Jumat, 02 November 2012

Sia Tiauw Enghiong 78



Bab 78. NASIB


“TENTANG perjodohanku ” kata Kwee Ceng, “aku pernah membicarakannya dengan Putri. Kalau Yongji mati, aku takkan menikah untuk selamanya.”
Li Peng menghela napas lagi.
“Mungkin Putri sendiri mau mengerti, tapi bagaimana dengan Khan Agung? Aku khawatir sekali…”
“Kenapa Khan Agung?”
“Beberapa hari ini Khan luar biasa baik padaku.
Lihatlah hadiah ini, emas, perak, dan permata.
Memang benar katanya hadiah ini untuk jasamu berperang di Barat, tapi aku sudah dua puluh tahun tinggal di sini, kurasa aku telah mengenal baik sifatnya. Aku yakin ada alasan lain!”
“Ibu, menurut Ibu apa alasan itu?”
“Aku wanita, pendapatku tidak luhur,” sahut sang ibu. “Tapi setelah aku melihat dan memikirkan semua ini, mungkin Khan hendak memaksa kita melakukan sesuatu….”
“Tentu dia menghendaki aku menikah dengan putrinya,” kata Kwee Ceng.
“Menikah itu urusan baik,” kata sang ibu lagi.
“Khan tidak tahu kau tak setuju dengan pernikahan itu, dia tak bisa memaksakannya. Tapi, menurut penglihatanku, kau mengepalai sepasukan tentara besar, kau pun berperang ke Selatan, maka aku khawatir Khan mencurigai kau akan mendapat pikiran untuk berontak…”
Kwee Ceng menggeleng.
“Aku tidak mempunyai minat untuk kekayaan dan keagungan, Khan tahu hal ini dengan baik,” katanya.
“Buat apa aku memberontak?”
“Kalau begitu, aku ingat suatu cara.” kata Li Peng.
“Mungkin ini dapat dipakai untuk mengetahui apa yang dipikir Khan. Pergilah kau melaporkan pada Khan, bilang aku kangen pada kampung halamanku, aku ingin pulang bersamamu. Coba dengar apa katanya.”
Kwee Ceng girang mendengar pikiran ibunya itu.
“Oh, Ibu, mengapa Ibu tidak mengatakannya dari siang-siang?” katanya. “Kita pulang bersama, betapa senangnya! Pasti Khan Agung akan memperkenankannya.”
Pemuda ini lantas keluar dari kemah. Ia tidak melihat Gochin. Mungkin karena menanti terlalu lama, putri itu habis sabar dan berlalu dengan kecewa. Ia lantas menuju markas besar. Ia pergi sekian lama, ketika kembali pada ibunya, ia menunduk lesu.
“Khan tidak memperkenankannya, bukan?” Li Peng bertanya,
“Anakmu tidak mengerti. Ibu ” sahut Kwee Ceng.
“Apa perlunya Khan menghendaki Ibu tetap berdiam di sini?”
Sang ibu diam.
“Khan bilang,” Kwee Ceng menjelaskan, “sesudah Negara Kim dihancurkan, barulah kita bisa berangkat
pulang. Katanya waktu itu kita akan pulang dengan kehormatan besar. Aku bilang Ibu sangat kangen dan ingin lekas pulang, lantas Khan tampaknya gusar. Dia menggeleng dan tetap menolak.”
“Apa lagi kata Khan padamu?”
Kwee Ceng memberitahu bahwa dalam rapat tentara, ia diberi tugas serta dibekali dengan kim-long.
“Ah.” desah sang ibu masygul, “kalau suhu keduamu dan Yongji berada di sini, mereka pasti dapat menerka maksud Khan ini. Aku merasa tidak enak memikirkan ini, tapi entah apa sebabnya, aku tak tahu….”
Kwee Ceng mengeluarkan kim-long-nya, mempermainkannya dengan tangannya.
“Ketika Khan menyerahkan ini, kulihat air mukanya beda sekali,” katanya. “Maka aku khawatir jangan-jangan sikapnya berhubungan dengan surat rahasia ini.”"
Li Peng mengambil kim-long itu, mengawasinya dengan teliti, kemudian menyuruh para pelayannya menyingkir.
“Kita buka dan lihat saja,” katanya kemudian.
Kwee Ceng terkejut.
“Tidak bisa!” katanya. “Surat ini dicap. Kalau membukanya berarti akan mendapat hukuman mati….”
Li Peng tertawa.
“Kau tahu kepandaian menyulam dari kota Lim-an sangat tersohor di seluruh negara?” katanya.
“Ibumu ini orang Lim-an. sedari kecil aku telah mempelajari kepandaian itu. Tanpa merusak, aku dapat membuka kantong bersulam ini, dan aku dapat menjahitnya kembali seperti semula.”
Kwee Ceng percaya pada ibunya, ia jadi girang sekali.
Li Peng lantas mengambil jarum halus, dengan itu ia mulai membuka sulaman kantong wasiat itu.
Pekerjaannya rapi. Surat itu lantas dibeber untuk dibaca bersama. Segera keduanya tersentak, tubuh mereka langsung terasa dingin tidak keruan.
Surat itu berisi titah rahasia Jenghis Khan untuk Ogotai, Tuli, dan Kwee Ceng. Begitu mereka dapat mengalahkan bangsa Kim, mereka harus maju ke Selatan untuk secepat kilat menyerang kota Lim-an dan memusnahkan Kerajaan Song, supaya Mongolia dapat mempersatukan dunia. Dalam perintah rahasia itu ada tambahan: Kalau Kwee Ceng berhasil berjasa besar, ia mesti diangkat jadi raja muda dan dihadiahi besar-besaran; tapi kalau hatinya berubah, Ogotai dan Tuli diperintahkan untuk segera menjatuhkan hukuman mati padanya, ibunyapun harus ikut dihukum picis.
“Ibu,” kata Kwee Ceng setelah diam sekian lama, “jika Ibu tadi tidak membuka kim-long ini, jiwa kita berdua tentulah celaka. Kita adalah orang Song, mana bisa kita menjual negara kita sendiri?”
“Sekarang bagaimana?” Li Peng bertanya.
“Ah, Ibu, biarlah kita tanggung penderitaan ini,” kata  sang anak masygul. “Sekarang juga kita lari pulang ke Selatan.”
“Baik!” sahut ibunya. “Pergilah kau bersiap-siap. Jagalah supaya rahasia ini jangan terbongkar.”
Kwee Ceng mengangguk. Ia kembali ke kemahnya untuk berbenah seperlunya. Selain kuda merahnya, ia akan membawa tiga ekor kuda lain. Bagaimanapun, setelah berdiam belasan tahun di gurun pasir ini, ia merasa sedikit berat untuk meninggalkannya.
Sebagai kepala perang, Kwee Ceng dapat bergerak dengan leluasa. Juga ketika itu, rombongan Lou Yu Kiak sudah tidak ada bersamanya, mereka sudah pulang lebih dulu ke Selatan. Semua hadiah dari Khan ia tinggalkan. Paling akhir ia membuka seragamnya, dengan pakaian biasa, ia kembali ke kemah ibunya.
Begitu menyingkap tenda, ia terkesiap. Ibunya tidak ada, yang ada hanya dua bungkusan yang menggeletak di tanah.
“Ibu!” panggilnya.
Tidak ada jawaban, la khawatir dan curiga. Ketika ia hendak keluar, tenda tersingkap dari luar, lantas cahaya api terlihat terang benderang. Chilaun dengan seribu serdadu sudah mengurung tenda itu.
“Khan Agung memanggil-menghadap!” demikian ia mendengar.
Kwee Ceng kaget dan bingung. Ia mesti segera mengambil putusan. Kalau ia mau menggunakan kekerasan, Chilaun tidak bakal dapat merintanginya.
Tapi ibunya telah ditawan, mana bisa ia kabur seorang diri? Akhirnya ia menyerah, membiarkan Chilaun menggiringnya ke markas besar.
Di kemah Khan, telah berkumpul barisan pengiring Khan yang terdiri atas dua ribu jiwa. Mereka orang-orang Mongolia pilihan, semua bersenjatakan tombak panjang dan menjaga rapat.
Kwee Ceng berjalan masuk dengan langkah lebar.
Jenghis Khan terlihat bengis sekali. Ia menggebrak meja.
“Kuperlakukan kau dengan baik sekali, dari kecil kau kurawat hingga besar, putriku juga kuserahkan padamu!” bentaknya. “Eh, bangsat kecil, kenapa kau berani memberontak terhadapku?”
Kwee Ceng melihat kim-long yang dibuka ibunya ada di atas meja, maka tahulah ia bahwa jiwanya sudah sukar ditolong lagi. Ia menjadi berani. Ia mendongakkan kepalanya.
“Aku rakyat Kerajaan Song, mana bisa aku tunduk pada titahmu?” katanya gagah. “Mana bisa aku menyerang negaraku sendiri?”
Jenghis Khan bertambah gusar melihat sikap melawan pemuda itu.
“Seret dia keluar! Hukum mati dia!” titahnya.
Kwee Ceng tidak dapat melawan. Ia telah dibelenggu kuat sekali dan delapan algojo mendampinginya. Tapi ia tetap tidak takut. Ia berkata nyaring, “Kau telah berserikat dengan Kerajaan Song untuk memukul bangsa Kim, di tengah jalan kau mengingkari janjimu. Apakah itu perbuatan pendekar?*’
Jenghis Khan makin gusar. Ia mendepak meja.
 “Sesudah Negara Kim hancur, selesai sudah perjanjianku dengan pihak Song!” katanya “Kalau kemudian aku menyerang Selatan, mana bisa dibilang melanggar janji? Lekas hukum mati dia!”
Banyak panglima mengenal baik Kwee Ceng, tetapi saat itu tidak ada yang berani buka suara. Khan sedang marah besar.
Kwee Ceng tidak bilang apa-apa lagi, dengan langkah lebar ia berjalan keluar.
Segera terlihat Tuli berlari mendatanginya dari padang rumput.
“Tahan! Tahan!” teriaknya berulang-ulang. Ia bertelanjang dada dan cuma mengenakan celana kulit. Jelas ia baru terbangun dari tidurnya. Ia langsung memasuki kemah ayahnya dan berseru, “Ayah, Anda Kwee Ceng besar jasanya, dia juga pernah menolong jiwaku, biarpun berdosa, jangan hukum mati dia!”
Jenghis Khan terpengaruh kata-kata putranya itu.
“Bawa dia kembali!” ia memberikan perintah.
Kwee Ceng lantas dibawa kembali.
“Kau memberatkan Kerajaan Song, apa ada untungnya?” Khan bertanya. “Kau pernah bicara tentang Gak Hui. Dia begitu setia dan berjasa, tapi akhirnya dia dihukum mati juga! Lebih baik kau membantuku merobohkan Kerajaan Song, aku berjanji padamu, setelah berhasil aku akan mengangkatmu menjadi raja Song!”
“Aku bukannya berontak terhadapmu!” Kwee Ceng menyahut. “Tapi kalau kau menghendaki aku menjual negara untuk kehidupan mewah dan agung, biar tubuhku dicincang, tak dapat aku menerima baik permintaanmu ini!”
“Bawa ibunya kemari!” perintah Jenghis Khan.
Lantas dua serdadu menggiring Li Peng keluar dari kemah belakang.
“Ibu!” Kwee Ceng memanggil, la mendekati ibunya, tapi dihalangi dua serdadu. Ia lantas bertanya dalam hati, “Urusanku ini cuma Ibu dan aku yang tahu. Siapa yang membocorkannya?”
Jenghis Khan tidak memberinya kesempatan untuk berpikir, katanya, “Jika kau menerima baik kata-kataku, kalian berdua ibu dan anak akan hidup agung dan berbahagia. Jika tidak, lebih dulu aku akan membunuh ibumu! Itu artinya kau yang membunuh ibumu, dan kau menjadi anak put-hauw”
Kaget Kwee Ceng mendengar perkataan Khan, terutama kata put-hauw tidak berbakti. Ia menunduk.
“Anda,” kata Tuli, “dari kecil kau tinggal di Mongolia, kau tak ada bedanya dari bangsa Mongolia.
Sebaliknya pembesar-pembesar Kerajaan Song temaha sekali, mereka bersekongkol juga dengan bangsa Kim, bahkan mereka telah membunuh ayahmu dan membikin ibumu tak punya tempat untuk pulang.
Kalau tidak ada ayahku, dapatkah kau hidup seperti sekarang ini? Kita sudah seperti saudara, tak dapat aku membiarkanmu menjadi anak tak berbakti. Maka kuminta sukalah kau memikirkannya lagi baik-baik.”
Kwee Ceng menoleh pada ibunya. Sebenarnya ia ingin menerima baik nasihat Tuli itu, tetapi ia segera ingat akan ajaran ibunya. Ia juga ingat dan tahu betul nasib negara-negara di Barat yang ditaklukkan Mongolia, akhirnya rakyat mereka hidup sengsara.
Maka ia diam terus.
Dengan matanya yang tajam, Jenghis Khan mengawasi anak muda itu. Ia menantikan jawaban.
Seluruh kemah menjadi sangat sunyi, “Aku…” kata Kwee Ceng. Ia telah maju selangkah, lantas berhenti lagi, tidak melanjutkan kata-katanya.
“Khan yang Agung,” mendadak Li Peng berkata, “aku khawatir anak ini kurang mengerti. Bagaimana kalau kucoba membujuk dan menasihatinya?”
Jenghis Khan girang sekali.
“Bagus!” katanya. “Nasihati dia!”
Li Peng mendekati anaknya, menarik lengan pemuda itu. lalu membawanya ke salah satu sudut kemah. Di sana mereka berdua () duduk.
Karena sikap rajanya sudah mulai sabar, algojo tidak menghalangi Kwee Ceng.
Li Peng memeluk putranya.
“Dua puluh tahun lalu di Gu-kee-cun. Lim-an, aku telah mengandungmu, Nak,” katanya pelan. “Suatu hari ketika turun hujan salju lebat, Khu Ci Kee, Khu Tootiang, berkenalan dengan ayahmu. Dia
memberikan dua bilah belati, yang satu untuk ayahmu, yang lain untuk Paman Yo….”
Sembari bicara, sang ibu mengeluarkan belati itu dari saku anaknya. Ia menunjuk ukiran dua huruf yang berbunyi “Kwee Ceng” pada belati itu, lalu melanjutkan, “Khu Tootiang telah memberi nama Ceng padamu dan Kang pada anak Paman Yo.
Tahukah kau apa artinya?”
“Khu Tootiang menghendaki aku tidak melupakan peristiwa Ceng Kong yang memalukan,” sahut sang anak.
“Benar, Anak Paman Yo itu mengakui musuh sebagai ayah, maka runtuhlah nama dan tubuhnya. Tentang anak itu, tak usahlah disebut-sebut lagi. Tapi kasihan Paman Yo yang gagah itu, kehormatannya dirusak anaknya sendiri….” la menghela napas, tapi lalu melanjutkan, “Dulu aku menahan malu dan menderita, tapi aku tetap terus merawat dan membesarkanmu. Tahukah kau, untuk apa perbuatanku jtu? Mustahil aku hendak memelihara pengkhianat penjual negara hingga ayahmu di alam baka menjadi malu dan menderita!”
“Ibu!” kata Kwee Ceng, lantas ia menangis.
Li Peng bicara dalam bahasa Tionghoa, Jenghis Khan semua tidak mengerti, tetapi mereka melihat air mata si anak muda, maka mereka menduga si nyonya takut mati dan telah berhasil membujuk anaknya. Diam-diam mereka girang.
“Ada orang berkata, ‘Hidup manusia hanya seratus tahun, tempo itu lewat dalam sekejap,’” Li Peng berkata lagi. Ia memang wanita, tetapi ia wanita sejati. “Maka. apalah artinya hidup atau mati? Selama hidup manusia, yang diharap adalah jangan melakukan sesuatu yang membuatnya terhina! Kalau orang lain menyia-nyiakan kita, biarlah, tak usah kita ingat kejahatannya. Ingatlah perkataanku ini!” la menatap wajah anaknya, air mukanya sabar sekali.
Kemudian ia menambahkan, “Nak, jagalah dirimu baik-baik…!” Perkataan ini disusul dengan bekerjanya belati itu memutuskan dadung belenggu putranya. Setelah  itu ia memutar tubuhnya untuk menikam dadanya sendiri.
Kwee Ceng menyingkirkan dadung belenggunya, menyambar ibunya, tetapi sudah kasip. Belati itu sudah menancap di dada ibunya, terbenam sebatas gagangnya.
Jenghis Khan melihat itu, ia kaget tidak terkira.
“Tangkap!” ia menitahkan.
Kedelapan algojo itu tidak berani melukai huma mereka. Setelah melemparkan senjata masing-masing, barulah mereka berlompatan menubruk Kwee Ceng.
Kwee Ceng sangat bersedih. Dengan hati terluka ia memeluk tubuh ibunya. Begitu melihat orang-orang itu menyerbunya, sambil memondong ibunya, ia menyambut dengan sapuan kaki. Dua algojo tersepak.
kaki mereka patah. Salah satu algojo disodoknya dengan sikut kirinya, tepat mengenai dada, hingga algojo itu roboh dengan tulang iga patah juga.
Menampak begitu, beberapa perwira terkejut, lantas maju.
Kwee Ceng melompat ke belakang ke tenda, tangan kirinya membetot, maka separo kemah emas Jenghis Khan roboh menutupi semua perwira. Dalam kekacauan itu, ia berlari dengan membawa kabur ibunya.
Segera terdengar bunyi trompet riuh, para perwira berlarian ke kuda masing-masing, menaikinya, lantas mengejar pemuda itu.
“Ibu!” panggil Kwee Ceng sambil menangis. Ia tidak mendapat jawaban. Ketika ia memeriksa hidung ibunya, ia tidak lagi merasakan embusan napas.
Ibunya sudah berpulang ke alam lain menyusul arwah ayahnya. Bukan main mencelosnya hati Kwee Ceng.
Namun () ia sedang terancam bahaya.
Dalam kegelapan, ia berlari terus untuk menyingkir dari bahaya. Kupingnya mendengar orang bergerak di empat penjuru, matanya melihat obor menyala. Ia kabur tanpa memilih jalan lagi. Ia bingung, dengan memondong ibunya, mana bisa ia melawan demikian banyak orang? Kalau menunggang kuda merahnya, ia mempunyai harapan. Tetapi sekarang ia Cuma berjalan kaki.
Pemuda ini berhenti menangis. Tanpa bersuara ia berlari terus. Ia ingin lekas-lekas tiba di gunung, di sana ia bisa menggunakan ilmu enteng tubuhnya untuk mendaki lereng. Asalkan ia dapat merayap naik, bebaslah ia. Di atas gunung, ia dapat diam sementara waktu. Sekonyong-konyong di depannya muncul sepasukan serdadu yang dipimpin panglima bermuka merah dan berkumis putih. Di bawah sinar api.
panglima itu tampak sangat berwibawa. Kwee Ceng mengenali salah satu panglima andalan Jenghis Khan, Chilaun. Panglima itu memegat dan membacok si pemuda. Kwee Ceng berkelit untuk membebaskan diri.
Setelah itu, bukannya berlari kembali, ia justru melompat menerjang pasukan Mongolia itu. Semua serdadu kaget hingga berseru.
Kwee Ceng menyambar seorang serdadu berpangkat siphu-tio yang menghalang di depannya. Selagi membetot kaki orang itu, kaki kanan Kwee Ceng menjejak tanah untuk melompat, maka tubuhnya mencelat naik ke punggung kuda serdadu itu.
Begitu meletakkan tubuh ibunya, Kwee Ceng menolak, serdadu itu terguling jatuh. Sebelumnya Kwee Ceng sempat merampas tombaknya. Sekarang ia bergerak dengan cepat dan hebat. Ia membuka jalan, merobohkan setiap serdadu di depan atau di sampingnya. Ia berhasil kabur, maka Chilaun dan barisannya mengejar pemuda itu.
Dengan cara ini, Kwee Ceng tidak jadi menuju gunung, melainkan ke arah bertentangan, semakin menjauh dari gunung. Namun ia masih berpikir akan langsung menuju Selatan atau mampir ke gunung.
Sementara itu Borchu pun menyusul dengan barisannya.
Jenghis Khan gusar luar biasa, tetapi ia masih ingat untuk menitahkan menangkap hidup-hidup Kwee Ceng. Para serdadunya menyusul untuk mengurung pemuda itu. Bahkan ada pasukan berkuda yang mendahului ke Selatan untuk mencegat.
 Kwee Ceng bertindak nekat, la berhasil menerobos pasukan Borchu. Sekarang pakaian dan kudanya telah berlepotan darah. Ia meraba tubuh ibunya, terasa dingin. Ia sedih bukan main, tetapi ia menguatkan hati. Dilarikannya kudanya ke Selatan.
Ia berhasil meninggalkan semua pengejarnya jauh di belakang, namun sementara itu hari sudah mulai terang, sang fajar telah menyingsing. Ia masih berada di daerah musuh, bahkan di pusatnya…
Masih ada ribuan li untuk sampai di Tionggoan.
Bisakah ia seorang diri, dengan membawa-bawa jenazah ibunya, meloloskan diri?
Tengah berlari. Kwee Ceng melihat debu mengepul di depannya. Itu pasti pasukan berkuda. Ia memutar kudanya untuk kabur ke timur.
Mendadak kaki depan kuda itu tertekuk, binatang itu tidak dapat bangun lagi.
Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini tidak mau menyerah. Ia memondong tubuh ibunya, sambil mencekal keras tombaknya, la maju untuk menyerbu pasukan itu. Tiba-tiba ia terkejut. Sebatang anak panah menyambar, tepat mengenai ujung tombaknya.
Ia merasakan getaran akibat bentrokan itu. Celaka untuknya, ujung tombak itu patah. Menyusul itu sebatang anak panah lain menyambar ke dadanya. Ia melemparkan tombaknya, menangkap anak panah itu.
Ketika mengamati anak panah itu, ia melengak.
Ujung anak panah yang tajam itu tidak ada. Ia tidak bisa diam saja. Ia mendongak memandang ke depan.
Terlihat olehnya perwira yang mengepalai pasukan berkuda di depan itu menahan barisannya. Sang perwira maju menghampiri seorang diri. Kwee Ceng  mengenali Jebe, jago panah yang menjadi gurunya dalam ilmu memanah.
”Guru, apakah Guru hendak menangkapku?” tanya Kwee Ceng.
“Ya,” sahut Jebe.
Kwee Ceng berpikir cepat, “Kelihatannya aku tak bakalan bisa lolos. Daripada ditangkap orang lain, biarlah aku menyerahkan diri pada guruku ini.” Maka ia lantas berkata, “Baiklah! Tapi aku mau menguburkan ibuku dulu!” Ia melihat ke sekitarnya.
Di kirinya ada bukit kecil. Ia membawa jenazah ibunya ke sana. Dengan tombak buntungnya ia menggali tanah. Setelah berhasil membuat liang, ia meletakkan tubuh ibunya di situ, la tidak tega mencabut belati di dada ibunya. Ia lantas berlutut untuk paykui, kemudian menguruk liang itu. Ia sedih bukan main mengingat budi serta kesengsaraan ibunya, sampai-sampai tidak sanggup menangis lagi.
 .Jebe melompat turun dari kudanya. Ia paykui empat kali di depan kuburan Li Peng, kemudian menyerahkan kantong anak panah, busur, dan tombaknya kepada si pemuda. Terakhir ia menyerahkan kudanya sendiri, tali lesnya dijejalkan ke tangan si murid. Ia berkata, “Pergilah! Mungkin kita tak bakal bertemu lagi….”
 Kwee Ceng tercengang.
“Guru!” katanya.
“Dulu kau bersedia berkorban menolongku ” kata Jebe. “Apakah kausangka aku bukan laki-laki hingga aku pun tak bisa berkorban menolongmu?”
“Tapi, Guru, kau melanggar titah Khan, kau bisa terancam bahaya….”
“Aku telah berperang ke timur dan ke barat. Jasaku bukannya sedikit,” kata Jebe. “Maka kalau Khan mempersalahkanku, paling juga aku dirangket,
kepalaku tak bakal dipenggal. Maka lekaslah kau pergi!”
Kwee Ceng masih ragu-ragu.
“Aku khawatir pasukanku tidak menaati perintahku, maka yang kubawa ini bekas pasukanmu yang berperang di Barat.” Jebe menambahkan. “Tanyailah mereka, apakah mereka temaha akan jasa dan akan menawanmu….”
 Kwee Ceng menuntun kuda menghampiri pasukan itu. Serentak semua serdadu turun dari kuda mereka, lantas berlutut di tanah. Mereka berkata, “Kami mengantarCiangkun pulang ke Selatan!”
 Kwee Ceng mengawasi. Mereka memang bekas pasukannya yang pernah menantang bahaya bersamanya, maka ia menjadi sangat terharu, la berkata, “Aku bersalah pada Khan yang Agung. Berat hukumanku. Sekarang kalian melepaskan aku, jika Khan Agung tahu hal ini, besar risiko yang harus kalian pikul…”
 “Ciangkun baik sekali pada kami, budi itu sebesar gunung, kami tak berani melupakannya.” Sahut semua serdadu itu.
Pemuda itu menghela napas, lantas menjura kepada mereka. Sesudah itu dengan memegang tombak ia melompat naik ke kudanya. Tepat saat akan melarikan kudanya, ia melihat debu mengepul di depannya. Kembali sepasukan serdadu berkuda mendatanginya, la terkejut, demikian juga Jebe.
 “Aku telah bersalah melepaskan Kwee Ceng, kalau aku melawan pasukan ini, terang aku memberontak,”
pikir Jebe. Tapi ia tidak mengubah putusannya, ia berkata pada si anak muda, “Anak Ceng, lekas lari!”
Hampir berbareng dengan itu, terdengar teriakan para serdadu yang baru datang, “Jangan ganggu Huma! Jangan ganggu Huma!”
Sekarang terlihat jelas ternyata pasukan itu membawa bendera Pangeran Keempat, malahan seorang penunggang kuda segera bergegas menghampiri dari antara pasukan itu. Orang itu adalah Tuli yang sedang menunggang kuda merah Kwee Ceng, tidak heran kalau ia datang cepat sekali.
Begitu tiba di depan Kwee Ceng, pangeran itu melompat turun dari kudanya.
“Anda, apakah kau tak terluka?” demikian pertanyaannya yang pertama.
“Tidak,” jawab Kwee Ceng. “Guru Jebe hendak menawan dan membawaku menghadap Kha Khan!”
Sengaja Kwee Ceng bicara begitu untuk mencegah gurunya itu dicurigai.
Tuli melirik Jebe. lalu berkata pada Kwee Ceng, “Anda, naiklah ke kuda merahmu ini dan lekaslah pergi!” Ia meletakkan bungkusan di atas kuda merah itu dan menambahkan, “Ini uang emas seribu taill Di belakang hari kita akan bertemu lagi!”
Kwee Ceng mengerti, ia lantas melompat naik ke kuda merahnya. Ia berkata kepada saudara angkatnya itu, “Tolong sampaikan pada Adik Gochin agar dia merawat diri baik-baik! Biarlah dia menikah dengan orang lain, jangan memikirkan diriku lagi….”
Tuli menghela napas.
“Selamanya Adik Gochin tak mau menikah dengan orang lain,” ia berkata. “Kurasa dia bakal pergi ke Selatan untuk mencarimu. Kalau itu sampai terjadi, aku nanti mengatur orang untuk mengantarkannya.”
“Jangan, jangan mencariku,” kata Kwee Ceng.
“Jangan kata di dalam negara yang luas sulit mencariku, umpama kita akhirnya dapat bertemu, cuma akan menambah keruwetan!”
Tuli diam, Kwee Ceng diam juga.
“Jalanlah, akan kuantar kau serintasan!” kata si pangeran kemudian.
Kwee Ceng menurut, ia menyuruh kudanya berjalan.
Tuli naik kuda yang lain, mereka berjalan berendeng.
“Anda,” kata Kwee Ceng setelah mereka berjalan sekitar tiga puluh li. “silakan kau kembali. Ada yang bilang, meski mengantar sampai seribu li, akhirnya mesti berpisah juga.”
“Aku akan mengantarmu serintasan lagi,” kata Tuli.
Maka berjalanlah mereka sampai sepuluh li lebih. Di sini keduanya turun dari kuda masing-masing untuk saling menjura, kemudian dengan sama-sama mengucurkan air mata, mereka berpisahan. Tuli mengawasi Kwee Ceng hingga tampak kecil sekali lalu lenyap, barulah ia memutar kudanya untuk kembali. Ia masygul bukan main.
Kwee Ceng melarikan kudanya selama beberap hari, akhirnya ia keluar dari daerah yang berbahaya.
Sekarang ia langsung menuju Selatan. Di sepanjang jalan, ia menyaksikan bekas-bekas peperangan, terutama rumah-rumah rusak dan tulang-tulang berserakan. Pemandangan yang menggiriskan. Ia sedih sekali.
Akhirnya sampai juga Kwee Ceng di Tionggoan. Ia merasa dirinya seperti orang asing, sebab tidak tahu mesti pergi ke mana. la tidak mempunyai rumah dan sanak saudara. Dalam setahun, ia kehilangan ibunya.
Oey Yong, dan guru-gurunya, la ingat Auwyang Hong dan timbul niatnya untuk membalaskan dendam Oey Yong, tetapi begitu ingat keadaan yang menyedihkan sekali di Khoresm, hatinya menjadi tawar, la berhasil membalaskan sakit hati ayahnya, namun demikian banyak jiwa manusia yang melayang dalam keadaan memilukan. la jadi sangsi, jangan-jangan balas dendam itu bukan cara yang tepat untuknya.
“Seumur hidup aku belajar ilmu silat, sekarang beginilah kepandaianku,” ia berpikir. “Tapi aku tak bisa membela kekasihku dan ibuku, maka apa gunanya aku belajar silat? Tujuan hidupku adalah jadi orang baik-baik, bagaimana sekarang? Siapa yang memperoleh kesenangan karenanya? Ibu dan Yongji binasa gara-gara aku…. Karena aku, seumur hidup Adik Gochin takkan senang… Ya, banyak orang yang telah kubikin celaka….”
Ia berhenti berpikir sebentar, terus melamun lagi.
“Wanyen Lieh dan Raja Khoresm memang orang-orang busuk, tapi bagaimana dengan Jenghis Khan?
Dia membunuh Wanyen Lieh, dia orang baik. Dia telah memelihara ibuku dan aku selama dua puluh tahun, tapi dia menitahkanku untuk menyerang Pemerintah Song, dan sekarang dia memaksakan kematian ibuku. Dengan Yo Kang aku saling mengangkat saudara, tapi hatinya tidak lurus. Adik Liam Cu orang baik, mengapa dia mencintai Yo Kang mati-matian? Anda Tuli baik sekali padaku, kalau nanti dia menyerang ke Selatan, haruskah aku menghadapinya di medan perang untuk bertempur hidup-mati? Tidak, tidak! Setiap orang punya ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dan susah payah merawatnya hingga besar, maka mana bisa aku membunuh anak orang hingga ibunya bakal jadi susah?” Ia diam, berpikir lagi.
“Belajar silat adalah untuk menghajar orang, membunuh orang…,” ia melamun lebih jauh.
“Kelihatannya hidupku selama dua puluh tahun salah semuanya. Dengan rajin dan susah payah aku belajar silat, akhirnya cuma untuk mencelakai orang…. Kalau tahu begini, lebih baik aku tak mengerti silat sama sekali! Tapi kalau tak belajar silat, aku mesti mengerjakan apa? Sebenarnya untuk apa aku hidup di dunia? Setelah beberapa puluh tahun nanti, bagaimana lagi? Bukankah lebih baik mati siang-siang? Kalau aku hidup terus, bukankah akan lebih banyak keruwetan? Tapi kalau aku mati siang-siang, untuk apa ibuku melahirkan aku? Kenapa Ibu mesti bercapek lelah merawatku hingga besar?”
Semakin lama pikirannya menjadi semakin ruwet.
Selama beberapa hari Kwee Ceng merasa tidak keruan, makan tidak bernafsu, tidur pun kurang. La mondar-mandir di tegalan, memikirkan semua pertanyaannya itu.
“Ibuku dan semua guruku mengajariku supaya memegang kepercayaan,” kemudian ia berpikir lagi.
“Sekarang timbul urusan Yongji. Aku sangat  mencintainya. Tapi di sana ada putri Jenghis Khan.
Dapatkah aku menolak putri itu? Kesudahannya perjodohanku itu menyebabkan kematian ibuku dan Yongji, dan karenanya Khan yang Agung, Tuli, dan Adik Gochin jadi bersusah hati…. Ketujuh guruku dari Kanglam dan Suhu Ang adalah orang-orang gagah dan mulia hatinya, tapi tak ada satu pun yang selamat.
Sebaliknya Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin jahat, kenapa mereka hidup merdeka dan senang?
Sebenarnya di dunia ini ada hukum Thian atau tidak…?”
Suatu hari tibalah anak muda ini di sebuah dusun di kota Cee-Iam, Shoatang. la singgah di rumah makan, la duduk seorang diri menenggak arak, pikirannya pepat. Ketika ia baru minum tiga cawan, mendadak seorang laki-laki menghampirinya, sambil menuding dan mendamprat. “Hai, Tartar bangsat, kau telah memusnahkan rumahku dan membinasakan keluargaku, sekarang aku hendak mengadu jiwa denganmu!” Kata-kata itu disusul dengan tinjunya.
Kwee Ceng terkejut, heran. Langsung ia menangkis sambil menangkap, ketika ia menarik pelan saja, orang itu jatuh ngusruk. Jelas orang itu tidak mengerti ilmu silat. Kepalanya mengenai lantai dan darahnya mengucur.
“Saudara, apakah kau salah lihat orang?” tanyanya seraya menolong orang itu bangun, la merasa tidak enak hati tanpa sengaja melukai. Orang itu gusar sekali.
“Tartar bangsat! Tartar bangsat!” cacinya berulang-ulang.
Dari luar rumah makan lantas menerobos masuk belasan orang. Tanpa banyak omong mereka menyerbu Kwee Ceng. Tentu saja anak  muda ini menjadi repot. Ia main berkelit, karena tidak mau melukai orang lain. Tapi ia repot, sebab serangan makin seru, sedangkan ruangan sempit.
Tiba-tiba dari balik pintu terdengar suara nyaring, “Anak Ceng, kau bikin apa di sini?”
Kwee Ceng lantas menoleh, untuk melihat orang yang menegurnya, la mendapati imam dengan kumis putih panjang, romannya suci dan berwibawa. Ia mengenali Khu Ci Kee, maka ia girang bukan main.
“Tootiang!” jawabnya. “Tak keruan orang-orang ini mengepungku!”
Khu Ci Kee lantas masuk, mendorong setiap orang, kemudian menarik tangan si anak muda, mengajaknya berlalu. Mereka disusul oleh banyak orang yang gusar, tapi setibanya di luar, setelah Kwee Ceng memanggil kuda merahnya, dengan cepat mereka menghilang.
Setelah mereka tinggal berdua, Kwee Ceng
mengulangi keterangan bahwa ia dikeroyok tanpa sebab.
Khu Ci Kee tertawa. “Kau berdandan sebagai orang Mongolia, maka mereka salah menyangkamu,”
katanya.
Di wilayah Provinsi Shoatang ini, orang Mongolia telah bertempur hebatdengan orang Kim.
Penduduk Shoatang telah sangat menderita karena bangsa Kim, maka mereka membantu bangsa Mongol.
Siapa tahu, ternyata bangsa Mongol itu sama kejamnya dengan bangsa Kim. Setelah bangsa Kim dikalahkan, mereka pun menindas rakyat. Maka rakyat sangat gusar dan benci. Sudah biasa terjadi, apabila ada pasukan tentara Mongolia lewat dan salah satu serdadu atau opsirnya tertinggal orang itu lantas dibunuh rakyat.
“‘Kenapa kau membiarkan dirimu ditinju dan ditendangi?” tanya Ci Kee kemudian. “Lihat, kau jadi tak keruan, tubuhmu bengkak dan bengep….”
Kwee Ceng menghela napas.
 “Aku tak berniat melayani mereka,” sahutnya sedih.
Ia lantas menceritakan tentang ibunya yang seperti  dipaksa bunuh diri oleh Jenghis Khan.dan bahwa selama ini pikirannya kacau.
Khu Ci Kee terkejut.
“Kalau Jenghis Khan bemiat menyerang Kerajaan Song, mari kita lekas berangkat ke Selatan,” katanya.
“Pemerintah mesti diberi kisikan supaya siap sedia menyambut musuh!”
“Apa gunanya?” tanya si pemuda sambil menggelengkan kepala. “Kesudahannya kedua pihak bakal berperang hingga mayat-mayat bakal bertumpuk setinggi gunung, rumah rakyat akan musnah, dan nyawa rakyat akan lenyap….”
“Kalau Kerajaan Song dimusnahkan bangsa Mongol, rakyat bakal lebih menderita,” Tiang Cun Cu. Memberi pengertian. “Penderitaan itu tiada taranya.”
“Tootiang,” kata si anak muda, “ada banyak soal yang tak kumengerti, tolong Tootiang jelaskan.”
Khu Ci Kee menggandeng anak muda itu, mengajaknya ke bawah pohon, lalu mereka duduk bersama.
“Bicaralah!” katanya.
Kwee Ceng mengutarakan keruwetan dalam hatinya.
kemudian menghela napas dan menambahkan, “Sekarang aku memuruskan tak berniat bentrok dengan siapa pun. Aku menyesal tak dapat melupakan ilmu silatku. Tadi pun tanpa sengaja aku melukai orang itu hingga berdarah….”
“Anak Ceng, pandanganmu salah,” kata Tiang Cun Cu sambil menggeleng. “Beberapa puluh tahun lalu ketika muncul kitab mestika Kiu Im Cin Keng, orang-orang gagah kacau, memperebutkannya dengan saling bunuh, sampai kemudian ada keputusan dalam rapat di Gunung Hoa San, tempat orang melakukan pertempuran terakhir. Di sana guruku, Ong Tiong Yang, telah keluar sebagai pemenang, berhasil mendapatkan kitab itu. Mulanya guruku juga berpikir akan memusnahkan kitab itu, tapi kemudian mengubah niatnya. Dia ingat bahwa air dapat  membuat perahu berlayar, tapi juga dapat mengaramkannya. Keberuntungan dan bencana tergantung pada masing-masing orang. Maka ia mempertahankan dan menyimpan kitab itu.
Kepandaian manusia, sipil maupun militer, tentara kuat, serta senjata tajam, semuanya bisa membuat manusia beruntung, tapi juga bisa membikin manusia celaka. Kau tahu, asal orang berniat baik, makin gagah dia makin baik. Karena itu, mengapa kau ingin melupakan ilmu silatmu?”
Kwee Ceng berpikir. Ia berkata, “Tootiang benar, tapi… sekarang kaum kangouw rata-rata menyebut Sesat Timur, Racun Barat, RajaSelatan,
dan Pengemis Utara sebagai orang-orang yang paling gagah. Untuk menyamai kepandaian mereka, sukar bukan buatan. Tapi lihatlah, apa gunanya kepandaian mereka itu? Kulihat tak ada faedahnya bagi manusia.”
Ditanya begitu, Khu Ci Kee melengak. Selang sejenak, ia berkata, “Oey Yok Su aneh, pasti ada sebabnya yang tak dapat dilampiaskannya. Dia sekarang berbuat sesuka hatinya, tak pernah me-mikirkan orang lain, maka aku tak mau mengambil perbuatannya sebagai teladan. Auwyang Hong jahat, dia tak usah dibicarakan lagi. Toan Hongya baik hati, kalau tetap menjadi raja, dia bisa berbuat
banyak untuk rakyat. Sayang karena satu urusan kecil, hatinya jadi tawar hingga sekarang dia bersembunyi. Lain halnya dengan Ang Cit Kong. Dia tetap bekerja untuk orang banyak, padanya aku kagum dan takluk sekali. Akan segera tiba saatnya pertemuan di Hoa San. Meski ada orang yang dapat melebihi kegagahannya. aku percaya orang banyak bakal mengangkat dia jadi orang nomor satu di Rimba Persilatan.”
Mendengar disebutnya pertemuan orang gagah di Gunung Hoa San, Kwee Ceng lantas ingat gurunya.
“Apakah luka guruku sudah sembuh?” tanyanya.
“Benarkah guruku bakal turut ambil bagian dalam pertemuan di Hoa San itu?”
“Sejak aku kembali dari Barat, belum pernah aku bertemu dengan Ketua Ang,” sahut Ci Kee.
“Tapi aku percaya, bagaimanapundia tentu bakal pergi ke Hoa San. Sekarang aku sedang dalam perjalanan ke Hoa San, bagaimana kalau kau turut aku pergi ke sana untuk melihat-lihat?”
Kwee Ceng menggeleng. Hatinya telah tawar dan kepalanya pusing kalau ingat soal pergulatan itu. Ia menjawab, “Maaf, Tootiang, aku tak bisa turut Tootiang pergi ke sana.”
“Habis kau hendak pergi ke mana?”
“Aku tidak tahu. Aku pergi ke mana saja kakiku melangkah….”
Imam itu sedih. Menurut penglihatannya, pemuda itu seperti baru sembuh dari sakit berat. Ia mencoba membujuknya, tetapi anak muda itu tetap meng-goyangkan kepala. Ia berpikir, Kwee Ceng biasanya menuruti kata-kata Ang Cit Kong, ada baiknya kalau pemuda ini mau pergi ke Hoa San untuk bertemu dengan gurunya itu. Bagaimana ia mesti membujuknya?
“Anak Ceng,” katanya kemudian. “Kau ingin melupakan ilmu silatmu, untuk itu ada jalannya,”
katanya kemudian.
“Benarkah itu, Tootiang?”
Mendadak pemuda ini tertarik.
“Ya,” sahut Ci Kee. “Ada seseorang yang di luar tahunya telah meyakini ilmu yang mahir dari Kiu lm Cm Keng, kemudian dia merasa pelajaran itu menyalahi janjinya, dia menyia-nyiakan pesan seseorang, maka dia ingin melupakan ilmu itu.
Dia lalu mencoba sebisa-bisanya. Kalau kau hendak mencontohnya, kau mesti mencari dia untuk minta diajari.”
Kwee Ceng melompat bangun.
“Benar!” katanya. “Orang itu Kakak Ciu Pek Thong!”
Mendadak muka pemuda ini memerah, la likat sendiri, ingat bahwa Ciu Pek Thong adalah paman guru Ci Kee dan ia memanggilnya “Kakak” saja.
Khu Ci Kee dapat menerka penyebab jengahnya pemuda itu. la tersenyum dan berkata. “Paman Guru Ciu memang biasanya tidak membedakan derajat, maka kau dapat memanggilnya sesukamu.”
“Sekarang dia ada di mana?”
“Dia bakal menghadiri pertemuan di Hoa San. Dia tentu akan pergi ke sana.”
“Baiklah, aku akan ikut Tootiang” kata Kwee Ceng akhirnya.
Ci Kee puas, ia lantas mengajak anak muda itu berangkat. Mereka berjalan bersama. Di dusun pertama, Kwee Ceng membelikan si imam seekor kuda, untuk mempercepat perjalanan mereka. Tujuan mereka adalah Barat. Suatu hari, tibalah mereka di kaki Gunung Hoa San di sebelah selatan. Mereka lantas singgah di perhentian San-sun-teng. Di samping tempat itu tumbuh dua belas batang pohon
rotan yang dinamakan “rotan naga”, karena batang-nya panjang dan berbentuk mirip naga.
“Hoa San merupakan gunung suci bagi kami kaum Too Kauw,” kata Khu Ci Kee. “Menurut cerita, dua belas batang pohon rotan ini dulunya ditanam oleh Hi I Sianseng Tan Pok Loocouw.”
“Tan Pok Loocouw? Bukankah dia dewa yang tidur selama genap setahun tanpa bangun sama sekali?”
“Tan Pok Loocouw lahir di akhir zaman Tong.
Sepanjang lima pemerintahan, setiap kali men-dengar penguasa kerajaan berganti, selalu dia tidak puas, maka dia mengunci pintu rumahnya, terus tidur. Orang bilang dia tidur setahun suntuk tanpa mendusin. Yang benar ialah, karena jengkel meng-ingat nasib rakyat, dia tak suka memunculkan diri.
Yang terakhir, ketika mendengar Song Thay-couw naik takhta, dia baru dapat tertawa lebar dan mengatakan bahwa mulai saat itu negara bakal aman sentosa.”
“Kalau Tan Pok Loocouw lahir di zaman se-karang, dia pasti bakal tidur lagi berbulan-bulan dan bertahun-tahun!” kata Kwee Ceng.
Khu Ci Kee menghela napas.
“Bangsa Mongol menjagoi wilayah Utara, me-reka hendak menerjang ke Selatan. Sebaliknya Raja Song dan menteri-menterinya bangsa dogol semua, maka negara bakal kacau,” katanya. “Kita adalah bangsa laki-laki, meski tahu kita tak bakal bisa apa-apa, kita perlu bangun untuk melawannya.
Sebab aku pun tak setuju dengan sikap Tan Pok Loocouw yang main mengunci pintu dan tidur saja.”
Sampai di situ mereka menghentikan pembicara-an, menitipkan kuda di kaki gunung, lantas mereka mendaki. Mereka melintasi Toh-hoa-peng, Hi I Ap, dan See-bong-peng. Makin tinggi  jalanan makin sukar. Setibanya di See-hian-bun, mereka naik dengan berpegangan pada rantai besi.
Bagi mereka, perjalanan memanjat itu tidak sulit. Kira-kira tujuh li kemudian, tibalah mereka di Ceng-peng, Tanah Datar Hijau. Lalu mereka menemukan batu-batu yang berdiri tajam, di sebelah utaranya ada sebuah batu yang memegat jalan.
“Inilah batu yang diberi nama Hwee-sim-cio,”
kata Ci Kee. Pelancong yang tiba di sini dapat balik kembali.
Hwee-sim-cio berarti Hati Berbalik Pulang.
Maju lebih jauh adalah tempat-tempat yang ber-nama Cian-cio-kiap dan Pek-cio-kiap, celah yang lebarnya tidak ada setengah kaki, hingga orang mesti berjalan miring.
Kwee Ceng langsung ingat, “Kalau ada musuhmemegat dan menyerang di sini, orang yang sangat lihai pun sukar melawan….” Baru saja ia berpikir begitu, dari depan mereka terdengar bentakan, “Khu Ci Kee, di Yan I Lauw kami telah mengampuni jiwamu, apa perlunya kau sekarang mendaki  Gunung Hoa San ini?”
Khu Ci Kee mendengar suara itu, dengan segera ia mempercepat langkahnya, hingga sampai di samping gua. Ia mengangkat kepala melihat ke depan.
Di sana, yang merupakan ujung jalan terakhir, terlihat lima orang, yaitu See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Lama Leng Ti, Nio Cu Ong, dan Hauw Thong Hay, yang memegat jalan. Melihat mereka itu, ia heran. Ia menyangka akan menemui Auwyang Hong, Kiu Cian Jin, Ciu Pek Thong, dan Ang Cit Kong, tidak tahunya, di sini ada rombongan pengkhianat itu. Tentu saja ia mengerti bahaya yang mengancamnya, sebab ia dan Kwee Ceng di tempat yang letaknya buruk. Begitu ter-desak, mereka berdua bakalan terjerumus ke dalam jurang. Karena itu. ia menghunus pedangnya, lantas mendului melompat maju. Ia menyerang Hauw Thong Hay, bukan saja karena orang itu yang terlemah, tapi karena ia yang jaraknya paling dekat.
Thong Hay menangkis serangan, la lantas di-bantu Pheng Lian Houw dan Lama Leng Ti yang menggencet musuh dengan senjata masing-masing, poankoan-pit dan cecer, bermaksud mendesak Khu Ci Kee sampai terjatuh ke jurang.
Khu Ci Kee tahu apa yang mesti diperbuatnya.
Setelah menikam Thong Hay, ia menjejak dengan kedua kakinya untuk melompat tinggi melewati kepala Hauw Thong Hay. Selain bebas dari gencet-an, ia pun tiba di tempat yang lega.
Senjata Leng Ti dan Lian Houw mengenai batu, hingga lelatu bepercikan.
Selama di Tiat Ciang Bio, See Thong Thian telah kehilangan sebelah tangannya, namun ia tetap gagah. Menampak adik seperguruannya gagal me-megat Khu Ci Kee. ia melompat maju guna membantu. Tapi, karena lihainya Tiang Cun Cu, yang merampas kedudukan, ia juga bisa dilewati.
Ia lantas mengejar, disusul oleh Lian Houw.
Ci Kee tidak lari terus, ia melawan dua musuh-nya itu, yang segera dibantu Lama Leng Ti, hingga ia jadi dikepung tiga orang.
Selama pertempuran itu berjalan, Kwee Ceng tidak membantu Khu Ci Kee, padahal sepantasnya ia turun tangan di pihak imam itu. Hatinya tawar, ia jemu dengan pertarungan. Bukan saja ia tidak sudi membantu, melihat pun tidak. Untuk naik terus, ia mengambil jalan lain, ialah dengan ber-pegangan pada oyot rotan. Toh ia terganggu satu pertanyaan yang berkutat dalam hatinya, “Bantu atau jangan? Bantu atau jangan…?’1
“Bagaimana kalau Khu Tootiang mereka binasa-kan? Bukankah itu salahku? Kalau aku membantu dan mereka mati, perbuatanku itu benar atau sa-lah?” Pikirannya terus-menerus terganggu, sedang-kan ia tidak menunda jalannya, hingga kupingnya tidak mendengar lagi bunyi senjata beradu. Seka-rang ia berhenti untuk menyender pada batu. Ia bengong.
Tiba-tiba ada bunyi di sampingnya, di belakang pohon cemara. Ia segera menoleh. Ia melihat se-orang bermuka merah dan berambut putih, yaitu Nio
Cu Ong. Orang ini tahu Kwee Ceng lihai, ia takut,
maka ia bersembunyi. Namun Kwee Ceng tidak peduli, ia terus merenung, mulutnya kemak-kemik.
Nio Cu Ong heran. Ia menduga si pemuda tidak melihatnya.
“Aneh kelakuan bocah ini,” pikirnya. “Baiklah kucoba-coba.” Ia tidak berani mendekat, ia me-mungut batu, lalu menimpukkannya ke punggung si pemuda.
Mendengar bunyi sambaran angin, Kwee Ceng berkelit, tapi ia masih diam saja.
Som Siam LaoKoay merasa lega. Ia menghampiri beberapa langkah.
“Menghajar orang adalah perbuatan yang sangat busuk, itu tidak pantas.” katanya.
“Oh. kau pun berpikir demikian?” tanya si anak muda “Sungguh aku ingin dapat melupakan ilmu silatku….”
Mata Nio Cu Ong bersinar tajam. Kebenciannya jadi bertambah begitu ia ingat pemuda ini telah mengisap darah ularnya. Ia mendekati Kwee Ceng dari belakang, tapi berkata pelan, “Aku juga sedang berpikir untuk melupakan ilmu silatku. Bagaimana kalau aku membantumu?”
Kwee Ceng jujur, pikirannya sedang bimbang, ia lupa akan kelicikan orang itu.
“Baik,” jawabnya. “Bagaimana caranya?”
“Aku tahu caranya,” jawab Cu Ong, lalu men-dadak mencekuk dua jalan darah thian-cu di leher belakang dan sin-tong di punggung Kwee Ceng.
Kwee Ceng terkejut, tubuhnya langsung terasa kaku, ia tidak dapat bergerak.
Cu Ong memegang kuat-kuat, kemudian meng-gigit leher pemuda itu untuk mengisap darahnya.
la mau ganti menyedot darah pemuda itu. Bukankah ular yang sudah dipeliharanya susah-susah menjadi korban si pemuda?
Kwee Ceng sangat kesakitan, sampai kedua mata-nya kabur la berontak, tapi dua jalan darahnya telah ditekan, tenaganya habis, la melihat roman Cu Ong yang sangat bengis dan menakutkan, la merasa se-makin sakit, sebab gigitan orang itu keras. Bukankah ia akan binasa kalau tenggorokannya putus? Dalam kagetnya, mendadak ia berontak lagi. Kali ini ia menggunakan tipu yang didapatnya dariKin Toan Kut Piant dan tenaganya juga terkerah pada kedua jalan darah yang ditekan itu.
Nio Cu Ong sedang menekan ketika ia merasa ada tenaga menolak yang keras, lantas • telapak tangannya sakit, tekanannya pun terus meleset, seperti berada di tempat licin.
Kwee Ceng menunduk, lalu tenaganya di ping-gang bekerja.
Begitu anak muda ini membungkuk, tubuh Cu Ong terangkat, lalu terlempar dari punggung si anak muda. Ia menjerit ngeri, karena tubuhnya terlempar ke arah jurang. Menyusul itu dari dalam jurang terdengar jeritan yang lebih hebat lagi, menyayat hati, berkumandang ke segala penjuru lembah, membuat bulu roma berdiri.
Kwee Ceng menjublek karena kejadian itu. Ia mengusap-usap lehernya yang luka tergigit, lalu sadar bahwa dengan ilmu silatnya ia kembali telah membunuh. Pikirnya, “Kalau aku tak membunuh-nya, dia akan membunuhku. Kalau dengan mem-bunuhnya aku berbuat tak pantas, lalu bagaimana dengan dia yang hendak membunuhku, perbuat-annya pantas atau tidak?” Ia melongok ke jurang yang sangat dalam. Ia tidak melihat apa pun, maka tak tahulah ia, di bagian mana Nio Cu Ong  terjatuh….
Sambil duduk di batu, Kwee Ceng membalut lukanya.
Selang sekian lama, mendadak terdengar bunyi seperti langkah kaki, namun kadang-kadang ter-putus. Segera terlihat seorang aneh muncul dari tikungan Ia terkejut tapi mengawasi. Orang itu berkelakuan aneh, berjalan dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua tangannya diulurkan lem-peng ke samping tubuhnya. Karena jalannya ber-lompatan, terdengar bunyi luar biasa dari batok kepala yang membentur bebatuan gunung. Kemudi-an ia lebih heran lagi. Setelah mengawasi, ia mendapati orang itu adalah si Racun Barat Auwyang Hong.
Kwee Ceng baru saja diperdaya orang. Ia men-duga Racun Barat pun sedang pasang siasat, maka ia lantas mundur dua langkah. Ia pasang mata sambil siaga.
Auwyang Hong aneh. Ia melompat naik ke batu, tidak ambil mumet pada si anak muda. Dia berdiri tegar dengan kepalanya seperti mayat hidup.
“Paman Auwyang, kau sedang apa?” akhirnya Kwee Ceng bertanya.
Si Racun Barat tetap tidak memedulikannya, ia seperti tidak mendengar pertanyaan pemuda itu.
Kwee Ceng mundur lagi beberapa langkah supaya berdiri agak jauh. Ia memasang tangan kiri
di dadanya, sebab khawatir jago dari Barat itu menyerangnya mendadak.
Tetapi Auwyang Hong tetap berdiri dengan cara aneh itu, dan Kwee Ceng terus memperhatikan.
Selang sesaat, karena penasaran dan ingin tahu, Kwee Ceng mengawasi muka orang tua itu sambil membungkuk dan menempelkan kepalanya ke tanah. Ia melihat lewat selangkangannya dengan mementangkan kedua kakinya. Baru sekarang ia melihat dengan tegas.
Kepala Auwyang Hong bermandikan peluh, mukanya meringis.
Kwee Ceng menduga orang itu tentu sedang melatih suatu ilmu. Ia pun lantas melihat Racun Barat mementang kedua tangannya, tubuhnya di-tekuk sedikit hingga mirip keong besar. Tangannya digerakkan,makin lama makin cepat Ilmu itu aneh, pantas Auwyang Hong berlatih di tempat sepi. Kalau keliru cara mempelajarinya, barangkali ilmu ini bakal membuat orang itu sesat dan membahayakan keselamatan dirinya sendiri.
Namun aneh, kenapa yang dipilihnya justru Gunung Hoa San ini, tempat pertemuan itu? Bukankah di sini bakal segera berkumpul banyak orang? Kenapa ia seperti tidak menjaga diri? Tidakkah dalam keadaan seperti ini Racun Barat gampang di-bokong? Mungkin orang yang tidak mengerti ilmu silat pun dapat dengan gampang merobohkannya….
Tiba-tiba pemuda ini ingat sakit hatinya. Meng-apa ia tidak mau menuntut balas? Bukankah ini kesempatan baiknya? Namun karena baru saja membinasakan Nio Cu Ong, ia jadi sangsi. Ia tidak lantas turun tangan.
Auwyang Hong tetap tidak memedulikan si anak muda. Setelah berlatih sekian lama, kembali ter-dengar bunyi nyaring kepalanya. Ia kembali ke tempat dari mana tadi ia muncul.
Bukan main herannya Kwee Ceng. Ia menjadi ingin tahu, maka diam-diam ia melangkah mengikuti.
Auwyang Hong berjalan dengan kepala tetapi tidak kalah cepat dari orang yang berjalan biasa dengan kaki. Yang lebih heran lagi. ia juga dapat mendaki gunung, makin lama makin tinggi.
Kwee Ceng mengikuti terus sampai di depan gua.
Di situ ia berhenti, bersembunyi di balik batu besar.
Tepat di depan gua itu Auwyang Hong berhenti.
Mendadak ia berkata bengis, “Haphouvvbun-poat-eng sengji-kit-kin, si-kouw-ji! Tidak, tak tepat penjelasanmu ini! Tak sempurna aku melatihnya.”
Kwee Ceng terkejut. Itu bunyi kitab Kht Im Cin Keng palsu yang ditulisnya selama di atas perahu di tengah laut ketika ia dipaksa si Racun Barat.
Dengan siapa si Bisa Bangkotan sedang bicara?
Lantas dari dalam gua terdengar jawaban seorang wanita.
“Latihanmu belum sempurna, pasti kau tak mem-peroleh hasil,” demikian suara nona itu. “Kapan aku salah membacakannya?”
Kwee Ceng terkejut berbareng girang, ia hampir berteriak. Itu suara Oey Yong, yang dipikirkannya siang-malam! Jadi. mungkinkah nona itu tak binasa di gurun pasir? Apakah ia tengah bermimpi? Atau, apakah ia salah mendengar atau salah mengenali?
“Aku berlatih menurut penjelasanmu, tak mung-kin salah!” kata Auwyang Hong. “Sekarang aku merasakan otot jim-wi dan yang-wi-ku tak tersalur dengan betul.”
“Aku sudah bilang, latihannya masih kurang,”
si nona pun berkeras. “Kalau kaupaksakan. Percuma saja.”
Sekarang Kwee Ceng mendengar jelas sekali.
Tidak salah, itulah Oey Yong, Yongji-nya. Saking girangnya, tubuhnya terhuyung, hampir ia pingsan.
Ia menguatkan hati, maka luka di lehernya pecah hingga berdarah, merembesi balutannya. Tapi ia seperti tidak merasakannya.
Auwyang Hong terdengar berkata lagi, suaranya menyatakan ia gusar sekali.
“Besok tengah hari tepat adalah saat pertemuan itu berlangsung, mana dapat aku berlatih ayal-ayalan!” katanya bengis. “Lekas terjemahkan se-luruh isi kitab itu, jangan coba-coba main gila!”
Sekarang Kwee Ceng mengerti betul bahwa orang itu sedang mempelajari Kiu Im Ciri Keng. Ia akan memakai ilmu itu untuk mengadu kepandaian dalam pertemuan, supaya menjadi orang kosen nomor satu.
Pantas Racun Barat gelisah.
Dari dalam terdengar tawa Oey Yong.
“Kau telah berjanji pada Kakak Ceng-ku, dia sudah mengampuni jiwamu sampai tiga kali,” kata si nona. “Karena itu, kau tak dapat memaksaku, kau mesti menyerah, menanti sampai hatiku senang untuk mengajarimu….”
Kwee Ceng senang mendengar gadis itu me-nyebutnya Kakak Ceng-ku. Ia nyaris tidak dapat mengendalikan diri lagi, hampir ia melompat sambil berseru dan berlari menghampiri si nona manis.
Auwyang Hong tertawa dingin.
“Temponya sudah mendesak, meskipun ada, janji itu sekarang mesti ditangguhkan!” katanya sengit.
Lantas ia menggerakkan tubuhnya, dalam sekejap ia telah berdiri dengan kakinya. Terus ia melangkah lebar-lebar ke gua itu.
“Tak tahu malu!” seru Oey Yong. “Tidak, aku tak mau mengajarimu!”
Auwyang Hong kembali memperdengarkan tawa dinginnya lagi hingga beberapa kali.
“Aku mau lihat, kau mengajariku atau tidak!” katanya, kali ini perlahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar