Bab 78. NASIB
“TENTANG perjodohanku ” kata Kwee Ceng,
“aku pernah membicarakannya dengan Putri. Kalau Yongji
mati, aku takkan menikah untuk selamanya.”
Li Peng menghela napas lagi.
“Mungkin Putri
sendiri mau mengerti, tapi bagaimana dengan Khan Agung? Aku khawatir sekali…”
“Kenapa Khan Agung?”
“Beberapa hari ini Khan luar biasa baik
padaku.
Lihatlah hadiah ini, emas, perak, dan
permata.
Memang benar katanya hadiah ini untuk jasamu berperang
di Barat, tapi aku sudah dua puluh tahun tinggal di
sini, kurasa aku telah mengenal baik sifatnya. Aku yakin ada alasan lain!”
“Ibu, menurut Ibu apa alasan itu?”
“Aku wanita, pendapatku tidak luhur,” sahut
sang ibu. “Tapi setelah aku melihat dan memikirkan semua ini, mungkin Khan
hendak memaksa kita melakukan sesuatu….”
“Tentu dia menghendaki
aku menikah dengan putrinya,” kata Kwee Ceng.
“Menikah itu urusan baik,” kata sang ibu
lagi.
“Khan tidak tahu kau tak setuju dengan
pernikahan itu, dia tak bisa memaksakannya. Tapi, menurut penglihatanku, kau
mengepalai sepasukan tentara besar, kau pun berperang ke Selatan, maka aku khawatir
Khan mencurigai kau akan mendapat pikiran untuk berontak…”
Kwee Ceng menggeleng.
“Aku tidak mempunyai minat untuk kekayaan dan
keagungan, Khan tahu
hal ini dengan baik,” katanya.
“Buat apa aku memberontak?”
“Kalau begitu, aku ingat suatu cara.” kata Li Peng.
“Mungkin ini dapat dipakai untuk mengetahui
apa yang dipikir Khan. Pergilah kau melaporkan pada Khan, bilang aku kangen
pada kampung halamanku, aku ingin pulang bersamamu. Coba dengar apa katanya.”
Kwee Ceng girang mendengar
pikiran ibunya itu.
“Oh, Ibu, mengapa Ibu tidak mengatakannya
dari siang-siang?” katanya. “Kita pulang bersama, betapa senangnya! Pasti Khan Agung akan memperkenankannya.”
Pemuda ini lantas keluar dari kemah. Ia tidak
melihat Gochin. Mungkin karena menanti terlalu lama, putri itu habis sabar dan
berlalu dengan kecewa. Ia lantas menuju markas besar. Ia
pergi sekian lama, ketika kembali pada ibunya, ia menunduk lesu.
“Khan tidak memperkenankannya, bukan?” Li Peng
bertanya,
“Anakmu tidak mengerti. Ibu ” sahut Kwee Ceng.
“Apa perlunya Khan menghendaki Ibu tetap
berdiam di sini?”
Sang ibu diam.
“Khan bilang,” Kwee Ceng
menjelaskan, “sesudah Negara
Kim dihancurkan, barulah kita bisa
berangkat
pulang. Katanya waktu itu kita akan pulang
dengan kehormatan besar. Aku bilang Ibu sangat kangen dan ingin lekas pulang,
lantas Khan tampaknya gusar. Dia menggeleng dan tetap menolak.”
“Apa lagi kata Khan padamu?”
Kwee Ceng memberitahu bahwa
dalam rapat tentara, ia diberi tugas serta dibekali dengan kim-long.
“Ah.” desah sang ibu masygul, “kalau suhu keduamu
dan Yongji berada di sini, mereka pasti dapat menerka maksud Khan ini. Aku
merasa tidak enak memikirkan ini, tapi entah apa sebabnya, aku tak tahu….”
Kwee Ceng mengeluarkan
kim-long-nya, mempermainkannya dengan tangannya.
“Ketika Khan menyerahkan ini, kulihat air mukanya beda sekali,” katanya. “Maka aku khawatir jangan-jangan
sikapnya berhubungan dengan surat
rahasia ini.”"
Li Peng mengambil kim-long
itu, mengawasinya dengan teliti, kemudian menyuruh para pelayannya menyingkir.
“Kita buka dan lihat saja,” katanya kemudian.
Kwee Ceng terkejut.
“Tidak bisa!” katanya. “Surat ini dicap. Kalau membukanya berarti akan mendapat hukuman mati….”
Li Peng tertawa.
“Kau tahu kepandaian menyulam dari kota Lim-an sangat
tersohor di seluruh negara?” katanya.
“Ibumu ini orang Lim-an. sedari kecil aku
telah mempelajari kepandaian itu. Tanpa merusak, aku dapat membuka kantong
bersulam ini, dan aku dapat menjahitnya kembali seperti semula.”
Kwee Ceng percaya pada ibunya,
ia jadi girang sekali.
Li Peng lantas mengambil
jarum halus, dengan itu ia mulai membuka sulaman kantong wasiat itu.
Pekerjaannya rapi. Surat itu lantas dibeber untuk dibaca bersama. Segera keduanya
tersentak, tubuh mereka langsung terasa dingin tidak keruan.
Surat itu berisi titah
rahasia Jenghis Khan untuk Ogotai, Tuli, dan Kwee Ceng.
Begitu mereka dapat mengalahkan bangsa Kim,
mereka harus maju ke Selatan untuk secepat kilat menyerang kota Lim-an dan memusnahkan Kerajaan Song,
supaya Mongolia
dapat mempersatukan dunia. Dalam perintah rahasia itu ada tambahan: Kalau Kwee
Ceng berhasil berjasa besar, ia
mesti diangkat jadi raja muda dan dihadiahi besar-besaran; tapi kalau hatinya
berubah, Ogotai dan Tuli diperintahkan untuk segera menjatuhkan hukuman mati
padanya, ibunyapun harus ikut dihukum picis.
“Ibu,” kata Kwee Ceng
setelah diam sekian lama, “jika Ibu tadi tidak membuka kim-long ini, jiwa kita
berdua tentulah celaka. Kita adalah orang Song,
mana bisa kita menjual negara kita sendiri?”
“Sekarang bagaimana?” Li Peng
bertanya.
“Ah, Ibu, biarlah kita tanggung penderitaan
ini,” kata sang anak masygul. “Sekarang juga kita lari pulang ke Selatan.”
“Baik!” sahut ibunya. “Pergilah kau
bersiap-siap. Jagalah supaya rahasia ini jangan terbongkar.”
Kwee Ceng mengangguk. Ia
kembali ke kemahnya untuk berbenah seperlunya. Selain kuda merahnya, ia akan
membawa tiga ekor kuda lain. Bagaimanapun, setelah berdiam belasan tahun di
gurun pasir ini, ia merasa sedikit berat untuk meninggalkannya.
Sebagai kepala perang, Kwee Ceng
dapat bergerak dengan leluasa. Juga ketika itu, rombongan Lou Yu
Kiak sudah tidak ada bersamanya,
mereka sudah pulang lebih dulu ke Selatan. Semua hadiah dari Khan ia
tinggalkan. Paling akhir ia membuka seragamnya, dengan pakaian biasa, ia
kembali ke kemah ibunya.
Begitu menyingkap tenda, ia terkesiap. Ibunya
tidak ada, yang ada hanya dua bungkusan yang menggeletak di tanah.
“Ibu!” panggilnya.
Tidak ada jawaban, la khawatir dan curiga. Ketika ia hendak keluar, tenda tersingkap dari luar, lantas cahaya api
terlihat terang benderang. Chilaun dengan seribu serdadu sudah mengurung tenda itu.
“Khan Agung memanggil-menghadap!” demikian ia mendengar.
Kwee Ceng kaget dan bingung. Ia mesti segera mengambil putusan. Kalau ia mau menggunakan kekerasan, Chilaun
tidak bakal dapat merintanginya.
Tapi ibunya telah
ditawan, mana bisa ia kabur seorang diri? Akhirnya ia menyerah, membiarkan Chilaun
menggiringnya ke markas besar.
Di kemah Khan, telah
berkumpul barisan pengiring Khan yang terdiri atas dua ribu jiwa. Mereka
orang-orang Mongolia
pilihan, semua bersenjatakan tombak panjang dan menjaga rapat.
Kwee Ceng berjalan masuk
dengan langkah lebar.
Jenghis Khan terlihat bengis sekali. Ia menggebrak meja.
“Kuperlakukan kau dengan baik sekali, dari
kecil kau kurawat hingga besar, putriku juga kuserahkan padamu!” bentaknya.
“Eh, bangsat kecil, kenapa kau berani memberontak terhadapku?”
Kwee Ceng melihat kim-long
yang dibuka ibunya ada di atas meja, maka tahulah ia bahwa jiwanya sudah sukar
ditolong lagi. Ia menjadi berani. Ia mendongakkan kepalanya.
“Aku rakyat Kerajaan Song,
mana bisa aku tunduk pada titahmu?” katanya gagah. “Mana bisa aku menyerang negaraku sendiri?”
Jenghis Khan bertambah gusar melihat sikap melawan pemuda
itu.
“Seret dia keluar! Hukum mati dia!” titahnya.
Kwee Ceng tidak dapat melawan.
Ia telah dibelenggu kuat sekali dan delapan algojo mendampinginya. Tapi ia
tetap tidak takut. Ia berkata nyaring, “Kau telah berserikat dengan Kerajaan
Song untuk memukul bangsa Kim, di
tengah jalan kau mengingkari janjimu. Apakah itu perbuatan pendekar?*’
Jenghis Khan makin gusar. Ia mendepak meja.
“Sesudah Negara
Kim hancur, selesai sudah perjanjianku
dengan pihak Song!” katanya “Kalau kemudian aku menyerang Selatan, mana bisa
dibilang melanggar janji? Lekas hukum mati dia!”
Banyak panglima mengenal baik Kwee Ceng,
tetapi saat itu tidak ada yang berani buka suara. Khan
sedang marah besar.
Kwee Ceng tidak bilang apa-apa
lagi, dengan langkah lebar ia berjalan keluar.
Segera terlihat Tuli berlari mendatanginya
dari padang
rumput.
“Tahan! Tahan!” teriaknya berulang-ulang. Ia bertelanjang dada dan cuma mengenakan celana kulit. Jelas ia baru
terbangun dari tidurnya. Ia langsung memasuki kemah ayahnya dan berseru, “Ayah,
Anda Kwee Ceng
besar jasanya, dia juga pernah menolong jiwaku, biarpun berdosa, jangan hukum
mati dia!”
Jenghis Khan terpengaruh kata-kata putranya itu.
“Bawa dia kembali!” ia memberikan perintah.
Kwee Ceng lantas dibawa
kembali.
“Kau memberatkan Kerajaan Song,
apa ada untungnya?” Khan bertanya.
“Kau pernah bicara tentang Gak Hui. Dia begitu setia dan
berjasa, tapi akhirnya dia dihukum mati juga! Lebih baik kau membantuku merobohkan Kerajaan Song,
aku berjanji padamu, setelah berhasil aku akan mengangkatmu menjadi raja Song!”
“Aku bukannya berontak terhadapmu!” Kwee Ceng
menyahut. “Tapi kalau kau menghendaki aku menjual negara untuk kehidupan mewah
dan agung, biar tubuhku dicincang, tak dapat aku menerima baik permintaanmu
ini!”
“Bawa ibunya kemari!” perintah Jenghis Khan.
Lantas dua serdadu
menggiring Li Peng keluar dari kemah belakang.
“Ibu!” Kwee Ceng
memanggil, la mendekati ibunya, tapi dihalangi dua serdadu. Ia lantas bertanya
dalam hati, “Urusanku ini cuma Ibu dan aku yang tahu. Siapa yang
membocorkannya?”
Jenghis Khan tidak memberinya kesempatan untuk berpikir,
katanya, “Jika kau menerima baik kata-kataku, kalian berdua ibu dan anak akan
hidup agung dan berbahagia. Jika tidak, lebih dulu aku akan membunuh ibumu! Itu
artinya kau yang membunuh ibumu, dan kau menjadi anak put-hauw”
Kaget Kwee Ceng mendengar perkataan
Khan, terutama kata put-hauw tidak berbakti. Ia menunduk.
“Anda,” kata Tuli, “dari kecil kau tinggal di
Mongolia,
kau tak ada bedanya dari bangsa Mongolia.
Sebaliknya pembesar-pembesar Kerajaan Song
temaha sekali, mereka bersekongkol juga dengan bangsa Kim,
bahkan mereka telah membunuh ayahmu dan membikin ibumu tak punya tempat untuk
pulang.
Kalau tidak ada ayahku, dapatkah kau hidup
seperti sekarang ini? Kita sudah seperti saudara, tak dapat aku membiarkanmu
menjadi anak tak berbakti. Maka kuminta sukalah kau memikirkannya lagi
baik-baik.”
Kwee Ceng menoleh pada ibunya.
Sebenarnya ia ingin menerima baik nasihat Tuli itu,
tetapi ia segera ingat akan ajaran ibunya. Ia juga ingat dan tahu betul nasib
negara-negara di Barat yang ditaklukkan Mongolia,
akhirnya rakyat mereka hidup sengsara.
Maka ia diam terus.
Dengan matanya yang tajam, Jenghis Khan mengawasi
anak muda itu. Ia menantikan jawaban.
Seluruh kemah menjadi sangat sunyi, “Aku…”
kata Kwee Ceng. Ia telah maju selangkah, lantas
berhenti lagi, tidak melanjutkan kata-katanya.
“Khan yang Agung,” mendadak Li Peng
berkata, “aku khawatir anak ini kurang mengerti. Bagaimana kalau kucoba
membujuk dan menasihatinya?”
Jenghis Khan girang sekali.
“Bagus!” katanya. “Nasihati dia!”
Li Peng mendekati anaknya,
menarik lengan pemuda itu. lalu membawanya ke salah satu sudut kemah. Di sana
mereka berdua () duduk.
Karena sikap rajanya sudah mulai sabar,
algojo tidak menghalangi Kwee
Ceng.
Li Peng memeluk putranya.
“Dua puluh tahun lalu di Gu-kee-cun. Lim-an,
aku telah mengandungmu, Nak,” katanya pelan. “Suatu hari ketika turun hujan
salju lebat, Khu
Ci Kee,
Khu Tootiang, berkenalan dengan ayahmu. Dia
memberikan dua bilah belati, yang satu untuk ayahmu,
yang lain untuk Paman Yo….”
Sembari bicara, sang ibu
mengeluarkan belati itu dari saku anaknya. Ia menunjuk ukiran dua huruf yang berbunyi “Kwee Ceng”
pada belati itu, lalu melanjutkan, “Khu Tootiang
telah memberi nama Ceng padamu dan Kang pada anak Paman Yo.
Tahukah kau apa artinya?”
“Khu Tootiang
menghendaki aku tidak melupakan peristiwa Ceng Kong
yang memalukan,” sahut sang anak.
“Benar, Anak Paman Yo itu mengakui musuh
sebagai ayah, maka runtuhlah nama dan tubuhnya. Tentang anak itu, tak usahlah
disebut-sebut lagi. Tapi kasihan Paman Yo yang gagah itu, kehormatannya dirusak
anaknya sendiri….” la menghela napas, tapi lalu melanjutkan, “Dulu aku menahan
malu dan menderita, tapi aku tetap terus merawat dan membesarkanmu. Tahukah
kau, untuk apa perbuatanku jtu? Mustahil aku hendak memelihara pengkhianat
penjual negara hingga ayahmu di alam baka menjadi malu dan menderita!”
“Ibu!” kata Kwee Ceng,
lantas ia menangis.
Li Peng bicara dalam bahasa
Tionghoa, Jenghis Khan semua
tidak mengerti, tetapi mereka melihat air mata si anak muda, maka mereka
menduga si nyonya takut mati dan telah berhasil membujuk anaknya. Diam-diam
mereka girang.
“Ada
orang berkata, ‘Hidup manusia hanya seratus tahun, tempo itu lewat dalam
sekejap,’” Li
Peng berkata lagi. Ia memang wanita, tetapi ia wanita sejati. “Maka. apalah artinya hidup atau mati?
Selama hidup manusia, yang diharap adalah jangan melakukan sesuatu yang
membuatnya terhina! Kalau orang lain menyia-nyiakan kita, biarlah, tak usah
kita ingat kejahatannya. Ingatlah perkataanku ini!” la menatap wajah anaknya,
air mukanya sabar sekali.
Kemudian ia menambahkan, “Nak, jagalah dirimu
baik-baik…!” Perkataan ini disusul dengan bekerjanya belati itu memutuskan
dadung belenggu putranya. Setelah itu ia memutar tubuhnya untuk menikam dadanya
sendiri.
Kwee Ceng menyingkirkan dadung
belenggunya, menyambar ibunya, tetapi sudah kasip. Belati itu sudah menancap di dada ibunya, terbenam sebatas gagangnya.
Jenghis Khan melihat itu, ia kaget tidak terkira.
“Tangkap!” ia menitahkan.
Kedelapan algojo itu tidak berani melukai
huma mereka. Setelah melemparkan senjata masing-masing, barulah mereka
berlompatan menubruk Kwee
Ceng.
Kwee Ceng sangat bersedih.
Dengan hati terluka ia memeluk tubuh ibunya. Begitu melihat orang-orang itu menyerbunya,
sambil memondong ibunya, ia menyambut dengan sapuan kaki. Dua algojo tersepak.
kaki mereka patah. Salah satu algojo
disodoknya dengan sikut kirinya, tepat mengenai dada, hingga algojo itu roboh
dengan tulang iga patah juga.
Menampak begitu,
beberapa perwira terkejut, lantas maju.
Kwee Ceng melompat ke belakang
ke tenda, tangan kirinya membetot, maka separo kemah emas Jenghis Khan roboh menutupi semua
perwira. Dalam kekacauan itu, ia berlari dengan membawa kabur ibunya.
Segera terdengar bunyi
trompet riuh, para perwira berlarian ke kuda masing-masing, menaikinya, lantas
mengejar pemuda itu.
“Ibu!” panggil Kwee Ceng
sambil menangis. Ia tidak mendapat jawaban. Ketika ia memeriksa hidung ibunya,
ia tidak lagi merasakan embusan napas.
Ibunya sudah berpulang ke alam lain menyusul
arwah ayahnya. Bukan main mencelosnya hati Kwee Ceng.
Namun () ia sedang terancam bahaya.
Dalam kegelapan, ia berlari terus untuk
menyingkir dari bahaya. Kupingnya mendengar orang bergerak di empat penjuru,
matanya melihat obor menyala. Ia kabur tanpa memilih jalan lagi. Ia bingung,
dengan memondong ibunya, mana bisa ia melawan demikian banyak orang? Kalau
menunggang kuda merahnya, ia mempunyai harapan. Tetapi sekarang ia Cuma berjalan
kaki.
Pemuda ini berhenti menangis. Tanpa bersuara ia berlari terus. Ia ingin lekas-lekas tiba di gunung, di sana ia bisa menggunakan
ilmu enteng tubuhnya untuk mendaki lereng. Asalkan ia dapat merayap naik, bebaslah
ia. Di atas gunung, ia dapat diam sementara waktu. Sekonyong-konyong di
depannya muncul sepasukan serdadu yang dipimpin panglima bermuka merah dan
berkumis putih. Di bawah sinar api.
panglima itu tampak sangat berwibawa. Kwee Ceng
mengenali salah satu panglima andalan Jenghis Khan, Chilaun. Panglima itu
memegat dan membacok si pemuda. Kwee
Ceng berkelit untuk membebaskan
diri.
Setelah itu, bukannya berlari kembali, ia
justru melompat menerjang pasukan Mongolia itu. Semua serdadu kaget
hingga berseru.
Kwee Ceng menyambar seorang
serdadu berpangkat siphu-tio yang menghalang di depannya. Selagi membetot kaki
orang itu, kaki kanan Kwee
Ceng menjejak tanah untuk
melompat, maka tubuhnya mencelat naik ke punggung kuda serdadu itu.
Begitu meletakkan tubuh ibunya, Kwee Ceng
menolak, serdadu itu terguling jatuh. Sebelumnya Kwee
Ceng sempat merampas tombaknya.
Sekarang ia bergerak dengan cepat dan hebat. Ia membuka jalan, merobohkan
setiap serdadu di depan atau di sampingnya. Ia berhasil kabur, maka Chilaun dan barisannya mengejar pemuda itu.
Dengan cara ini, Kwee Ceng
tidak jadi menuju gunung, melainkan ke arah bertentangan, semakin menjauh dari
gunung. Namun ia masih berpikir akan langsung menuju Selatan atau mampir ke
gunung.
Sementara itu Borchu pun menyusul dengan barisannya.
Jenghis Khan gusar luar biasa, tetapi ia masih ingat untuk
menitahkan menangkap hidup-hidup Kwee Ceng.
Para serdadunya menyusul untuk mengurung pemuda
itu. Bahkan ada pasukan berkuda yang mendahului ke Selatan untuk mencegat.
Kwee Ceng
bertindak nekat, la berhasil menerobos pasukan Borchu. Sekarang pakaian dan
kudanya telah berlepotan darah. Ia meraba tubuh ibunya,
terasa dingin. Ia sedih bukan main, tetapi ia menguatkan hati. Dilarikannya kudanya
ke Selatan.
Ia berhasil meninggalkan semua pengejarnya
jauh di belakang, namun sementara itu hari sudah mulai terang, sang fajar telah
menyingsing. Ia masih berada di daerah musuh, bahkan di pusatnya…
Masih ada ribuan li untuk sampai di Tionggoan.
Bisakah ia seorang diri, dengan membawa-bawa jenazah
ibunya, meloloskan diri?
Tengah berlari. Kwee Ceng
melihat debu mengepul di depannya. Itu pasti pasukan berkuda. Ia memutar kudanya untuk kabur ke timur.
Mendadak kaki depan kuda itu tertekuk,
binatang itu tidak dapat bangun lagi.
Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini tidak
mau menyerah. Ia memondong tubuh ibunya, sambil mencekal keras tombaknya, la
maju untuk menyerbu pasukan itu. Tiba-tiba ia terkejut. Sebatang anak panah
menyambar, tepat mengenai ujung tombaknya.
Ia merasakan getaran akibat bentrokan itu.
Celaka untuknya, ujung tombak itu patah. Menyusul itu sebatang anak panah lain
menyambar ke dadanya. Ia melemparkan tombaknya, menangkap anak panah itu.
Ketika mengamati anak panah itu, ia melengak.
Ujung anak panah yang tajam itu tidak ada. Ia tidak bisa diam saja. Ia mendongak memandang ke depan.
Terlihat olehnya perwira yang mengepalai pasukan
berkuda di depan itu menahan barisannya. Sang perwira maju
menghampiri seorang diri. Kwee Ceng mengenali Jebe, jago panah yang menjadi
gurunya dalam ilmu memanah.
”Guru, apakah Guru hendak menangkapku?” tanya Kwee
Ceng.
“Ya,” sahut Jebe.
Kwee Ceng berpikir cepat,
“Kelihatannya aku tak bakalan bisa lolos. Daripada ditangkap orang lain, biarlah
aku menyerahkan diri pada guruku ini.” Maka ia lantas berkata, “Baiklah! Tapi
aku mau menguburkan ibuku dulu!” Ia melihat ke sekitarnya.
Di kirinya ada bukit
kecil. Ia membawa jenazah ibunya ke sana.
Dengan tombak buntungnya ia menggali tanah. Setelah berhasil
membuat liang, ia meletakkan tubuh ibunya di situ,
la tidak tega mencabut belati di dada ibunya. Ia lantas berlutut untuk paykui,
kemudian menguruk liang itu. Ia sedih bukan main
mengingat budi serta kesengsaraan ibunya, sampai-sampai tidak sanggup menangis
lagi.
.Jebe
melompat turun dari kudanya. Ia paykui empat kali di depan kuburan Li Peng,
kemudian menyerahkan kantong anak panah, busur, dan tombaknya kepada si pemuda.
Terakhir ia menyerahkan kudanya sendiri, tali lesnya dijejalkan ke tangan si
murid. Ia berkata, “Pergilah! Mungkin kita tak bakal bertemu lagi….”
Kwee Ceng
tercengang.
“Guru!” katanya.
“Dulu kau bersedia berkorban menolongku ”
kata Jebe. “Apakah kausangka aku bukan laki-laki hingga aku pun tak bisa
berkorban menolongmu?”
“Tapi, Guru, kau
melanggar titah Khan, kau bisa terancam bahaya….”
“Aku telah berperang ke
timur dan ke barat. Jasaku bukannya sedikit,” kata Jebe. “Maka kalau Khan mempersalahkanku,
paling juga aku dirangket,
kepalaku tak bakal dipenggal. Maka lekaslah
kau pergi!”
Kwee Ceng masih ragu-ragu.
“Aku khawatir pasukanku tidak menaati
perintahku, maka yang kubawa ini bekas pasukanmu yang berperang di
Barat.” Jebe menambahkan. “Tanyailah mereka, apakah mereka temaha
akan jasa dan akan menawanmu….”
Kwee Ceng
menuntun kuda menghampiri pasukan itu. Serentak semua serdadu turun dari kuda
mereka, lantas berlutut di tanah. Mereka berkata, “Kami mengantarCiangkun
pulang ke Selatan!”
Kwee Ceng
mengawasi. Mereka memang bekas pasukannya yang pernah menantang bahaya bersamanya,
maka ia menjadi sangat terharu, la berkata, “Aku bersalah pada Khan yang Agung.
Berat hukumanku. Sekarang kalian melepaskan aku, jika Khan
Agung tahu hal ini, besar risiko
yang harus kalian pikul…”
“Ciangkun baik sekali pada kami, budi itu
sebesar gunung, kami tak berani melupakannya.” Sahut semua serdadu itu.
Pemuda itu menghela
napas, lantas menjura kepada mereka. Sesudah itu dengan memegang tombak ia
melompat naik ke kudanya. Tepat saat akan melarikan kudanya, ia melihat debu
mengepul di depannya. Kembali sepasukan serdadu berkuda mendatanginya, la
terkejut, demikian juga Jebe.
“Aku
telah bersalah melepaskan Kwee
Ceng, kalau aku melawan pasukan
ini, terang aku memberontak,”
pikir Jebe. Tapi ia tidak mengubah putusannya, ia berkata pada si anak muda, “Anak
Ceng, lekas lari!”
Hampir berbareng dengan itu, terdengar
teriakan para serdadu yang baru datang, “Jangan ganggu Huma! Jangan ganggu
Huma!”
Sekarang terlihat jelas ternyata pasukan itu membawa
bendera Pangeran
Keempat, malahan seorang
penunggang kuda segera bergegas menghampiri dari antara pasukan itu. Orang itu adalah
Tuli yang sedang menunggang kuda merah Kwee Ceng,
tidak heran kalau ia datang cepat sekali.
Begitu tiba di depan Kwee Ceng,
pangeran itu melompat turun dari kudanya.
“Anda, apakah kau tak terluka?” demikian pertanyaannya
yang pertama.
“Tidak,” jawab Kwee Ceng.
“Guru Jebe
hendak menawan dan membawaku menghadap Kha Khan!”
Sengaja Kwee Ceng bicara begitu untuk
mencegah gurunya itu dicurigai.
Tuli melirik Jebe. lalu berkata pada Kwee Ceng,
“Anda, naiklah ke kuda merahmu ini dan lekaslah pergi!” Ia meletakkan bungkusan
di atas kuda merah itu dan menambahkan, “Ini uang emas seribu taill Di belakang hari kita akan bertemu lagi!”
Kwee Ceng mengerti, ia
lantas melompat naik ke kuda merahnya. Ia berkata kepada saudara angkatnya itu,
“Tolong sampaikan pada Adik
Gochin agar dia merawat diri
baik-baik! Biarlah
dia menikah dengan orang lain, jangan memikirkan diriku lagi….”
Tuli menghela napas.
“Selamanya Adik
Gochin tak mau menikah dengan orang
lain,” ia berkata. “Kurasa dia bakal pergi ke Selatan
untuk mencarimu. Kalau
itu sampai terjadi, aku nanti mengatur orang untuk mengantarkannya.”
“Jangan, jangan mencariku,” kata Kwee Ceng.
“Jangan kata di dalam negara yang luas sulit mencariku,
umpama kita akhirnya dapat bertemu, cuma akan menambah keruwetan!”
Tuli diam, Kwee Ceng
diam juga.
“Jalanlah, akan kuantar kau serintasan!” kata
si pangeran kemudian.
Kwee Ceng menurut, ia menyuruh
kudanya berjalan.
Tuli naik kuda yang lain, mereka berjalan
berendeng.
“Anda,” kata Kwee Ceng
setelah mereka berjalan sekitar tiga puluh li. “silakan kau kembali. Ada yang bilang, meski
mengantar sampai seribu li, akhirnya mesti berpisah juga.”
“Aku akan mengantarmu serintasan lagi,” kata
Tuli.
Maka berjalanlah mereka sampai sepuluh li
lebih. Di sini keduanya turun dari
kuda masing-masing untuk saling menjura, kemudian dengan sama-sama mengucurkan
air mata, mereka berpisahan. Tuli mengawasi Kwee Ceng
hingga tampak kecil sekali lalu lenyap, barulah ia memutar kudanya untuk
kembali. Ia masygul bukan main.
Kwee Ceng melarikan kudanya
selama beberap hari, akhirnya ia keluar dari daerah yang berbahaya.
Sekarang ia langsung menuju Selatan. Di sepanjang jalan, ia menyaksikan bekas-bekas
peperangan, terutama rumah-rumah rusak dan tulang-tulang berserakan.
Pemandangan yang menggiriskan. Ia sedih sekali.
Akhirnya sampai juga Kwee Ceng
di Tionggoan. Ia merasa dirinya
seperti orang asing, sebab tidak tahu mesti pergi ke mana. la tidak mempunyai
rumah dan sanak saudara. Dalam setahun, ia kehilangan ibunya.
Oey Yong, dan guru-gurunya,
la ingat Auwyang Hong dan timbul niatnya untuk membalaskan dendam Oey Yong,
tetapi begitu ingat keadaan yang menyedihkan sekali di
Khoresm, hatinya menjadi tawar, la berhasil membalaskan sakit hati
ayahnya, namun demikian banyak jiwa manusia yang melayang dalam keadaan memilukan.
la jadi sangsi, jangan-jangan balas dendam itu bukan cara
yang tepat untuknya.
“Seumur hidup aku belajar ilmu silat,
sekarang beginilah kepandaianku,” ia berpikir. “Tapi aku tak bisa membela
kekasihku dan ibuku, maka apa gunanya aku belajar silat? Tujuan hidupku adalah
jadi orang baik-baik, bagaimana sekarang? Siapa yang memperoleh kesenangan
karenanya? Ibu dan Yongji binasa gara-gara aku…. Karena aku, seumur
hidup Adik Gochin takkan senang… Ya, banyak orang
yang telah kubikin celaka….”
Ia berhenti berpikir sebentar, terus melamun
lagi.
“Wanyen Lieh
dan Raja Khoresm memang orang-orang busuk, tapi bagaimana dengan Jenghis Khan?
Dia membunuh Wanyen Lieh,
dia orang baik. Dia telah memelihara ibuku dan aku selama dua puluh tahun, tapi
dia menitahkanku untuk menyerang Pemerintah Song,
dan sekarang dia memaksakan kematian ibuku. Dengan Yo Kang aku saling mengangkat
saudara, tapi hatinya tidak lurus. Adik Liam Cu orang baik,
mengapa dia mencintai Yo Kang mati-matian? Anda Tuli baik sekali padaku,
kalau nanti dia menyerang ke Selatan, haruskah aku menghadapinya di medan perang untuk
bertempur hidup-mati? Tidak, tidak! Setiap orang punya ibu yang telah
mengandungnya selama sembilan bulan dan susah payah merawatnya hingga besar,
maka mana bisa aku membunuh anak orang hingga ibunya bakal jadi susah?” Ia
diam, berpikir lagi.
“Belajar silat adalah untuk menghajar orang, membunuh
orang…,” ia melamun lebih jauh.
“Kelihatannya hidupku selama dua puluh tahun
salah semuanya. Dengan rajin dan susah payah aku belajar silat, akhirnya cuma
untuk mencelakai orang…. Kalau tahu begini, lebih baik aku tak mengerti silat
sama sekali! Tapi kalau tak belajar silat, aku mesti mengerjakan apa?
Sebenarnya untuk apa aku hidup di dunia? Setelah beberapa puluh tahun nanti, bagaimana
lagi? Bukankah lebih baik mati siang-siang? Kalau aku hidup terus, bukankah
akan lebih banyak keruwetan? Tapi kalau aku mati siang-siang, untuk apa ibuku
melahirkan aku? Kenapa
Ibu mesti bercapek lelah merawatku
hingga besar?”
Semakin lama pikirannya menjadi semakin
ruwet.
Selama beberapa hari Kwee Ceng
merasa tidak keruan, makan tidak bernafsu, tidur pun kurang. La mondar-mandir di tegalan, memikirkan semua pertanyaannya itu.
“Ibuku dan semua guruku mengajariku supaya memegang
kepercayaan,” kemudian ia berpikir lagi.
“Sekarang timbul urusan Yongji. Aku sangat mencintainya. Tapi di sana ada putri Jenghis Khan.
Dapatkah aku menolak putri itu? Kesudahannya perjodohanku
itu menyebabkan kematian ibuku dan Yongji, dan karenanya Khan yang Agung, Tuli,
dan Adik Gochin jadi bersusah hati…. Ketujuh guruku
dari Kanglam dan Suhu
Ang adalah orang-orang gagah dan
mulia hatinya, tapi tak ada satu pun yang selamat.
Sebaliknya Auwyang Hong dan Kiu Cian
Jin jahat, kenapa mereka hidup
merdeka dan senang?
Sebenarnya di dunia ini ada hukum Thian atau tidak…?”
Suatu hari tibalah anak muda ini di sebuah
dusun di kota
Cee-Iam, Shoatang. la singgah di rumah makan, la duduk seorang diri menenggak
arak, pikirannya pepat. Ketika ia baru minum tiga cawan, mendadak seorang
laki-laki menghampirinya, sambil menuding dan mendamprat. “Hai, Tartar bangsat,
kau telah memusnahkan rumahku dan membinasakan keluargaku, sekarang aku hendak
mengadu jiwa denganmu!” Kata-kata itu disusul dengan tinjunya.
Kwee Ceng terkejut, heran.
Langsung ia menangkis sambil menangkap, ketika ia menarik pelan saja, orang itu
jatuh ngusruk. Jelas orang itu tidak mengerti ilmu silat. Kepalanya mengenai
lantai dan darahnya mengucur.
“Saudara, apakah kau salah lihat orang?”
tanyanya seraya menolong orang itu bangun, la merasa tidak enak hati tanpa
sengaja melukai. Orang itu gusar sekali.
“Tartar bangsat! Tartar bangsat!” cacinya berulang-ulang.
Dari luar rumah makan
lantas menerobos masuk belasan orang. Tanpa banyak omong mereka menyerbu Kwee Ceng.
Tentu saja anak
muda ini menjadi repot. Ia main berkelit, karena tidak mau melukai orang lain.
Tapi ia repot, sebab serangan makin seru, sedangkan ruangan sempit.
Tiba-tiba dari balik pintu terdengar suara
nyaring, “Anak
Ceng, kau bikin apa di sini?”
Kwee Ceng lantas menoleh,
untuk melihat orang yang menegurnya, la mendapati imam dengan kumis putih
panjang, romannya suci dan berwibawa. Ia mengenali Khu
Ci Kee, maka ia girang bukan main.
“Tootiang!” jawabnya. “Tak keruan orang-orang
ini mengepungku!”
Khu Ci Kee lantas masuk,
mendorong setiap orang, kemudian menarik tangan si anak muda, mengajaknya
berlalu. Mereka disusul oleh banyak orang yang gusar, tapi setibanya di luar,
setelah Kwee
Ceng memanggil kuda merahnya,
dengan cepat mereka menghilang.
Setelah mereka tinggal berdua, Kwee Ceng
mengulangi keterangan bahwa ia dikeroyok
tanpa sebab.
Khu Ci Kee tertawa. “Kau
berdandan sebagai orang Mongolia,
maka mereka salah menyangkamu,”
katanya.
Di wilayah Provinsi Shoatang
ini, orang Mongolia
telah bertempur hebatdengan orang Kim.
Penduduk Shoatang telah sangat
menderita karena bangsa Kim, maka
mereka membantu bangsa Mongol.
Siapa tahu, ternyata bangsa Mongol itu sama kejamnya
dengan bangsa Kim. Setelah bangsa Kim dikalahkan, mereka pun menindas rakyat. Maka rakyat
sangat gusar dan benci. Sudah biasa terjadi, apabila ada pasukan tentara Mongolia lewat
dan salah satu serdadu atau opsirnya tertinggal orang itu lantas dibunuh
rakyat.
“‘Kenapa kau membiarkan dirimu ditinju dan ditendangi?”
tanya Ci Kee
kemudian. “Lihat, kau jadi tak keruan, tubuhmu bengkak dan bengep….”
Kwee Ceng menghela napas.
“Aku tak berniat melayani mereka,”
sahutnya sedih.
Ia lantas menceritakan tentang ibunya yang
seperti dipaksa bunuh diri oleh Jenghis
Khan.dan bahwa selama ini pikirannya kacau.
Khu Ci Kee terkejut.
“Kalau Jenghis Khan
bemiat menyerang Kerajaan Song,
mari kita lekas berangkat ke Selatan,”
katanya.
“Pemerintah mesti diberi kisikan supaya siap
sedia menyambut musuh!”
“Apa gunanya?” tanya si
pemuda sambil menggelengkan kepala. “Kesudahannya kedua pihak bakal berperang
hingga mayat-mayat bakal bertumpuk setinggi gunung, rumah rakyat akan musnah,
dan nyawa rakyat akan lenyap….”
“Kalau Kerajaan
Song dimusnahkan bangsa Mongol, rakyat
bakal lebih menderita,” Tiang
Cun Cu.
Memberi pengertian. “Penderitaan
itu tiada taranya.”
“Tootiang,” kata si anak muda, “ada banyak
soal yang tak kumengerti, tolong Tootiang jelaskan.”
Khu Ci Kee menggandeng anak
muda itu, mengajaknya ke bawah pohon, lalu mereka duduk bersama.
“Bicaralah!” katanya.
Kwee Ceng mengutarakan
keruwetan dalam hatinya.
kemudian menghela napas dan menambahkan, “Sekarang
aku memuruskan tak berniat bentrok dengan siapa pun. Aku menyesal tak dapat
melupakan ilmu silatku. Tadi pun tanpa sengaja
aku melukai orang itu hingga berdarah….”
“Anak Ceng,
pandanganmu salah,” kata Tiang Cun Cu sambil menggeleng. “Beberapa puluh tahun
lalu ketika muncul kitab mestika Kiu Im Cin Keng,
orang-orang gagah kacau, memperebutkannya dengan saling bunuh, sampai kemudian
ada keputusan dalam rapat di Gunung Hoa San, tempat orang melakukan pertempuran
terakhir. Di sana guruku, Ong Tiong Yang, telah keluar
sebagai pemenang, berhasil mendapatkan kitab itu. Mulanya guruku juga berpikir akan
memusnahkan kitab itu, tapi kemudian mengubah niatnya. Dia ingat bahwa air
dapat membuat perahu berlayar, tapi juga
dapat mengaramkannya. Keberuntungan dan bencana tergantung pada masing-masing
orang. Maka ia mempertahankan dan menyimpan kitab itu.
Kepandaian manusia, sipil maupun militer,
tentara kuat, serta senjata tajam, semuanya bisa membuat manusia beruntung,
tapi juga bisa membikin manusia celaka. Kau tahu, asal orang berniat baik,
makin gagah dia makin baik. Karena itu, mengapa kau ingin melupakan ilmu
silatmu?”
Kwee Ceng berpikir. Ia
berkata, “Tootiang benar, tapi… sekarang kaum kangouw rata-rata menyebut Sesat Timur,
Racun Barat, RajaSelatan,
dan Pengemis Utara
sebagai orang-orang yang paling gagah. Untuk menyamai kepandaian mereka, sukar bukan
buatan. Tapi lihatlah, apa gunanya kepandaian mereka itu? Kulihat tak ada
faedahnya bagi manusia.”
Ditanya begitu, Khu Ci Kee melengak. Selang sejenak, ia berkata,
“Oey Yok Su
aneh, pasti ada sebabnya yang tak dapat dilampiaskannya. Dia sekarang berbuat
sesuka hatinya, tak pernah me-mikirkan orang lain, maka aku tak mau mengambil perbuatannya
sebagai teladan. Auwyang
Hong jahat, dia tak usah
dibicarakan lagi. Toan
Hongya baik hati, kalau tetap
menjadi raja, dia bisa berbuat
banyak untuk rakyat. Sayang karena satu
urusan kecil, hatinya jadi tawar hingga sekarang dia bersembunyi. Lain halnya
dengan Ang Cit Kong.
Dia tetap bekerja untuk orang banyak, padanya aku kagum dan takluk sekali. Akan
segera tiba saatnya pertemuan di Hoa San. Meski ada orang yang dapat melebihi
kegagahannya. aku percaya orang banyak bakal mengangkat dia jadi orang nomor
satu di Rimba Persilatan.”
Mendengar disebutnya pertemuan orang gagah di
Gunung Hoa San, Kwee
Ceng lantas ingat gurunya.
“Apakah luka guruku sudah sembuh?” tanyanya.
“Benarkah guruku bakal turut ambil bagian
dalam pertemuan di Hoa San itu?”
“Sejak aku kembali dari Barat, belum pernah aku
bertemu dengan Ketua
Ang,” sahut Ci Kee.
“Tapi aku percaya,
bagaimanapundia tentu bakal pergi ke Hoa San. Sekarang aku sedang dalam perjalanan
ke Hoa San, bagaimana kalau kau turut aku pergi ke sana untuk melihat-lihat?”
Kwee Ceng menggeleng. Hatinya
telah tawar dan kepalanya pusing kalau ingat soal pergulatan itu. Ia menjawab, “Maaf,
Tootiang, aku tak bisa turut Tootiang pergi ke sana.”
“Habis kau hendak pergi ke mana?”
“Aku tidak tahu. Aku pergi ke mana saja
kakiku melangkah….”
Imam itu sedih. Menurut
penglihatannya, pemuda itu seperti baru sembuh dari sakit berat. Ia mencoba membujuknya,
tetapi anak muda itu tetap meng-goyangkan kepala. Ia berpikir, Kwee Ceng
biasanya menuruti kata-kata Ang
Cit Kong,
ada baiknya kalau pemuda ini mau pergi ke Hoa San untuk bertemu dengan gurunya
itu. Bagaimana ia mesti membujuknya?
“Anak Ceng,”
katanya kemudian. “Kau ingin melupakan ilmu silatmu, untuk itu ada jalannya,”
katanya kemudian.
“Benarkah itu, Tootiang?”
Mendadak pemuda ini tertarik.
“Ya,” sahut Ci Kee.
“Ada seseorang
yang di luar tahunya telah meyakini ilmu yang mahir dari Kiu lm Cm Keng,
kemudian dia merasa pelajaran itu menyalahi janjinya, dia menyia-nyiakan pesan seseorang,
maka dia ingin melupakan ilmu itu.
Dia lalu mencoba
sebisa-bisanya. Kalau kau hendak mencontohnya, kau mesti mencari dia untuk
minta diajari.”
Kwee Ceng melompat bangun.
“Benar!” katanya. “Orang itu Kakak Ciu Pek
Thong!”
Mendadak muka pemuda ini memerah, la likat sendiri,
ingat bahwa Ciu Pek Thong adalah paman guru Ci Kee
dan ia memanggilnya “Kakak” saja.
Khu Ci Kee dapat menerka
penyebab jengahnya pemuda itu. la tersenyum dan berkata. “Paman Guru Ciu memang
biasanya tidak membedakan derajat, maka kau dapat memanggilnya sesukamu.”
“Sekarang dia ada di
mana?”
“Dia bakal menghadiri pertemuan di Hoa San.
Dia tentu akan pergi ke sana.”
“Baiklah, aku akan ikut Tootiang” kata Kwee Ceng
akhirnya.
Ci Kee puas, ia lantas
mengajak anak muda itu berangkat. Mereka berjalan bersama. Di dusun pertama, Kwee Ceng
membelikan si imam seekor kuda, untuk mempercepat perjalanan mereka. Tujuan mereka
adalah Barat. Suatu hari, tibalah mereka di kaki Gunung Hoa San di sebelah
selatan. Mereka lantas singgah di perhentian San-sun-teng. Di samping tempat itu tumbuh dua belas batang pohon
rotan yang dinamakan “rotan naga”, karena
batang-nya panjang dan berbentuk mirip naga.
“Hoa San merupakan gunung suci bagi kami kaum
Too Kauw,” kata Khu
Ci Kee.
“Menurut cerita, dua belas batang pohon rotan ini dulunya ditanam oleh Hi I
Sianseng Tan Pok Loocouw.”
“Tan Pok Loocouw?
Bukankah dia dewa yang tidur selama genap setahun tanpa bangun sama sekali?”
“Tan Pok Loocouw lahir di akhir zaman Tong.
Sepanjang lima pemerintahan, setiap kali men-dengar
penguasa kerajaan berganti, selalu dia tidak puas, maka dia mengunci pintu
rumahnya, terus tidur. Orang bilang dia tidur setahun suntuk tanpa mendusin.
Yang benar ialah, karena jengkel meng-ingat nasib rakyat, dia tak suka
memunculkan diri.
Yang terakhir, ketika mendengar Song
Thay-couw naik takhta, dia baru dapat tertawa lebar dan mengatakan bahwa mulai
saat itu negara bakal aman sentosa.”
“Kalau Tan
Pok Loocouw
lahir di zaman se-karang, dia pasti bakal tidur lagi berbulan-bulan dan
bertahun-tahun!” kata Kwee
Ceng.
Khu Ci Kee menghela napas.
“Bangsa Mongol menjagoi wilayah Utara,
me-reka hendak menerjang ke Selatan. Sebaliknya Raja Song dan
menteri-menterinya bangsa dogol semua, maka negara bakal kacau,” katanya. “Kita
adalah bangsa laki-laki, meski tahu kita tak bakal bisa apa-apa, kita perlu
bangun untuk melawannya.
Sebab aku pun tak setuju dengan sikap Tan Pok
Loocouw yang main mengunci pintu dan tidur saja.”
Sampai di situ mereka menghentikan
pembicara-an, menitipkan kuda di kaki gunung, lantas mereka mendaki. Mereka
melintasi Toh-hoa-peng, Hi I Ap, dan See-bong-peng. Makin tinggi jalanan makin sukar. Setibanya di
See-hian-bun, mereka naik dengan berpegangan pada rantai besi.
Bagi mereka, perjalanan memanjat itu tidak
sulit. Kira-kira tujuh li kemudian, tibalah mereka di
Ceng-peng, Tanah
Datar Hijau.
Lalu mereka menemukan batu-batu yang berdiri tajam, di sebelah utaranya ada sebuah
batu yang memegat jalan.
“Inilah batu yang diberi nama Hwee-sim-cio,”
kata Ci Kee.
Pelancong yang tiba di sini dapat balik kembali.
Hwee-sim-cio berarti Hati Berbalik
Pulang.
Maju lebih jauh adalah tempat-tempat yang
ber-nama Cian-cio-kiap dan Pek-cio-kiap, celah yang lebarnya tidak ada setengah
kaki, hingga orang mesti berjalan miring.
Kwee Ceng langsung ingat,
“Kalau ada musuhmemegat dan menyerang di sini, orang yang sangat lihai pun
sukar melawan….” Baru saja ia berpikir begitu, dari depan mereka terdengar
bentakan, “Khu
Ci Kee,
di Yan I Lauw kami telah mengampuni jiwamu, apa perlunya kau sekarang mendaki Gunung Hoa San ini?”
Khu Ci Kee mendengar
suara itu, dengan segera ia mempercepat langkahnya, hingga sampai di samping
gua. Ia
mengangkat kepala melihat ke depan.
Di sana, yang merupakan ujung jalan terakhir, terlihat
lima orang,
yaitu See Thong Thian, Pheng Lian
Houw, Lama
Leng Ti,
Nio Cu Ong,
dan Hauw Thong Hay, yang memegat jalan. Melihat mereka
itu, ia heran. Ia
menyangka akan menemui Auwyang
Hong, Kiu Cian Jin, Ciu Pek
Thong, dan Ang
Cit Kong,
tidak tahunya, di sini ada rombongan pengkhianat itu. Tentu saja ia mengerti bahaya
yang mengancamnya, sebab ia dan Kwee
Ceng di tempat yang letaknya
buruk. Begitu ter-desak, mereka berdua bakalan terjerumus ke
dalam jurang. Karena itu. ia menghunus pedangnya, lantas mendului melompat
maju. Ia
menyerang Hauw Thong Hay, bukan saja karena orang itu yang terlemah, tapi
karena ia yang jaraknya paling dekat.
Thong Hay menangkis serangan, la lantas
di-bantu Pheng
Lian Houw
dan Lama Leng Ti yang menggencet musuh dengan senjata masing-masing, poankoan-pit
dan cecer, bermaksud mendesak Khu
Ci Kee
sampai terjatuh ke jurang.
Khu Ci Kee tahu apa yang mesti
diperbuatnya.
Setelah menikam Thong Hay, ia menjejak dengan
kedua kakinya untuk melompat tinggi melewati kepala Hauw Thong Hay. Selain bebas dari gencet-an, ia pun tiba di tempat yang lega.
Senjata Leng Ti dan Lian
Houw mengenai batu, hingga lelatu bepercikan.
Selama di
Tiat Ciang Bio, See Thong Thian telah kehilangan
sebelah tangannya, namun ia tetap gagah. Menampak adik seperguruannya gagal me-megat
Khu Ci Kee. ia melompat maju guna membantu. Tapi, karena lihainya Tiang Cun Cu,
yang merampas kedudukan, ia juga bisa dilewati.
Ia lantas mengejar, disusul oleh Lian Houw.
Ci Kee tidak lari terus, ia
melawan dua musuh-nya itu, yang segera dibantu Lama Leng Ti, hingga ia jadi
dikepung tiga orang.
Selama pertempuran itu berjalan, Kwee Ceng
tidak membantu Khu
Ci Kee,
padahal sepantasnya ia turun tangan di pihak imam itu. Hatinya tawar, ia jemu dengan pertarungan. Bukan saja ia tidak sudi membantu,
melihat pun tidak. Untuk naik terus, ia mengambil jalan lain, ialah dengan
ber-pegangan pada oyot rotan. Toh ia terganggu satu pertanyaan yang berkutat
dalam hatinya, “Bantu atau jangan? Bantu atau jangan…?’1
“Bagaimana kalau Khu Tootiang
mereka binasa-kan? Bukankah itu salahku? Kalau aku membantu dan mereka mati,
perbuatanku itu benar atau sa-lah?” Pikirannya terus-menerus terganggu, sedang-kan ia tidak menunda
jalannya, hingga kupingnya tidak mendengar lagi bunyi senjata beradu. Seka-rang ia berhenti untuk menyender pada batu. Ia bengong.
Tiba-tiba ada bunyi di sampingnya, di
belakang pohon cemara. Ia segera menoleh. Ia melihat se-orang bermuka merah dan
berambut putih, yaitu Nio
Cu Ong. Orang ini tahu Kwee Ceng
lihai, ia takut,
maka ia bersembunyi. Namun Kwee
Ceng tidak peduli, ia terus
merenung, mulutnya kemak-kemik.
Nio Cu Ong heran. Ia menduga si pemuda tidak melihatnya.
“Aneh kelakuan bocah ini,” pikirnya. “Baiklah
kucoba-coba.” Ia tidak berani mendekat, ia me-mungut batu, lalu
menimpukkannya ke punggung si pemuda.
Mendengar bunyi sambaran angin, Kwee Ceng
berkelit, tapi ia masih diam saja.
Som Siam LaoKoay merasa lega. Ia menghampiri
beberapa langkah.
“Menghajar orang adalah perbuatan yang sangat
busuk, itu tidak pantas.” katanya.
“Oh. kau pun berpikir demikian?” tanya si anak muda “Sungguh aku ingin dapat melupakan
ilmu silatku….”
Mata Nio Cu Ong bersinar tajam. Kebenciannya jadi bertambah begitu ia ingat pemuda ini telah mengisap darah
ularnya. Ia
mendekati Kwee
Ceng dari belakang, tapi berkata
pelan, “Aku juga sedang berpikir untuk melupakan ilmu silatku. Bagaimana kalau
aku membantumu?”
Kwee Ceng jujur, pikirannya
sedang bimbang, ia lupa akan kelicikan orang itu.
“Baik,” jawabnya. “Bagaimana caranya?”
“Aku tahu caranya,” jawab Cu Ong,
lalu men-dadak mencekuk dua jalan darah thian-cu di leher belakang dan sin-tong
di punggung Kwee
Ceng.
Kwee Ceng terkejut, tubuhnya
langsung terasa kaku, ia tidak dapat bergerak.
Cu Ong memegang kuat-kuat,
kemudian meng-gigit leher pemuda itu untuk mengisap darahnya.
la mau ganti menyedot darah pemuda itu.
Bukankah ular yang sudah dipeliharanya susah-susah menjadi korban si pemuda?
Kwee Ceng sangat kesakitan,
sampai kedua mata-nya kabur la berontak, tapi dua jalan darahnya telah ditekan,
tenaganya habis, la melihat roman Cu Ong yang
sangat bengis dan menakutkan, la merasa se-makin sakit, sebab gigitan orang itu
keras. Bukankah ia akan binasa kalau tenggorokannya putus? Dalam kagetnya, mendadak ia berontak lagi. Kali ini ia menggunakan tipu yang
didapatnya dariKin Toan Kut Piant dan tenaganya juga terkerah pada kedua jalan
darah yang ditekan itu.
Nio Cu Ong sedang menekan
ketika ia merasa ada tenaga menolak yang keras, lantas • telapak tangannya
sakit, tekanannya pun terus meleset, seperti berada di tempat licin.
Kwee Ceng menunduk, lalu
tenaganya di ping-gang bekerja.
Begitu anak muda ini membungkuk, tubuh Cu Ong
terangkat, lalu terlempar dari punggung si anak muda. Ia menjerit ngeri, karena
tubuhnya terlempar ke arah jurang. Menyusul itu dari dalam jurang terdengar
jeritan yang lebih hebat lagi, menyayat hati, berkumandang ke segala penjuru lembah,
membuat bulu roma berdiri.
Kwee Ceng menjublek karena
kejadian itu. Ia mengusap-usap lehernya yang luka tergigit, lalu sadar bahwa
dengan ilmu silatnya ia kembali telah membunuh. Pikirnya, “Kalau aku tak
membunuh-nya, dia akan membunuhku. Kalau dengan mem-bunuhnya aku berbuat tak
pantas, lalu bagaimana dengan dia yang hendak membunuhku, perbuat-annya pantas
atau tidak?” Ia melongok ke jurang yang sangat dalam. Ia tidak melihat apa pun,
maka tak tahulah ia, di bagian mana Nio Cu Ong terjatuh….
Sambil duduk di batu, Kwee Ceng
membalut lukanya.
Selang sekian lama, mendadak terdengar bunyi seperti
langkah kaki, namun kadang-kadang ter-putus. Segera terlihat seorang aneh muncul
dari tikungan Ia terkejut tapi mengawasi. Orang itu berkelakuan aneh, berjalan
dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua tangannya diulurkan lem-peng ke
samping tubuhnya. Karena jalannya ber-lompatan, terdengar bunyi luar biasa dari
batok kepala yang membentur bebatuan gunung. Kemudi-an ia lebih heran lagi.
Setelah mengawasi, ia mendapati orang itu adalah si Racun Barat
Auwyang Hong.
Kwee Ceng baru saja diperdaya
orang. Ia men-duga Racun Barat
pun sedang pasang siasat, maka ia lantas mundur dua langkah. Ia pasang mata sambil siaga.
Auwyang Hong aneh. Ia melompat naik ke batu, tidak ambil mumet pada si anak muda. Dia berdiri
tegar dengan kepalanya seperti mayat hidup.
“Paman Auwyang,
kau sedang apa?” akhirnya Kwee
Ceng bertanya.
Si Racun Barat tetap tidak memedulikannya, ia
seperti tidak mendengar pertanyaan pemuda itu.
Kwee Ceng mundur lagi beberapa
langkah supaya berdiri agak jauh. Ia memasang tangan kiri
di dadanya, sebab
khawatir jago dari Barat itu menyerangnya mendadak.
Tetapi Auwyang Hong tetap berdiri dengan
cara aneh itu, dan Kwee Ceng
terus memperhatikan.
Selang sesaat, karena penasaran dan ingin
tahu, Kwee Ceng mengawasi muka orang tua itu sambil membungkuk
dan menempelkan kepalanya ke tanah. Ia melihat lewat selangkangannya dengan mementangkan
kedua kakinya. Baru sekarang ia melihat dengan tegas.
Kepala Auwyang Hong bermandikan peluh, mukanya
meringis.
Kwee Ceng menduga orang itu
tentu sedang melatih suatu ilmu. Ia pun lantas melihat Racun Barat
mementang kedua tangannya, tubuhnya di-tekuk sedikit hingga mirip keong besar.
Tangannya digerakkan,makin lama makin cepat Ilmu itu aneh, pantas Auwyang Hong
berlatih di tempat sepi. Kalau keliru cara
mempelajarinya, barangkali ilmu ini bakal membuat orang itu sesat dan
membahayakan keselamatan dirinya sendiri.
Namun aneh, kenapa yang dipilihnya justru
Gunung Hoa San ini, tempat pertemuan itu? Bukankah di sini bakal segera
berkumpul banyak orang? Kenapa ia seperti tidak
menjaga diri? Tidakkah
dalam keadaan seperti ini Racun Barat gampang di-bokong? Mungkin orang yang
tidak mengerti ilmu silat pun dapat dengan gampang merobohkannya….
Tiba-tiba pemuda ini ingat sakit hatinya.
Meng-apa ia tidak mau menuntut balas? Bukankah ini kesempatan baiknya? Namun karena baru saja membinasakan Nio Cu Ong, ia jadi sangsi. Ia tidak
lantas turun tangan.
Auwyang Hong tetap tidak
memedulikan si anak muda. Setelah berlatih sekian lama, kembali ter-dengar
bunyi nyaring kepalanya. Ia kembali ke tempat
dari mana tadi ia muncul.
Bukan main herannya Kwee Ceng.
Ia menjadi ingin tahu, maka diam-diam ia melangkah
mengikuti.
Auwyang Hong berjalan dengan
kepala tetapi tidak kalah cepat dari orang yang berjalan biasa dengan kaki.
Yang lebih heran lagi. ia juga dapat mendaki gunung, makin lama makin tinggi.
Kwee Ceng mengikuti terus sampai
di depan gua.
Di situ ia berhenti,
bersembunyi di balik batu besar.
Tepat di depan gua itu Auwyang Hong
berhenti.
Mendadak ia berkata bengis,
“Haphouvvbun-poat-eng sengji-kit-kin, si-kouw-ji! Tidak, tak tepat penjelasanmu
ini! Tak sempurna aku melatihnya.”
Kwee Ceng terkejut. Itu bunyi
kitab Kht Im Cin Keng palsu yang ditulisnya selama di atas perahu di tengah
laut ketika ia dipaksa si Racun
Barat.
Dengan siapa si Bisa Bangkotan
sedang bicara?
Lantas dari dalam gua
terdengar jawaban seorang wanita.
“Latihanmu belum sempurna, pasti kau tak
mem-peroleh hasil,” demikian suara nona itu. “Kapan aku salah membacakannya?”
Kwee Ceng terkejut berbareng
girang, ia hampir berteriak. Itu suara Oey Yong,
yang dipikirkannya siang-malam! Jadi. mungkinkah nona itu tak binasa di gurun
pasir? Apakah ia tengah bermimpi? Atau, apakah ia salah
mendengar atau salah mengenali?
“Aku berlatih menurut penjelasanmu, tak
mung-kin salah!” kata Auwyang
Hong. “Sekarang aku merasakan otot
jim-wi dan yang-wi-ku tak tersalur dengan betul.”
“Aku sudah bilang, latihannya masih kurang,”
si nona pun berkeras. “Kalau kaupaksakan.
Percuma saja.”
Sekarang Kwee Ceng mendengar jelas
sekali.
Tidak salah, itulah Oey Yong,
Yongji-nya. Saking girangnya, tubuhnya terhuyung, hampir ia pingsan.
Ia menguatkan hati, maka luka di lehernya
pecah hingga berdarah, merembesi balutannya. Tapi ia seperti tidak
merasakannya.
Auwyang Hong terdengar berkata
lagi, suaranya menyatakan ia gusar sekali.
“Besok tengah hari tepat adalah saat
pertemuan itu berlangsung, mana dapat aku berlatih ayal-ayalan!” katanya
bengis. “Lekas terjemahkan se-luruh isi kitab itu, jangan coba-coba main gila!”
Sekarang Kwee Ceng mengerti betul bahwa
orang itu sedang mempelajari Kiu
Im Ciri
Keng. Ia akan memakai ilmu itu
untuk mengadu kepandaian dalam pertemuan, supaya menjadi orang kosen nomor
satu.
Pantas Racun Barat gelisah.
Dari dalam terdengar tawa Oey Yong.
“Kau telah berjanji pada Kakak Ceng-ku,
dia sudah mengampuni jiwamu sampai tiga kali,” kata si nona. “Karena itu, kau
tak dapat memaksaku, kau mesti menyerah, menanti sampai hatiku senang untuk
mengajarimu….”
Kwee Ceng senang mendengar
gadis itu me-nyebutnya Kakak
Ceng-ku. Ia nyaris tidak dapat mengendalikan
diri lagi, hampir ia melompat sambil berseru dan berlari menghampiri si nona manis.
Auwyang Hong tertawa dingin.
“Temponya sudah mendesak, meskipun ada, janji
itu sekarang mesti ditangguhkan!” katanya sengit.
Lantas ia menggerakkan
tubuhnya, dalam sekejap ia telah berdiri dengan kakinya. Terus ia melangkah
lebar-lebar ke gua itu.
“Tak tahu malu!” seru Oey Yong.
“Tidak, aku tak mau mengajarimu!”
Auwyang Hong kembali
memperdengarkan tawa dinginnya lagi hingga beberapa kali.
“Aku mau lihat, kau mengajariku atau tidak!”
katanya, kali ini perlahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar