Jumat, 02 November 2012

Sia Tiauw Enghiong 79



BAB 79. INSAF

MENDADAK terdengar jeritan Oey Yong, disusul bunyi robeknya baju.
Di saat seperti itu, Kwee Ceng lupa akan ke-ruwetan persoalannya sendiri, yaitu pantas atau tidak ia menggunakan ilmu silatnya untuk melawan.
Ia berteriak, “Yongji, aku akan membantumu!” Ia lantas melompat, berlari ke dalam gua. Tepat saat itu ia melihat Auwyang Hong memegang tongkat si nona dengan tangan kirinya, tangan kanannya akan dipakainya untuk mencekuk lengan kiri nona itu. Untuk mengatasi itu Oey Yong menggunakan jurus Menyontek Anjing Buduk. Dengan menolak dan terus menarik, ia dapat meloloskan tongkatnya, hingga berbareng dengan itu tangan kirinya pun terbebas.
“Bagus!” Auwyang Hong memuji. Ia hendak menyerang lagi ketika mendengar suara Kwee Ceng dari luar gua. Mendadak mukanya memerah.
Bukankah ia telah memberikan janjinya? Mana dapat ia menyangkal janji itu? Ia berbuat begini pun karena terpaksa. Ia malu pada dirinya sendiri. Maka langsung ia mengundurkan diri. dengan berkelit ia melompat keluar gua, menutupi mukanya dengan lengan baju-nya. Dalam sekelebatan saja, ia telah menyingkir ke luar gua dan lenyap.
Kwee Ceng tidak peduli orang itu kabur. Ia lari menghampiri Oey Yong, langsung mencekal keras kedua tangan si nona.
“Yongji!” serunya. “Kaubikin aku hampir mati memikirkanmu!”
Begitu kencang debar hatinya, hingga tubuhnya bergetar.
Oey Yong melepaskan tangannya.
“Kau siapa?” tanyanya dingin. “Mau apa kau me-megangiku ?”
Pemuda itu tercengang.
“Aku Kwee Ceng,” sahutnya. “Kau baik-baik saja?”
“Aku tak kenal kau!” kata si nona seraya terus melangkah keluar.
Kwee Ceng menyusul mendului, lalu berulang-ulang menjura.
“Yongji!” panggilnya. “Yongji, dengarkan aku…!”
“Hm! Apa kau kira kau dapat menyebut nama Yongji?” kata si nona. “Kau siapa?”
Kwee Ceng celangap, tidak dapat mengeluarkan suara.
Nona itu mengawasi, maka sekarang ia melihat muka si pemuda yang pucat dan kucel, tubuhnya pun agak kurus. Sesaat timbul rasa kasihannya, rasa tidak tega. Tapi begitu ingat berulang kali ia telah disia-siakan, hatinya jadi panas lagi.
“Fui!” Ia meludah , lalu melangkah cepat.
Kwee Ceng cemas, ia menyambar ujung baju si nona dan menariknya.
“Dengarkan dulu perkataanku…!” katanya.
“Bicaralah!”
“Di embal pasir aku menemukan gelang rambut dan bajumu, kusangka kau….”
“Kau ingin aku mendengarkan perkataanmu, se-karang aku sudah mendengarkannya!” potong si nona. Ia menarik lepas bajunya, terus berjalan.
Kembali Kwee Ceng bengong, pikirannya bi-ngung. Ia tidak pandai bicara, maka tidak tahu mesti mengatakan apa. Ia khawatir si nona nanti lenyap lagi, maka ia lantas mengikuti.
Oey Yong berjalan terus dengan pikiran kusut.
Ia pulang dari Barat dengan hati tawar. Di Tionggoan, ia sebatang kara. Ia ingin pulang ke Pulau Persik untuk mencari ayahnya. Apa lacur, tiba di Shoatang ia menderita sakit berat. Celaka-nya, tidak ada orang yang merawatnya. Selagi rebah di pembaringan, ia sakit hati teringat sikap Kwee Ceng yang ia anggap tipis budi pekertinya.
Kalau ingat nasibnya yang buruk, ia menyesal telah dilahirkan di dunia. Syukurlah, ia dapat sem-buh dari sakit, tapi belum bebas dari penderitaan.
Di Shoatang Selatan ia bersampokan dengan Auwyang Hong yang memaksanya turut pergi ke Hoa San. Ia dipaksa untuk menjelaskan isi kitab Kiu Im Cin Keng. Kalau tidak ada si pemuda, entah apa yang akan diperbuat Auwyang Hong pada dirinya. Dengan sedih ia berjalan terus.
Kwee Ceng terus mengintil. Kalau si nona ber-jalan cepat, ia pun mempercepat langkahnya. Kalau si nona pelan, ia ikut pelan.
Sesudah berjalan sekian lama, mendadak si nona menoleh ke belakang.
“Mau apa kau mengikutiku ?” tegurnya sinis.
“Aku akan mengikutimu selamanya…,” sahut si pemuda. “Seumur hidup aku tak mau berpisah darimu….”
Oey Yong tertawa dingin.
“Kau menantu Jenghis Khan! Buat apa kau mengikuti budak melarat?”
“Jenghis Khan telah menyebabkan kematian ibu-ku, mana dapat aku menjadi menantunya?” Kwee Ceng menjawab.
Muka si nona memerah.
“Bagus!” serunya. “Kukira kau masih ingat se-dikit padaku, rupanya kau telah didepak Jenghis Khan! Setelah tak dapat menjadi huma, kau se-karang mencariku si budak melarat! Apa kau sangka aku manusia hina-dina yang dapat kau hina sesuka-mu ?”
Si nona lantas menangis, air matanya bercucuran.
Kwee Ceng terharu, tetapi ia bingung. Apa yang mesti diperbuatnya? Apa yang mesti dikatakannya…?
“Yongji…,” katanya kemudian, selagi nona itu sesenggukan. “Aku ada di sini, jika kau hendak membunuhku, silakan, terserah padamu….”
“Buat apa aku membunuhmu?” tanya si nona, suaranya pilu. “Anggap saja perkenalan kita sia-sia belaka…. Kumohon, janganlah kau mengikutiku….”
Muka Kwee Ceng bertambah pucat.
“Apa yang harus kulakukan supayakau percaya padaku?” tanyanya.
“Sekarang kau baik denganku,” kata si nona.
“Kalau besok kau bertemu dengan Adik Gochin-mu, kembali kau akan melupakanku, kau bakal menyia-nyiakanku…. Sekarang ini. asal kau mati di depanku, baru aku percaya padamu..-”
Darah Kwee Ceng meluap, ia mengangguk. Ke-mudian ia memutar tubuhnya dan melangkah ke jurang. Kebetulan saat itu ia berada di tepi Sia Sin Gay, Jurang Mengorbankan Diri. Kalau ia terjun di situ, pastilah tubuhnya hancur lebur.
Oey Yong tahu hati pemuda itu keras, ia me-lompat menyusul, tangannya terulur untuk me-nyambar punggung si pemuda. Ia menarik keras, tubuhnya meucelat, maka sekejap kemudian justru dialah yang berada di tepi jurang. Ia mencucurkan air mata. hatinya tegang.
“Bagus ya, sedikit pun kau tak kasihan padaku!” katanya.
“Aku baru mengeluarkan sepatah kata karena panas hatiku, kau langsung tak mau me-lewatkannya! Aku bilang padamu, jangan marahi aku, cukup asal kau jangan bertemu lagi denganku…”
Muka Oey Yong pucat, tubuhnya gemetar.
“Yongji, kemarilah,” kata Kwee Ceng. Tadi ia mau bunuh diri, sekarang ia khawatir si nona yang akan terjun.
Oey Yong mendengar suara pemuda itu bergetar.
Ia tahu si pemuda masih mencintainya, ia sangat sedih. Sembari menangis, ia berkata, “Aku tahu kau pura-pura saja berkata begini. Ketika aku sakit di Shoatang, tak seorang pun memedulikanku…. Apakah waktu itu kau datang menjengukku? Aku dikekang Auwyang Hong, aku tak dapat meloloskan’ diri, apakah kau datang menolongku? Ibuku tak me-nyayangiku, dia pergi mati sendiri saja.— Ayah pun tak menghendakiku, dia tak mencariku…. Apalagi kau, lebih-lebih tak menginginkanku! Di dunia ini, tak seorang pun menyayangiku, mengasihaniku….”
Ia menangis terus, sambil membanting-banting kaki.
Kwee Ceng diam. Ia masih tidak tahu mesti bilang apa. [a bisa merasakan panasnya hati si nona. Ia cuma bisa mengawasi.
Sunyi di antara mereka,-cuma terdengar embusan sang angin.
Rupanya si nona merasa kedinginan, tubuhnya menggigil.
Kwee Ceng membuka baju luarnya, berniat me-ngerobongi tubuh nona itu. Selagi ia akan me-lakukannya, mendadak ada bentakan dari ujung jurang, “Siapa yang nyalinya begitu besar berani menghina Nona Oey-ku?”
 Kwee Ceng girang sekali. Ia langsung men-dongak, melihat seorang tua dengan rambut pendek dan kumis putih, dialah Ciu Pek Thong si Bocah Tua Nakal.
“Kakak Ciu!” panggil Kwee Ceng.
Oey Yong pun memperdengarkan suaranya de-ngan agak mendongkol. “Eh. Bocah Tua Nakal!
Aku menitahkanmu untuk membunuh Kiu Cian Jin! Mana kepalanya?”
Ciu Pek Thong- menghampiri mereka, ia tidak menjawab, hanya tertawa haha-hihi.
“Nona Oey, siapa yang mengganggumu?” ia  bertanya. “Nanti Bocah Tua Nakal membikinmu puas!”
“Siapa lagi kalau bukan dia!” sahut si nona seraya menunjuk Kwee Ceng.
Untuk menyenangkan si nona, si Bocah Tua Nakal bertindak sejadinya saja. Tahu-tahu Kwee Ceng telah digaploknya dua kali hingga kelabakan.
Kwee Ceng sama sekali tidak menyangkanya. Ka-rena itu, bengaplah pipi kiri dan kanannya. Ketika baru dihajar, matanya juga berkunang-kunang.
“Nona Oey, cukupkah?” tanya Bocah Tua Nakal.
“Jika belum cukup, nanti kuhajar lagi dia.”
Menampak muka si pemuda merah dan bengap, di pipinya tampak bekas tapak tangan dengan lima jari, kedongkolan Oey Yong mereda, lantas timbul rasa kasihannya. Ia berbalik jadi mendongkol ke-pada si tua tukang guyon itu.
“Aku marah sendiri, tak ada hubungannya de-nganmu!” ia tegur orang tua itu. “Kenapa kau lancang memukulnya? Kuperintahkan kau membunuh Kiu Cian Jin, mengapa kau tak dengar perintahku?’
Pek Thong menjulurkan lidahnya panjang-pan-jang. Ia tidak dapat menjawab.
Ketika itu, jauh di belakang jurang, terdengar bunyi beradunya senjata. Pek Thong mendengarnya, ia segera mendapat akal.
“Pastilah si tua bangka Kiu sudah datang, aku akan mendatanginya!” katanya seraya terus me-mutar tubuh untuk lari ke belakang jurang itu.
Tentu saja Bocah Tua Nakal bukan mau mencari Kiu Cian Jin, bahkan sebaliknya ia jeri dengan ketua Tiat Ciang Pang itu. Di antara kedua jago ini, keadaan seperti jungkir balik.
Di rumah batu, tempat Kwee Ceng dan Auwyang Hong berlalu saling susul, Pek Thong dan Cian Jin bertempur tidak lama. Cian Jin bisa lolos dan kabur, ia dikejar Pek Thong, ke mana pun lari ia disusul, hingga akhirnya ia mendongkol berbareng  putus asa. Ia berpikir, ia toh jago dan ketua partai, mengapa sekarang ia begini sial menghadapi Ciu Pek Thong yang lihai itu? la merasa sangat terhina.
Karena putus asa, ia menjadi nekat. Daripada kena bekuk, lebih baik ia bunuh diri. Kebetulan ia melihat seekor ular berbisa di sela batu, ia me-nangkap ular itu. la berniat memagutkan ular itu ke dirinya sendiri. Dengan memegangi ular itu, ia berkala pada Ciu Pek Thong, “Eh, Pek Thong, bangsat, lihat ini!”
Sebenarnya Cian Jin hendak menempelkan mulut ular itu ke lengannya, tapi mendadak Ciu Pek Thong menjerit, lalu memutar tubuhnya dan lari kabur. Cian Jin menjadi heran. Namun sejenak kemudian ia lantas dapat menduga, tentulah Bocah Tua Nakal takut ular. Maka ia sekarang berbesar hati, ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri, lantas mengejar si tua bangka berandalan itu. Lebih dari itu ia menangkap seekor ular lain, hingga tangan kiri dan kanannya masing-masing mencekal binatang berbisa itu. Sembari mengejar, ia berteriak-teriak mengancam musuhnya.
Pek Thong ketakutan, ia lari ngacir.
Kiu Cian Jin mempunyai julukan Sui-siang-piauw, yang berarti larinya sangat pesat. Seandainya tidak jeri, ia tentu sudah dapat menangkap Pek Thong. Maka mereka cuma main kejar-kejaran.
Dari siang mereka berlari-lari sampai hari gelap, setelah itu barulah Pek Thong bisa lolos. Dalam hati Cian Jin tertawa. Ia mengejar hanya untuk menggertak. Sekarang ia pun bebas dari ancaman si tua berandalan itu.
Oey Yong melihat orang tua itu pergi, ia melirik Kwee Ceng. Ia menghela napas lantas menunduk.
“Yongji!” panggil Kwee Ceng.
Nona itu menyahut lirih.
Kwee Ceng hendak berbicara tetapi tidak tahu mesti mengatakan apa, ia berdiri diam. Karena si  nona pun terus membungkam, keduanya berdiri bagaikan patung, tubuh mereka disampoki angin.
Tidak lama kemudian Oey Yong bangkis akibat terlalu banyak kena angin.
Kwee Ceng ingat bajunya, ia lantas menghampiri untuk menutupi tubuh si nona dengan bajunya itu.
Tadi ia diganggu oleh Ciu Pek Thong, sekarang tidak ada rintangan lagi.
Oey Yong diam saja, menunduk terus.
Dalam kesunyian itu. kuping mereka mendengar tawa nyaring Ciu Pek Thong yang ierus berseru memuji, “Bagus! Bagus”‘
Mendadak si nona mengulurkan tangannya, mencekal tangan Kwee Ceng seraya berkata pelan.
“Kakak Ceng, ayo kita lihat!”
Kwee Ceng mengikuti. Ia tidak bisa menyahut.
Kali ini saking girangnya ia mencucurkan air mata.
Dengan ujung bajunya Oey Yong mengusap air mata si pemuda.
“Di mukamu ada air mata dan bekas tapak tangan. Kalau orang tak tahu, dia bisa menyangka akulah yang menamparmu….”
Dengan tertawanya si nona, berarti mereka ber-dua sudah akur lagi.
Dengan bergandengan mereka lari melintasi ju-rang, pergi ke tempat asal datangnya tawa Ciu Pek Thong. Di sana mereka melihat banyak orang dengan sikap yang aneh-aneh.
Pek Thong terlihat girang bukan main. Ia me-megangi perutnya sambil terbungkuk-bungkuk. Ia tertawa puas sekali. Di dekatnya tampak Khu Ci Kee berdiri diam dengan pedang di tangan. Di antara mereka masih ada empat orang lagi, ialah See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Lama Leng Ti, dan Hauw Thong Hay. Sikap keempat orang itu luar biasa. Mereka memegang senjata masing- masing, ada yang sedang menyerang, ada yang sedang berkelit atau mundur. Sikap tubuh mereka tetap begitu, sebab mereka tidak dapat bergerak bagaikan patung. Sebab mereka korban totokan si Bocah Tua Nakal yang kekanak-kanakan.
“Tempo hari itu aku membuat obat pulung dari lumpur tubuhku,” kata Ciu Pek Thong kepada See Thong Thian berempat. “Aku menitahkan kalian
untuk menelannya. Kemudian kalian kawanan bang-sat cerdik juga, kalian tahu itu bukan obat penawar racun, lantas kalian tak mau dengar kata-kata kakekmu ini. Hm! Bagaimana sekarang ?”
Pek Thong mengatakan demikian sebab meski berhasil membekuk mereka, ia tidak tahu bagaimana harus menghukum mereka. Tapi begitu melihat Oey Yong dan Kwee Ceng, ia lantas mendapat pikiran.
Katanya, “Nona, empat bangsat bau ini kuserahkan padamu !”
“Apa gunanya mereka buatku?” tanya si nona.
“Kau main gila, ya? Kau tak mau membunuh tapi juga tak mau melepaskan mereka! Kau telah” me-nangkap mereka tapi tak berdaya mengurus! Lekas kaupanggil aku kakak yang baik tiga kali, nanti kau kuajari..-!”
Pek Thong tidak mau banyak pikir, ia juga tidak peduli dengan segalanya, maka tanpa sangsi sedikit pun ia memanggil “Kakak yang baik!” tiga kali.
Bahkan ditambah dengan menjura dalam-dalam.
Oey Yong tersenyum.
“Geledah dia!” kata si nona seraya menunjuk Pheng Lian Houw.
Pek Thong menurut. Dari tubuh Lian Houw ia mendapatkan cincin dengan jarum beracun dan dua peles kay-yok, obat pemunah racun.
Kata si nona, “Dia pernah menusuk Ma Giok, kemenakan seperguruanmu, dengan jarumnya ini.
Sekarang tusuklah dia .beberapa kali, juga ketiga kawannya!”
Lian Houw semua mendengar perkataan si nona, mereka kaget dan takut bukan main, tetapi mereka masih tertotok, tidak dapat lari ataupun meronta.
Maka mereka mesti merasakan sakitnya ditusuk Pek Thong beberapa kali.
“Obatnya ada di tanganmu,” kata si nona lagi kepada Bocah Tua Nakal. “Sekarang kau dapat menitahkan mereka untuk melakukan apa pun yang kaukehendaki. Coba lihat mereka berani mem-bangkang atau tidak!”
Pek Thong girang. Ia lantas mengasah otak. Ia tidak usah membuang tempo untuk mendapatkan akal. Ia membuat obat lagi dari kotoran, namun kali ini kotoran itu dicampur dengan kay-yok, dipulung menjadi butiran-butiran kecil, kemudian diserahkan-nya kepada Khu Ci Kee sambil berkata, “Sekarang kaugiring kawanan bangsat bau ini ke Kuil Tiong Yang Kiong di Ciong Lam San. Penjarakan mereka selama dua puluh tahun. Jika selama dalam perjalanan mereka menurut kata-katamu, beri mereka masing-masing sebutir pil mustajabku ini. Tapi kalau sebaliknya, biarkan saja, biar mereka tahu rasa!
Mereka berbuat, mereka mesti bertanggung jawab, jangan sekali-kali kasihan pada mereka!”
Khu Ci Kee menerima obat itu sambil menjura.
Ia menghaturkan terima kasih seraya memberikan janjinya.
Oey Yong tertawa dan berkata pada Pek Thong, “Bocah Tua Nakal, kata-katamu ini tepat sekali, sangat pantas! Tak kusangka, baru setahun kita tak bertemu kau telah maju begini pesat!”
Pek Thong puas sekali, ia tertawa senang. Se-sudah itu ia membebaskan totokan keempat orang itu. Katanya pada mereka, “Sekarang kalian mesti pergi ke Tiong Yang Kiong, tinggallah di sana baik-baik selama dua puluh tahun. Jika kalian benar-benar hendak bertobat, di belakang hari kalian masih dapat menjadi orang baik. Tapi jika kalian masih tetap jahat… hm! Hm! Perlu kalian ketahui, kami para imam dari Coan Cin Kauw  bukan orang yang dapat dibuat permainan, kami ahli membetot otot tanpa mengerutkan alis! Maka, empat bangsat bau. berhati-hatilah kalian!”
Lian Houw berempat tidak berani banyak omong, mereka cuma mengangguk.
Khu Ci Kee menahan tawa melihat sikap paman gurunya yang lucu itu. la kembali menjura, lantas menggiring pergi keempat tawanannya turun gu-nung, untuk pulang ke gunungnya sendiri.
“Eh, Bocah Tua Nakal,” kata Oey Yong tertawa.
“Sejak kapan kau belajar mendidik orang? Kata-katamu yang bagian depan masuk akal, tapi yang belakangan lantas jadi tak keruan….”
Pek Thong tidak menjawab, ia hanya tertawa sambil melengak. Saat itu ia melihat sinar putih berkelebat di puncak kiri, lalu lenyap, la yakin itu sinar senjata tajam.
“Eh, apa itu?” tanyanya heran.
Oey Yong dan Kwee Ceng mengangkat kepala, tapi sinar itu sudah lenyap.
Pek Thong takut Oey Yong akan menanyakan Kiu Cian Jin lagi, maka ia lantas menggunakan alasan.
“Biar kulihat!” katanya. Terus ia lari pergi.
Oey Yong berdua Kwee Ceng membiarkan orang tua itu pergi, sebab banyak yang hendak mereka bicarakan. Mereka mencari tempat untuk duduk, lalu saling menuturkan pengalaman masing-masing dan saling mengutarakan isi hati. Sampai matahari sudah turun ke barat, mereka masih belum berhenti pasang omong.
Kwee Ceng berbekal ransum kering. Ia menge-luarkannya untuk mereka santap bersama-sama.
Sembari makan, Oey Yong berkata, “Bangsat tua Auwyang Hong memaksaku menjelaskan isi Kiu lm Citi Keng. Bukankah kitab tulisanmu yang kauberikan padanya kacau-balau? Nah, aku pun tak keruan menjelaskannya! Tapi dia percaya, maka  dia bersengsara selama beberapa bulan ini untuk mempelajari ilmu itu. Kubilang dia mesti berlatih terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, dia menurut. Dia sungguh hebat, dapat membuat jalan darahnya tersalur secara bertentangan, yaitu jalan darah im-wu yang-wi. im-kiauw. dan yang-kiauw.
Entah bagaimana andai kata dia membalik semua jalan darahnya.”
Kwee Ceng tertawa.
“Pantas aku melihat dia jalan meloncat-loncat dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kiranya dia sedang kaupermainkan!” katanya. Memang sulit untuk berlatih dengan cara demikian.
 Oey Yong tersenyum.
 “Kau datang kemari, apa kau juga hendak turut berebut gelar orang gagah nomor satu di kolong langit itu?” tanyanya.
“Ah, Yongji, kau menggodaku,” sahut si pemuda.
“Aku datang ke gunung ini buat mencari Kakak Ciu supaya diajari ilmu untuk melenyapkan ilmu silatku….”
 Kwee Ceng lantas menjelaskan alasan mengapa ia sampai mendapat pikiran demikian.
 Oey Yong memiringkan kepalanya, berpikir.
 “Ya, melupakan itu pun baik juga,” katanya kemudian. “Memang, semakin kita pandai, pikiran kita semakin tak tenang. Lebih baik seperti waktu masih kecil, kita tak bisa segala-galanya, tak ada yang kita pikirkan, tak ada yang menyusahkan kita….”
 Waktu mengatakan itu, si nona tidak berpikir bahwa sudah wajar dengan bertambahnya usia manusia berarti bertambah juga keruwetan hidupnya, bahwa kehidupan ini tidak ada hubungannya dengan pandai silat atau tidak. Kemudian ia berkata, “Besok tiba saatnya pertemuan di Hoa San ini, untuk mengadu pedang. Ayah pasti akan ambil bagian.
Karena kau tak berniat turut memperebutkan gelar jago itu, menurutmu bagaimana cara kita untuk membantu ayahku?”
 “Yongji,” kata si pemuda, “bukannya aku tak mau mendengar perkataanmu, tapi dalam hal ayah-mu, sebagai manusia, dia kalah dari Ang Insu….”
Ang Insu berarti Guru Ang yang berbudi, yaitu Ang Cit Kong.
Oey Yong sedang duduk bersender. Begitu ia mendengar Kwee Ceng mengatakan ayahnya kalah dari Cit Kong, artinya ayahnya bukan manusia baik-baik, mendadak ia menjadi gusar. Ia mendorong Kwee Ceng. Tentu saja Kwee Ceng melengak.
Hanya sedetik, si nona lantas tertawa.
“Memang, memang Suhu Ang baik pada kita,”
katanya. “Sekarang begini saja. Kita tidak membantu pihak mana pun! Bagaimana menurutmu?”
“Ayahmu dan Suhu Ang sama-sama kesatria, jika kita membantu diam-diam, tentu mereka tak senang,” kata Kwee Ceng.
“Apa? Diam-diam? Apa sangkamu aku orang jahat?”
Lantas si nona memperlihatkan roman tidak senang.
Kwee Ceng heran.
“Ah, aku salah omong…,” katanya.
Si nona mengawasi, tiba-tiba ia tertawa lagi.
“Sudahlah!” katanya. “Sebenarnya, asal kau tak menyia-nyiakanku, kita masih bisa cukup lama berkumpul….”
Bukan main girangnya Kwee Ceng, ia mencekal keras tangan si nona.
“Mana bisa aku menyia-nyiakanmu!” katanya.
“Ya, sebab si tuan putri tak menghendakimu lagi, baru kau menghendaki aku si budak hina….”
Kwee Ceng diam. Disebutnya nama Gochin mem¬buat ia teringat kepada ibunya yang mati secara menyedihkan di gurun pasir.
Cahaya rembulan menyinari muka anak muda ini. Oey Yong melihat muka itu pucat dan lesu, ia terkejut. Ia menyangka telah salah omong.
“Kakak Ceng,” katanya lekas-lekas, “lebih baik kita jangan membicarakan lagi urusan yang sudah-sudah. Kita sekarang telah berkumpul, kita senang.
Aku sebenarnya senang sekali. Bagaimana jika kubiarkan pipiku kaucium?”
Muka Kwee Ceng memerah. Ia tidak berani mencium.
Oey Yong tertawa, ia melengos. Ia likat sendiri.
“Coba bilang, siapa yang bakal menang besok?” ia menyimpangkan pembicaraan.
“Itu sukar dibilang. Entah It Teng Taysu datang atau tidak….”
“Dia sudah menjadi orang suci, dia takkan be-rebut nama kosong lagi.”
“Aku pun menduga demikian. Ayahmu, Suhu Ang, Kakak Ciu, Kiu Cian Jin, dan Auwyang Hong mempunyai kepandaian masing-masing. Me-ngenai Suhu Ang, aku tak tahu dia sudah sembuh atau belum dan entah bagaimana kepandaiannya….”
Waktu mengucapkan begitu, Kwee Ceng sedih.
“Menurut keadaan. Bocah Tua Nakal yang pa-ling lihai,” kata si nona. “Tapi kalau tidak meng-gunakan Kiu Jm Cin Keng, dia kalah dari empat orang yang lain….”
Kwee Ceng membenarkan dugaan itu.
Mereka masih bicara sampai rasa kantuk si nona datang, maka tidak lama kemudian, ia pulas di dada si pemuda, yang membiarkannya. Tidak lama setelah itu. Kwee Ceng pun ingin tidur, namun ketika baru layap-layap tidurnya, mendadak ia mendengar langkah yang disusul dengan ber-kelebatnya dua bayangan yang lari ke belakang jurang. Ia terkejut, samar-samar ia mengenali Pek Thong dan Cian Jin. Ia heran melihat Bocah Tua Nakal dikejar Cian Jin. Ia tidak tahu ketua Tiat Ciang Pang itu menggunakan ular berbisa.
Bukankah tadinya Cian Jin yang dikejar-kejar Pek Thong? Pelan-pelan ia membangunkan si nona  dan berkata, “Lihat!”
Oey Yong bangun, mengangkat kepalanya. Ia lantas melihat Pek Thong yang lari berputar-putar di dekat mereka. “Kemudian didengarnya Bocah
Tua Nakal berkata, “Bangsat tua Kiu, di sini bersembunyi kawanku tukang menangkap ular ber-bisa! Apa kau masih tak mau lekas-lekas kabur?”
Lalu Kiu Cian Jin menjawab sambil tertawa, “Apa kausangka aku bocah umur tiga tahun?”
Ciu Pek Thong berteriak-teriak, “Saudara Kwee!
Nona Oey! Lekas bantu aku!”
Kwee Ceng hendak membantu. Ketika ia mau melompat bangun, Oey Yong menariknya dan tetap merebahkan diri di dada si pemuda.
“Jangan bergerak!” kata si nona lirih.
Pek Thong terus lari berputar-putar, ia tidak juga melihat kemunculan kedua orang yang di-teriakinya itu. Setelah mengulangi tapi tetap tidak ada yang memedulikannya, ia berteriak, “Bocah busuk! Budak iblis! Kalau kau tetap tak mau keluar, nanti kucaci maki delapan belas leluhurmu!”
Oey Yong lantas muncul. Ia tertawa.
“Aku tak mau keluar!” katanya. “Kalau kau bisa, makilah!”
Pek Thong tidak berani memaki.
“Nona, bantulah aku,” katanya. “Bagaimana kalau aku mencaci delapan belas leluhurku?”
Melihat munculnya sepasang muda-mudi itu, hati Kiu Cian Jin ciut. Ia lantas berniat kabur, sebab celakalah kalau ia dikepung mereka bertiga. Kalau besok, bertempur satu lawan satu. ia tidak jeri.
Lantas ia mengangkat ularnya, menyampokkannya ke muka Pek Thong.
Bocah Tua Nakal kaget, ia berkelit. Mendadak ia merasakan sesuatu yang dingin di lehernya, ia kaget sekali. Ia menyangka itu ular berbisa.
“Mati aku! Mati aku!” teriaknya berulang-ulang.
Binatang itu meronta-ronta di punggungnya. Ia pun tidak berani merogoh. Mendadak ia lemas, lantas tubuhnya roboh.
Oey Yong dan Kwee Ceng kaget, keduanya melompat menubruk untuk menolong.
Kiu Cian Jin heran melihat robohnya Pek Thong, tapi karena ini kesempatannya yang baik, ia hendak lari pergi. Belum lagi ia mengangkat kaki, dari gerumbulan pohon muncul sesosok bayangan, yang lalu berkata dengan dingin, “Bangsat tua Kiu, hari ini kau tak dapat lolos lagi!”
“Siapa kau?” bentak Cian Jin. Orang itu berdiri membelakanginya, hingga Cian Jin tidak dapat melihat mukanya. Ia hanya bisa khawatir.
Pek Thong rebah di tanah, mengira dirinya sudah ada di alam baka. Tapi kupingnya mendengar, “Tuan Ciu, jangan takut, itu bukan ular!” Ia pun ditolong bangun. Ia lantas melompat berdiri. Kembali ia merasakan sesuatu yang dingin di punggungnya, benda itu bergerak-gerak. Kembali ia kaget, hingga menjerit, “Dia menggigitku! Ular! Ular!”
“Bukan ular. hanya ikan emas!” kata orang itu lagi.
Sekarang Oey Yong berdua Kwee Ceng telah melihat orang yang bicara itu, malahan mereka mengenalinya, yaitu si tukang pancing, murid ke-pala It Teng Taysu. Orang itu pun lantas meng-ambil ikan dari punggung Bocah Tua Nakal.
Si tukang pancing datang ke Gunung Hoa San, ia melihat sepasang ikan emas Kim-wawa, maka ia lantas menangkapnya. Entah bagaimana ia mem-buat yang seekor terlepas, bahkan tepat sekali jatuh ke dalam baju Ciu Pek Thong. Tak heran Pek Thong kaget dan takut bukan main, sebab ia menyangka itu ular Kiu Cian Jin.
Begitu Pek Thong membuka mata dan meng-awasi orang itu, ia bengong. Ia seperti mengenali orang itu, tetapi lupa siapa. Kemudian ia berpaling kepada Kiu Cian Jin, ketua Tiat Ciang Pang itu sedang mundur selangkah demi selangkah, sedang- kan si bayangan maju selangkah demi selangkah juga. Ia mengawasi bayangan itu. Akhirnya ia kaget tak terkira, semangatnya seolah terbang tinggi. Bayangan itu ternyata Eng Kouw atau Lauw Kui-hui dari istana Negara Tali!
Kiu Cian Jin juga kaget bukan main. Ia datang ke Hoa San dengan harapan besar, sebab meski gagah Ciu Pek Thong bisa dipengaruhi dengan ular. Ia sama sekali tidak menyangka sekarang Lauw Kui-hui muncul tiba-tiba. Selama di Chee-liong-toa, ia telah menyaksikan selir itu mengamuk, maka sekarang hatinya jadi ciut. Justru itu ter-dengar si nyonya berkata, “Kembalikan jiwa anakku…!”
Sebenarnya Cian Jin heran bagaimana nyonya ini mengenalinya, karena dulu ketika menyatroni istana Toan Hongya, ia menyamar. Dulu ia juga tidak berniat membinasakan anak itu. Sebab maksudnya ialah supaya Toan Hongya mengobati anaknya dan menjadi lelah karenanya.
“Eh, perempuan edan, buat apa kau mengganggu-ku?” tanyanya sambil memaksakan diri tertawa.
“Pulangkan jiwa anakku!” jawab Eng Kouw.
“Buat apa kau menyebut-nyebut anakmu?” tanya Cian Jin. “Anakmu sudah mati, apa hubungannyadenganku?”
“Sebab kaulah pembunuhnya! Malam itu aku tak melihat mukamu, tapi aku mendengar tawamu!
Nah, coba kau tertawa lagi! Tertawa! Cepat!”
Kiu Cian Jin mundur lagi. Ia melihat wanita itu akan menerkamnya. Ketika nyonya itu benar-benar maju, ia menggeser sedikit ke samping, tangan kirinya menepuk tangan kanannya, lalu tangan kanan-nya itu meluncur ke perut si nyonya. Itulah jurus Imyang Kwi It, Bersatunya Im dan Yang, salah satu di antara ketiga belas jurus dari Tiat Ciang Kiat, silat Tangan Besi-nya yang lihai. Tenaga tangan kanannya dibantu dengan tangan kirinya.
Eng Kouw tahu hebatnya serangan itu. la hendak  membebaskan diri dengan Ni Ciu Kang, ilmu Lindung-nya, tetapi di luar dugaannya, gerakan Cian Jin sangat sebat. Ia menjadi nekat. Maka bukannya menangkis atau berkelit, ia justru menubruk untuk memeluk musuh, supaya mereka sama-sama jatuh ke jurang.
Belum lagi kedua pihak mempertaruhkan jiwa mereka, Kiu Cian Jin merasakan sambaran angin di sampingnya, sedangkan matanya melihat bayang-an berkelebat. Terpaksa ia menarik pulang serang-annya untuk dipakai menangkis. Ia lantas melihat siapa yang telah merintanginya, ia gusar sekali.
“Ah, Bocah Tua Nakal, kau lagi!” serunya.
Memang Pek Thong-lah yang menolong Eng Kouw dari bahaya. Tiba-tiba saja datang rasa cinta si orang tua, bahkan ia menyerang dengan jurus dari Kiu Im Cin Keng. Meski menolong, Pek Thong tidak berani memandang langsung kekasihnya.
Sembari membelakangi ia berkata, “Eng Kouw, kau bukan tandingan tua bangka ini, lekas pergi! Aku pun mau pergi dari sini!”
Bocah Tua Nakal benar-benar mau angkat kaki.
tetapi Eng Kouw bertanya, “Ciu Pek Thong, kau hendak menuntut balas untuk anakmu atau tidak?”
“Apa? Anakku?” tanya Bocah Tua Nakal. Ia heran hingga melengak.
“Benar! Pembunuh anakmu adalah Kiu Cian Jin!” sahut Eng Kouw.
Pek Thong bingung, la tidak tahu bahwa hubung-annya beberapa hari dengan Lauw Kui-hui telah menghasilkan anak. Selagi ia diam, telah datang beberapa orang lain, maka tempo mengangkat ke-pala ia melihat It Teng Taysu serta keempat muridnya.
Kiu Cian Jin mendapati dirinya berada kurang tiga kaki dari jurang, artinya ia sudah terkurung dan terancam bahaya, sedangkan semua musuhnya lihai. Dalam keadaan seperti itu, ia menjadi nekat.
Ia menepukkan kedua tangannya dan berkata  angkuh, “Aku mendaki Gunung Hoa San ini untuk memperebutkan gelar orang kosen nomor satu di kolong langit, tapi kalian berkumpul sekarang!
Hm! Apakah kalian mengepungku hendak me-nyingkirkan satu lawan lebih dulu? Dapatkah kalian melakukan perbuatan sehina ini?”
Menurut Ciu Pek Thong perkataan orang itu beralasan.
“Biarlah besok, sehabis pertemuan adu silat, baru aku mengambil jiwamu yang busuk!”
“Baiklah!” kata Kiu Cian Jin.
“Tidak bisa!” teriak Eng Kouw. “Mana bisa aku menanti sampai besok!”
“Bocah Tua Nakal!” Oey Yong turut bicara.
“Dengan orang terhormat kita bicara tentang ke-hormatan, dengan manusia licik kita bicara secara licik.”
Muka Kiu Cian Jin memucat, la mengerti sedang menghadapi bahaya. Tapi ia licik, ia mendapat akal.
“Kenapa kau hendak membunuhku?” tegurnya.
“Kau jahat sekali, setiap orang berhak mem-bunuhmu!” jawab si pelajar.
Cian Jin tertawa terbahak sambil melengak.
“Kalian lebih banyak, aku bukan tandingan kalian!” ejeknya. “Tapi apa kalian kira aku takut?
Barusan kalian bicara tentang kehormatan dan ke-jahatan, baiklah! Sekarang aku bersedia melayani kalian! Nah, majulah siapa di aniara kalian yang seumur hidup belum pernah membunuh manusia serta belum pernah berbuat jahat! Kalian boleh turun tangan, aku nanti manda menyerahkan leher-ku untuk dipenggal! Jika aku mengerutkan alis, aku bukan laki-laki!”
It Teng Taysu menghela napas. Ia lantas men-dului mengundurkan diri untuk duduk bersila.
Kata-kata Cian Jin berpengaruh sekali. Sekalipun
si tukang pancing, tukang kayu, petani, dan pelajar pernah memangku pangkat, mereka semua pernah  membunuh orang.
Ciu Pek Thong dan Eng Kouw saling memandang, keduanya teringat segala hal yang mereka alami bersama dulu.
Kwee Ceng dan Oey Yong turut diam.
Kwee Ceng dan Oey Yong turut diam.
Kiu Cian Jin menggunakan kesempatan, la me-langkah ke arah Kwee Ceng. Si pemuda minggir.
Cian Jin mengerahkan tenaganya untuk lompat melewatinya, namun mendadak dari balik batu besar menyambar sebatang tongkat bambu ke mukanya. Ia terkejut tapi bisa menangkis untuk menangkap tongkat itu, berniat merampasnya. Di luar duga-annya, ia gagal, bahkan tiga kali beruntun tongkat itu menyerang. Ia kaget, ternyata setiap serangan adalah totokan ke jalan darah. Ia kewalahan, sedang-kan di situ tidak ada jalan mundur. Terpaksa ia
mundur ke tempatnya tadi, mendekati jurang. Segera setelah ia mundur, sesosok bayangan melompat ke depannya.
“Suhu!” teriak Oey Yong. Si nona mengenali sosok itu, yaitu Kiu Ci Sin Kay Ang Cit Kong!
“Hai, pengemis bau!” Kiu Cian Jin mencaci.
“Kenapa kau usil? Sekarang masih belum tiba waktunya pertemuan untuk beradu ilmu pedang!”
“Aku datang untuk menyingkirkan kejahatan!”
jawab Ang Cit Kong. “Siapa mau rapat beradu pedang denganmu!”
“Bagus, orang gagah, pendekar!” teriak Kiu Cian Jin. “Ya, aku si orang jahat, kau sendiri si manusia baik yang belum pernah melakukan perbuatan busuk!”
“Memang!” jawab Cit Kong lagi. “Aku si penge-mis tua telah membinasakan 531 orang yang se-muanya jahat, pembesar rakus, hartawan, jago jahat, atau manusia tak berbudi! Benar, aku si pengemis tua sangat kemaruk hidangan lezat; tapi seumur hidupku belum pernah aku membunuh orang baik-baik! Kiu Cian Jin, kaulah orang ke-532 yang akan kubunuh!”
Mendengar itu Cian Jin tersentak.
“Kiu Cian Jin,” Ang Cit Kong berkata lagi, “Ketua Siangkoan Kiam Lam dari Tiat Ciang Pang adalah orang gagah perkasa, seumur hidup dia setia pada negara, tak pernah berubah pikiran. Tapi kau, yang sama-sama menjadi ketua, bersekongkol dengan bangsa Kim, berkhianat, menjual negara! Kalau nanti kau mati, apakah kau punya muka untuk bertemu dengan Ketua Siangkoan? Sekarang kau mendaki Gunung Hoa San ini, kau bemiat gila mengharapkan kehormatan sebagai orang kosen nomor satu di kolong langit! Jangan kata ilmu silatmu tak mampu menandingi orang-orang gagah lain, umpama kata kau benar tiada tandingan, di kolong langit ini, orang gagah mana yang sudi takluk pada pengkhianat penjual negara!”
Kiu Cian Jin berdiri menjublek. Hebat kata-kata itu. Teringatlah ia akan kejadian-kejadian beberapa puluh tahun lampau ketika ia pertama kali me-nerima kedudukan sebagai ketua Tiat Ciang Pang.
Waktu itu Siangkoan Kiam Lam, ketua yang lama, sambil rebah sakit di pembaringan, telah meninggal- kan pesan, menjelaskan pada Kiu Cian Jin tentang aturan suci Tiat Ciang Pang, berpesan supaya mencintai negara dan menyayangi rakyat. Kiu Cian Jin ingat, semakin menanjak usianya, semakin ting-gi kepandaiannya, sepak terjangnya semakin ber-tentangan dengan cita-cita partainya. Semua
anggotanya yang jujur dan setia mengundurkan diri; sedangkan yang buruk tetap berkumpul ber-samanya, hingga kemudian Tiat Ciang Pang yang suci murni itu telah berubah menjadi kotor, menjadi sarang penjahat. Ia mengangkat kepalanya, melihat rembulan bersinar terang. Sepasang mata Ang Cit Kong bersinar tajam mengawasinya. Mendadak ia menginsafi semua perbuatannya dulu bertentangan dengan Thian. Tanpa sadar peluh membasahi se-luruh tubuhnya.
“Ketua Ang, kau benar!” katanya akhirnya. Ia memutar tubuh untuk melompat ke jurang.
Cit Kong kaget. Ia memegang tongkatnya untuk menjaga diri. Ia khawatir, karena gusarnya, Kiu Cian Jin akan menerjangnya. Ia tahu ketua Tiat Ciang Pang itu lihai. Maka ia tidak menyangka orang itu menjadi nekat hendak bunuh diri. Ia tercengang. Selagi ia tidak berdaya, orang lain telah mencelat maju ke lepi jurang. Orang itu adalah It Teng Tay.su yang sejak tadi duduk bersila saja. Pendeta ini melompat tidak dengan kakinya, namun dengan tubuh melayang. Ia masih dalam posisi bersila. Tangan kirinya terulur, ia menyambar kaki Kiu Cian Jin dan menariknya keras-keras, sambil memuji, “Siancay! Siancay! Laut keseng-saraan tidak ada batas pinggirnya. Siapa yang menoleh, melihat tepian! Kau telah insaf, kau telah menyesal, maka bagimu masih belum kasip untuk kembali menjadi manusia benar! Pergilah kau mengurus dirimu baik-baik!”
Kiu Cian Jin menangis menggerung-gerung, ber-lutut di depan si pendeta, pikirannya pepat. Tidak dapat ia mengatakan sesuatu.
Eng Kouw melihat orang itu berlutut membe-lakanginya. Melihat kesempatan itu, ia menghunus belatinya, menikam punggung musuhnya itu.
“Tahan!” seru Ciu Pek Thong seraya menahan tangan si nyonya.
“Kau mau apa?” bentak Eng Kouw gusar.
Bocah Tua Nakal memang tidak mau berurusan dengan si nyonya, maka dibentak begitu ia ber-teriak, lantas memutar tubuhnya untuk lari kabur.
“Ke mana kau mau pergi?” bentak Eng Kouw lalu mengejar.
“Perutku sakit, aku hendak buang kotoran!” sahut Pek Thong sambil lari terus.
Sejenak Eng Kouw tergugu, lantas ia mengejar lagi. Ia tidak memedulikan kata-kata orang itu.
Pek Thong berteriak-teriak lagi, “Celaka! Celaka!
Celanaku penuh kotoran bau sekali, jangan dekat-dekat aku!”
Eng Kouw tidak memedulikannya, ia terus me-ngejar. Sudah dua puluh tahun ia mencari, kalau sekarang ia membiarkan orang itu lolos lagi, lain kali sukar mencarinya hingga ketemu. Ia lari kencang.
Bocah Tua Nakal mendengar langkah kakinya, ia kaget. Sekarang ia benar-benar terkejut. Kalau tadi ia mengatakan hendak buang air besar hanya untuk menggertak Eng Kouw. sekarang ia benar-benar hendak melakukannya….
Kwee Ceng dan Oey Yong tersenyum melihat
lagak Pek Thong itu, yang bersama Eng Kouw lenyap dengan cepat. Kemudian mereka menoleh, memandang lt Teng Taysu.
Pendeta itu bicara berbisik kepada Kiu Cian Jin, dan ketua Tiat Ciang Pang itu mengangguk-angguk. Kemudian Toan Hongya yang sudah “mati” itu bangkit.
“Mari berangkat!” katanya.
Sampai di situ Kwee Ceng dan si nona meng-hampiri untuk memberi hormat. Mereka pun mem-beri hormat pada si tukang pancing berempat.
It Teng mengusap-usap kepala sepasang muda-mudi itu. Ia tersenyum, kelihatan nyata pada roman-nya bahwa ia mengasihi mereka. Ia menoleh kepada Ang Cit Kong dan berkata. “Saudara Cit, kau sehat walafial, lebih gagah daripada dulu! Kau pun telah menerima dua murid yang baik sekali, selamat padamu!”
Ang Cit Kong menjura.
“Hongya juga baik!” katanya.
It Teng tertawa.
“Sekarang aku bukan hongya lagi!” katanya. Ia menolak sebutan hongya atau raja. “Saudara Cit, gunung itu tinggi, air itu panjang. Sampai bertemu lagi!” la merangkapkan kedua tangannya untuk  memberi hormat, lantas membalikkan tubuh akan beranjak pergi.
“Eh, eh,” kata Cit Kong, “besok pertemuan berlangsung. Kenapa Toan Hongya pergi sekarang?”
Karena telah jadi kebiasaan, ia tidak dapat meng-ubah panggilan Toan Hongya itu.
It Teng berbalik. la tertawa.
“Aku dari kalangan lain, tak berani aku be-rebutan dengan orang-orang gagah di kolong la-ngit,” sahutnya. “Kedatanganku hari ini hanya un-tuk menyelesaikan keruwetan dari dua puluh tahun lampau. Maka aku bersyukur maksudku telah ter-capai. Saudara Cit, sekarang siapa lagi orang gagah itu kalau bukannya kau. Janganlah merendahkan diri!”
Lagi-lagi pendeta ini memberi hormat, lantas „ pergi dengan menggandeng Kiu Cian Jin.
Si tukang pancing herempat menghormat pada Ang Cit Kong, kemudian mengikuti guru mereka.
Si pelajar lewat di dekat Oey Yong, melihat muka si nona bercahaya, ia tertawa dan menggoda dengan bersenandung, “Di lanah rendah ada pohon yang toh, cabangnya halus dan lemas.”
Oey Yong membalas sindiran itu, “Sang ayam menclok di para-paranya, hari sudah jadi malam….”
Si pelajar tertawa lebar, ia menjura dan melanjut-kan perjalanan.
Kwee Ceng heran, ia tidak mengerti. Ia menduga mereka main teka-teki.
“Yongji, apakah itu kata-kata Sanskerta?” tanyanya.
Si nona tertawa.
“Bukan. Itu syair dari Kitab Syair”
Kedua syair si pelajar dan Oey Yong itu masih ada sambungannyaj tetapi mereka sengaja menyebut permulaannya saja. Si pelajar mengatakan si nona belum menikah tapi sudah kegirangan, sedangkan Oey Yong mengumpamakan si pelajar sebagai bi-natang.
Sementara itu Kwee Ceng, yang telah mendengar teguran Ang Cit Kong kepada Kiu Cian Jin, turut tersadar. Ia seperti mendapat petunjuk untuk  mengatasi keruwetannya selama ini. Gurunya itu  telah membunuh banyak orang, tapi semuanya orang  jahat. Tindakan gurunya itu tidak dapat dikatakan  tidak pantas. Guru itu bukannya jahat, bahkan , sebaliknya, gurunya orang baik. sebab ia menindas  kejahatan. Karena itu semestinya ia tidak melupakan  atau membuang ilmu silatnya.
 Lantai muda-mudi ini menghampiri guru mereka  untuk memberi hormat, kemudian mereka pasang  omong tentang segala hal yang terjadi sejak per- pisahan mereka yang terakhir.
 Ang Cit Kong ikut Oey Yok Su ke Pulau
 Persik Di sana ia dapat menyembuhkan diri dengan  memahami Kiu i m Ciri Keng. dengan melatih ilmu  tenaga dalamnya untuk memperlancar jalan per- napasan dan jalan darahnya. Dalam tempo setengah  tahun ia sembuh, lalu dalam tempo setengah lahun  berikutnya ia berhasil memulihkan kepandaian silat- nya, la sudah sembuh, tetapi ia meninggalkan  Pulau Persik sesudah Oey Yok Su, yang pergi  lebih dulu untuk mencari anak daranya yang selalu  dipikirkan dan dirindukannya. Oey Yok Su bertolak  ke utara. Cit Kong bertemu dengan Lou Yu Kiak,  maka ia tahu tentang kedua muridnya itu, kecuali  hal-hal yang terjadi setelah rombongan Yu Kiak  meninggalkan Mongolia.
 “Suhu, sekarang silakan Suhu beristirahat,” Kwee  Ceng mempersilakan. “Sang fajar bakal lekas tiba,  sebentar lagi tiba waktunya beradu kepandaian.
 Suhu mesti menggunakan banyak tenaga.”
 Cit Kong tertawa dan berkata, “Usiaku telah lanjut, tapi kegemaranku akan menang pun ber-tambah. Tapi mengingat yang bakal kuhadapi Sesat Timur dan Racun Barat, hatiku kurang tenteram.
Selama ini, Yongji, kepandaian ayahmu maju pesat  sekali. Coba tebak, siapa yang akan lebih kuat atau lebih lemah di antara ayahmu dan gurumu?”
“Sebenarnya kepandaian Suhu dan kepandaian Ayah berimbang,” sahut Oey Yong. “Tapi sekarang Suhu telah mewarisiYang Ci dari lt Teng
Taysu dan Suhu sendiri telah meyakinkan Kiu Im Cm Keng, maka tentulah ayahku bukan tandingan Suhu lagi. Aku akan omong dengan ayahku, supaya Ayah tak usah melawan Suhu lagi, lebih baik lekas-lekas pulang ke Pulau Persik.”
Ang Cit Kong memikirkan perkataan si murid yang nada suaranya berbeda, ia lantas menduga isi hati gadis itu. Ia tertawa lebar dan berkata, “Tak usah kau bicara berputar-putar.Yang Ci kepunyaan Toan Hongya dan Kiu Im Cin Keng kepunyaan kalian berdua, maka tak usah kalian sebut lagi. Aku si pengemis tua tidak bakal menebalkan muka menggunakannya. Kalau nanti tiba saatnya pibu, aku akan menggunakan kepandaian asalku.”*
Memang itulah maksud Oey Yong, maka ia tertawa.
“Suhu,” katanya, “jika kalah dari ayahku, kau akan kumasakkan seratus macam masakan untuk berpesta pora. Bagaimana, akur?”
Air liur Cit Kong langsung terbit.
“Eh, bocah cilik, hatimu tak bagus!” kalanya.
“Sudah membakar hatiku, kau menyogok juga!
Kau sangat licik, berharap supaya ayahmulah yang menang!”
Oey Yong tertawa. Belum lagi ia menyahut, mendadak Cit Kong bangun berdiri dan sambil menunjuk ke belakangnya berkata, “Bisa Bangkot-an, kau datang begini pagi!”
Kwee Ceng dan si nona melompat bangun, lantas menoleh, berdiri di samping guru mereka.
Mereka segera melihat Auwyang Hong yang tinggi besar sedang berdiri. Racun Barat datang secara diam-diam, hingga muda-mudi itu tidak tahu. Me- reka heran dan terkejut.
“Datang lebih pagi. pibu lebih pagi!” sahut Auwyang Hong. “Datang siang, pibu siang. Eh.
pengemis tua, hari ini kita bakal bertempur. Kata-kan, kita bakal bertempur untuk mencari kemenang-an yang memutuskan atau untuk mengadu jiwa?”
“Karena kita bertaruh untuk kalah dan menang, itu berarti hidup dan mati,” jawab Ang Cit Kong.
“Maka kalau kau menurunkan tangan, tak usah kau main kasihan-kasihan lagi!”
“Baik !” kata Auwyang Hong. Ia lantas meng-gerakkan tangan kirinya, yang tadi ditaruhnya di belakang. Ternyata ia telah menyiapkan tongkatnya.
Ia menotok batu seraya berkata lagi, “Di sini saja atau di tempat lain yang lebih lebar?”
Cit Kong belum menyahut, tapi sudah didului Oey Yong.
“Tidak bagus Gunung Hoa San ini dipakai se-bagai tempat pibul” kata si nona. “Lebih baik kita pergi ke perahu!”
 Pengemis Utara melengak.
 “Apa kau bilang?” ia bertanya menegaskan.
 “Dengan bertempur di perahu, kita dapat mem-berikan kesempatan sekali lagi pada Paman Auwyang untuk membalas kebaikan dengan ke-jahatan!” si nona menjelaskan. “Biarlah dia men-dapat kesempatan untuk membokong lagi!”
 Ang Cit Kong tertawa terbahak.
 “Dulu kita teperdaya satu kali, maka satu kali juga kita belajar pintar!” katanya. “Jangan harap si pengemis bangkotan nanti memberi ampun lagi!”
 Racun Barat merasakan sindiran si nona, air mukanya tidak berubah sama sekali, namun tanpa bilang apa-apa ia lantas menekuk kedua dengkul-nya, menongkrong, sedangkan tongkatnya berpindah ke tangan kiri. Tangan kirinya itu lantas dipakai untuk mengerahkan ilmu silat istimewanya, Kap-mo-kang.
 Melihat demikian. Oey Yong segera menyerahkan tongkat Tah-kauw-pang kepada gurunya.
 “Suhu!” katanya. “Lawan bangsat licik ini de-ngan Tah-kauw-pang danYang O’! Terhadap dia kau jangan pakai lagi segala aturan atau kemurahan hati!”
 Cit Kong lantas berpikir, “Dengan kepandaianku sendiri, belum tentu aku dapat mengalahkan dia, sedangkan sebentar lagi aku mesti melayani Oey Yok Su. Kalau aku sudah letih, mana bisa aku melayani Sesat Timur.”
 Ia menyambut tongkat keramat partainya itu.
lalu bergerak dalam sikap Mengeprak Rumput Membikin Ular Kaget dan Membiak Rumput Mencari Ular. tongkatnya bergerak ke kiri dan ke kanan.
. Sudah beberapa kali Auwyang Hong bertempur melawan Pengemis Utara, namun belum pernah ia melihat orang itu menggunakan tongkatnya, yang pernah disaksikannya adalah ilmu tongkat Oey Yong, yang kurang diperhatikannya. Sekarang untuk pertama kalinya ia melihat, ia kagum. Gerakan Cit Kong pulang-pergi, mengembuskan angin keras.
karena itu tanpa ayal lagi ia maju menyerang ke liong-kiong—tengah. Tempo hari ketika Cit Kong dibokong Auwyang Hong, jiwanya nyaris melayang, sehingga ia mesti berobat dan merawat diri hampir dua tahun, setelah itu barulah kesehatannya pulih dan kepandaiannya kembali, maka hari ini ia tidak mau berkelahi secara sembarangan. Kekalahannya dulu adalah kekalahan besar yang belum pernah dialaminya seumur hidup, juga bahaya yang belum pernah dihadapinya. Sekarang, berhubung merupa-kan saat penentuan kehormatan dan kehinaan, atau hidup dan mati, ia tidak main sungkan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar