Kembalinya Pendekar Rajawali 97
Benar juga, tidak jauh di belakang Siao
liong-li ternyata ada seorang pula yang ikut berlari dengan cepat. Sekilas
pandang saja Yo Ko lantas merasakan Ginkang orang ketiga ini tidak di bawah
Siao-liong-li dan Cu-in, malahan orang ketiga ini tampak memanggul sesuatu
benda yang amat besar, seperti sebuah peti, namun langkahnya tetap gesit dan
cepat, jaraknya selalu beberapa meter saja di belakang Siao-Iiong-li.
It-teng Taysu juga heran, sama sekali di luar
dugaannya bahwa di pegunungan sunyi ini ber-turut-urut bertemu dengan orang
kosen, semalam bertemu dengan sepasang suami isteri muda yang hebat, sekarang
orang yang ikut berlari di depan itu jelas adalah seorang kakek.
Sementara itu Siao-liong-li yang ketinggalan
di belakang Cu-in itu semakin menjauh jaraknya, ketika didengarnya di belakang
ada suara langkah orang, disangkanya Yo Ko yang telah menyusul tiba, maka ia
lantas berkata: “Ko-ji, Ginkang Toa-hwesio ini teramat hebat, aku tidak sanggup
menandingi dia, coba saja kan menyusulnya.”
Tiba-tiba orang di belakangnya itu tertawa
dan berkata: “Silakan kau mengaso dahulu di atas petiku ini, setelah tenagamu
pulih, tentu kau akan melampaui Hwesio itu,”
Merasa suara orang bukan Yo Ko, cepat Siao
liong-li mcnoleh, dilihatnya seorang tua berjenggot dan berambut putih, siapa
lagi kalau bukan Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, si Anak Tua Nakal, Dengan tertawa
simpatik orang tua itu sambil menunjuk peti yang dipangguInya itu “Sini, mari
sini, naik ke atas peti ini!”
Peti itu adalah barang Tiong-yang-kiong,
mungkin tempat menyimpan kitab Coan-cin-kau, untuk menyelamatkannya dari amukan
api, maka Ciu Pek thong telah menggondolnya lari.
Selagi Siao-liong-li tersenyum dan belum
menjawab atas tawaran orang tua itu, mendadak Ciu pek thong menyelinap maju ke
depan Siaoliong-li, sekali tangannya menolak pinggang si nona dengan enteng,
Siao-liong-li di dukungnya ke atas peti yang di pangguInya itu. Gerakannya
sangat cepat, caranya aneh pula, sebelum Siao-liong-ii menghindar atau menolak,
tahu-tahu ia sudah diangkat ke atas peti. Mau-tak
mau Siao-liong-li memuji betapa hebat ilmu
silat Coan-cin-pay yang memang mempunyai keunggulan sendiri itu, bahwa para
Tosu di Tiong-yang kiong itu tidak mampu menandingi dirinya hanya karena mereka
belum menguasai sampai puncaknya ilmu silat perguruan mereka.
Sementara itu Yo Ko dan It-teng juga sudah
mengenali Ciu Pek-thong adanya. Hanya Cu-in saja yang kuatir disusul
Siao-liong-li, ia masih ngebut ke depan tanpa menyadari di belakangnya telah
bertambah seorang lagi.
Dengan langkah cepat dan mantap Ciu Pek-thong
terus mengintil di belakang Cu-in, dengan suara tertahan ia membisiki
Siao-Iiong-li: “Sebentar lagi langkahnya pasti akan lamban.”
“Dari mana kau tahu?” tanya Siao-Iong-li
dengan tertawa.
“Aku pernah berlomba lari dengan dia, dari
Tionggoan
kami udak mengudak sampai di wilayah barat
dan dari sana memutar balik lagi ke Tionggoan, berpuluh ribu li kami telah
berlari, tentu saja kutahu kemampuannya,” tutur Ciu Pek-thong dengan tersenyum.
Duduk diatas peti itu, Siao-liong-li merasa
sangat anteng dan setabil melebihi naik kuda, dengan suara pelahan ia Tanya
dengan tertawa: “Lo-wan-tong, untuk apa kau membantu aku?”
“Siapa yang tidak suka membantu nona cantik
seperti kau ini, kaupun tidak nakal dan centil seperti si Oey Yong,” jawab Ciu
Pek thong. “Malahan kaupun tidak pernah marah biarpun aku telah mencuri
madumu.”
Begitulah mereka berlari dengan Siao-liong-li
membonceng di panggul Ciu Pek-thong, benar juga, tidak lama kemudian lambat
laun langkah Cu-in mulai mengendur. Pada saat itulah Ciu Pek-thong lantas
berkata: “Pergilah!” – Berbareng pundaknya terus menyembul dan tubuuh
Siao-liong-li lantas melayang jauh ke depan.
Karena cukup istirahat begitu mulai lari
lagi, hanya sejenak saja Siao-liong-li sudah dapat melampaui Cu-in, setelah itu
ia sengaja menoleh dan tersenyum. Keruan Cu-in terkejut, lekas-lekas ia “tancap
gas” pula dan ngebut sekuatnya.
Namun Ginkang kedua orang memangnya selisih
tidak jauh, kini yang seorang sudah cukup beristirahat, yang lain sejak tadi
berlari-lari tanpa berhenti, maka jarak kedua orang makin lama makin menyolok
dan sukar lagi bagi Cu-in untuk menyusuInya.
Selama ini Cu-in sangat bangga akan dua macam
kepandaiannya yang khas dan merasa tiada tandingannya didunia ini, tapi dalam
sehari semalam saja ilmu pukulannya
telah dikalahkan Yo Ko, kini Ginkangnya dikalahkan pula oleh
Siao-liong-li, seketika ia lantas lesu dan patah semangat, kedua kakinya terasa
lemas seakan-akan tidak mau menurut perintah lagi Diam-diam ia berkuatir apakah
ajalnya sudah dekat sehingga nona jelita begitu saja mampu menyusulnya?
Semalam napsu jahatnya memuncak dan melukai
sang guru, sehabis itu hatinya tidak tenteram, kini dia tak sanggup lagi
menyusul Siao-liong-li meski sudah mengerahkan segenap tenaganya, keruan
pikirannya semakin kacau dan merasa segala urusan di dunia ini sama sekali
sukar dibayangkan.
Kejadian Ciu Pek-thong membantu Siao-liong-li
itu dapat dilihat dengan jelas oleh Yo Ko yang mengintil di belakang, ia
tertarik juga oleh perbuatan jahil si Anak Tua Nakal, segera ia percepat pula
langkahnya mendekati Ciu Pek-thong serta menegur dengan tertawa: “Terima kasih
banyak2, Ciu-locianpwe”
“Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengan
si tua Kiu Jian-yim ini, mengapa semakin tua semakin konyol sehingga akhirnya
cukur rambutnya hingga kelimis dan menjadi Hwesio.”
“Dia telah mengangkat It-teng Taysu sebagai
guru, masakah engkau tidak tahu?”, tutur Yo Ko sambil menuding ke belakang.
Ciu Pek-thong terkejut, serunya: “He, apakah
Toan-hongya juga datang?”
Waktu ia menoleh dan melihat bayangan
It-teng, cepat ia berseru pula: “Wah, tidak enak, paling selamat angkat langkah
seribu saja. Habis ini mendadak ia berlari menjurus ke samping terus menyusup
ke dalam pepohonan yang rimbun.
Yo Ko sendiri tidak tahu apa itu “Toan
Hongya” (raja she Toan) yang diucap Ciu Pek-thong itu, dilihatnya dalam sekejap
saja Anak Tua Nakal itu sudah menghilang tanpa bekas, diam-diam ia merasa
tindak tanduk orang tua itu sungguh aneh dan jarang ada bandingannya.
Melihat Ciu Pek thong telah kabur menjauhi
dirinya, It teng lantas mendekati Yo Ko, dilihatnya Cu-in lesu dan Iemas,
sikapnya semula yang bersemangat dan tangkas mendadak hilang dan entah ke mana,
maka dengan suara halus ia coba menghiburnya: “Masakah jalan pikiranmu masih
belum terbuka menghadapi soal kalah dan menang begini?”
Cu-in melenggong bingung. It-teng berkata
puIa: “Setiap kehendak tentu ada kelemahannya dengan kepandaianmu yang tinggi,
kalau saja engkau tidak berkeras ingin menang, masakah kau tidak mengetahui
bahwa di belakangmu telah bertambah seorang penguntit?”
Sampai di sini, tiba-tiba terdengar
Siao-Iiong-Ii berseru di depan sana :”He, lekas kemari, lihatlah ini..
Cepat Yo Ko bertiga menyusul kesana,
tertampak Siao-liong-li menunjuk pada sebatang pohon, kulit batang pohon itu
terkupas, sebagian terlukis sebuah ujung panah yang mengarah ke utara, di bawah
panah ada tisi kan beberapa huruf kecil yang berbunyi: “Arah ke Coat-ceng-kok.”
Huruf-huruf itu dicocok dengan jarum dan bersemu
ke-hitam-hitaman. Agaknya huruf-huruf ini dicocok dengan jarum berbisa Li
Bok-chiu,” kata Yo Ko.
“Benar,” jawab Siao-Iiong-li. “Tapi Suciku
selamanya tidak pernah ke Coat-ceng-kok, dia tidak mengenal jalanan ke sana.”
Yo Ko termenung sejenak, lalu berkata pula.
“Kwe-hujin dan nona Kwo masih menyimpan Pek-pok-gin-ciam bekas milik Li
Bok-chiu. Paman Bu tahu jalanan ke Coat-ceng-kok, mungkin tulisan ini dibuat
oleh rombongan mereka.”
“Untuk ditujukan kepada siapa petunjuk ini?”
tanya Siao Iiong-li.
“Muridku she Cu itu banyak tipu akalnya, dia
terkurung di sana dan sempat mengirim berita mohon bantuan padaku, bisa jadi
Sam-thong juga mengetahui aku akan datang ke sini,” kata It-teng Taysu.
Begitulah mereka berempat lantas mempercepat
perjalanan mereka, lima hari pertama mereka dapat berjalan dengan cepat, tapi
pagi hati keenam luka It-teng tenyata bertambah parah dan mulai tidak tahan
berjalan..
Segera Cu-in berjongkok dan memaksa
menggendong It-teng Taysu, dengan begitu mereka melanjutkan perjalanan tanpa terhenti
Lewat lohor, sampailah rombongan mereka di mulut lembah Coat ceng kok itu.
“Apakah kita perlu memberitahukan kedatangan
kita agar adikmu menyambut kedatangan Taysu,” tanya Yo Ko kepada Cu-in.
Belum lagi Cu-in menjawab tiba-tiba terdengar
di tengah lembah sana sayup-sayup ada suara beradunya senjata. Kuatir akan
keselamatan adik perempuan nya itu yang mungkin sudah bergebrak dengan Bu
Sam-thong dan lain-lain, cepat Cu-in berkata:” Marilah kita masuk saja langsung
ke sana untuk mencegah pertarungan mereka, “
Beramai-ramai mereka lantas berlari ke arah
datangnya suara itu. Sesudah dekat, terlihat beberapa orang berseragam hijau
dengan senjata terhunus sedang berjaga di luar semak-semak pohon sana dan suara
beradunya senjata berkumandang dari dalam pepohonan yang rimbun itu, sedangkan
orang-orang yang bertempur tidak kelihatan sama sekali.
Melihat kedatangan musuh lagi, orang-orang
berbaju bijau itu. berteriak-teriak sambil menyingkir ke sayap kanan dan kiri
dengan maksud hendak mendesak musuh ke tengah pepohonan. Tapi sesudah
berhadapan, mereka mengenali Siao-liong-li dan Yo Ko, serentak mereka merandek
dengan melenggong.
Salah seorang yang menjadi kepala rombongan
orang-orang berbaju hijau itu lantas menegur Yo Ko.
“Cubo (majikan perempuan - Cukong majikan
Ielaki) menugaskan Nyo-kongcu ke Siangyang, apakah tugas itu sudah berhasil
dengan baik?”
Sudah tentu tugas yang dimaksudkan itu adalah
membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong, Yo Ko tidak menjawab sebaliknya malah bertanya:
“Siapa yang sedang bertempur itu?”
Orang itu tidak menjawab, tapi melirik dengan
sangsi, karena tidak tahu kedatangan Yo Ko ini adalah kawan atau lawan.
“Kedatanganku ini tidak bermaksud buruk,”
jawab Yo Ko tersenyum, “apakah Kongsun-hujin baik-baik saja, begitu pula nona
Kongsun?”
Hilanglah rasa waswas orang berbaju hijau itu
mendengar jawaban Yo Ko itu, katanya kemudian: “Terima kasih, Cubo dan nona
baik-baik semuanya.”
Cu-in bergirang mendengar adik perempuannnya
baik-baik saja.
Orang berbaju hijau tadi bertanya pula: “Dan
siapakah kedua Toa-hwesio ini? Apakah sehaluan dengan keempat perempuan di
dalam hutan itu?
“Keempat perempuan? siapakah mereka?” tanya
Yo Ko….
“Keempat perempuan itu telah menyerbu dalam
doa jurusan, Cubo memberi perintah agar mereka diusir, tapi mereka membangkang
dan sekarang telah dipancing ke dalam lingkaran bunga cinta, di luar dugaan,
begitu keempat perempuan itu saling, bertemu, mereka lantas saling labrak
malah,” demikian keterangan orang itu.
Yo Ko terkejut mendengar keempat perempuaa
itu terkurung di tengah lingkaran bunga cinta, seketika iapun tidak tahu
siapakah keempat perempuan yang dikatakan itu.
Kalau Oey Yong, Kwe Hu, Wanyan Peng dan Yalu
Yan, mengapa mereka berempat saling labrak? Karena itulah ia lantas berkata:
“Jika tidak keberatan, tolong, perlihatkan padaku, kalau kukenal mereka, boleh
jadi dapat kulerai mereka untuk ber-sama-sama menghadap Kokcu.”
Orang berbaju hijau itu yakin keempat
perempuan yang sudah terkurung di tengah tetumbuhan bunga cinta itu pasti sukar
meloloskan diri, maka ia tak menolak permintaan Nyo Ko, segera ia membawa Yo Ko
berempat ke dalam hutan, Maka tertampaklah di suatu tanah yang rendah yang
penuh dilingkari bunga-bunga yang indah permai ada empat perempuan yang terbagi
dalam dua partai sedang bertempur dengan sengit.
Menyaksikan keadaan pertarungan keempat orang
itu, serentak Yo Ko dan Siao-liong-li terkejut bahkan Siao-liong-li sampai
berseru kuatif. Kiranya tempat di mana keempat perempuan itu bertempur adalah
sebuah tanah rumput seluas tiga empat meter persegi yang sekitarnya penuh
dipagari bunga cinta yang berduri itu, pagar bunga cinta yang mengitari tanah
rumput dibagian tengah itu rata2 melebar sampai belasan meter jauhnya, biarpun
orang yang memiliki Ginkang maha tinggal dunia ini juga tidak mampu ke luar
dari pagar bunga cinta itu dengan sekali lompat, bahkan dua kali lompatan juga
sukar.
It-teng Taysu dan Cu-in tidak begitu heran
menyaksikan keadaan itu karena mereka tidak tahu betapa lihaynya bunga cinta
itu, tapi Yo Ko dan Siao-liong-li sudah merasakan siksaan bunga itu, maka
begitu melihat mereka lantas berkuatir bagi keempat perempuan itu, “Kiranya
Suci adanya,” kata Siao-liong-li kemudian. “Dia datang terlebih dulu dari pada
kita”
Kiranya dua di antara keempat perempuan itu
memang Li Bok-chiu dan muridnya, yaitu Ang Leng-po. Mereka sama-sama
bersenjatakan pedang, mungkin setelah kebutnya patah di dalam kuburan kuno Li
Bok-chiu belum sempat membuat kebut baru, sedangkan ke dua perempuan yang
menjadi lawan mereka masing-masing menggunakan senjata Liu yap-to (golok panjang:
sempit) dan seorang lagi memegang sebangsa seruling, potongan tubuh keduanya
sama-sama langsing, langkah mereka cepat dan gesit, tampaknya ilmu silat mereka
juga tidak lemah walaupun jelas bukan tandingan Li Bok-chiu.
“Kiranya kedua saudara misan inilah,”
demikianlah Yo Ko membatin setelah mengenali kedua orang yang bukan lain
daripada Thia Eng dan Liok Bu-siang.
Bertempur di tengah arena yang cuma
tiga-empat meter luasnya memerlukan kecermatan yang luar biasa, sedikitpun
tidak boleh salah langkah, dengan demikian bagi yang lemah ilmu silatnya
menjadi rada kerepotan.
Untungnya Li Bok-chiu kurang leluasa
menggunakan pedangnya yang bukan senjatanya sehari-hari, sedangkan Thia Eng
sejak mendapatkan didikan langsung dari Oey Yok-su, sebagian kepandaiannya yang
bagus itu juga telah diajarkan kepada Liok Bu-siang, selama beberapa bulan ini
mereka sudah maju pesat, ditambah lagi Ang Leng-po merasa kasihan pada Bu-siang
yang pernah belajar bersama di bawah
pimpinan Li Bok-chiu, ia tidak tega
melancarkan serangan maut, karena itulah Bu-siang dan Thia Eng masih sanggup
bertahan meski keadaan mereka sudah mulai payah.
“Tanpa sebab apa-apa mengapa mereka berempat
bisa menerobos ke tengah pagar bunga cinta itu dan bertempur di situ?” tanya Yo Ko kepada orang berbaju hijau.
Orang itu sangat bangga
dan bercerita dengan pongahnya:
“lnilah perangkap rahasia yang diatur oleh
Kongsun-kokcu, sekali mata2 musuh menyusup ke
tengah pagar bunga cinta itu, begitu kami tutup jalan masuknya, maka semua
jalan menjadi buntu dan tak mungkin bisa keluar lagi.”
“Apakah mereka sudah terkena racun bunga
cinta itu?”
tanya Yo Ko kuatir, “Seumpama belum kena,
kukira cuma soal waktu saja, sebentar lagi,” kata orang itu,
Yo Ko menjadi heran cara bagaimana
orang-orang ini mampu memancing atau memaksa Li Bok-chiu ke dalam pagar bunga
cinta itu. Akhirnya ia ingat, pasti orang-orang berbaju hijau ini telah
menggunakan barisan berpisau yang lihay itu. Ia menjadi kuatir kalau Thia Eng
dan Bu-siang juga kena racun bunga cinta, maka di dunia ini tiada obat lagi
yang dapat menyembuhkan mereka.
Dengan suara lantang ia lantas berseru:
“Thia-cici dan Liok-cici, ini-ku diriku Yo Ko berada di sini. Kalian harus
hati-hati terhadap bunga-bunga berduri di sekitar kalian itu, tidak kepalang
lihaynya racun bunga itu, awas jangan sampai tertusuk !”
Li Bok-chiu yang cerdik itu sejak mula sudah
menduga pasti ada sesuatu pada bunga cinta itu, kalau musuh mengurung mereka
dengan tumbuh-tumbuhan berduri itu tentu ada sebabnya, maka diam-diam ia teIah
membisiki Ang Leng–po agar ber-hati-hati dan sebisanya menjauhi bunga berduri
itu.
Thia Eng dan Liok Bu siang juga bukan nona
bodoh, tentu saja merekapun melihat keadaan yang tidak beres itu, sebab itulah
mereka bertempur dengan waspada dan menghindari sentuhan pada tetumbuhan itu.
Kini demi mendengar peringatan Yo Ko, di antara keempit orang itu dua orang
merasa terkejut dan dua orang bergirang, tapi merekapun bertambah was-was
terhadap tetumbuhan di sekitar mereka itu, pertarungan merekapun bertambah
sengit mencari selamat sendiri.
Bahwasanya Thia Eng din Liok Bu-siang
bertempur demi menuntut balas kematian keluarga mereka, maka mereka sudah tidak
memikirkan kelamaan sendiri asalkan dapat membinasakan musuh. sebaliknya Li
Bok-chiu berhasrat harus membunuh kedua “nona” itu agar dapat digunakan sebagai
batu loncatan untuk melompat dari kepungan pagar bunga cinta itu.
Kedatangan Siao liong-li dan Yo Ko sebenarnya
telah membikin Li Bok-chiu menjadi kuatir, untunglah mereka teralang oleh pagar
bunga cinta dan tidak dapat memberi bantuan. Segera ia membentak: “Leng-po,
lekas menyerang jika kau tidak ingin lekas mati di sini”
Sejak kecil Ang-Leng-po sangat takut kepada
sang guru, cepat ia mengiakan dan pedangnya lantas menusuk ke arah Thia Eng.
Tekanan kepada Liok Bu-siang menjadi kendur, tapi Thia Eng lantas terancam
bahaya.
Ketika Thia Eng angkat serulingnya menangkis
serangan Ang Leng po dari belakang itu, mendadak secepat kilat pedang Li
Bok-chiu juga menyerang ke tenggorokannya.
Dengan sendirinya Bu-sing tidak tinggal diam,
segera goloknya menangkis. Namun Li Bok-chiu telah angkat pedangnya berbareng
sebelah kakinya kena memegang pergelangan tangan Bu-siang sehingga goloknya
terlepas dari pegangan dan jatuh ke tengah bunga cinta. Menyusul itu pedang Li
Bok Chiu bergerak pula, ber-turut-urut dia, menusuk tiga kali sehingga Thia Eng
tidak mampu menangkisnya dan terpaksa mundur ke belakang, kalau dia mundur lagi
selangkah tentu akan menginjak bunga berduri itu.
“Awas, Eng-ci, jangan mundur lagi!” seru
Bu-siang kuatir.
“Tidak mundur boleh maju saja!.” jengek Li
Bok-cniu sambil melangkah mundur satu tindak.
Thia Eng tahu, orang pasti tidak bermaksud
baik, tapi tempat berdirinya itu memang sangat berbahaya, maka tanpa pikir ia
lantas melangkah maju.
“Hm, berani amat kau !” jengek Li Bok-chiu
pula, pedangnya bergerak, serentak sinar pedangnya mengurung rapat tubuh Thia
Eng bagian atas.
Dari jauh Yo Ko dapat menyaksikan permainan
ilmu pedang Li Bok chiu yang lihay itu, kalau tidak memaharai gaya serangan
itu, kebanyakan orang tentu akan berusaha melindungi tubuh sendiri bagian atas,
karena itu bagian perut menjadi tak terjaga dan pasti akan terserang. Tanpa
ayal lagi Yo Ko-lantas pungut sepotong batu kecil dan mendadak diselentikkan.
Begitu cepat batu itu meluncur ke depan
mengarah Li Bokchiu yang tinggal satunya itu. Pada saat itu pula ujung pedang
Li Bok-chiu juga sedang menyerang bagian perut Thia Eng. Ketika tiba-tiba
mendapat serangan batu, kalau serangan pada Thia Eng diteruskan dan dapat
membinasakan gadis itu, namun mata sendiri juga sukar diselamatkan Terpaksa ia menarik
kembali pedangnya untuk menyampuk batu itu, “trang”, batu itu tersampuk jauh.
Sambitan batu Yo Ko itu adalah ilmu jari
sakti ajaran Ui Yok-su, cuma belum sempurna dilatihnya, maka dia hanya dapat
menggunakannya untuk menggertak musuh dan menolong teman, Untung sejak sebelah
mata Li Bok-chiu buta, sisa mata satu-satunya itu selalu dijaganya dengan baik,
kalau tidak mungkin dia berani mengambil risiko membinasakan Thia Eeng lebih
dulu, habis itu baru berusaha menundukkan
kepala untuk menghindari sambitan batu.
Kalau serangan itu dilakukan oleh Oey Yok-su
tentu batu itu akan menggetar jatuh pedang Li Bok-chiu atau sedikitnya membuat
pedang itu terpental walaupun tidak sehebat Ui Yok-su, namun sedikit-ilmu
ajarannya itu juga telah berhasil menyelamatkan jiwa murid kesayangannya.
Setelah lolos dari renggutan sang maut, wajah
Thia Eng yang memang putih itu menjadi semakin pucat, Melihat itu, segera Li
Bok-chiu membentak: “Awas, datang lagi!” pedangnya bergerak, serangan seperti tadi
kembali dilancarkan pula.
Thia Eng sudah mendapatkan pengalaman tadi
dan ia tahu sasaran musuh adalah bagian perutnya, maka serulingnya lebih
diutarnakan melindungi bagian tubuh tersebut.
Di luar dugaan, serangan Li Bok-chiu ternyata
beraneka macam perubahannya ujung pedangnya benar-benar menusuk pula ke perut
Thia Eng, tapi berbareng iapun menubruk maju, jarinya berhasil menutuk
“Giok-tong-hiat” di dada nona itu, ketika Thia Eng melenggong, segera kaki Li
Bok chiu menyapu pula hingga Liok Bu-siang didepak jatuh, menyusul ujung kakinya
menendang pula Hiat-to di bagian dengkul Thia Eng.
Beberapa gerakan itu berlangsung dengan cepat
luar biasa, dalam sekajap saja Thia Eng dan Liok Bu-siang kena dirobohkan
semua, meski Yo Ko hendak menolongnya juga tidak keburu lagi.
“Suhu!” seru Ang Leng-po kuatir.
Tapi Li Bok-chiu lantas cengkeram punggung
Thia Eng dan di lempar kesana menyusut Bu siang juga dilemparkannya sambil
berkata: “Leng-po, cepat lompat keluar dengan menginjak tubuh mereka berdua….”
belum habis ucapannya, mendadak Yo Ko melompat maju dan sempat menangkap tubuh
Thia Eng sebelum nona itu terjatuh ke tengah bunga cinta”. Habis itu lantas
melompat maju lagi.
Meski Hiat-to bagian dada dan kaki tertutuk,
tapi kedua tangan Thia Eng masih dapat bergerak, segera ia merangkul Liok
Bu-siang yang saat itu sedang melayang ke arahnya itu sambil berseru:
“Nyo-toako, engkau…” seketika darah bergolak dalam dalam dadanya, memangnya dia
sudah jatuh cinta pada Yo Ko, kini pemuda itu menerjang ke tengah bunga cinta
itu untuk menoIongnya tanpa memikirkan keselamatan sendiri, sungguh ia menjadi
sangat terharu dan terima kasih tak terhingga.
Rupanya waktu melihat Thia Eng dan Liok
Busiang dilemparkan Li Bok-chiu ke tengah semak-semak bunga cinta, semula Yo Ko
dapat meraba maksud keji Li Bok-chiu yang hendak menggunakan kedua nona itu
sebagai batu loncatan untuk keluar dari kepungan pagar bunga cinta itu, maka
tanpa pikir ia terus menerjang maju untuk menolong kedua nona itu.
Setelah berhasil menangkap tubuh kedua orang
itu, cepat ia melompat mundur menurunkan mereka.
Kaki Thia Eng tertutuk sehingga tidak dapat
berdiri, cepat Siao-liong-li membukakan Hiat-to yang tertutuk itu….Ketiga nona sama memandangi Yo Ko, tertampak kaki
celananya sudah robek terkena duri, kakinya juga berlumuran darah, entah berapa
banyak duri bunga berbisa itu telah melukainya.
Thia Eng mengembeng air mata dan tidak
sanggup membuka suara, Liok Bu-siang juga cemas dan berkata: “Mestinya engkau….
tidak perlu menolong diriku mengapa… mengapa engkau bertindak begini ?”
Dengan tertawa Yo Ko menjawab “memangnya aku sudah
terkena racun bunga itu”, kalau tercocok lagi duri bunga itu juga tidak ada
bedanya.”
Sudah tentu semua orang tahu banyak dan
sedikit terkena racun bunga itu besar perbedaannya.
Ucapannya itu jelas hanya untuk menghibur
ketiga nona ini saja.
Tiba-tiba Liok Bu-siang-berseru pula: “He,
Tolol, ken…kenapa lengan kananmu? Mengapa buntung?”
Siao-liong-li tidak kenal Thia Eng dan
Bu-siang, tapi melihat mereka cantik manis, dalam hatinya sudah timbul rasa suka,
apalagi melihat mereka sangat memperhatikan Yo Ko, sekejap saja ia sudah anggap
mereka sebagai teman karib.
Dengan tersenyum ia lantas bertanya: “Mengapa
engkau memanggilnya tolol? sama sekali dia tidaklah tolol”
“Ah, maaf, karena sudah terbiasa memanggilnya
begitu, seketika aku lupa,” jawab Bu-siang ia saling pandang sekejap dengan
Thia Eng, lalu bertanya: “Cici ini apakah…”
“lalah….” belum selesai Yo Ko menerangkan
cepat Thia Eng menyambung: “Tentunya Siao-liong-li cianpwe bukan?”
“Ya, memang sudah kuduga, sungguh cantik
laksana bidadari,” demikian Bu-siang menambahi.
Rasa cemburu pasti ada pada setiap orang,
apalagi perempuan Dahulu, ketika melihat Yo Ko sangat mencintai Siao-liong-li,
betapapun timbul rasai cemburu dalam hati Thia Eng dan Bu-siang, tapi sekarang
setelah bertemu, makin dipandang makia terasa Siao-liong-li memang cantik molek
dan sederhana, lain daripada yang lain tanpa terasa timbul pikiran rendah
dirinya, keduanya sama membatin: “Memang diriku tak dapat dibandingkan dia.”
Bu siang yang berwatak tidak sabaran itu
segera bertanya pula:”He, Nyo-toako, sebab apakah lenganmu itu terkutung?
Apalah lukanya sudah sembuh?”
“Sudah lama sembuh, “jawab Yo Ko. “Putus
karena dikutungkan orang.”
“Keparat!” omel Bu-siang. “Bangsat manakah
yang pantas mampus itu? Tentu dia menggunakan akal licik dan keji, bukan?,
Apakah perbuatan iblis perempuan yang jahat itu?”
Tiba-tiba suara seseorang mendengus di
belakangnya: “Hm, apakah tidak rendah caramu memaki di luar tahu orangnya?”
Bu-siang dan Thia Eng terkejut, cepat mereka
berpaling, terlihatlah yang bicara itu adalah seorang nona cantik, siapa lagi
kalau bukan Kwe Hu. Dengan tangan memegang garan pedang air muka Kwe Hu tampak
marah, di sebelahnya berdiri pula beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan.
Dengan heran Bu-siang lantas menjawab: “He,
kan bukan kau yang kumaki, yang kumaki adalah bangsat keparat yg membuntungi
lengan Nyo-toako.”
“Sret”, mendadak Kwe Hu melolos pedangnya
sebagian dan berkata pula dengan gusar: “Akulah yang mengutungkan lengannya.
Aku sudah minta maaf padanya, akupun sudnh kenyang didamperat ayah ibuku, tapi
kalian masih memaki aku secara keji di belakangku…” sampai di sini matanya menjadi
memberambang merah penuh rasa penasaran
Kiranya rombongan Bu Sam-thong, Kwe Hu, Yalu Ce
dan kedua saudara Bu kemudian bergabung kembali dengan Ui Yong serta Wanyan
Peng dan Yalu Yan, lalu mereka lantas menuju ke Coat-ceng-j kok, karena Bu
Sam-thong sudah tahu jalannya maka rombongan mereka tiba lebih dini setengah hari
daripada rombongan It-teng dan Yo Ko, Cuma rombongan Oey Yong lebih dulu
berusaha mencari paderi Hindu dan Cu Cu-Iiu, tapi tidak ketemu, maka banyak
waktu yang terbuang secara sia-sia.
Mengenai beradanya Li Bok-chiu dan Ang
Leng-po di Coat-ceng-kok, begitu pula Thia Eng dan Liok Bu-siang, keadaan mereka
sebaliknya ber-beda2. Li Bok-chiu berdua datang ke situ tanpa sengaja karena
mereka mengikuti tanda-tanda petunjuk jalan yang ditinggalkan Bu Sam-thong,
sedangkan kedatangan Thia Eng berdua adalah karena terpancing oleh kejahilan
Ciu Pek-thong.
BegituIah Oey Yong, Bu Sam-thong dan
lain-lain lantas memberi hormat kepada It-teng Taysu, lalu diperkenalkan pula
kepada lain-lainnya. Thia Eng belum pernah bertemu dengan kakak seperguruannya
seperti Oey Yong ini, namun namanya sudah lama didengarnya serta dikaguminya,
maka dengan sangat hormat ia lantas menyembah kepada Oey Yong sambil memanggil
“Suci!”
Dari Yo Ko memang Oey Yong sudah mendengar
bahwa akhir2 ini ayahnya telah menerima lagi seorang murid perempuan, kini
melihat sang Sumoay ini cukup cantik, ia menjadi menyukainya dan bertanya
tentang keadaan ayahnya.
Sementara itu beberapa orang berbaju hijau
tadi lantas kabur melaporkan kedatangan musuh itu kepada Kiu Jian-jio.
Kwe Hu dan Liok Bu-siang masih saling
melotot, meski tidak berkelahi, tapi sama-sama merasa benci. Apa lagi dari ibunya
Kwe Hu disuruh memberi hormat serta memanggil “Susiok” kepada Thia Eng, tentu
saja ia kurang senang, suara panggilan nya juga sangat kaku.
Sedang Yo Ko dan Siaoliong-li bergandengan
tangan berdiri rada jauh, melihat Kwe Yang dalam pondongan Siao-liong-li itu,
ia lantas berkata: “Liong-ji kembalikan saja, anak ini pada ibunya.”
Siao-liong li setuju, ia menciumi dulu pipi
mungil anak bayi itu, lalu mendekati Oey Yong dan berkatal “Kwe hujin, terimalah
anakmu ini.”
Dengan girang Oey Yong
menerimanya. Sejak dilahirkan baru sekarang Kwe Yang berada dalam pangkuan sang
ibu, sungguh rasa girang Oey Yong sukar dilukiskan.
“Nona Kwe,” dengan suara lantang Yo Ko
berkata kepada Kwe Hu, “itu dia, adikmu dalam keadaan sehat walafiat tanpa
kurang, sesuatu apapun sama sekali aku tidak menggunakannya untuk menukar obat
bagiku.”
“lbuku datang dengan sendirinya kau tidak
berani,” jawab Kwe Hu dengan gusar, “Kalau kau tidak bermaksud begitu, untuk
apa kau membawa lari adikku ke sini?”
Kalau menurut watak Yo Ko biasanya tentu
kontan dia balas mengejeknya, tapi beberapa bulan terakhir ini dia telah banyak
mengalami gemblengan lahir batin, pertengkaran mulut begitu, sudah tidak
menarik baginya, maka ia hanya tersenyum tawar saja, lalu menyingkir dengan
menggandeng tangan Siao-Iiong li.
Bu-siang memandang sekejap kearah Kwe Yang
lalu berkata kepada Thia Eng: “inilah puteri bungsu Sucimu?
Semoga setelah dia besar kelak tidak terlalu
galak dan warok!”
Sudah tentu Kwe Hu dapat merasakan ucapan
yang menyindirnya itu, segera ia menanggapi: “Adik-ku akan galak dan warok atau
tidak, sangkut paut apa dengan kau? Apa maksud ucapanmu ini?”
“Aku tidak bicara dengan kau,” jawab
Bu-siang. “Orang jahat dan galak, setiap orang di dunia ini boleh ikut urus, mengapa
tiada sangkut paut denganku.”
Jiwa Bu-siang pernah diselamatkan Yo Ko dalam
lubuk hati nona itu hanya anak muda itulah yang selalu dipikirkan olehnya,
misalnya waktu sama-sama terancam bahaya, Bu-siang rela menyerahkan setengah potong
saputangan wasiat kepadanya, itulah pertanda dia rela mengorbankan jiwa sendiri,
demi keselamatan Yo Ko.
Kini mendengar anak muda itu dikutungi oleh
Kwe Hu, tentu saja ia ikut sakit hati dan gusar pula. Wataknya memang tidak
sabaran seperti Thia Eng, meski di depan orang banyak iapun tidak dapat menahan
perasaannya itu.
Begitulah dengan murka Kwe Hu lantas balas mendamprat:
“Keparat! Kau perempuan pincang…”
“Hu-ji! jangan kurang ajar!” bentak Oey Yong
cepat.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang
menjerit di sebelah sana, semua orang lantas memandang ke sana, tertampaklah di
tengah lingkaran semak-semak bunga cinta itu Li Bok-chiu mengangkat tubuh Ang
Leng-po, jeritan itu adalah suara Ang Leng-po yang ketakutan itu.
Rupanya It-teng, Oey Yong, Thia Eng dan
lain-lain asyik bercengkerama sehingga melupakan Li Bok-chiu dan muridnya itu.
“Celaka, Suhu hendak menggunakan Suci sebagai
batu loncatan!” seru Bu-siang kuatir. Sejak kecil dia tinggal bersama Li
Bokchiu, maka ia cukup kenal watak sang guru yang keji dan ganas itu, Biarpun
Ang Leng-po merupakan jatuhnya orang yang paling dekat dengan dia, tapi kalau terancam
bahaya, sang guru itu tidak segan-segan menerbitkan jiwa muridnya demi
keselamatannya sendiri Selagi semua crang melengak kaget, tertampak Li Bok-chiu
sedang melemparkan Ang Leng-po ke semak-semak bunga cinta yang berduri itu,
menyusul ia sendiri lantas melompat ke sana, sekali kakinya menutul tubuh
Leng-po.
serentak dia melompat pula sekuatnya ke depan
sambil tangan menarik Ang Leng-po dan dilemparkan lagi, lalu digunakan lagi
sebagai batu loncatan, dengan begitu tiga kali lompatan saja dia akan dapat
keluar dari kurungan semak-semak bunga itu. Dia juga kuatir akan dicegat Oey
Yong dan rornbongannya, maka arah yang dia ambil adalah berlawanan dengan
tempat berdiri rombongan Oey Yong itu.
Di luar dugaan, ketika untuk kedua kalinya
dia hendak melompat lagi ke depan, mendadak Ang Leng-po berteriak keras-keras
dan ikut melompat juga ke atas terus merangkul erat-erat paha kiri Li Bok-chiu
seketika tubuh Li Bok-chiu tertarik ke bawah, dalam keadaan terapung tiada
jalan lain bagi Li Bok-chiu kecuali mengayun kakinya yang lain, “bluk”, dengan
keras dada Ang Lengpo tertendang isi perutnya tergetar hancur dan binasa
seketika.
Namun begitu tangan Ang Leng-po masih
merangkul sekencang-kencangnya sehingga kedua orang sama terbanting jatuh ke
semak-semak bunga, walaupun tempatnya hanya dua-tiga kaki saja dari tepi
semak-semak namun selisih jarak sekian itu pun telah membikin Li Bok-chiu ikut merasakan
siksaan beribu-ribu duri bunga yang berbisa itu.
Perubahan itu mula-mula sama sekali tak
terduga oleh siapapun dan berakhir secara mengerikan pula, semua orang menyaksikan
dengan melongo dan berdebar.
Dalam pada itu Li Bok-chiu telah berjongkok
dan mementang tangan Ang Leng-po yang masih merangkul erat pada kakinya itu,
dilihatnya muridnya itu sudah mati, namun matanya tetap melotot penuh benci dan
dendam.
Li Bok-chiu tahu dirinya telah keracunan
bunga berduri itu, untuk itu harus mencari obat penawarnya di lembah ini.
Selagi dia hendak melangkah pergi, tiba-tiba terdengar Oey Yong berseru
padanya: “Li-cici, coba kemari, ingin kukatakan sesuatu padamu.”..
Dengan rada sangsi Li Bok-chiu mendekati Oey
Yong, lalu bertanya: “Ada apa?” Diam-diam ia berharap maksud Oey Yong memanggilnya
itu hendak memberi obat atau paling tidak akan memberi petunjuk ke mana harus
mencari obat penawar.
Maka berkatalah Oey Yong, “Untuk keluar dari
kurungan semak-semak bunga itu sebenarnya kau tidak perlu mengorbankan jiwa
muridmu.”
“Hm, jadi kau hendak mengguruiku?” jengek Li
Bok chiu.
“Mana aku berani,” jawab Oey Yong dengan
tertawa, “Aku cuma ingin mengajarkan sesuatu akal padamu, mestinya cukup kau
menggali tanah dan membungkusnya dengan bajumu menjadi dua karung, lalu
dilemparkan ke semak-semak bunga itu, bukankah akan merupakan batu loncatan yang
sangat bagus? Kan kau dapat keluar dengan baik dan jiwa muridmu juga tidak
perlu melayang.”
Muka Li Bok-cbio menjadi merah dan lain saat
berubah pucat pula penuh rasa menyesal. Apa yang diucapkan Oey Yong itu
sebenarnya tidak sulit dilakukan soalnya dia terburu napsu dan tidak
memikirkannya tadi sehingga satunya orang yang paling dekat telah menjadi
korban dan ia sendiripun belum terhindar dari bencana, Maka dengan gemas ia
menjawab: “Sudah tertambat kalau dibicarakan sekarang!”
“Ya, memang benar sudah terlambat.” ujar Oey
Yong, “Padahal terkena racun bunga itu atau tidak bagimu tiada bedanya.”
Dengan gusar Li Bokchiu mendelik pada Oey
Yong karena tidak paham apa arti ucapan itu.
Sebenarnya sudah terang kau terkena racun
patah hatimu, akibatnya kau berbuat sesuka hatimu, mencelakai orang lain dan
bikin susah sendiri puIa, sampai saat ini memang sudah sangat tertambat
bagimu,” kata Oey Yong dengan gegetun.
Serentak timbul pula rasa angkuh Li Bok-chiu,
jawabnya: “ jiwa muridku itu akulah yang menyelamatkannya, kalau aku tidak
membesarkan dia, mungkin sejak dulu dia sudah mati, jadi dia hidup dariku dan
mati pula bagiku, ini kan maha adil.”
“Setiap orang tentu terlahir dari ibu dan
ayah, sekalipun ayah-ibu juga takkan membunuh putra putri sendiri, apalagi orang
luar ?” kata Oey
Yong.
Segera Bu Siu-bun melangkah maju dengan
pedang terhunus dan membentakt “Li Bok-chiu kejahatanmu sudah kelewat takaran,
ajal mu sudah sampai sekarang, maka terima saja kematianmu dan tidak perlu
banyak bacot.”
Menyusul Bu Tun-si, Bu Sam-thong serta Yalu
Ce, Yalu Yan, Wanyan Peng dan Kwe Hu berenam serentak juga mendesak maju dari
kanan dan kiri.
Sorot mata Li Bok-chiu menyapu sekeliling
tawarnya itu, jelas semua orang penuh rasa benci padanya, ia pikir melulu seorang
Oey Yong saja tukar dilawan apa lagi masih ada Yo Ko dan Siaoliong-li.
Dilihatnya Liok Bu-siang dan Thia Eng juga lantas melangkah maju dengan senjata
masing-masing.
“Orang she Li, secara keji kau telah membunuh
segenap keluargaku, kalau sekarang hanya jiwamu sendiri saja yang membayar
utangmu itu kan masih terlalu murah bagimu?”
seru Liok Busiang.
“Kalau bicara kejahatanmu melulu caramu membunuh Ang-suci barusan, kematianmu
saja tidak cukup untuk menebas dosamu.”
Dalam keadaan demikian ternyata Kwe Hu masih
sempat melirik pada Liok Bu-siang dan mengejeknya: “Hm, itulah perbuatan gurumu
yang baik itu!,”
Bu-siang balas melotot, jawabnya: “Segala
perbuatan harus di tanggung sendiri dosanya, yang benar jangan kau meniru
tingkah-lakunya.”
Li Bok-chiu berseru: “Siausumoay, apakah sama
sekali kau tidak memikirkan hubungan baik saudara seperguruan lagi?”
Selama hidupnya malang melintang di dunia
Kangouw tampa kenal belas kasihan kepada siapa-pun, sekarang dia sendiri malah
memohon kebaikan hati Siao liong-li, nyata karena dia merasa terdesak dan
keadaan sangat gawat bagi nya, selain itu mau-tak-mau hatinya merasa menyesal
juga setelah membinasakan Ang Leng-po tadi sehingga membuatnya patah semangat.
Selagi Siao-liong-li hendak menjawab,
tiba-tiba Nyo-Ko menanggapi dengan suara lantang: “Kau telah mengkhianati perguruan
dan membunuh murid sendiri, masakah kau masih berani bicara tentang seperguruan
segala?”
“Baik”!” seru Li Bok-chtu sambil menghela
napas, pedangnya bergerak dan menambahkan pula:
“Nah, majulah kalian semuanya, semakin banyak
semakin baik.”
Tanpa bicara lagi kedua Bu cilik lantas
menusuk dengan pedang mereka, menyusul Liok Bu-siang dan Thia Eng menubruk maju
dari samping kiri.
“Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain juga
tidak mau ketinggalan, serentak mereka menyerang.
Mereka telah saksikan Li Bok-chiu
membinasakan muridnya dengan keji, maka mereka sama benci dan murka, sebab
itulah serangan mereka sama sekali tidak kenal ampun lagi. Bahkan orang alim
seperti It-teng Taysu juga merasa iblis perenv fmt,ti ittf mcraang pantas
dimakan daripada hidupnya akan mencelakai orang lain pula, Terdengarlah suara gemerantang
beradunya senjata, betapapun tinggi kepandaian Li Bok-chiu juga tidak mampu
menghadapi kerubutan orang banyak dan tampak nya sekejap saja tubuhnya pasti
akan dicincang oleh berbagai senjata itu.
Pada saat itulah mendadak Li Bok-chiu
menngayun tangan kirinya sambil menggertak: “Awas senjata rahasia!”
Setiap orang cukup kenal betapa lihaynya
Peng-pok-gin-ciam, jarum berbisa andalan Li Bok-chiu itu, karena itu serentak
mereka terkesiap, Pada saat itu, tahu-tahu Li Bok-chiu telah melompat ke atas
untuk kemudian turun kembali dibalik semak-semak bunga cinta sana. Dalam kaget
dan gusarnya, semua orang sama berteriak kuwatir pula.
Rupanya dalam keadaan kepepet, Li Bok-chiu
lantas ingat bahwa dirinya telan tercocok oleh duri bunga cinta itu, kalau duri
itu berbisa, biarpun tercocok lebih banyak lagi juga sama saja, jadinya masuk
kembalinya dia ke tengah semak-semak bunga itu juga tak terduga oleh orang
cerdik seperti Oey Yong
dan Yo Ko.
Terlihat Li Bok-chiu lantas menyusuri
semak-semak bunga itu dan menerobos ke pepohonan.
“Marilah kita kejar!” seru Siu-bun sambil
mendahului berlari ke sana, namun jalanan di tengah hutan itu ternyata berliku-liku,
hanya belasan tombak jauhnya dia sudah berhadapan dengan jalan simpang tiga
sehingga dia bingung ke arah mana harus ditelusurinya.
Selagi sangsi, tiba-tiba dari depan sana
muncul lima gadis jelita berbaju hijau dan orang yang paling depan membawa sebuah
keranjang bunga, empat kawannya yang ikut di belakang membawa pedang. Gadis
yang berada di depan itu lantas bertanya “Kokcu menanyakan kedatangan kalian,
ini entah ada keperluan apa?”
Dari jauh Yo Ko lantas, mengenali gadis itu,
cepat ia berseru: “He, nona Kongsun, inilah kami yang datang!”
Kiranya gadis jelita itu adalah Kongsun
Lik-oh.. Begitu mendengar suara Yo Ko seketika sikapnya lantas berubah, dengan
tingkah cepat ia mendekat anak muda itu dan raenyapa: “Ah, kiranya Nyo- toako
sudah kembali, tentu engkau telah berhasil dengan baik? Marilah lekas menjumpai
ibu!”
“Nona Kongsun, marilah kuperkenalkan beberapa
Cianpwe ini,” kata Yo Ko, lalu ia perkenalkan It-teng Taysu, Cu in dan Oey
Yong.
Kongsun Lik-oh tidak tahu bahwa Hwesio baju
hitam di depannya ini adalah Kuku (paman adik Ibu) sendiri, ia hanya memberi
hormat sekadarnya dan tidak menaruh perhatian apa-apa, Tapi ketika mendengar Yo
Ko menyebut Oey Yong sebagai nyonya Kwe, segera ia tahu inilah musuh besar Sang
ibu yang ingin dibunuhnya itu, ternyata Yo Ko tidak membunuhnya, bahkan
membawanya ke sana, mau-tak-mau ia menjadi ragu dan curiga tanpa terasa ia
mundur dua tiga tindak dan tidak memberi hormat lagi, lalu berkata: “Ibuku menyilakan
para tamu keruangao tamu untuk minum.”
Setelah semua orang dibawa ke ruangan besar,
tertampak Kiu Jian-jio berduduk di kursi di tengah lapangan itu, dan berkata:
“Perempuan loyo dan cacad tidak dapat menyambut tetamu secara wajar, harap
dimaafkan.”
Dalam ingatan Cu-in, adik perempuannya yang
menikah dengan Kongsun Ci dahulu itu adalah sedang nona jelita berusia 18
tahun, siapa tahu sekarang vang dihadapinya ternyata adalah seorang nenek buruk
rupa dan sudah botak.
Terkenang pada kisah-hidup masa lampau,
seketika pikiran Cuin menjadi kacau.
Melihat sorot mata muridnya tiba-tiba berubah
aneh, It Teng menjadi kuatir. Sudah banyak It-teng menuntun orang ke jalan yang
baik, hanya muridnya inilah yang sukar diinsafkan dari kejahatannya? di masa
lalu, soalnya ilmu silat Cu-in teramat tinggi, dahulu adalah seorang pemimpin
besar suatu organisasi terkenal, seorang tokoh dunia persilatan dan disegani,
maklumlah kalau lebih sulit memperbaiki wataknya itu daripada orang biasa.
Apalagi sekarang dia menjelajah Kangouw lagi,
setiap langkah selalu menimbulkan kenangan masa lampaunya dan sukar menahan
gejolak perasaannya.
Kiu Jian-jio menjadi terheran-heran, melihat
Yo Ko muncul lagi dalam keadaan sehat walafiat setelah lewat waktu yang
ditentukan dan datang kembali, tadinya dia menyangka anakmuda itu sudah mampus
oleh racun bunga cinta yang jahat itu.
“Kiranya kau belum mampus?” demikian ia tanya.
“Aku sudah minum obat penawar racun dan sudah
sembuh,” jawab Yo Ko dengan tertawa..
Mau- tak mau Kiu Jian-jio menjadi sangat
heran di dunia ini ternyata ada obat penawar lain yang dapat menyembuhkan racun
..bunga cinta ini, tapi mendadak pikirannya tergerak, segera ia mendengus: “Hm,
kau tidak perlu berdusta. Kalau kau mendapatkan obat penawar yang mujarab,
untuk apa Hwesio Hindu dan orang she Cu itu menyelinap ke sini?”
“Kiu cianpwe.” kata Yo Ko, “dimanakah kau
menyekap paderi Hindu dan Cu locianpwe Sudilah engkau membebaskan mereka saja.”
“Hm, tangkap harimau gampang, melepaskan nya
sulit…” jengek Kiu Jian-jio.
Ucapan juga beralasan. Maklumlah anggauta
badannya cacat, bahwa paderi Hmdo dan Cu Cu-liul ditawannya adalah berkat
pesawat rahasia yang-teratur di Coat-eeng kok ini.
Kalau ke dua tawanan itu dibebaskan paderi
Hindu itu tidak menjadi soal karena tidak mahir ilmusilat, tapi Cu Cu-liu tentu
sakit hati dan akan menuntut balas, padahal tiada seorangpun anak murid
Coat-ceng-kok ini mampu menandingi Cu Cu-liu yang lihay ini.
Yo Ko pikir kalau nenek itu sudah bicara
langsung dengan kakak kandungnya mengingat hubungan baik sesame saudara,
mungkin segala urusan dapat diselesaikan dengan baik, Maka dengan tersenyum. ia
berkata pula: “Kiu-cianpwe, harap kau, melihat yang jelas, siapakah yang kubawa
ke sini ini? Tentu engkau akan kegirangan jika mengenalinya.”
Namun mereka kakak beradik sudah berpisah
berpuluh tahun, kini Cu-in telah memakai jubah paderi pula, walaupun Kiu jian
jio sudah tahu sang kakak telah menjadi Hwesio, tapi dalam ingatannya kakaknya
itu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seketika mana dia dapat mengenali
paderi tua berjubah hitam ini.
Hanya dari Kongsun Lik-oh telah didapatkan
laporan bahwa Oey Yong juga datang, maka sorot matanya memandang tiap orang dan
akhirnya mendelik pada Oey Yong.
“Bagus! inilah Oey Yong
bukan? Kau yang membunuh Toakoku?” tiba-tiba ia berkata dengan mengertak gigi
penuh rasa dendam.
Yo Ko terkejut, tujuannya hendak
mempertemukan mereka kakak beradik, tapi Kiu jian-jio ternyata mengenali musuhnya
lebih dulu, cepat ia menyela: “Kiu-locianpwe, persoalan ini ditunda saja dulu,
lihatlah lagi siapa ini yang datang!”
“Memangnya Kwe Ceng juga datang” bentak Kiu
Jian-jio.
“Bagus! Bagus! Mana dia?” Lalu dia memandang
Bu Sam-thong dan mengamati Yalu Ce pula, ia merasa yang seorang terlalu tua dan
yang lain masih muda, semuanya tidak memper Kwe Ceng, ia menjadi bingung dan
berusaha menemukan Kwe Ceng diantara orang banyak.
Sekonyong-konyong sinar matanya kebentrok
pandang dengan Cu-in, seketika hati masing-masing juga lantas tersentuh, Cu-in
terus melompat maju sambil berseru: “Sam-moay (adik ketiga)!”
Kiu Jian-jio juga berteriak “Jiko (kakak
kedua)!” serentak keduanya lantas terdiam dan sukar mengutarakan perasaan masing-masing.
Sejenak barulah Kiu Jian-jio bertanya: “Jiko,
mengapa engkau menjadi Hwesio?”
“Kaki tanganmu mengapa cacat, Sammoay?” jawab
Cu-in.
“terjebak oleh akal keji bangsat Kongsun Ci
itu.” tutur Kiu Jian-jio.
“Kongsun Ci siapa?” Cu-in menegas. “O, apakah
Moaytiang (adik ipar) maksudmu? Dimana dia sekarang?”
“Tidak perlu lagi kau menyebutnya Moaytiang
segala!” kata Kiu jian-jio dengan gregetan: “Keparat itu hakekatnya adalah
manusia berhati binatang dia telah mencelakai dan menyiksa diriku hingga
demikian ini.”
Cu-in tak dapat menahan rasa murkanya,
teriaknya: “Ke mana perginya jahanam itu? Akan kucincang dia hingga hancur
lebur untuk melampiaskan dendammu.”
“Meski aku terperangkap, untung tidak mati,
sedangkan Toako kita malah sudah tewas,” kata Kiu Jian-jio dengan dingin.
“Ya,” jawab Cu-in dengan muram.
“Dan, mengapa kau diam saja?” bentak Kiu
Jian-jio mendadak, “Percuma kau memiliki Ilmu silat setinggi itu, mengapa
sampai sekarang tidak menuntut belas bagi Toako kita, di maoa letak ke-Itmknmn
kepada saudara tendiri?”
Cu-in melengak kaget dan bergumam: “Menuntut
balas bagi Toako”
Saat ini juga perempuan hina Oey Yong juga
berada di sini, lekas kau bunuh dia, habis itu cari lagi Kwe Ceng dan binasakan
dia,” bentak Kiu Jian jio pula.
Dengan bingung Cu-in memandang Oey Yong,
sorot matanya tiba-tiba berubah aneh, Cepat It-teng mendekatinya dan berkata
dengan suara halus: “Cu-in, Cut-keh”-lang (orang yang sudah meninggalkan rumah)
mana boleh timbul lagi pikiran membunuh? Apalagi kematian kakakmu juga akibat perbuatan
sendiri dan tidak bisa menyalahkan orang.”
Cu-in menunduk, setelah termenung sejenak
lalu berkata: “Ucapan Suhu memang benar, Sammoay, sakit hati ini tidak dapat
dibalas.”
Mendadak Kiu Jian-jio mendamperat It-teng
dengan melotot “Hweshio tua suka mengaco-belo. Jiko, keluarga Kiu kita terkenal
gagah perwira, Toako kita dibunuh orang dan kau tinggal diam, lalu terhitung
ksatria macam apakah kau ini?”
Pikiran Cu-in menjadi kacau, ia bergumam
puIa: “Terhitung ksatria macam apa diriku?”
“Ya, begitulah!” seru Kiu Jian jio pula.
“Dahulu kau malang melintang di dunia Kangouw, betapa disegani namamu sebagai
Tiat-ciang-cui-siang-biau, tak tersangka setelah usiamu lanjut, kau telah
berubah menjadi pengecut. Kiu Jian-yim, dengarkan perkataanku ini, kalau kau
tidak menuntut balas bagi Toako, maka kaupun jangan mengakui diriku sebagai
adikmu.”
Melihat semakin hebat desakan Kiu Jian-yim
diam-diam semua orang mengakui kelihayan nenek botak itu…
Dahulu Oey Yong pernah merasakan sekali
pukulan Kiu Jian-yim yang kini bernama Cu-in Hwesio itu, untung dia ditolong lt-teng
Taysu sehingga lolos dari renggutan elmaut, dengan sendirinya ia cukup kenal
betapa lihaynya bekas ketua Tiat ciang pang itu. Maka sejak tadi ia sudah
memperhitungkan beberapa jalan cara menyelamatkan diri apabila musuh menyerang
mendadak.
Ternyata Kwe Hu tidak dapat menahan
perasaannya lagi, segera ia berteriak: “Ayah-ibuku hanya tidak ingin banyak urusan,
memangnya kau kira beliau2 itu takut pada nenek reyot macam mu ini. Kalau
banyak cingcong lagi, jangan kau salahkah nonamu ini jika kubertindak kasar
padamu.”
Mestinya Oey Yong hendak mencegah sikap Kwe
Hu itu, tapi lantas terpikir olehnya bahwa tindakan puterinya itu paling tidak
akan memencarkan perhatian Cu-in yang hamper terpengaruh hasutan Kiu Jian-jio
itu.
Melihat sang ibu tidak mencegahnya, Kwe Hu
lantas berseru pula: “Setidaknya kami ini kan tamu, kau tidak nyambut secara
hormat tapi malah bersikap kurang sopan, hm, malahan kau berani membual tentang
keluarga ksatria segala?”
Dengan dingin Kiu Jian-jio memandang Kwe Hu
bertanya: “Kau inikah puterinya Kwe Ceng dan Oey Yong.”
“Benar,” jawak Kwe Hu.-”Kalau mampu, kau
sendiri boleh turun tangan untuk menuntut balas, kakakmu sudah menjadi Hwesio,
mana boleh timbul lagi pikiran yang tidak senonoh?”
Seperti bergumam Kiu Jian-jio berkata:
“Bagus, jadi kau ini putrinya Kwe Ceng dan Oey Yong… kau puterinya Kwe Ceng dan…”
belum lagi selesai ucapannya, sekonyong-konyong “berrrr”, satu biji kurma
tersembur dari mulutnya dan menyembur ke-batok kepala Kwe Hu dengan cepat dan
tepat.
Sudah tentu semua orang tidak menyangka bahwa
selagi nenek botak itu bicara mendadak bila mengeluarkan senjata rahasia dengan
mulutnya. Karena tidak terduga-duga, dan lagi ilmu menyembur biji kurma itu
memang kepandaian khasnya yang maha sakti, bahkan tokoh macam Kongsun Ci juga
kena dibutakan sebelah matanya, apa lagi sekarang Kwe Hu, jangankan hendak
menangkis, ingin menghindarpun tak sempat terpikir olehnya.
Diantara para hadirin itu hanya Yo Ko dan
Siao-liong li saja yang tahu kepandaian khas Kiu Jian-jio itu, tapi dasar pikiran
Siao liong li sederhana dan polos, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa si
nenek bisa mendadak menyerang orang.
Hanya Yo Ko saja yang senantiasa waspada, pandangannya
tidak pernah bergeser dari wajah Kiu Jian-jio, begitu melihat bibirnya
bergerak, segera pula dia melompat maju, secepat kilat ia lolos pedang
dipinggang Kwe Hu terus disampukkan, “Trang” menyusul terdengar pula suara
“creng”, biji kurma tersampok jatuh, tapi pedang itu juga patah menjadi dua
terbentur biji kurma itu.
Keruan semua orang menjerit kaget, saking
terkejutnya bahkan muka Oey Yong dan Kwe Hu menjadi pucat.
Diam-diam Oey Yong mawas diri: “Sudah kuduga
dia pasti mempunyai cara keji, tapi sama sekali tidak menduga bahwa anggauta
badannya tanpa bergerak sedikitpun, tahu-tahu dia dapat melancarkan serangan
senjata rahasia sekeji itu,”
Kiu Jian-jio mendelik kepada Yo Ko, tak
diduganya bahwa anak muda itu berani menolong si Kwe Hu, segera ia mendjengeknya:
“Tadi kau terkena racun bunga cinta lagi, biarpun sekarang belum bekerja
racunnya, rasanya kaupun takkan tahan lebih lama dari pada tiga hari saja, Kini
obat yang ada cuma bersisa setengah biji yang dapat menolong jiwamu, masakah
kau tidak percaya?”
Waktu menolong Kwe Hu, dalam sekejap itu
tentu tak sempat terpikirkan hal itu dalam benak Yo Ko, kini
mendengar ucapan Kiu Jian-jio itu, seketika
ia menjadi lemas, ia lantas memberi hormat dan menjawab: “Kiu-locianpwe, Wanpwe
sendiri tidak bersalah apapun padamu, kalau kau sudi memberi obat, sungguh
kebaikan mana takkan kulupakan selamanya.”
“Ya, dapatnya kumelihat dunia ini lagi boleh
dikatakan berkat pertolonganmu,” jawab Kiu Jian-jio. “Tapi aku si nenek Kiu ini
pada asasnya kalau sakit hati pasti menuntut balas dan kalau utang ini belum
tentu kubalas, Kau telah berjanji akan mengambil kepala Kwe Ceng dan Oey Yong
kesini. untuk itulah akan kuberikan obat padamu. Siapa duga janji tidak kau tepati,
sebaliknya kau malah menyelamatkan musuhku, lalu apa yang perlu dikatakan
tegi?”
“Melihat urusan bisa runyam, cepat Kongsun
Likoh ikut bicara: “Mak, dendam Kuku kan tiada sangkut-pautnya dengan
Nyo-toako, Harap engkau suka… suka menaruh belas kasihan.”
“Tapi separuh obat ini hanya akan kuberikan
kepada menantuku dan takkan kuberikan begitu saja kepada orang luar,” jawab Kiu
Jian jio.
Keruan Kongsun Lik-oh menjadi malu dan
gelisah, mukanya berubah merah.
Setelah ber-uIang2 ditolong Yo Ko, baru
sekarang Kwe Hu percaya bahwa jiwa Yo Ko sesungguhnya memang luhur dan sama
sekali tiada maksud memperalat adik perempuannya untuk menukar obat.
Teringat kepada tindakan sendiri yang
beberapa kali membikin celaka anak muda itu, sebaliknya orang selalu membalas
sakit hati dengan kebaikan, mau-tak-mau Kwe Hu menjadi menyesali dirinya
sendiri dan berterima kasih pula kepada anak muda itu.
Segera ia berseru: “Nyo-toako, segala
perbuatan siaumoay diwaktu yang lalu memang salah semua, mohon engkau suka memberi
maaf.”
Yo Ko hanya tersenyum saja, senyuman getir.
Pikirnya: “Mengaku salah dan minta maaf adalah paling gampang, tapi tahukah kau
betapa aku dan Liong-ji telah menderita akibat perbuatanmu itu?”
Dalam pada itu dilihatnya Kiu Jian-jio sedang
melotot padanya, jelas kalau dirinya tidak menyanggupi untuk menikahi putrinya,
tentu si nenek takkan memberi setengah biji obat penolong jiwa itu, kalau
suasana begini berlangsung terus, yang serba susah tentulah Kongsun Lik-oh dan
Siao-liong-li.
Maka dengan lantang dan tegas ia lantas berkata:
“Aku sudah memperistri nona Liong ini, sekalipun Yo Ko harus mati, mana boleh
kujadi manusia yang tidak berbudi dan tidak setia?”
Habis berkata ia lantas putar tubuh dan
berjalan pergi sambil menggandeng tangan Siao-liong-li, pikirnya biarkan mereka
ribut disini, kesempatan ini akan kugunakan untuk menolong paderi Hindu dan
paman Cu.
Ucapan Yo Ko itu tidak saja membikin melengak
Kiu Jian-jio, bahkan hati Thia Eng, Liok Bu-siang, Kongsun Lik oh dan lain-lain
juga tergetar.
“Hm, hagus, bagus! jika kau ingin mampus,
pedulikan apa dengan aku?” jengek Kiu Jian-jio, lalu ia berpaling dan berkata kepada
Cu-in: “Jiko, kabarnya Oey Yong adalah ketua Kay-pang? jadi Tiat-ciang-pang
kita tidak berani melawannya?”
“Tiat-ciang-pang?” Cu in menegas, “Ah, sudah
lama bubar, masakah kau sebut Tiat ciang pang lagi”
“O, pantas, pantas!” kata Kiu Jian-jio.
“Lantaran kau sudah tidak punya sandaran, makanya nyalimu menjadi kecil.”
Begitulah Kiu Jian-jio terus berusaha
menghasut sedangkan Kongsun Lik-oh tidak lagi mendengarkan perkataan sang ibu,
pandangannya mengikuti langkah Yo Ko yang sedang berjalan keluar itu. Mendadak
ia berlari maju dan berteriak: “Yo Ko, kau manusia yang tidak setia dan tak berbudi,
anggaplah mataku ini yang buta.”
Yo Ko tertegun bingung, ia heran nona yang
biasanya sabar dan pendiam itu mengapa sekarang kehilangan akal sehatnya?
Apakah karena mendengar pernikahanku dengan Liong-ji, lalu dia menjadi putus
asa dan murka? Dengan rasa menyesal ia lantas berpaling dan berkata: “Nona
Kongsun…”
Mendadak Kongsun Lik-oh memaki: “Bangsat
keparat, akan kubikin kau datang mudah dan pergi sukar…” meski mulutnya memaki,
tapi air mukanya ternyata ramah tamah dan ber-ulangi mengedip mata memberi
isyarat.
Melihat itu Yo Ko tahu pasti ada
sebab-sebab-nya, segera iapun balas membentak: “Memangnya aku kenapa?
Betapapun Coat-ceng-kokmu ini takkan mampu
mempersulit diriku.”
Dia menghadap ke dalam sehingga dapat diIihat
Kiu Jian-jio dengan jelas, maka sama sekali ia tidak berani memperlihatkan air
muka yang mencurigakan.
Kongsun Lik-oh lantas memaki pula: “Bangsat
cilik, betapa benciku padamu, ingin kupotong, kau menjadi dua dan mengorek
keluar hatimu…”
Mendadak mulutnya menyemprot, sebuah biji
kurma terus manyamber ke arah Yo Ko.
Sebelumnya Yo Ko sudah bersiap, segera ia
menangkap benda kecil itu dan mendengus: “Hm, lekas kau kembali sana dan takkan
kuganggu kau, hanya sedikit kepandaianmu ini kau kira dapat menahan diriku?”
Kembali Kongsun Lik-oh mengedipi pula agar
anak muda itu lekas pergi, habis itu mendadak ia menutupi mukanya sendiri
sambil menjerit: “Oh, ibu! Dia… dia menghina anak!”
Segera ia berlari balik ke arah sang ibu
sambil menangis, cintanya hanya bertepuk sebelah tangan”, impiannya telah buyar,
dengan sendirinya rasa dukanya itu benar-benar timbul dari lubuk hatinya dan
bakan pura-pura MeIihat air mata puterinya berlinang-linang, Kiu Jian-jio lantas
membentak: “Anak Oh, apa-apaan kau ini? jiwa bocah itu sendiri takkan tahan
beberapa hari saja, mengapa kau menangis baginya?”
Kougsun Lik-oh terus mendekap di atas lutut
sang ibu dan menangis dengan sedihnya. Sandiwara nona Kongsun ini ternyata
dapat mengelabui semua orang terkecuali Oey Yong, diam-diam nyonya cerdik itu
merasa geli. Pikirnya: “Rupanya dia pura-pura benci dan memaki Yo Ko agar
ibunya tidak curiga, dengan begitu dia akan mencari kesempatan untuk mencuri
obat. Sungguh tidak nyana bocah Yo Ko ini selalu menimbulkan kisah cinta di
mana-mana sehingga nona cantik sebanyak ini sama ter-gila-gila padanya.”
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia memandang ke arah Thia Eng dan Liok Bu-siang.
Setelah menangkap biji kurma yang disemburkan
Kongsun Lik-oh tadi, segera Yo Ko melangkah pergi bersama dengan Siao-liong li
sambil merenungkan ucapan Kongsun Lik-oh tadi yang aneh itu, seketika ia tidak
paham apa maksudnya.
Siao-liong-li juga melihat air muka dan
isyarat Konsun Lik-oh, ia tahu sikap nona itu cuma pura-pura saja, segera ia membisiki
Yo Ko: “Ko-ji, dia pura-pura marah padamu, mungkin supaya ibunya tidak curiga
agar memudahkan dia mencuri obat.”
“Semoga begitulah hendaknya,” jawab Yo Ko.
Setelah kedua orang membelok ke sana, melihat sekitarnya tiada orang lain,
cepat Yo Ko memeriksa biji kurma yang digenggamnya itu. Ternyata bukan biji
kurma melainkan biji kanah, waktu di pencet, biji kanah itu lantas pecah
menjadi dua.
Kiranya di dalamnya tersimpan secarik kertas
kecil, “Haha, ucapan nona Kongsun itu ternyata mengandung teka-teki,”- ujar
Siao-liong-li dengan tertawa. “Dia bilang: “ingin kupotong kau menjadi dua dan
mengorek keluar hatimu segala, kiranya demikian artinya.”
Cepat Yo Ko membentang Kertas itu dan di-baca
bersama, ternyata di situ tertulis : “Setengah biji obat itu
tersimpan rapi oleh ibu, tentu akan
kuupayakan untuk mencarinya dan kuserahkan padamu, paderi Hindu dan Cu-cianpwe
terkurung di Hwe-wan-sit (kamar panggang)”, lalu di samping tulisan itu
terlukis sebuah seketsa peta yang menunjukkan tempat yang dimaksud.
Yo Ko sangat girang, segera ia berkata:
“Marilah kita lekas pergi ke sana, kebetulan tiada orang yang akan merintangi
kita.”
Coat-ceng-kok itu sangat luas dan dikitari
bukit, selama turun temurun leluhur Kongsun Ci telah membangun lembah ini
dengan berbagai macam pesawat rahasia yang mujijat, sampai di tangan Kongsun Ci
dan Kiu Jian-jio bahkan telah banyak diperbaiki dan ditambah lagi dengan
jalanan yang ber-
liku-liku dan sukar diterobos.
Namun Yo Ko dan SiaoliongIi dapat menggunakan
Ginkang mereka menuju ke tempat tujuan menurut petunjuk Kongsun Lik-oh dalam
petanya itu. Tidak lama sampailah mereka di suatu tempat yang rindang oleh belasan
pohon raksasa, di bawah rumpun pohon itu adalah sebuah omprongan besar, yaitu
bangunan yang bisa digunakan membakar genting dan bata, menuruI peta Kongsun
Lik-oh, di tempat inilah paderi Hindu dan Cu Cu liu terkurung.
Dengan ragu-ragu Yo Ko minta Siao liong-li
menunggu saja di luar, ia sendiri lantas menerobos ke dalam omprongan itu. Tapi
baru melangkah masuk pintu omprongan yang sempit itu, serentak hawa panas
menyerang mukanya disusul dengan suara bentakan orang: “Siapa itu?”
“Kokcu memerintahkan agar tawanan dibawa ke
sana,” jawab Yo Ko.
Orang itu lantas muncul dari balik dinding
bata sana dan menegur-dengan heran: “He, Kau?”
Yo Ko melihat orang berseragam hijau, segera
ia menjawab pula : “Ya, Kokcu menyuruh aku membawa Hwesio dan orang she Cu
ini.”
Murid Coat-ceng-kok itu tahu Yo Ko pernah
menolong jiwa sang Kokcu sekarang, hubungan Lik-oh dengan dia juga sangat erat,
besar kemungkinan anak muda ini kelak akan menggantikan sebagai Kokcu baru,
maka ia tidak berani bersikap kasar, dengan hormat ia bertanya pula: “Tapi…
tapi adakah tanda perintah Kokcu?”
Tanpa menjawab Yo Ko hanya berkata: “Ada,
bawa aku melihat mereka dahulu!”-Orang itu mengiakan dan Yo Ko dibawa masuk ke
dalam.
Setelah memutar ke sebelah dinding sana, hawa
panas semakin hebat, terlihat dua kuli sedang mengangkat kayu bakar, sekarang
lagi musim dingin, tapi kedua orang itu telanjang tubuh bagian atasnya sebuah
celana pendek saja yang dipakainya, sedangkan keringat bercucuran di sekujur badan
mereka.
Tempo hari waktu mula-mula Yo Ko datang ke
Coat-ceng-kok ini dia pernah bertanding Lwekang Kim lun Hoat-ong, Nimo Singh
dan lain-lain di kamar berapi itu, ntaka tahulah dia tentu Cu Cu-liu dan paderi
Hindu itu juga sedang di-siksa dengan api oleh Kiu Jian-jio.
Orang berbaju hijau itu menggeser sebuah batu
dan tertampaklah sebuah lubang, Ketika Yo Ko mengintip ke sana, dilihatnya di
bagian dalam sana adalah sebuah kamar batu seluas tiga meter persegi, Cu Cu1iu
sedang duduk menghadap dinding dan lagi meng-gores2 dinding batu dengan jari
telunjuk, agaknya sedang berlatih seni tulisnya yang terkenal indah itu.
sedangkan paderi Hindu itu berbaring di lantai, entah masih hidup atau sudah
mati.
“Cu-toasiok, kudatang menolong kau.” seru Yo
Ko.
Cu Cu-Iiu menoleh dan berkata dengan tertawa:
“Aha, ada kawan datang dari jauh, dapatlah, aku bergembira sekarang!”
Diam-diam Yo Ko kagum atas kesabaran Cu
Cu-liu itu, padahal sudah tertahan sekian tama di situ. Scgera ia bertanya:
“Apakah paderi sakti sedang tidur?”
Dia mengajukan pertanyaan ini dengan hati berdebar,
soalnya mati-hidup Siao-liong-li besar hubungannya dengap keadaan paderi asing
itu.
Cu Cu-liu tidak lantas menjawab, selang
sejenak barulah ia menghela napas dan berkata: “Meski Susiok tidak mahir ilmu silat,
tapi kepandaiannya menahan dingin dan melawan panas takdapat kutandingi, cuma
beliau…”
Sampai di sini, tiba-tiba Yo Ko merasa diri
belakang ada angin berkesiur, jelas ada orang sedang menyerangnya.
Tanpa menoleh, sikutnya terus menyodok ke
belakang, tapi sebelum menyentuh tubuh musuh, tahu-tahu angin menyamber lewat
disamping telinga dan orang itupun menjerit terus jatuh terguling.
Kiranya dari lubang balik jendela batu itu Cu
Cu-liu dapat melihat apa yang akan terjadi, sekenanya ia comot sepotong kerikil
terus disambitkan dengan tenaga jari sakti It yang ci dan tepat mengenai
Hiat-to penyergap itu.
Waktu Yo Ko membalik tubuh, dilihatnya yang menggeletak
di situ adalah seorang murid berbau hijau yang tidak di-kenalnya, sedangkan
orang yang membawanya masuk ke situ itu tampak meringkuk di pojok sana dengan
ketakutan.
“Lekas membuka pintu dan membebaskan mereka
keluar.” bentak Yo Ko.
“He, mana kuncinya!” jawab orang itu dengan
heran, “Katanya engkau diutus oleh Kokcu, betul tentu beliau akan menyerahkan
kuncinya padamu.”
Yo Ko menjadi tidak sabar, bentaknya:
“Minggir sana”-
Segera ia angkat pedang wasiatnya, sekali
tusuk, “blang”, dinding tebalnya satu bata itu lantas tembus suatu lubang besar,
Orang berbaju hijau itu menjerit kaget. Ber- ulang2 Nyo Ko menusuk tiga kali
dengan pedangnya dan membabat dua kali secara menyilang, segera lubang tadi
bertambah lebar sehingga cukup di terobos oleh tubuh manusia.
Menyaksikan betapa sakti cara Yo Ko mem-bobol
dinding batu itu, kejut Cu Cu-liu sungguh luar biasa melebihi orang berbaju
hijau itu, Dia didesak oleh barisan jaring berkait yang dikerahkan Kiu Jian-jio
itu sehingga terjebak ke dalam rumah garangan ini. Siang dan malam di tempat
tahanan dia telah berusaha membebaskan diri dengan It-yang-ci yang sakti.
Dengan jarinya yang kuat itu dia telah
meng-korek2 celah-celah batu, tujuannya kalau celah-celah batu itu sudah mulai melebar,
lalu dapatlah melolos batu dinding dan dapat melarikan diri.
Tapi dinding itu, dibangun dengan balok batu
raksasa dan sukar digoyangkan dengan tenaga manusia, kini menyaksikan beberapa
kali ayun pedangnya segera Yo Ko dapat membobolnya, betapa lihay tenaga
saktinya sungguh tak pernah dilihatnya.
Tanpa terasa ia berseru memuji kesaktian Yo
Ko. Segera pula dia angkat tubuh paderi Hindu dan dikeluarkan melalui lubang
dinding.
Cepat Yo Ko menariknya keluar, waktu ia
pegang lengan paderi itu dan terasa rada hangat, hatinya menjadi lega, apalagi
kemudian diketahui paderi itupun masih bernapas dengan baik.
Setelah Cu Cu-liu menerobos keluar, lalu
berkata: “Susiok hanya pingsan saja, rasanya tidak beralangan,”
“Mungkin beliau tidak tahan hawa panas, lekas
mencari hawa segar diluar sana,” ajak Yo Ko sambiI membawa paderi Hindu itu
keluar.
Siao-liong-li sedang menunggu dengan gelisah,
ketika melihat Yo Ko bertiga keluar, dengan girang ia lantas memapak maju.
“Supaya cepat siuman akan kucarikan air untuk
cuci muka paderi sakti,” kata Yo Ko.
“Tidak, Susiok pingsan karena kena racun
bunnga cinta.” tutur Cu Cu-liu.
Yo Ko dan Siao-Iiong-li sangat heran dan Tanya
berbareng: “Mengapa bisa begitu?”
Dengan menghela napas Cu Cu-liu menutur:
“Menurut cerita Susiok, katanya bunga cinta begitu sudah lenyap dari bumi
negeri Thian-tiok (Hindu) dan entah cara bagaimana tersebar ke daerah Tionggoan
sini, kalau tersebar lebih luas lagi tentu akan mendatangkan bencana besar,
dahulu di negeri Thian-tiok bunga ini juga telah menimbulkan korban yang tidak
sedikit.
Selama hidup Susiok mempelajari ilmu
penyembuhan racun, tapi kadar bunga ini teramat aneh, ketika masuk ke lembah
ini beliau sudah tahu sukar mendapatkan obatnya yang mujarab, yang diharapkan
hanya mencari suatu resep cara pengobatannya saja. Dengan tubuh Susiok sendiri
untuk mencoba racun bunga ini untuk mengetahui betapa kadar racunnya, dengan
begitu akan dibuat obat penawarnya.”
“Kata Budha: kalau aku tidak masuk neraka,
siapa yang akan masuk neraka? Demi menyelamatkan sesamanya, paderi sakti rela
menghadapi bahaya sendiri sungguh harus dipuji dan sangat mengagumkan,”
demikian kata Yo Ko, “Dan entah sampai kapan kiranya paderi sakti dapat siuman kembali?”
“Susiok telah mencocok tubuh sendiri dengan
duri bunga itu, katanya kalau perhitungannya tidak meleset, setelah tiga hari
tiga malam tentu beliau dapat siuman kembali dan sampai kini sudah hampir genap
dua hari,” tutur Cu-liu.
Yo Ko saling pandang dengan Siao-liong-li,
kata mereka: “Paderi ini harus pingsan tiga-hari tiga-malam, jelas dia keracunan
sangat berat. Untungnya kadar racun bunga ini bekerja menurut keadaan orangnya,
jika timbul napsu birahi, akan bekerja dengan sangat lihay.
Paderi Hindu yang alim dan suci ini
menganggap segala apa di dunia ini hanya kosong belaka, melulu ini saja beliau jelas
di atas orang biasa.”
Sejenak kemudian Siao-liang-li bertanya
“Kalian mendapatkan bunga jahat itu?”
“Setelah kami terkurung di sini, kemudian
datang seorang nona jelita menjenguk kami.”
“Apakah nona yang berperawakan langsing,
bermuka putih dan pada ujung mulut ada sebuak andeng-andeng kecil?” Siao-liong
li menegas. “Betul,” jawab Cu Cu-liu.
Siao-liongli tersenyum kepada Yo Ko, lalu
berkata pula kepada Cu Cu-liu: “Nona itu adalah puteri Kokcu sini, nona Kongsun
Lik-oh, ketika mendengar kalian berdua dating mencari obat demi Yo Ko, tentu
saja dia melayani kalian dengan istimewa, kecuali tidak berani membebaskan
kalian, apapun yang kalian minta tentu akan diturutinya.”