau yang amat keras itu. Hanyalah karena pendeta itu memikul dua tahang besi berisi air yang beratnya kurang lebih enam ratus kati sehingga tenaga yang sangat besar itu dapat disalurkan dari pundak ke rantai besi, maka selagi terseret, rantai besi itu seolah olah semacam cangkul yang mencangkul garis2 papan catur. Tapi meskipun demikian, walaupun Kak wan meminjam tenaga apa yang dipertunjuknya sudah jarang sekali terlihat dalam Rimba Persilatan.
"Toahweeshio!" teriak Ho Ciok Too. "Lwee kangmu hebat sekali, aku tak bisa menandingi"
Kak wan menghentikan tindakannya dan mengawasi tamu sambil bersenyum.
"Toahweeshio," kata pula He Ciok Too. "Kita tidak bisa main catur lagi dan aku mengaku kalah. Sekarang aku ingin minta petunjukmu dalam ilmu pedang."
Hampir berbareng dengan perkataannya, ia menghunus sebatang pedang panjang dari bawah Cit hian khim. Ia segera bergerak untuk menyerang dan gerakannya yang pertama sangat luar biasa, yaitu ujung pedang menuking dadanya sendiri, sedang gagang pedang menuding lawan.
Semua orang ter-heran2 sebab didalam dunia belum pernah ada Khiam boat yang begitu aneh.
"Loo ceng hanya bisa membaca kitab, bersemedhi, menjemur buku dan menyapu lantai," kata Kak wan. "Mengenai ilmu silat sedikitpun aku tidak mengerti,"
Ho Ciok Too tentu saja mau percaya. Seraya tertawa dingin ia lompat menerjang. Tiba tiba ujung pedang itu berbalik dan meluncur kedada si pendeta. Ternyata, dalam gerakannya yang pertama, yaitu? waktu ujung pedang manuding dadanya sehdiri, ia sedang mengumpulkan tenaga dalam dan kemudian, secara mendadak, membalikkan senjatanya dengan Lweekang itu.
Jika Ho Ciok Too menghadapi ahli silat biasa, serangan itu pasti akan berhasil. Akan tetapi Lweekang Kak wan sudah mencapai tarap dimana setiap gerakannya selalu terjadi secara wajar, menurut jalan pikirannya, Maka itu, biarpun pedang menyambar bagaikan kilat, jalan pikiran si pendeta lebih cepat dari sambaran pedang. Pada detik yang tepat, sebuah tahang melompat naik dan "tang" pedang menikam tahang dan lantas saja melengkung seperti bulan sisir, Buru2 Ho Ciok Too menarik pulang senjatanya, sedang tangan kirinya mengebas muka lawan. Sekali lagi tahang yang lain naik dan tangannya terpental kesamping.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar