BAB 79. INSAF
MENDADAK terdengar jeritan Oey Yong,
disusul bunyi robeknya baju.
Di saat seperti itu, Kwee Ceng
lupa akan ke-ruwetan persoalannya sendiri, yaitu pantas atau tidak ia
menggunakan ilmu silatnya untuk melawan.
Ia berteriak, “Yongji,
aku akan membantumu!” Ia lantas melompat, berlari ke dalam gua. Tepat saat itu ia
melihat Auwyang
Hong memegang tongkat si nona
dengan tangan kirinya, tangan kanannya akan dipakainya untuk mencekuk lengan
kiri nona itu. Untuk mengatasi itu Oey Yong menggunakan jurus Menyontek Anjing Buduk.
Dengan menolak dan terus menarik, ia dapat meloloskan tongkatnya, hingga
berbareng dengan itu tangan kirinya pun terbebas.
“Bagus!” Auwyang Hong
memuji. Ia hendak menyerang lagi ketika mendengar suara Kwee Ceng
dari luar gua. Mendadak
mukanya memerah.
Bukankah ia telah memberikan janjinya? Mana dapat ia menyangkal janji itu? Ia berbuat begini pun karena terpaksa. Ia malu pada dirinya
sendiri. Maka langsung ia mengundurkan diri. dengan berkelit ia melompat keluar
gua, menutupi mukanya dengan lengan baju-nya. Dalam sekelebatan saja, ia telah
menyingkir ke luar gua dan lenyap.
Kwee Ceng tidak peduli orang
itu kabur. Ia lari menghampiri Oey
Yong, langsung mencekal keras kedua
tangan si nona.
“Yongji!” serunya. “Kaubikin aku hampir mati memikirkanmu!”
Begitu kencang debar hatinya, hingga tubuhnya
bergetar.
Oey Yong melepaskan
tangannya.
“Kau siapa?” tanyanya dingin. “Mau apa kau
me-megangiku ?”
Pemuda itu tercengang.
“Aku Kwee Ceng,” sahutnya. “Kau baik-baik saja?”
“Aku tak kenal kau!” kata si nona seraya
terus melangkah keluar.
Kwee Ceng menyusul
mendului, lalu berulang-ulang menjura.
“Yongji!” panggilnya. “Yongji, dengarkan
aku…!”
“Hm! Apa kau kira kau dapat menyebut nama Yongji?”
kata si nona. “Kau siapa?”
Kwee Ceng celangap, tidak
dapat mengeluarkan suara.
Nona itu mengawasi, maka sekarang ia melihat muka
si pemuda yang pucat dan kucel, tubuhnya pun agak kurus. Sesaat timbul rasa
kasihannya, rasa tidak tega. Tapi begitu ingat berulang kali ia telah
disia-siakan, hatinya jadi panas lagi.
“Fui!” Ia meludah , lalu melangkah cepat.
Kwee Ceng cemas, ia
menyambar ujung baju si nona dan menariknya.
“Dengarkan dulu perkataanku…!” katanya.
“Bicaralah!”
“Di
embal pasir aku menemukan gelang rambut dan bajumu, kusangka kau….”
“Kau ingin aku mendengarkan perkataanmu,
se-karang aku sudah mendengarkannya!” potong si nona. Ia menarik lepas bajunya,
terus berjalan.
Kembali Kwee Ceng bengong, pikirannya
bi-ngung. Ia tidak pandai bicara, maka tidak tahu mesti mengatakan apa. Ia khawatir si nona nanti lenyap lagi, maka ia lantas mengikuti.
Oey Yong berjalan terus
dengan pikiran kusut.
Ia pulang dari Barat dengan hati tawar. Di Tionggoan, ia
sebatang kara. Ia ingin pulang ke Pulau Persik
untuk mencari ayahnya. Apa lacur, tiba di Shoatang ia
menderita sakit berat. Celaka-nya,
tidak ada orang yang merawatnya. Selagi rebah di pembaringan, ia sakit hati
teringat sikap Kwee
Ceng yang ia anggap tipis budi
pekertinya.
Kalau ingat nasibnya yang buruk, ia menyesal telah
dilahirkan di dunia. Syukurlah, ia dapat sem-buh dari
sakit, tapi belum bebas dari penderitaan.
Di Shoatang Selatan ia bersampokan
dengan Auwyang Hong yang memaksanya turut pergi ke Hoa San. Ia dipaksa untuk
menjelaskan isi kitab Kiu
Im Cin
Keng. Kalau tidak ada si pemuda, entah
apa yang akan diperbuat Auwyang
Hong pada dirinya. Dengan sedih ia
berjalan terus.
Kwee Ceng terus mengintil.
Kalau si nona ber-jalan cepat, ia pun mempercepat langkahnya. Kalau si nona
pelan, ia ikut pelan.
Sesudah berjalan sekian lama, mendadak si
nona menoleh ke belakang.
“Mau apa kau mengikutiku ?” tegurnya sinis.
“Aku akan mengikutimu selamanya…,” sahut si pemuda.
“Seumur hidup aku tak mau berpisah darimu….”
Oey Yong tertawa dingin.
“Kau menantu Jenghis Khan! Buat apa kau mengikuti
budak melarat?”
“Jenghis Khan telah menyebabkan kematian ibu-ku, mana
dapat aku menjadi menantunya?” Kwee
Ceng menjawab.
Muka si nona memerah.
“Bagus!” serunya. “Kukira kau masih ingat
se-dikit padaku, rupanya kau telah didepak Jenghis Khan! Setelah tak dapat
menjadi huma, kau se-karang mencariku si budak melarat! Apa kau sangka aku
manusia hina-dina yang dapat kau hina sesuka-mu ?”
Si nona lantas menangis, air matanya
bercucuran.
Kwee Ceng terharu, tetapi ia
bingung. Apa yang mesti diperbuatnya? Apa yang mesti dikatakannya…?
“Yongji…,” katanya kemudian, selagi nona itu sesenggukan.
“Aku ada di sini, jika kau hendak membunuhku, silakan, terserah padamu….”
“Buat apa aku membunuhmu?” tanya si nona, suaranya pilu. “Anggap saja perkenalan
kita sia-sia belaka…. Kumohon, janganlah kau mengikutiku….”
Muka Kwee Ceng bertambah pucat.
“Apa yang harus kulakukan supayakau percaya
padaku?” tanyanya.
“Sekarang kau baik denganku,” kata si nona.
“Kalau besok kau bertemu dengan Adik Gochin-mu, kembali kau akan melupakanku, kau
bakal menyia-nyiakanku…. Sekarang ini. asal kau mati di depanku, baru aku
percaya padamu..-”
Darah Kwee Ceng meluap, ia
mengangguk. Ke-mudian ia memutar tubuhnya dan melangkah ke jurang. Kebetulan saat itu ia
berada di tepi Sia
Sin Gay,
Jurang Mengorbankan Diri. Kalau ia terjun di situ, pastilah tubuhnya hancur
lebur.
Oey Yong tahu hati pemuda itu
keras, ia me-lompat menyusul, tangannya terulur untuk me-nyambar punggung si
pemuda. Ia menarik keras, tubuhnya meucelat, maka sekejap kemudian justru dialah
yang berada di tepi jurang. Ia mencucurkan air mata. hatinya tegang.
“Bagus ya, sedikit pun kau tak kasihan
padaku!” katanya.
“Aku baru mengeluarkan sepatah kata karena
panas hatiku, kau langsung tak mau me-lewatkannya! Aku bilang padamu, jangan
marahi aku, cukup asal kau jangan bertemu lagi denganku…”
Muka Oey Yong pucat, tubuhnya
gemetar.
“Yongji, kemarilah,” kata Kwee Ceng.
Tadi ia mau bunuh diri, sekarang ia khawatir si nona yang akan terjun.
Oey Yong mendengar suara
pemuda itu bergetar.
Ia tahu si pemuda masih
mencintainya, ia sangat sedih. Sembari menangis, ia berkata, “Aku tahu kau pura-pura
saja berkata begini. Ketika
aku sakit di Shoatang, tak seorang pun
memedulikanku…. Apakah waktu itu kau datang menjengukku? Aku dikekang Auwyang Hong,
aku tak dapat meloloskan’ diri, apakah kau datang menolongku? Ibuku tak me-nyayangiku,
dia pergi mati sendiri saja.— Ayah pun tak menghendakiku, dia tak mencariku…. Apalagi
kau, lebih-lebih tak menginginkanku! Di
dunia ini, tak seorang pun menyayangiku, mengasihaniku….”
Ia menangis terus, sambil membanting-banting
kaki.
Kwee Ceng diam. Ia masih tidak
tahu mesti bilang apa. [a bisa merasakan panasnya hati si nona. Ia cuma bisa
mengawasi.
Sunyi di antara
mereka,-cuma terdengar embusan sang angin.
Rupanya si nona merasa kedinginan, tubuhnya menggigil.
Kwee Ceng membuka baju
luarnya, berniat me-ngerobongi tubuh nona itu. Selagi ia akan me-lakukannya,
mendadak ada bentakan dari ujung jurang, “Siapa yang nyalinya begitu besar
berani menghina Nona
Oey-ku?”
Kwee Ceng
girang sekali. Ia langsung men-dongak, melihat seorang tua dengan rambut pendek
dan kumis putih, dialah Ciu Pek Thong si Bocah Tua
Nakal.
“Kakak Ciu!”
panggil Kwee
Ceng.
Oey Yong pun memperdengarkan
suaranya de-ngan agak mendongkol. “Eh. Bocah Tua
Nakal!
Aku menitahkanmu untuk membunuh Kiu Cian
Jin! Mana kepalanya?”
Ciu Pek Thong- menghampiri mereka,
ia tidak menjawab, hanya tertawa haha-hihi.
“Nona Oey,
siapa yang mengganggumu?” ia bertanya. “Nanti Bocah
Tua Nakal
membikinmu puas!”
“Siapa lagi kalau bukan dia!” sahut si nona seraya
menunjuk Kwee
Ceng.
Untuk menyenangkan si nona, si Bocah Tua
Nakal bertindak sejadinya saja.
Tahu-tahu Kwee
Ceng telah digaploknya dua kali
hingga kelabakan.
Kwee Ceng sama sekali tidak
menyangkanya. Ka-rena itu, bengaplah
pipi kiri dan kanannya. Ketika baru dihajar, matanya juga berkunang-kunang.
“Nona Oey,
cukupkah?” tanya Bocah Tua
Nakal.
“Jika belum cukup, nanti kuhajar lagi dia.”
Menampak muka si pemuda merah dan bengap, di
pipinya tampak bekas tapak tangan dengan lima
jari, kedongkolan Oey
Yong mereda, lantas timbul rasa
kasihannya. Ia berbalik jadi mendongkol ke-pada si tua tukang guyon
itu.
“Aku marah sendiri, tak ada hubungannya
de-nganmu!” ia tegur orang tua itu. “Kenapa kau lancang memukulnya?
Kuperintahkan kau membunuh Kiu
Cian Jin,
mengapa kau tak dengar perintahku?’
Pek Thong menjulurkan lidahnya panjang-pan-jang.
Ia tidak dapat menjawab.
Ketika itu, jauh di belakang jurang,
terdengar bunyi beradunya senjata. Pek Thong mendengarnya,
ia segera mendapat akal.
“Pastilah si tua bangka Kiu sudah datang, aku
akan mendatanginya!” katanya seraya terus me-mutar tubuh untuk lari ke belakang
jurang itu.
Tentu saja Bocah Tua Nakal bukan mau mencari Kiu Cian
Jin, bahkan sebaliknya ia jeri dengan ketua Tiat Ciang Pang itu. Di antara kedua jago ini, keadaan seperti jungkir
balik.
Di rumah batu, tempat
Kwee Ceng dan Auwyang
Hong berlalu saling susul, Pek
Thong dan Cian
Jin bertempur tidak lama. Cian Jin
bisa lolos dan kabur, ia dikejar Pek Thong, ke mana pun lari ia disusul, hingga
akhirnya ia mendongkol berbareng putus
asa. Ia berpikir, ia toh jago dan ketua partai, mengapa sekarang ia begini sial
menghadapi Ciu Pek Thong yang lihai itu? la merasa sangat terhina.
Karena putus asa, ia menjadi nekat. Daripada kena bekuk, lebih baik ia bunuh diri. Kebetulan ia melihat
seekor ular berbisa di sela batu, ia me-nangkap ular itu. la berniat memagutkan
ular itu ke dirinya sendiri. Dengan memegangi ular itu, ia berkala pada Ciu Pek
Thong, “Eh, Pek Thong, bangsat, lihat ini!”
Sebenarnya Cian Jin hendak menempelkan
mulut ular itu ke lengannya, tapi mendadak Ciu Pek Thong menjerit, lalu memutar
tubuhnya dan lari kabur. Cian
Jin menjadi heran. Namun sejenak
kemudian ia lantas dapat menduga, tentulah Bocah Tua Nakal takut ular. Maka ia
sekarang berbesar hati, ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri, lantas
mengejar si tua bangka berandalan itu. Lebih dari itu ia menangkap seekor ular
lain, hingga tangan kiri dan kanannya masing-masing mencekal binatang berbisa
itu. Sembari mengejar, ia berteriak-teriak mengancam musuhnya.
Pek Thong ketakutan, ia lari ngacir.
Kiu Cian Jin mempunyai julukan
Sui-siang-piauw, yang berarti larinya sangat pesat. Seandainya tidak jeri, ia tentu sudah dapat menangkap Pek Thong. Maka
mereka cuma main kejar-kejaran.
Dari siang mereka berlari-lari sampai hari
gelap, setelah itu barulah Pek Thong bisa lolos. Dalam hati Cian Jin
tertawa. Ia mengejar hanya untuk menggertak. Sekarang ia pun bebas
dari ancaman si tua berandalan itu.
Oey Yong melihat orang tua
itu pergi, ia melirik Kwee
Ceng. Ia menghela napas lantas
menunduk.
“Yongji!” panggil Kwee Ceng.
Nona itu menyahut lirih.
Kwee Ceng hendak
berbicara tetapi tidak tahu mesti mengatakan apa, ia berdiri diam. Karena si nona pun terus membungkam, keduanya berdiri bagaikan
patung, tubuh mereka disampoki angin.
Tidak lama kemudian Oey Yong
bangkis akibat terlalu banyak kena angin.
Kwee Ceng ingat bajunya, ia
lantas menghampiri untuk menutupi tubuh si nona dengan bajunya itu.
Tadi ia diganggu oleh Ciu Pek Thong, sekarang
tidak ada rintangan lagi.
Oey Yong diam saja, menunduk
terus.
Dalam kesunyian itu. kuping mereka mendengar tawa
nyaring Ciu Pek Thong yang ierus berseru memuji, “Bagus! Bagus”‘
Mendadak si nona mengulurkan tangannya, mencekal
tangan Kwee Ceng seraya berkata pelan.
“Kakak Ceng,
ayo kita lihat!”
Kwee Ceng mengikuti. Ia tidak
bisa menyahut.
Kali ini saking girangnya ia mencucurkan air
mata.
Dengan ujung bajunya Oey Yong
mengusap air mata si pemuda.
“Di mukamu ada air mata
dan bekas tapak tangan. Kalau
orang tak tahu, dia bisa menyangka akulah yang menamparmu….”
Dengan tertawanya si nona, berarti mereka
ber-dua sudah akur lagi.
Dengan bergandengan mereka lari melintasi
ju-rang, pergi ke tempat asal datangnya tawa Ciu Pek Thong. Di sana
mereka melihat banyak orang dengan sikap yang aneh-aneh.
Pek Thong terlihat girang bukan main. Ia me-megangi perutnya sambil terbungkuk-bungkuk. Ia tertawa puas sekali. Di dekatnya tampak Khu Ci
Kee berdiri diam dengan pedang di
tangan. Di antara mereka masih ada
empat orang lagi, ialah See Thong Thian, Pheng Lian
Houw, Lama
Leng Ti,
dan Hauw Thong Hay. Sikap keempat orang itu luar biasa. Mereka memegang senjata
masing- masing, ada yang sedang menyerang, ada yang sedang berkelit atau
mundur. Sikap tubuh mereka tetap begitu, sebab mereka tidak dapat bergerak bagaikan
patung. Sebab mereka korban totokan si Bocah Tua
Nakal yang kekanak-kanakan.
“Tempo hari itu aku membuat obat pulung dari lumpur
tubuhku,” kata Ciu Pek Thong kepada See Thong Thian berempat. “Aku menitahkan
kalian
untuk menelannya. Kemudian kalian kawanan
bang-sat cerdik juga, kalian tahu itu bukan obat penawar racun, lantas kalian tak
mau dengar kata-kata kakekmu ini. Hm! Bagaimana sekarang ?”
Pek Thong mengatakan demikian sebab meski berhasil
membekuk mereka, ia tidak tahu bagaimana harus menghukum mereka. Tapi begitu
melihat Oey Yong dan Kwee Ceng, ia
lantas mendapat pikiran.
Katanya, “Nona, empat bangsat bau ini
kuserahkan padamu !”
“Apa gunanya mereka buatku?” tanya si nona.
“Kau main gila, ya? Kau tak mau membunuh tapi
juga tak mau melepaskan mereka! Kau telah” me-nangkap mereka tapi tak berdaya
mengurus! Lekas kaupanggil aku kakak yang baik tiga kali, nanti kau
kuajari..-!”
Pek Thong tidak mau banyak pikir, ia juga
tidak peduli dengan segalanya, maka tanpa sangsi sedikit pun ia memanggil
“Kakak yang baik!” tiga kali.
Bahkan ditambah dengan menjura dalam-dalam.
Oey Yong tersenyum.
“Geledah dia!” kata si nona seraya menunjuk Pheng Lian
Houw.
Pek Thong menurut. Dari tubuh Lian Houw
ia mendapatkan cincin dengan jarum beracun dan dua peles
kay-yok, obat pemunah racun.
Kata si nona, “Dia pernah menusuk Ma Giok, kemenakan
seperguruanmu, dengan jarumnya ini.
Sekarang tusuklah dia .beberapa kali, juga
ketiga kawannya!”
Lian Houw semua mendengar
perkataan si nona, mereka kaget dan takut bukan main, tetapi mereka masih
tertotok, tidak dapat lari ataupun meronta.
Maka mereka mesti merasakan sakitnya ditusuk Pek
Thong beberapa kali.
“Obatnya ada di
tanganmu,” kata si nona lagi kepada Bocah Tua Nakal. “Sekarang kau dapat menitahkan
mereka untuk melakukan apa pun yang kaukehendaki. Coba lihat mereka berani mem-bangkang atau tidak!”
Pek Thong girang. Ia lantas mengasah otak. Ia
tidak usah membuang tempo untuk mendapatkan akal. Ia membuat obat lagi dari
kotoran, namun kali ini kotoran itu dicampur dengan kay-yok, dipulung menjadi
butiran-butiran kecil, kemudian diserahkan-nya kepada Khu Ci Kee sambil berkata, “Sekarang kaugiring
kawanan bangsat bau ini ke Kuil Tiong Yang Kiong di Ciong Lam San. Penjarakan
mereka selama dua puluh tahun. Jika selama dalam perjalanan mereka menurut
kata-katamu, beri mereka masing-masing sebutir pil mustajabku ini. Tapi kalau sebaliknya,
biarkan saja, biar mereka tahu rasa!
Mereka berbuat, mereka mesti bertanggung
jawab, jangan sekali-kali kasihan pada mereka!”
Khu Ci Kee menerima obat itu
sambil menjura.
Ia menghaturkan terima kasih seraya
memberikan janjinya.
Oey Yong tertawa dan berkata
pada Pek Thong, “Bocah Tua Nakal, kata-katamu ini tepat sekali, sangat pantas!
Tak kusangka, baru setahun kita tak bertemu kau telah maju begini pesat!”
Pek Thong puas sekali, ia tertawa senang.
Se-sudah itu ia membebaskan totokan keempat orang itu. Katanya pada mereka,
“Sekarang kalian mesti pergi ke Tiong Yang Kiong, tinggallah di sana baik-baik selama dua
puluh tahun. Jika kalian benar-benar hendak bertobat, di belakang hari kalian
masih dapat menjadi orang baik. Tapi jika kalian masih tetap jahat… hm! Hm!
Perlu kalian ketahui, kami para imam dari Coan Cin Kauw bukan orang yang dapat dibuat permainan, kami ahli
membetot otot tanpa mengerutkan alis! Maka, empat
bangsat bau. berhati-hatilah kalian!”
Lian Houw berempat tidak
berani banyak omong, mereka cuma mengangguk.
Khu Ci Kee menahan tawa melihat
sikap paman gurunya yang lucu itu. la kembali menjura, lantas menggiring pergi
keempat tawanannya turun gu-nung, untuk pulang ke gunungnya sendiri.
“Eh, Bocah Tua
Nakal,” kata Oey Yong
tertawa.
“Sejak kapan kau belajar mendidik orang?
Kata-katamu yang bagian depan masuk akal, tapi yang belakangan lantas jadi tak
keruan….”
Pek Thong tidak menjawab, ia hanya tertawa sambil
melengak. Saat itu ia melihat sinar putih berkelebat di puncak kiri, lalu lenyap,
la yakin itu sinar senjata tajam.
“Eh, apa itu?” tanyanya heran.
Oey Yong dan Kwee Ceng
mengangkat kepala, tapi sinar itu sudah lenyap.
Pek Thong takut Oey Yong akan menanyakan Kiu Cian
Jin lagi, maka ia lantas
menggunakan alasan.
“Biar kulihat!” katanya. Terus ia lari pergi.
Oey Yong berdua Kwee Ceng
membiarkan orang tua itu pergi, sebab banyak yang hendak mereka bicarakan.
Mereka mencari tempat untuk duduk, lalu saling menuturkan pengalaman
masing-masing dan saling mengutarakan isi hati. Sampai matahari sudah turun ke
barat, mereka masih belum berhenti pasang omong.
Kwee Ceng berbekal ransum
kering. Ia menge-luarkannya untuk mereka santap bersama-sama.
Sembari makan, Oey Yong
berkata, “Bangsat tua Auwyang Hong memaksaku menjelaskan isi Kiu lm Citi Keng.
Bukankah kitab tulisanmu yang kauberikan padanya kacau-balau? Nah, aku pun tak
keruan menjelaskannya! Tapi dia percaya, maka dia bersengsara selama beberapa bulan ini
untuk mempelajari ilmu itu. Kubilang dia mesti berlatih terbalik, kepala di bawah dan
kaki di atas, dia menurut. Dia sungguh hebat, dapat membuat jalan darahnya
tersalur secara bertentangan, yaitu jalan darah im-wu yang-wi. im-kiauw. dan
yang-kiauw.
Entah bagaimana andai kata dia membalik semua
jalan darahnya.”
Kwee Ceng tertawa.
“Pantas aku melihat dia jalan meloncat-loncat
dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kiranya dia sedang kaupermainkan!”
katanya. Memang sulit untuk berlatih dengan cara
demikian.
Oey Yong
tersenyum.
“Kau
datang kemari, apa kau juga hendak turut berebut gelar orang gagah nomor satu
di kolong langit itu?” tanyanya.
“Ah, Yongji, kau menggodaku,” sahut si
pemuda.
“Aku datang ke gunung ini buat mencari Kakak Ciu
supaya diajari ilmu untuk melenyapkan ilmu silatku….”
Kwee Ceng
lantas menjelaskan alasan mengapa ia sampai mendapat pikiran demikian.
Oey Yong
memiringkan kepalanya, berpikir.
“Ya,
melupakan itu pun baik juga,” katanya kemudian. “Memang, semakin kita pandai,
pikiran kita semakin tak tenang. Lebih baik seperti waktu masih kecil, kita tak
bisa segala-galanya, tak ada yang kita pikirkan, tak ada yang menyusahkan
kita….”
Waktu
mengatakan itu, si nona tidak berpikir bahwa sudah wajar dengan bertambahnya
usia manusia berarti bertambah juga keruwetan hidupnya, bahwa kehidupan ini
tidak ada hubungannya dengan pandai silat atau tidak. Kemudian ia berkata,
“Besok tiba saatnya pertemuan di Hoa San ini, untuk mengadu pedang. Ayah pasti akan ambil
bagian.
Karena kau tak berniat turut memperebutkan
gelar jago itu, menurutmu bagaimana cara
kita untuk membantu ayahku?”
“Yongji,”
kata si pemuda, “bukannya aku tak mau mendengar perkataanmu, tapi dalam hal
ayah-mu, sebagai manusia, dia kalah dari Ang Insu….”
Ang Insu berarti Guru Ang yang berbudi,
yaitu Ang Cit Kong.
Oey Yong sedang duduk
bersender. Begitu ia mendengar Kwee Ceng mengatakan ayahnya kalah dari Cit Kong,
artinya ayahnya bukan manusia baik-baik, mendadak ia menjadi gusar. Ia
mendorong Kwee
Ceng. Tentu saja Kwee Ceng
melengak.
Hanya sedetik, si nona lantas tertawa.
“Memang, memang Suhu Ang
baik pada kita,”
katanya. “Sekarang begini saja. Kita tidak membantu pihak mana pun! Bagaimana menurutmu?”
“Ayahmu dan Suhu Ang sama-sama kesatria, jika
kita membantu diam-diam, tentu mereka tak senang,” kata Kwee Ceng.
“Apa? Diam-diam? Apa sangkamu aku orang jahat?”
Lantas si nona memperlihatkan roman tidak
senang.
Kwee Ceng heran.
“Ah, aku salah omong…,” katanya.
Si nona mengawasi, tiba-tiba ia tertawa lagi.
“Sudahlah!” katanya. “Sebenarnya, asal kau
tak menyia-nyiakanku, kita masih bisa cukup lama berkumpul….”
Bukan main girangnya Kwee Ceng, ia
mencekal keras tangan si nona.
“Mana bisa aku menyia-nyiakanmu!” katanya.
“Ya, sebab si tuan putri tak menghendakimu
lagi, baru kau menghendaki aku si budak hina….”
Kwee Ceng diam. Disebutnya
nama Gochin mem¬buat ia teringat kepada ibunya yang mati secara menyedihkan di
gurun pasir.
Cahaya rembulan
menyinari muka anak muda ini. Oey Yong melihat muka itu
pucat dan lesu, ia terkejut. Ia menyangka telah salah omong.
“Kakak Ceng,”
katanya lekas-lekas, “lebih baik kita jangan membicarakan lagi urusan yang
sudah-sudah. Kita sekarang telah berkumpul, kita senang.
Aku sebenarnya senang sekali. Bagaimana jika kubiarkan
pipiku kaucium?”
Muka Kwee Ceng memerah. Ia tidak
berani mencium.
Oey Yong tertawa, ia
melengos. Ia likat sendiri.
“Coba bilang, siapa yang bakal menang besok?”
ia menyimpangkan pembicaraan.
“Itu sukar dibilang. Entah It Teng Taysu
datang atau tidak….”
“Dia sudah menjadi orang suci, dia takkan
be-rebut nama kosong lagi.”
“Aku pun menduga demikian. Ayahmu, Suhu Ang,
Kakak Ciu, Kiu Cian Jin, dan Auwyang Hong
mempunyai kepandaian masing-masing. Me-ngenai Suhu Ang,
aku tak tahu dia sudah sembuh atau belum dan entah bagaimana kepandaiannya….”
Waktu mengucapkan begitu, Kwee Ceng
sedih.
“Menurut keadaan. Bocah Tua Nakal yang pa-ling lihai,” kata si nona. “Tapi kalau tidak
meng-gunakan Kiu
Jm Cin
Keng, dia kalah dari empat orang
yang lain….”
Kwee Ceng membenarkan dugaan
itu.
Mereka masih bicara
sampai rasa kantuk si nona datang, maka tidak lama kemudian, ia pulas di dada
si pemuda, yang membiarkannya. Tidak lama setelah itu. Kwee Ceng
pun ingin tidur, namun ketika baru layap-layap tidurnya, mendadak ia mendengar
langkah yang disusul dengan ber-kelebatnya dua bayangan yang lari ke belakang jurang.
Ia terkejut, samar-samar ia mengenali Pek Thong dan Cian
Jin. Ia heran melihat Bocah Tua Nakal dikejar Cian Jin. Ia tidak tahu ketua
Tiat Ciang Pang itu menggunakan ular berbisa.
Bukankah tadinya Cian Jin
yang dikejar-kejar Pek Thong? Pelan-pelan ia membangunkan si nona dan berkata, “Lihat!”
Oey Yong bangun, mengangkat
kepalanya. Ia lantas melihat Pek Thong yang lari berputar-putar di dekat
mereka. “Kemudian didengarnya Bocah
Tua Nakal berkata, “Bangsat
tua Kiu, di sini bersembunyi kawanku tukang menangkap ular ber-bisa! Apa kau
masih tak mau lekas-lekas kabur?”
Lalu Kiu Cian
Jin menjawab sambil tertawa, “Apa
kausangka aku bocah umur tiga tahun?”
Ciu Pek Thong berteriak-teriak, “Saudara Kwee!
Nona Oey! Lekas bantu aku!”
Kwee Ceng hendak membantu.
Ketika ia mau melompat bangun, Oey
Yong menariknya dan tetap merebahkan
diri di dada si pemuda.
“Jangan bergerak!” kata si nona lirih.
Pek Thong terus lari berputar-putar, ia tidak
juga melihat kemunculan kedua orang yang di-teriakinya itu. Setelah mengulangi
tapi tetap tidak ada yang memedulikannya, ia berteriak, “Bocah busuk! Budak
iblis! Kalau kau tetap tak mau keluar, nanti kucaci maki delapan belas
leluhurmu!”
Oey Yong lantas muncul. Ia
tertawa.
“Aku tak mau keluar!” katanya. “Kalau kau
bisa, makilah!”
Pek Thong tidak berani memaki.
“Nona, bantulah aku,” katanya. “Bagaimana kalau
aku mencaci delapan belas leluhurku?”
Melihat munculnya sepasang muda-mudi itu,
hati Kiu Cian Jin
ciut. Ia lantas berniat kabur, sebab celakalah kalau ia dikepung mereka
bertiga. Kalau besok, bertempur satu lawan satu. ia tidak jeri.
Lantas ia mengangkat ularnya, menyampokkannya
ke muka Pek Thong.
Bocah Tua Nakal kaget, ia berkelit.
Mendadak ia merasakan sesuatu yang dingin di lehernya, ia kaget sekali. Ia
menyangka itu ular berbisa.
“Mati aku! Mati aku!” teriaknya
berulang-ulang.
Binatang itu meronta-ronta di punggungnya. Ia pun tidak berani merogoh. Mendadak ia lemas, lantas tubuhnya roboh.
Oey Yong dan Kwee Ceng
kaget, keduanya melompat menubruk untuk menolong.
Kiu Cian Jin heran melihat
robohnya Pek Thong, tapi karena ini kesempatannya yang baik, ia hendak lari
pergi. Belum lagi ia mengangkat kaki, dari gerumbulan pohon muncul sesosok
bayangan, yang lalu berkata dengan dingin, “Bangsat tua Kiu, hari ini kau tak
dapat lolos lagi!”
“Siapa kau?” bentak Cian Jin.
Orang itu berdiri membelakanginya, hingga Cian Jin
tidak dapat melihat mukanya. Ia hanya bisa khawatir.
Pek Thong rebah di tanah, mengira dirinya
sudah ada di alam baka. Tapi kupingnya mendengar, “Tuan Ciu, jangan takut, itu
bukan ular!” Ia pun ditolong bangun. Ia lantas melompat berdiri. Kembali ia merasakan
sesuatu yang dingin di punggungnya, benda itu bergerak-gerak. Kembali ia kaget, hingga menjerit, “Dia menggigitku! Ular! Ular!”
“Bukan ular. hanya ikan emas!” kata orang itu
lagi.
Sekarang Oey Yong berdua Kwee Ceng
telah melihat orang yang bicara itu, malahan mereka mengenalinya, yaitu si
tukang pancing, murid ke-pala It Teng Taysu. Orang itu pun lantas meng-ambil
ikan dari punggung Bocah
Tua Nakal.
Si tukang pancing datang ke Gunung Hoa San, ia
melihat sepasang ikan emas Kim-wawa, maka ia lantas menangkapnya. Entah
bagaimana ia mem-buat yang seekor terlepas, bahkan tepat sekali jatuh ke dalam
baju Ciu Pek Thong. Tak heran Pek Thong kaget dan takut bukan main, sebab ia menyangka
itu ular Kiu
Cian Jin.
Begitu Pek Thong membuka mata dan meng-awasi
orang itu, ia bengong. Ia seperti mengenali orang itu,
tetapi lupa siapa. Kemudian
ia berpaling kepada Kiu
Cian Jin,
ketua Tiat Ciang Pang itu sedang mundur selangkah demi selangkah, sedang- kan
si bayangan maju selangkah demi selangkah juga. Ia mengawasi bayangan itu.
Akhirnya ia kaget tak terkira, semangatnya seolah terbang tinggi. Bayangan itu
ternyata Eng
Kouw atau Lauw Kui-hui dari istana
Negara Tali!
Kiu Cian Jin juga kaget bukan
main. Ia datang ke Hoa San dengan harapan besar, sebab meski gagah Ciu Pek
Thong bisa dipengaruhi dengan ular. Ia sama sekali tidak menyangka sekarang Lauw
Kui-hui muncul tiba-tiba. Selama di
Chee-liong-toa, ia
telah menyaksikan selir itu mengamuk, maka sekarang hatinya jadi ciut. Justru itu ter-dengar si nyonya berkata, “Kembalikan jiwa anakku…!”
Sebenarnya Cian Jin heran bagaimana
nyonya ini mengenalinya, karena dulu ketika menyatroni istana Toan Hongya, ia
menyamar. Dulu ia juga tidak berniat membinasakan anak itu. Sebab maksudnya ialah
supaya Toan Hongya mengobati anaknya dan menjadi lelah
karenanya.
“Eh, perempuan edan, buat apa kau
mengganggu-ku?” tanyanya sambil memaksakan diri tertawa.
“Pulangkan jiwa anakku!” jawab Eng Kouw.
“Buat apa kau menyebut-nyebut anakmu?” tanya Cian
Jin. “Anakmu sudah mati, apa hubungannyadenganku?”
“Sebab kaulah pembunuhnya! Malam itu aku tak
melihat mukamu, tapi aku mendengar tawamu!
Nah, coba kau tertawa lagi! Tertawa! Cepat!”
Kiu Cian Jin mundur lagi. Ia
melihat wanita itu akan menerkamnya. Ketika nyonya itu benar-benar maju, ia
menggeser sedikit ke samping, tangan kirinya menepuk tangan kanannya, lalu
tangan kanan-nya itu meluncur ke perut si nyonya. Itulah jurus Imyang Kwi It, Bersatunya Im
dan Yang, salah satu di antara ketiga belas jurus dari Tiat Ciang
Kiat, silat Tangan Besi-nya
yang lihai. Tenaga tangan kanannya dibantu dengan tangan kirinya.
Eng Kouw tahu hebatnya
serangan itu. la hendak membebaskan diri
dengan Ni Ciu Kang, ilmu Lindung-nya, tetapi di luar dugaannya, gerakan Cian Jin
sangat sebat. Ia menjadi nekat. Maka bukannya menangkis atau berkelit, ia
justru menubruk untuk memeluk musuh, supaya mereka sama-sama jatuh ke jurang.
Belum lagi kedua pihak mempertaruhkan jiwa mereka,
Kiu Cian Jin
merasakan sambaran angin di sampingnya, sedangkan matanya melihat bayang-an
berkelebat. Terpaksa ia menarik pulang serang-annya untuk dipakai menangkis. Ia lantas melihat siapa yang telah merintanginya, ia gusar sekali.
“Ah, Bocah Tua
Nakal, kau lagi!” serunya.
Memang Pek Thong-lah yang menolong Eng Kouw
dari bahaya. Tiba-tiba saja datang rasa cinta si orang tua, bahkan ia
menyerang dengan jurus dari Kiu
Im Cin
Keng. Meski menolong, Pek
Thong tidak berani memandang langsung kekasihnya.
Sembari membelakangi ia berkata, “Eng Kouw,
kau bukan tandingan tua bangka ini, lekas pergi! Aku pun mau pergi dari sini!”
Bocah Tua Nakal benar-benar mau
angkat kaki.
tetapi Eng Kouw bertanya, “Ciu Pek Thong, kau
hendak menuntut balas untuk anakmu atau tidak?”
“Apa? Anakku?” tanya
Bocah Tua Nakal.
Ia heran hingga melengak.
“Benar! Pembunuh anakmu adalah Kiu Cian
Jin!” sahut Eng Kouw.
Pek Thong bingung, la tidak tahu bahwa
hubung-annya beberapa hari dengan Lauw Kui-hui telah menghasilkan anak. Selagi
ia diam, telah datang beberapa orang lain, maka tempo mengangkat ke-pala ia
melihat It Teng Taysu serta keempat muridnya.
Kiu Cian Jin mendapati dirinya
berada kurang tiga kaki dari jurang, artinya ia sudah terkurung dan terancam
bahaya, sedangkan semua musuhnya lihai. Dalam keadaan seperti itu, ia menjadi
nekat.
Ia menepukkan kedua tangannya dan berkata angkuh, “Aku mendaki Gunung Hoa San ini untuk memperebutkan
gelar orang kosen nomor satu di kolong langit, tapi kalian berkumpul sekarang!
Hm! Apakah kalian mengepungku hendak
me-nyingkirkan satu lawan lebih dulu? Dapatkah kalian melakukan perbuatan sehina
ini?”
Menurut Ciu Pek Thong perkataan orang itu beralasan.
“Biarlah besok, sehabis pertemuan adu silat, baru
aku mengambil jiwamu yang busuk!”
“Baiklah!” kata Kiu Cian Jin.
“Tidak bisa!” teriak Eng Kouw.
“Mana bisa aku menanti sampai besok!”
“Bocah Tua
Nakal!” Oey Yong
turut bicara.
“Dengan orang terhormat
kita bicara tentang ke-hormatan, dengan manusia licik kita bicara secara
licik.”
Muka Kiu Cian
Jin memucat, la mengerti sedang menghadapi
bahaya. Tapi ia licik, ia mendapat akal.
“Kenapa kau hendak membunuhku?” tegurnya.
“Kau jahat sekali, setiap orang berhak
mem-bunuhmu!” jawab si pelajar.
Cian Jin tertawa terbahak
sambil melengak.
“Kalian lebih banyak, aku bukan tandingan kalian!”
ejeknya. “Tapi apa kalian kira aku takut?
Barusan kalian bicara tentang kehormatan dan
ke-jahatan, baiklah! Sekarang aku bersedia melayani kalian! Nah, majulah siapa
di aniara kalian yang seumur hidup belum pernah membunuh manusia serta belum
pernah berbuat jahat! Kalian boleh turun tangan, aku nanti manda menyerahkan
leher-ku untuk dipenggal! Jika aku mengerutkan alis,
aku bukan laki-laki!”
It Teng Taysu
menghela napas. Ia lantas men-dului mengundurkan diri untuk duduk bersila.
Kata-kata Cian Jin
berpengaruh sekali. Sekalipun
si tukang pancing, tukang kayu, petani, dan
pelajar pernah memangku pangkat, mereka semua pernah membunuh orang.
Ciu Pek Thong dan Eng Kouw
saling memandang, keduanya teringat segala hal yang mereka alami bersama dulu.
Kwee Ceng dan Oey Yong
turut diam.
Kwee Ceng dan Oey Yong
turut diam.
Kiu Cian Jin menggunakan
kesempatan, la me-langkah ke arah Kwee Ceng.
Si pemuda minggir.
Cian Jin mengerahkan
tenaganya untuk lompat melewatinya, namun mendadak dari balik batu besar menyambar
sebatang tongkat bambu ke mukanya. Ia terkejut tapi bisa menangkis untuk menangkap
tongkat itu, berniat merampasnya. Di
luar duga-annya, ia gagal, bahkan tiga kali beruntun tongkat itu menyerang. Ia
kaget, ternyata setiap serangan adalah totokan ke jalan darah. Ia kewalahan,
sedang-kan di
situ tidak ada jalan mundur. Terpaksa ia
mundur ke tempatnya tadi, mendekati jurang.
Segera setelah ia mundur, sesosok bayangan melompat ke depannya.
“Suhu!” teriak Oey Yong.
Si nona mengenali sosok itu, yaitu Kiu Ci Sin Kay Ang Cit Kong!
“Hai, pengemis bau!” Kiu Cian Jin mencaci.
“Kenapa kau usil? Sekarang masih belum tiba waktunya
pertemuan untuk beradu ilmu pedang!”
“Aku datang untuk menyingkirkan kejahatan!”
jawab Ang Cit Kong. “Siapa mau rapat beradu pedang
denganmu!”
“Bagus, orang gagah, pendekar!” teriak Kiu Cian
Jin. “Ya, aku si orang jahat, kau
sendiri si manusia baik yang belum pernah melakukan perbuatan busuk!”
“Memang!” jawab Cit Kong
lagi. “Aku si penge-mis tua telah membinasakan 531 orang yang se-muanya jahat,
pembesar rakus, hartawan, jago jahat, atau manusia tak berbudi! Benar, aku si pengemis
tua sangat kemaruk hidangan lezat; tapi seumur hidupku belum pernah aku
membunuh orang baik-baik! Kiu
Cian Jin,
kaulah orang ke-532 yang akan kubunuh!”
Mendengar itu Cian Jin
tersentak.
“Kiu Cian Jin,” Ang Cit Kong berkata lagi, “Ketua Siangkoan Kiam
Lam dari Tiat Ciang Pang adalah orang gagah perkasa, seumur hidup dia setia pada
negara, tak pernah berubah pikiran. Tapi kau, yang sama-sama menjadi ketua,
bersekongkol dengan bangsa Kim,
berkhianat, menjual negara! Kalau nanti kau mati, apakah kau punya muka untuk bertemu
dengan Ketua
Siangkoan? Sekarang kau mendaki
Gunung Hoa San ini, kau bemiat gila mengharapkan kehormatan sebagai orang kosen
nomor satu di kolong langit! Jangan kata ilmu silatmu tak mampu menandingi
orang-orang gagah lain, umpama kata kau benar tiada tandingan, di kolong langit
ini, orang gagah mana yang sudi takluk pada pengkhianat penjual negara!”
Kiu Cian Jin berdiri menjublek.
Hebat kata-kata itu. Teringatlah ia akan kejadian-kejadian beberapa puluh tahun
lampau ketika ia pertama kali me-nerima kedudukan sebagai ketua Tiat Ciang
Pang.
Waktu itu Siangkoan Kiam Lam, ketua yang
lama, sambil rebah sakit di pembaringan, telah meninggal- kan pesan, menjelaskan pada Kiu Cian Jin tentang aturan suci Tiat Ciang Pang, berpesan supaya mencintai
negara dan menyayangi rakyat. Kiu
Cian Jin
ingat, semakin menanjak usianya, semakin ting-gi kepandaiannya, sepak
terjangnya semakin ber-tentangan dengan cita-cita partainya. Semua
anggotanya yang jujur dan setia mengundurkan diri;
sedangkan yang buruk tetap berkumpul ber-samanya, hingga kemudian Tiat Ciang
Pang yang suci murni itu telah berubah menjadi kotor, menjadi sarang penjahat.
Ia mengangkat kepalanya, melihat rembulan bersinar terang. Sepasang mata Ang Cit
Kong bersinar tajam mengawasinya. Mendadak ia menginsafi semua perbuatannya dulu bertentangan dengan Thian.
Tanpa sadar peluh membasahi se-luruh tubuhnya.
“Ketua Ang,
kau benar!” katanya akhirnya. Ia memutar tubuh untuk
melompat ke jurang.
Cit Kong kaget. Ia memegang tongkatnya untuk menjaga diri. Ia khawatir, karena gusarnya, Kiu Cian
Jin akan menerjangnya. Ia tahu
ketua Tiat Ciang Pang itu lihai. Maka ia tidak menyangka orang itu menjadi
nekat hendak bunuh diri. Ia tercengang. Selagi ia tidak berdaya, orang lain telah
mencelat maju ke lepi jurang. Orang itu adalah It Teng Tay.su yang sejak tadi
duduk bersila saja. Pendeta ini melompat tidak dengan kakinya, namun dengan
tubuh melayang. Ia masih dalam posisi bersila. Tangan kirinya
terulur, ia menyambar kaki Kiu
Cian Jin
dan menariknya keras-keras, sambil memuji, “Siancay! Siancay! Laut
keseng-saraan tidak ada batas pinggirnya. Siapa yang menoleh, melihat tepian!
Kau telah insaf, kau telah menyesal, maka bagimu masih belum kasip untuk
kembali menjadi manusia benar! Pergilah kau mengurus dirimu baik-baik!”
Kiu Cian Jin menangis
menggerung-gerung, ber-lutut di depan si pendeta, pikirannya pepat. Tidak dapat
ia mengatakan sesuatu.
Eng Kouw melihat orang itu
berlutut membe-lakanginya. Melihat kesempatan itu, ia menghunus belatinya,
menikam punggung musuhnya itu.
“Tahan!” seru Ciu Pek Thong seraya menahan tangan
si nyonya.
“Kau mau apa?” bentak Eng Kouw
gusar.
Bocah Tua Nakal memang tidak mau
berurusan dengan si nyonya, maka dibentak begitu ia ber-teriak, lantas memutar
tubuhnya untuk lari kabur.
“Ke mana kau mau pergi?”
bentak Eng Kouw lalu mengejar.
“Perutku sakit, aku hendak buang kotoran!”
sahut Pek Thong sambil lari terus.
Sejenak Eng Kouw
tergugu, lantas ia mengejar lagi. Ia tidak memedulikan kata-kata orang itu.
Pek Thong berteriak-teriak lagi, “Celaka!
Celaka!
Celanaku penuh kotoran bau sekali, jangan
dekat-dekat aku!”
Eng Kouw tidak
memedulikannya, ia terus me-ngejar. Sudah dua puluh tahun ia mencari, kalau sekarang
ia membiarkan orang itu lolos lagi, lain kali sukar mencarinya hingga ketemu.
Ia lari kencang.
Bocah Tua Nakal
mendengar langkah kakinya, ia kaget. Sekarang ia benar-benar terkejut. Kalau tadi
ia mengatakan hendak buang air besar hanya untuk menggertak Eng Kouw.
sekarang ia benar-benar hendak melakukannya….
Kwee Ceng dan Oey Yong
tersenyum melihat
lagak Pek Thong itu, yang bersama Eng Kouw
lenyap dengan cepat. Kemudian mereka menoleh, memandang lt Teng Taysu.
Pendeta itu bicara berbisik kepada Kiu Cian
Jin, dan ketua Tiat Ciang Pang itu
mengangguk-angguk. Kemudian
Toan Hongya
yang sudah “mati” itu bangkit.
“Mari
berangkat!” katanya.
Sampai di situ Kwee Ceng
dan si nona meng-hampiri untuk memberi hormat. Mereka pun mem-beri hormat pada
si tukang pancing berempat.
It Teng mengusap-usap kepala sepasang
muda-mudi itu. Ia tersenyum, kelihatan nyata pada roman-nya bahwa ia mengasihi
mereka. Ia menoleh kepada Ang
Cit Kong
dan berkata. “Saudara Cit, kau sehat walafial, lebih gagah daripada
dulu! Kau pun telah menerima dua murid yang baik sekali, selamat padamu!”
Ang Cit Kong menjura.
“Hongya juga baik!” katanya.
It Teng tertawa.
“Sekarang aku bukan hongya lagi!” katanya. Ia
menolak sebutan hongya atau raja. “Saudara Cit,
gunung itu tinggi, air itu panjang. Sampai bertemu lagi!” la merangkapkan kedua
tangannya untuk memberi hormat, lantas
membalikkan tubuh akan beranjak pergi.
“Eh, eh,” kata Cit Kong,
“besok pertemuan berlangsung. Kenapa
Toan Hongya
pergi sekarang?”
Karena telah jadi kebiasaan, ia tidak dapat
meng-ubah panggilan Toan
Hongya itu.
It Teng berbalik. la tertawa.
“Aku dari kalangan lain, tak berani aku be-rebutan
dengan orang-orang gagah di kolong la-ngit,” sahutnya. “Kedatanganku hari ini
hanya un-tuk menyelesaikan keruwetan dari dua puluh tahun lampau. Maka aku
bersyukur maksudku telah ter-capai. Saudara Cit,
sekarang siapa lagi orang gagah itu kalau bukannya kau. Janganlah merendahkan diri!”
Lagi-lagi pendeta ini memberi hormat, lantas
„ pergi dengan menggandeng Kiu
Cian Jin.
Si tukang pancing herempat menghormat pada Ang Cit
Kong, kemudian mengikuti guru
mereka.
Si pelajar lewat di dekat Oey Yong,
melihat muka si nona bercahaya, ia tertawa dan menggoda dengan bersenandung, “Di lanah rendah ada pohon yang toh, cabangnya halus
dan lemas.”
Oey Yong membalas sindiran
itu, “Sang ayam menclok di para-paranya, hari sudah jadi malam….”
Si pelajar tertawa
lebar, ia menjura dan melanjut-kan perjalanan.
Kwee Ceng heran, ia tidak
mengerti. Ia menduga mereka main teka-teki.
“Yongji, apakah itu kata-kata Sanskerta?”
tanyanya.
Si nona tertawa.
“Bukan. Itu syair dari Kitab Syair”
Kedua syair si pelajar dan Oey Yong
itu masih ada sambungannyaj tetapi mereka sengaja menyebut permulaannya saja.
Si pelajar mengatakan si nona belum menikah tapi sudah kegirangan, sedangkan Oey Yong
mengumpamakan si pelajar sebagai bi-natang.
Sementara itu Kwee Ceng,
yang telah mendengar teguran Ang Cit Kong
kepada Kiu Cian Jin,
turut tersadar. Ia seperti mendapat petunjuk untuk mengatasi
keruwetannya selama ini. Gurunya
itu telah membunuh banyak orang, tapi semuanya orang jahat.
Tindakan gurunya itu tidak dapat dikatakan tidak pantas. Guru itu bukannya jahat,
bahkan , sebaliknya, gurunya orang baik. sebab ia menindas kejahatan. Karena
itu semestinya ia tidak melupakan atau membuang ilmu silatnya.
Lantai
muda-mudi ini menghampiri guru mereka untuk memberi hormat, kemudian
mereka pasang omong tentang segala hal yang terjadi sejak
per- pisahan mereka yang terakhir.
Ang Cit
Kong ikut Oey Yok Su ke Pulau
Persik Di sana ia dapat menyembuhkan diri dengan memahami
Kiu i m Ciri
Keng. dengan melatih ilmu tenaga
dalamnya untuk memperlancar jalan per- napasan dan jalan darahnya. Dalam
tempo setengah tahun ia sembuh, lalu dalam tempo setengah lahun berikutnya
ia berhasil memulihkan kepandaian silat- nya, la sudah sembuh, tetapi ia
meninggalkan Pulau Persik sesudah Oey Yok Su, yang pergi lebih dulu untuk
mencari anak daranya yang selalu dipikirkan dan dirindukannya. Oey Yok Su bertolak ke utara. Cit Kong bertemu dengan Lou Yu
Kiak, maka ia tahu tentang
kedua muridnya itu, kecuali hal-hal yang terjadi setelah rombongan Yu Kiak
meninggalkan Mongolia.
“Suhu,
sekarang silakan Suhu beristirahat,” Kwee Ceng
mempersilakan. “Sang fajar bakal lekas tiba, sebentar lagi tiba waktunya
beradu kepandaian.
Suhu mesti menggunakan banyak tenaga.”
Cit Kong
tertawa dan berkata, “Usiaku telah lanjut, tapi kegemaranku akan menang pun
ber-tambah. Tapi mengingat yang bakal kuhadapi Sesat Timur dan Racun Barat,
hatiku kurang tenteram.
Selama ini, Yongji, kepandaian ayahmu maju
pesat sekali. Coba tebak, siapa yang
akan lebih kuat atau lebih lemah di antara ayahmu dan gurumu?”
“Sebenarnya kepandaian Suhu dan kepandaian Ayah
berimbang,” sahut Oey
Yong. “Tapi sekarang Suhu telah
mewarisiYang Ci dari lt Teng
Taysu dan Suhu sendiri telah meyakinkan Kiu Im
Cm Keng,
maka tentulah ayahku bukan tandingan Suhu lagi. Aku akan omong dengan ayahku,
supaya Ayah tak usah melawan Suhu lagi, lebih baik lekas-lekas pulang ke Pulau Persik.”
Ang Cit Kong memikirkan perkataan
si murid yang nada suaranya berbeda, ia lantas menduga isi hati gadis itu. Ia
tertawa lebar dan berkata, “Tak usah kau bicara berputar-putar.Yang Ci
kepunyaan Toan Hongya dan Kiu
Im Cin
Keng kepunyaan kalian berdua, maka
tak usah kalian sebut lagi. Aku si pengemis tua tidak bakal menebalkan muka menggunakannya.
Kalau nanti tiba saatnya pibu, aku akan menggunakan kepandaian asalku.”*
Memang itulah maksud Oey Yong,
maka ia tertawa.
“Suhu,” katanya, “jika kalah dari ayahku, kau
akan kumasakkan seratus macam masakan untuk berpesta pora. Bagaimana, akur?”
Air liur Cit Kong
langsung terbit.
“Eh, bocah cilik, hatimu tak bagus!” kalanya.
“Sudah membakar hatiku, kau menyogok juga!
Kau sangat licik, berharap supaya ayahmulah
yang menang!”
Oey Yong tertawa. Belum lagi
ia menyahut, mendadak Cit
Kong bangun berdiri dan sambil menunjuk
ke belakangnya berkata, “Bisa
Bangkot-an, kau datang begini
pagi!”
Kwee Ceng dan si nona melompat
bangun, lantas menoleh, berdiri di samping guru mereka.
Mereka segera melihat Auwyang Hong
yang tinggi besar sedang berdiri. Racun Barat datang
secara diam-diam, hingga muda-mudi itu tidak tahu. Me- reka heran dan terkejut.
“Datang lebih pagi. pibu lebih pagi!” sahut Auwyang Hong.
“Datang siang, pibu siang. Eh.
pengemis tua, hari ini kita bakal bertempur.
Kata-kan,
kita bakal bertempur untuk mencari kemenang-an yang memutuskan atau untuk
mengadu jiwa?”
“Karena kita bertaruh untuk kalah dan menang,
itu berarti hidup dan mati,” jawab Ang Cit Kong.
“Maka kalau kau menurunkan tangan, tak usah kau
main kasihan-kasihan lagi!”
“Baik !” kata Auwyang Hong.
Ia lantas meng-gerakkan tangan kirinya, yang tadi ditaruhnya di belakang.
Ternyata ia telah menyiapkan tongkatnya.
Ia menotok batu seraya berkata lagi, “Di sini saja atau di tempat lain yang lebih lebar?”
Cit Kong belum menyahut, tapi
sudah didului Oey
Yong.
“Tidak bagus Gunung Hoa San ini dipakai
se-bagai tempat pibul” kata si nona. “Lebih baik kita pergi ke perahu!”
Pengemis Utara
melengak.
“Apa
kau bilang?” ia bertanya menegaskan.
“Dengan bertempur di perahu, kita dapat
mem-berikan kesempatan sekali lagi pada Paman Auwyang
untuk membalas kebaikan dengan ke-jahatan!” si nona menjelaskan. “Biarlah dia
men-dapat kesempatan untuk membokong lagi!”
Ang Cit
Kong tertawa terbahak.
“Dulu
kita teperdaya satu kali, maka satu kali juga kita belajar pintar!” katanya. “Jangan harap si pengemis bangkotan nanti memberi ampun lagi!”
Racun Barat merasakan sindiran
si nona, air mukanya tidak berubah sama sekali, namun tanpa bilang apa-apa ia
lantas menekuk kedua dengkul-nya, menongkrong, sedangkan tongkatnya berpindah ke
tangan kiri. Tangan kirinya itu lantas dipakai untuk mengerahkan ilmu silat
istimewanya, Kap-mo-kang.
Melihat demikian. Oey Yong
segera menyerahkan tongkat Tah-kauw-pang kepada gurunya.
“Suhu!” katanya. “Lawan bangsat licik ini
de-ngan Tah-kauw-pang danYang O’! Terhadap dia kau jangan pakai lagi segala
aturan atau kemurahan hati!”
Cit Kong
lantas berpikir, “Dengan kepandaianku sendiri, belum tentu aku dapat
mengalahkan dia, sedangkan sebentar lagi aku mesti melayani Oey Yok
Su. Kalau aku sudah letih, mana
bisa aku melayani Sesat
Timur.”
Ia
menyambut tongkat keramat partainya itu.
lalu bergerak dalam sikap Mengeprak Rumput Membikin
Ular Kaget dan Membiak
Rumput Mencari
Ular. tongkatnya bergerak ke kiri
dan ke kanan.
. Sudah beberapa kali Auwyang Hong bertempur melawan
Pengemis Utara, namun belum pernah ia melihat orang
itu menggunakan tongkatnya, yang pernah disaksikannya adalah ilmu tongkat Oey Yong,
yang kurang diperhatikannya. Sekarang untuk pertama kalinya ia melihat, ia
kagum. Gerakan
Cit Kong
pulang-pergi, mengembuskan angin keras.
karena itu tanpa ayal lagi ia maju menyerang
ke liong-kiong—tengah. Tempo hari ketika Cit Kong
dibokong Auwyang
Hong, jiwanya nyaris melayang, sehingga
ia mesti berobat dan merawat diri hampir dua tahun, setelah itu barulah
kesehatannya pulih dan kepandaiannya kembali, maka hari ini ia tidak mau
berkelahi secara sembarangan. Kekalahannya dulu adalah kekalahan besar yang
belum pernah dialaminya seumur hidup, juga bahaya yang belum pernah
dihadapinya. Sekarang, berhubung merupa-kan
saat penentuan kehormatan dan kehinaan, atau hidup dan mati, ia tidak main
sungkan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar