Jumat, 02 November 2012

Sia Tiauw Enghiong 74





Bab 74. Ilmu Perangnya Gak Hui
Habis memuji, Kwee ceng masih menjura empat kali kepada kuburannya Yo Kang dan Bok Liam cu itu, baru ia keluar dari kuil, untuk mulai dengan perkataannya mencari Oey Yong. Di sepanjang jalan, di mana saja, ia menanya-nanya orang tentang nona itu dengan ia menunjuki petaan roman dan potongan tubuhnya si nona serta Auwyang Hong. Inilah pekerjaan sukar untuknya. Setengah tahun lamanya ia merantau. Ia telah minta keterangannya pihak Kay Pang dan coan cin Kauw dan orang-orang yang ia kenal, ia tetap tidak memperoleh hasil. Ia bertabiat keras, ia tidak mau menyerah kalah, terus ia mencari. Selama itu pernah ia pergi ke Pakhia, dan dua kali ia mendatangi kota Pianliang, di sana pun ia tidak mendengar kabar halnya Wanyen Lieh.
Pada suatu hari pemuda ini tiba di propinsi Shoatang, kebetulan ia berada di dalam satu daerah yang kosong, sebab di sepanjang jalan itu, dari sepuluh rumah, sembilan yang ditinggalkan pergi penghuninya. Dijalan besar banyak orang yang lagi berangkat mengungsi. Katanya tentara Mongolia dan Kim telah berperang, pihak Kim kalah dan tentaranya kabur buyar, sembari kabur mereka itu main merampok dan memperkosa.
Tiga hari sudah Kwee ceng berjalan - ia menuju ke Utara -ia mendapat kenyataan daerah semakin kosong dan keadaannya semakin menyedihkan. Dengan begini ia menjadi semakin menyedihkan. Dengan begini ia menjadi menginsyafi bahaya perang itu yang sangat merusak. terutama sangat mengganggu rakyat negeri.
Dihari ketiga anak muda kita tiba di sebuah dusun di dalam lembah, di situ ia hendak singgah untuk mencari nasi dan air untuk kudanya, mendadak ia mendengar suara berisik dari kuda dan manusia, ketika ia menoleh ke arah dari mana suara itu datang, ia melihat tibanya beberapa serdadu Kim. Yang berjalan di muka ada seorang punggawa di ujung tombak siapa ada tertusuk mayatnya seorang bayi, punggawa itu sendiri tertawa terbahak-bahak sedang barisannya memulai membakar dusun, yang penduduknya mereka usir keluar dari rumahnya, untuk diikat dan dibunuh mati, tak perduli tua dan muda, cuma wanita yang muda yang mereka belenggu untuk dibawa pergi.
Menyaksikan keganasannya orang itu, Kwee Ceng menjadi naik darah. Ia mengajukan kudanya menghampirkan punggawa itu. Paling dulu ia merampas tombak orang, habis itu tangan kirinya menyusul melayang. Punggawa itu tidak menyangka sama sekali, selagi ia kaget, tangannya si anak muda sudah tiba kepada sasarannya, maka itu sebelum ia berdaya, ia roboh seketika, biji matanya sampai lompat ke luar, jiwanya terbang melayang.
semua serdadu Kim menjadi kaget dan gusar, dengan serempak mereka berseru-seru dan maju untuk mengepung si anak muda.
Kuda merah tidak takut, dikendalikan majikannya. dia membawa tubuh majikannya ke mana majikan itu bergerak. Kwee Ceng pun gusar sekali, kecuali tombak di tangan kanannya itu, ia merampas sebatang golok besar, maka dengan kedua tangannya dengan ilmu silat pengajarannya Ciu Pek Thong - ia melabrak tentara Kim itu. Ia menikam dan membacok dengan hebat.
setelah melihat banyak kawannya yang roboh, serdadu Kim itu menjadi kuncup nyalinya. Mereka memang telah kehilangan pemimpin mereka. Maka dengan berteriak-teriak. mereka melarikan diri ke luar dusun.
sementara itu dari sebelah depan terlihat munculnya satu pasukan dari seratus lebih serdadu Mongolia, di depannya tertampak satu benderanya yang besar. Melihat begitu, tentara Kim itu, yang jeri kepada tentara Mongolia, lantas lari balik, dengan terpaksa mereka menyerang pula Kwee Ceng, guna membuka jalan kabur.
Anak muda itu sangat membenci tentara Kim ini, ia lantas lari ke mulut lembah, di sana ia menghadang. Dengan cepat ia berhasil merobohkan belasan serdadupenunggang kuda, yang lari mendahului kawan-kawannya. Robohnya mereka itu membikin kawan-kawan mereka menjadi serba salah, mundur tidak bisa, maju tidak dapat.
Barisan Mongolia heran ada orang membantu pihaknya, dengan begitu mereka berhasil menumpas sisa tentara Kim itu. Mereka jadi ingin juga mengetahui siapa itu pembantu yang merintangi jalan molosnya musuh. selagi pekhu-thio, yang mengepalainya mau maju untuk mencari keterangan, tiba-tiba seorang siphu-thio berseru^ “Kim Too Huma” dan terus dia berlutut di tanah untuk memberi hormatnya.
Kapan pekhu-thio itu mengetahui orang adalah menantu dari junjungan mereka, ia pun lompat turun dari kudanya, guna memberikan hormatnya, setelah mana ia memberi perintah untuk seorang serdadunya lekas memberi kabar kepada kepala perangnya.
Kwee Ceng tidak berdiam saja. Ia lantas menitahkan tentara Mongolia itu memadamkan api yang dilepaskan tentara Kim tadi untuk membakar dusun itu Karena ini penduduk yang dapat tertolong itu pada datang menghaturkan terima kasih mereka.
Baru saja penduduk itu lega hatinya atau segera mereka dibikin kaget pula dan ketakutan. Mereka telah mendapatkan datangnya lagi satu pasukan besar sebagaimana suara kuda dan tentara itu membikin berisik luar dusun. Dengan muka pucat mereka saling mengawasi.
Itu waktu lantas terlihat seorang penunggang kuda kabur ke dalam dusun, kudanya besar dan gagah. Dialah seorang panglima muda, yang lantas berseru: “Anda Kwee Ceng di mana?”
Kapan Kwee Ceng telah melihat panglima muda itu, ia girang sekali. “Anda Tuli” ia berseru.
Maka keduanya lantas lari saling menghampirkan, terus mereka saling rangkul.
Kedua burung rajawali mengenali Tuli, putranya jenghis Khan, keduanya terbang menghampirkan, untuk mengulas- ulas panglima muda itu.
Tuli menitahkan seorang Cian-hu-thio mengejar terus tentara Kim, di lain pihak ia memerintahkan mendirikan tenda di mana bersama Kwee Ceng ia duduk berkumpul, untuk mereka bicara panjang lebar hal-hal semenjak mereka berpisahan.
Tuli menceritakan urusan ketentaraan di utara, maka itu Kwee Ceng jadi mendapat tahu selama satu tahun lebih Jenghiz Khan telah tak hentinya berperang ke timur dan barat, hingga dia dapat merampas banyak daerah, hingga keempat putranya yaitu Juji Jagatai, ogotai dan Tuli ini, telah membangun banyak jasa, demikian juga empat panglimanya yang kenamaan, Mukhali, Borehu, Boroul dan chilaun. Dan sekarang ini Tuli bersama Mukhali lagi memimpin angkatan perangnya menyerang negara Kim, dipropinsi shoa tang ini, beberapa kali tentara Kim itu telah kena dilabrak hingga kacau balau, hingga angkatan perangnya dipusatkan di kota Tongkwan di mana mereka mengunci pintu, tidak berani mereka melayani perang .
Baru beberapa hari berkumpul sama Tuli itu, lantas ada diterima perintah dari Jenghiz Khan di gurun utara. semua putra dan panglima dipanggil berkumpul di sana.
Tuli dan Mukhali tidak berani menyangkal panggilan itu, setelah menyerahkan tentaranya kepada wakilnya, mereka lantas berangkat.
Kwee Ceng ingat kepada ibunya, ia turut bersama. Dengan begitu ia jadi dapat terus menemani Tuli.
Pada suatu hari tibalah mereka di tepi sungai onon, di sana memandang ke tegalan yang luas sekali terlihatlah tenda-tenda tentara yang sangat banyak jumlahnya, sedang suara meringkiknya kuda-kuda perang berisik sekali. ujung-ujung tombak yang tajam bergemerlapan di antara cahaya matahari. Di antara puluhan ribu tenda itu ada sebuah yang besar luar biasa yang warnanya kuning, ujung tenda teratas terbuat dari pada emas. Di depan tenda besar itu dipancar sebuah bendera besar, bendera yang menjadi tanda kebesaran dari junjungan bangsa Mongolia. Dari situlah keluar titah Jenghiz Khan memanggil berkumpul semua putra dan kepala perangnya.
Berdiri di atas sebuah tumpukan pasir tinggi, Kwee Ceng memandang ke seluruh perkemahan itu Ia merasakan keang kerannya angkatan parang Mongolia, ia berdiam saja.
Tapi tak usah lama ia berdiam, dari arah markas kelihatan datangnya satu barisan berkuda yang kecil, yang menyambut Tuli dan Mukhali, maka dilain saat ia sudah mengikuti pangeran dan panglima itu menuju ke tenda besar tadi. setibanya mereka di dalam, pemuda ini terperanjat. Ternyata lain-lain kepala perang sudah berkumpul di situ.
Jenghiz Khan girang melihat tiga orang itu. Tuli bersama Mukhali segera memberikan laporannya, sedang Kwee Ceng memberi hormatnya sambil berlutut, kemudian ia menambahkan. “Kha Khan menitahkan aku memotong batang lehernya Wanyen Lieh, untuk mengambil kepalanya, akan tetapi beberapa kali sudah aku menemui dia, saban-saban dia dapat meloloskan diri, dari itu aku mohon Kha Khan memberikan hukumanmu kepadaku”
Jenghiz Khan tertawa. Ia berkata: “Kalau burung elang sudah menjadi besar, pada suatu hari pastilah dia akan dapat menerkam si rase, maka itu kenapa aku mesti menghukum padamu?”
segera setelah itu, kepala bangsa Mongolia ini memulai dengan rapatnya untuk mengatur tindakan menyerang besar-besaran kepada negara Kim. Kebanyakan panglima mengusulkan kerja sama dengan pemerintah song guna menggencet kota Tongkwan. “Baiklah, begini kita mengambil keputusan,”jenghis Khan menyatakan setuju. Maka utusan segera dikirim ke selatan, kepada kerajaan song.
sampai sore baru rapat dibubarkan, Kwee Ceng keluar dari markas dalam cuaca remang-remang ia hendak mencari tenda ibunya. Tiba-tiba ia merasakan dua tangan yang halus menutupi matanya dan hidungnya dapat mencium bau yang harum. Ia melengak sejenak, lantas ia memanggil: “Adik GochinBaki” Ia pun memutar tubuhnya.
Putriny ajenghiz Khan berdiri dengan wajah manis. Sekarang ia nampak terlebih jangkung, romannya agung. “Adik” Kwee Ceng memanggil pula. Putri kegirangan hingga ia menjadi terharu sendirinya. “Ah, benar-benar kau kembali” katanya.
Menyaksikan kepolosan nona itu, hati Kwee Ceng tergerak. sampai tak tahu ia mesti mengucapkan apa. Keduanya berdiri diam, mata mereka saling mengawasi.
“Pergi kau menemui ibumu,” katanya. “Kau pulang dengan masih hidup, maka kau terkalah, siapa yang terlebih girang, aku atau ibumu”
“Pastilah ibu akan girang luar biasa,” menyahut Kwee Ceng.
“Apakah aku pun tidak sangat bergirang?” tanya si nona.
Nona ini menunjuki kepolosannya bangsa Mongolia, yang selalu mengucapkan apa yang dia pikir. Mendengar itu, Kwee Ceng kembali merasa terharu.
Lantas keduanya, sambil berpegang tangan, pergi ke tendanya Lie Peng, maka tak usahlah dituturkan lagi bagaimana kegirangannya ibu dan anak itu Lewat beberapa hari Jenghiz Khan panggil Kwee Ceng menghadap dan mengatakannya^ “Tentang semua perbuatanmu, aku telah mendengarnya dari Tuli. Kau dapat memegang kepercayaanmu, anak aku girang sekali. Kau tunggu lagi beberapa hari, nanti aku nikahkan kau dengan putriku.”
Kwee Ceng kaget. segera ia ingat oey Yong. pikirnya: “sampai sekarang ini masih belum ketahuan Yong-jie masih hidup atau sudah mati, mana bisa aku membelakangi dia menikah lain orang?” Ia ingin menampik tetapi melihat roman angker dari Jenghiz Khan, ia
gagal membuka mulutnya.
Jenghiz Khan ketahui pemuda itu jujur, ia menyangka orang berdiam saking girangnya, maka dia lantas memberikan hadiahnya berupa uang emas seratus kati, kerbau lima ratus ekor dan kambing dua ratus ekor. Dia memerintahkan untuk si anak muda menyiapkan sendiri segala keperluan nikahnya itu.
GochinBaki adalah putri tunggal dan ia sangat disayang ayahnya, sedang itu waktu berkat pelbagai kemenanganJenghiz Khan, pelbagai suku bangsa Mongolia merasa senang, maka juga, berhubung sama pernikahan si putri, yang telah lantas diumumkan, dari sana sini segera datang pemberian selamat berikut rupa-rupa hadiah, barang permata tak terkecuali, hingga semua itu mesti ditempati dalam beberapa puluh tenda.
GochinBaki girang bukan kepalang, akan tetapi Kwee Ceng sebaliknya murung, apapula hari pernikahan mendatangi semakin dekat.
Lie Peng dapat melihat kedukaan dan kebingungan putranya itu, pada suatu malam ia menanyakan sebabnya.
Kwee Ceng berlaku terus-terang dengan menutur hal pergaulannya sama oey Yong.
Mengetahui hal putranya ini, nyonya Kwee berdiam. “Ibu, anakmu menghadapi kesukaran ini, bagaimana baiknya?” Kwee Ceng tanya.
“Budinya Khan sangat besar mana itu dapat disiasiakan?” kata sang ibu. “Hanya Yong-jie, ini anak. walaupun aku belum pernah melihatnya, mestinya dia manis sekali”
“Ibu, kalau umpama ayah menemui urusan begini, apakah akan dibuatnya?” Kwee Ceng tanya pula.
Inilah pertanyaan luar biasa. Lie Peng melengak. Kemudian ia tunduk, akan memikirkan siIat suaminya, yang ia kenal baik sekali.
“Ayahmu lebih suka menderita daripada dia menyia-nyiakan lain orang,” jawab ibu ini akhirnya.
Kwee Ceng berbangkit, ia kata dengan gagah: “Anak belum pernah bertemu sama ayah akan tetapi anak akan mencontoh siIatnya Jikalau Yong-jie selamat, anak akan memenuhkan janji dan akan nikah putri CochinBaki, apabila atas diri Yong-jie terjadi sesuatu, anak tidak akan menikah seumur hidup,”
“Memang begitu mestinya,” pikir sang ibu. “Tidak boleh keluarga Kwee dibikin putus turunannya olehmu. Tapi anak ini kukuh seperti ayahnya, tidak ada gunanya” Maka ia tanya: “Habis bagaimana kau hendak bicara sama Khan?”
“Aku akan bicara terus-terang,” sahut sang anak.
Lie Peng adalah ibu bijaksana, ia bersedia mengiringi kehendak anaknya itu.
“Baik,” katanya. “Di sini kita tidak bisa tinggal lebih lama pula, nah, pergi kau bicara sama Khan. Besok pagi kita berangkat ke selatan.” Kwee Ceng mengangguk.
Ibu dan anak ini lantas berbenah membuntal bungkusannya. Mereka Cuma membekal pakaian seperlunya dan sejumlah uang, yang lainnya, yang menjadi hadiahnya Jenghiz Khan, mereka membiarkan saja.
“sekarang aku hendak pamitan dari putri GochinBaki,” kata Kwee Ceng selesainya mereka.
Lie Peng bersangsi.
“Mana dapat itu diberitahukan dia,” katanya. “Baik kau pergi dengan diam-diam saja supaya dia tidak bersusah hati”
“Tidak. ibu, aku mesti bicara sama dianya,” kata Kwee Ceng pasti. Dan ia bertindak pergi.
Putri GochinBaki berdiam bersama ibunya di dalam sebuah kemah. selama beberapa hari ia gembira sekali, ia repot menyiapkan segala apa untuk pernikahannya, maka ia heran waktu mendengar Kwee Ceng di luar kemah memanggil padanya. Ia pun likat ketika ia berkata “Ibu”
sang ibu tertawa dan kata: “Lagi beberapa hari kamu bakal menikah, satu hari tidak bertemu pun tidak dapat Baiklah, kau pergilah menemui dia” Gochin bersenyum, lantas ia pergi keluar. “Engko Ceng” katanya perlahan.
“Adik, aku ingin bicara sama kau,” berkata Kwee Ceng, yang lantas mengajak si nona bertindak ke arah barat, terpisah jauh dari perkemahan. Di sana mereka duduk di atas rumput.
Gochin menyenderkan tubuhnya di tubuh si anak muda.
“Engko Ceng, aku juga ingin bicara denganmu,” katanya perlahan.
Kwee Ceng terperanjat.
“Oh, kau pun telah mengetahuinya?” katanya. Ia lantas pikir: “Dia sudah mendapat tahu, inilah terlebih baik pula, jadi aku tidak usah bicara banyak”
“Tahu apa?” kata si putri, ia heran. “Aku hanya hendak memberitahukan kau bahwa aku bukan anak dari Kha Khan”
“Apa kau bilang?” tanya Kwee Ceng, heran.
Gochin mengangkat kepalanya memandangi si Putri Malam yang baru mulai muncul.
“Kalau nanti aku sudah menikah sama kau,” berkata si putri perlahan, “Aku akan melupakan diriku bahwa akulah anaknya Jenghiz Khan, aku melainkan ketahui aku ialah istrinya Kwee Ceng, maka apabila kau hendak memukul aku atau memaki aku, kau boleh memukul dan memakinya, jangan nanti karena kau pikir karena ayahku Khan yang agung, kau nanti merasa terhina.” Kwee Ceng terharu sekali.
“Adikku, kau sangat baik,” katanya, “Maka sayang sekali, aku tidak setimpal dijodohkan dengan kau”
” Kenapa tidak setimpal?” Gochin tanya. “Di kolong langit ini kaulah orang yang paling baik, kecuali ayah, tidak ada yang dapat menimpali kau. Keempat kakakku itu, mereka tidak ada separuh mu”
Kwee Ceng berdiam, tidak dapat ia membuka mulutnya, untuk memberitahukan bahwa besok, kapan sang pagi datang, ia bakal meninggalkan Mongolia.
“Di dalam beberapa hari ini, aku girang sekali,” Gochin berkata pula. ” Ketika itu hari aku mendengar kabar kau mati, aku ingin lantas turut mati juga, syukur sekali Tuli telah merampas golok dari tanganku. Tidak demikian, mana sekarang aku bisa menikah denganmu? Engko Ceng, jikalau aku tidak dapat menikah sama kau, benar-benar aku tidak suka hidup lagi.” Kwee Ceng berdiam.
“Kalau Yong-jie, tidak bisa ia bicara begini padaku,” pikirnya. “Dua-dua mereka, mereka baik sekali terhadapku” Ingat oey Yong, ia menghela napas.
“Eh, mengapa kau menarik napas?” Gochin heran.
“Tidak apa-apa” menyahut si anak muda bersangsi.
“Ah, kau tentu ingat kakakku yang nomor satu dan nomor dua,” kata si putri. “Mereka memang tidak menyukai kau. Tapi di sana ada kakakku yang nomor tiga dan nomor empat, mereka baik sekali kepadamu. Baik kau jangan berduka, di d-pan ayah aku telah mengatakan bahwa kakak yang nomor satu dan nomor dua itu tidak baik, yang baik ialah kakak nomor tiga dan nomor empat.”
Kwee Ceng heran. ” Kenapa begitu?” ia tanya. Gochin agaknya senang.
“Aku telah mendengar ibu berkata bahwa sekarang ini usia ayah sudah lanjut dan ayah lagi memikir untuk mengangkat putra mahkota. Coba kau terka, siapakah yang bakal terpilih?”
“Pastilah kakakmu yang paling tua Juji,” menyahut Kwee Ceng. “Dia berusia paling tua dan jasanya pun besar.” Putri itu menggeleng kepala ia tertawa.
“Kau menerka keliru,” bilangnya. “Menurut aku, menduga kakak yang nomor tiga, atau kakak yang nomor empat.”
Juji, putra sulung dari Jenghiz Khan, pintar dan pandai bekerja danputra yang nomor dua Jagatai, gagah dan pandai berperang. ogotai, putra nomor tiga, gemar minum dan berburu, hatinya lapang dan jujur. Dia menginsyafinya, yang bakal menggantikan ayahnya tentulah Juji atau Jagatai, bahwa ia tidak mempunyai pengharapan, dari itu ia tidak turut itu kedua saling bersaing mengejar kedudukan Khan yang maha agung itu, karena ini, beberapa saudaranya, juga adiknya yang perempuan, baik sekali dengannya. Maka itu Kwee Ceng menyangsikan hanya dengan kata-katanya Gochin  Jenghiz Khan akan menukar putra mahkota pilihannya itu. Kesangsian ini ia utarakan pada putri itu.
“Aku juga tidak tahu pasti, aku menduga saja,” kata Gochin, ” Hanya andaikata benar salah satu kakakku yang nomor satu atau yang nomor dua yang menjadi Khan, kaujangan khawatir, jikalau mereka berani mengganggumu, akan aku mengadu jiwa dengan mereka itu”
GochinBaki berani berkata begitu, sebab ia sangat disayangi ayahnya hingga keempat saudaranya sudah mengalah terhadapnya. Kwee Ceng tahu putri ini bakal lakukan apa yang dikatakan itu, ia bersenyum.
“Tak usahlah kau sampai berbuat demikian,” katanya.
“Itulah yang diharap. umpama kata saudaraku itu memperlakukan kita berdua tidakselayaknya,. kita berangkat saja ke selatan”
“Aku justru hendak membilangi kau aku hendak pulang ke selatan” kata Kwee Ceng, membarengi ketikanya ini.
Gochin heran hingga ia melengak.
“Aku khawatir ayah dan ibuku tidak akan memberi ijin” katanya. “Tapi aku akan pergi seorang diri”
“Ah, aku selalu mendengar perkataanmu,” kata putri itu. “Kau membilang hendak pulang ke selatan, aku akan turut kau, jikalau ayah dan ibuku tidak mengijinkannya, kita pergi secara diam-diam”
Kwee Ceng tidak dapat menahan sabar lagi. Ia berlompat bangun. “Aku berdua ibuku yang akan pulang ke selatan” katanya.
Kembali GochinBaki heran, hingga dia duduk menjublak, matanya mengawasi si pemuda, yang pun memandang kepadanya. Dia masih belum mengerti maksud orang.
“Adikku, maafkan aku, aku menyesal yang aku tidak dapat menikah denganmu,” kata Kwee Ceng sesaat kemudian.
“Apakah aku telah melakukan sesuatu kesalahan?” tanya si putri. “Apakah kau menyesal yang aku telah tidak membunuh diri? Benarkah itu?”
“Bukan, bukannya kau bersalah” kata Kwee Ceng. “Akupun tidak tahu siapa yang salah, hanya setelah aku pikir-pikir, yang salah itu ialah aku. Duduknya begini”
Pemuda ini lantas menuturkan hal persahabatannya sama oey Yong. Ketika ia menceritakan sampai di bagian oey Yong itu ditawan Auwyang Hong dan ia telah mencarinya setengah tahun lebih dengan sia-sia, Gochin menepas air mata karena ia turut merasa kasihan atas nasibnya nona yang dianggap bernasib malang itu.
“Maka itu, adikku kau lupakanlah aku,” kata Kwee Ceng. “Aku pasti hendak mencari dia.”
“setelah kau berhasil mencari dia, kau akan dating menjenguk aku atau tidak?”
menanya si nona bangsawan.
“Jikalau dia selamat, aku pasti akan kembali ke Utara ini,” Kwee Ceng menyahuti, “Itu waktu,jikalau kau tidak menyia-nyiakan aku dan tetap masih menginginkannya, aku akan menikah denganmu, tidak nanti aku menyesal.”
“Jangan kau membilang begitu,” berkata si putri. “Kau tahu sendiri, aku ini untuk selama-lamanya ingin menikah sama kau. Nah, kau pergilah mencari dia Kau cari dia, sepuluh tahun, dua puluh tahun, asal aku masih hidup, aku akan menantikan kau di padang rumput ini.”
Kwee Ceng terharu bukan main.
“Ya, sepuluh tahun, dua puluh tahun, akan aku cari dia,” ia bilang. “sepuluh tahun, atau dua puluh tahun, aku pun akan selalu mengingat yang kau di sini, di padang rumput, lagi menantikan aku.”
Gochin berlompat bangun, ia menyesapkan diri di dadanya si anak muda, ia menangis tersedu sedan. Kwee Ceng memeluk perlahan lahan, matanya pun merah.
Justru itu waktu, empat penunggang kuda lari mendatangi dari arah barat dan lewat di dekat sepasang muda-mudi ini, mereka itu langsung menuju ke kemah dari Jenghiz Khan. Ketika terpisah lagi beberapa puluh tombak dari kemah, kuda yang satu roboh terguling, tidak dapat dia bangun pula. Itulah tanda latihannya yang sangat. Penunggang kudanya telah berlompat bangun, terus dia kabur ke dalam kemah.
Hanya sejenak saja, maka dari dalam kemah lari keluar sepuluh serdadu, mereka berdiri di empat penjuru kemah itu, untuk memperdengarkan suara terompetnya.
Itulah terompet tanda panggilan kilat untuk sekalian perwira. Kalau terompet itu dibunyikan, tidak perduli pangeran atau panglima yang tersayang, apabila Khan yang agung menghitung dengan tekukan sepuluh jarinya tetapi ada yang belum datang memenuhi panggilan, maka dia bakal segera dihukum potong kepala tanpa ampun lagi.
Kwee ceng ketahui itu.
“Kha Khan menghimpunkan panglima perang” katanya. Tanpa banyak bicara lagi, ia meninggalkan GochinBaki untuk kabur pulang. Ia menggunai ilmunya ringan tubuh. Dari segala penjuru, ia mendengar derapnya kaki kuda. Ketika ia tiba di dalam kemah Jenghiz Khan justru baru menekuk jeriji tangannya yang ke lima. Tempo delapan jari tangan telah tertekuk. maka kumpullah semua putra dan panglimanya.
Jenghiz Khan sudah lantas berkata nyaring: “Adakah raja anjing itu mempunyai putra-putra yang begini gesit? Adakah dia mempunyai panglima-panglima perang yang begini gagah?”
“Tidak” menyahut sekalian pangeran dan panglima berbareng. Jenghiz Khan menepuk dada.
“Kamu lihat” katanya pula. Dia menunjuk. “Inilah perutusanku yang dikirim ke Khoresm *) Apakah yang itu raja anjing Muhammad telah perbuat atas budak- budakku yang setia?”
semua orang berpaling ke arah yang ditunjuk junjungan mereka. Di situ ada beberapa orang Mongolia dengan muka bengkak dan matang biru dan kumisnya terbakar bersih.
Kumislah tanda keagungan dari seorang pahlawan Mongolia. Kalau kumis terbentur saja sudah satu penghinaan, sekarang terbakar habis. Maka semua panglima itu menjadi sangat gusar hingga mereka berseru-seru.
*) KHORESM atau KHIVA,
Dahulunya suatu negara dibawah pemerintahan seorang Khan, dan sekarang menjadi salah satu propinsi daripada negara bagian USBEKISTAN di UNI SOVIET. “Khoresmia itu suatu negara besar di sebelah Barat kita,” berkata pulaJenghiz Khan.
“oleh karena kita memusatkan perhatian kita dalam penyerangan kepada anjing Kim, terhadapnya kita suka mengalah .Juji, anakku, kau bilang, bagaimana sikapnya itu anjing Muhammad terhadap kita?”
Juji maju satu tindak. ia menyahuti dengan nyaring: “Tahun dulu itu ayah menitahkan anakmu menyerang bangsa Mergid yang harus mampus itu, anak pulang dengan kemenangan. Ketika itu Muhammad telah mengirim satu pasukan perangnya menggencet bangsa Mergid itu. Karenanya kedua pasukan telah bertemu satu dengan lain. Anak lantas mengirim utusan untuk mengadakan perhubungan baik dengan membilang ayah suka bersahabat dengan Khoresm.
Lantas Muhammad bilang: “MeskipunJenghiz Khan tidak menitahkan kamu menyerang aku akan tetapi Tuhan memerintahkan aku menghajar kamu.” Kita jadi bertempur dan kita menang, hanya pada waktu tengah malam, lantaran jumlah musuh lebih besar sepuluh lipat, diam-diam aku mengundurkan diri”
“Walaupun demikian, Kha Khan masih tetap berlaku baik terhadapnya,” berkata Boroul. “Tempo kita mengirim kafilah perdagangan kita, semua barang kita dirampas Muhammad dan semua saudagarnya dibunuh mati sekarang mengirim utusan untuk mengikat persahabatan, Muhammad telah mendengar ojokannya Wanyen Lieh si pangeran anjing dari negara Kim, dia membunuh utusan kita yang gagah dan menyerang pengiring-pengiringnya utusan itu, separuh pengiring dibinasakan dan separuhnya lagi dibakar kumisnya lalu diusir pulang”
Mendengar disebutnya nama Wanyen Lieh, Kwee Ceng campur bicara. “Apakah Wanyen Lieh ada di Khoresm?” ia tanya.
“Anjing Kim itu berserikat sama Khoresm,” berkata Jenghiz Khan, “Mereka hendak menggencet kita Apakah kita takut?”
“Khan kita yang agung tak ada tandingannya di kolong langit ini” berseru para panglima. “Kha Khan, kau titahkan kita pergi menyerang Khoresm, nanti kita menggempur kota-kotanya, kita membakar rumah- rumahnya, kita membunuh habis rakyatnya laki-laki dan perempuan, kita rampas hewan mereka”
“Muhammad mesti dibekuk Wanyen Lieh mesti dibekuk” Jenghiz Khan menambahkan.
“Ya” berseru para hadirin hingga api lilin di dalam kemah jadi berkelak- kelik, Jenghiz Khan menghunus golok di pinggangnya, ia membacok ke depannya, lantas ia lari ke luar kemah, lompat naik atas kudanya, atas mana semua panglima turut berlari-lari keluar, naik juga atas kuda mereka, lari mengikuti.
Jenghiz Khan melarikan kudanya beberapa lie, lalu dia naik atas sebuah bukit kecil.
semua orang tahu junjungan itu hendak mengasah pikiran seorang diri, mereka tidak turut naik, mereka hanya lantas mengitari, mengurung bukit kecil itu. Jenghiz Khan melihat Kwee Ceng berada tak jauh di sampingnya.
Kwee Ceng mengeprak kuda merahnya, unluk menghampirkan. Jenghiz Khan memandang ke tanah datar di mana tampak cahaya api bagaikan bintang di pelbagai tenda tentaranya. Ia lantas mengayun cambuknya.
“Anak.” katanya, “Dulu hari tempo kita dikurung sangum dan Jamukha di atas bukit, pernah aku omong sama kau. Apakah kau masih ingat kata-kata itu?”
“Aku masih ingat,” menjawab si anak muda. ” Ketika itu kau membilangi, kita bangsa Mongolia mempunyai banyak orang gagah, asal kita tidak lagi saling membunuh, hanya kita berserikat menjadi satu, maka kita bangsa Mongolia akan membuatnya seluruh dunia menjadi lapangan penggembalaan ternak kita.” Jenghiz Khan menjeterkan cambuknya di udara.
 “Benar” katanya. “sekarang bangsa Mongolia telah bersatu padu, mari kita pergi membekuk Wanyen Lieh”
Kwee Ceng telah berkeputusan untuk besok pulang ke selatan, tetapi sekarang ia menghadapi urusan besar ini, terpaksa ia mesti mengubah keputusannya itu. Wanyen Lieh musuh besarnya, tidak dapat ia melepaskannya. Maka ia menjawab raja Mongolia itu, “Kali ini kita pasti akan membekuk Wanyen Lieh”
Jenghiz Khan berkata pula: “Khoresm ia terkenal sebagai negara dengan sejuta serdadu pilihan, akan tetapi menurutku, jumlahnya yang tepat kira-kira enam - atau tujuh puluh laksa jiwa. Kita di sini sebaliknya cuma mempunyai dua puluh laksa jiwa, dari sini, beberapa laksa serdadu diperlukan menghajar anjing Kim, dari itu dengan limabelas laksa serdadu melawan tujuhpuluh laksa jiwa, kau bilang, apakah pasti kita bakal menang?”
Kwee Ceng belum kenal urusan perang tetapi ia muda dan nyalinya besar, ia tidak pernah jeri akan kesukaran, maka mendengar pertanyaan itu, ia kata dengan gagah:
“Pasti menang”
“Ya, pasti menang” berkata Jenghiz Khan. “Baru-baru ini aku telah mengatakan kepada kau bahwa aku akan perlakukan kau sebagai anakku sendiri, mengenai ini hendak aku membilangi kau, kata-katanya Temujin tidak pernah dilupakan sekarang kau  turut aku berperang ke Barat, setelah membekuk Muhammad dan Wanyen Lieh, sepulangnya barulah kau menikah dengan putriku”
Inilah apa yang Kwee Ceng harap maka ia mengiakan. Jenghiz Khan melarikan kuda turun dari bukit. ” Kumpulkan tentara” ia menitah. segera pasukan pengiringnya membunyikan terompet.
Jenghiz Khan melarikan terus kudanya ke kemahnya. selama itu di sepanjang jalan terlihat tubuh orang bergerak-gerak bagaikan bayangan dan banyak kuda berlari-larian akan tetapi suatu orang tidak terdengar sama sekali, suatu tanda dari tata tertib yang sempurna. Ketika ia tiba di muka kemah, maka tiga laksa serdadunya sudah berbaris rapi di padang rumput, golok panjang mereka berkilauan di antara cahaya rembulan.
setibanya di dalam kemah Jenghiz.Khan memanggil penulisnya, untuk menitahkan dia menulis surat pernyataan perang. Penulis itu tidak menanya jelas lagi, ia menggelar kertas kulit kambing di atas tanah, sambil berlutut, ia mulai menulis. Mulanya ia memuji junjungannya, lalu dia mengancam musuh untuk membayar upeti.
“He, kepada siapa kau menulis surat?” bentak Jenghiz Khan dengan murka, penulisnya itu ia tendang terbalik. “Menulis sama raja anjing kenapa demikian rewel?” Ia mencambuk kepala orang seraya berkata keras- “Kau dengar Apa yang aku bilang, kau catat”
Penulis itu ketakutan, ia merayap bangun, akan mengambil kertas pula dan siap. Ia berlutut seraya mengawasi mulut junjungannya.
Jenghiz Khan menyingkap tendanya, ia memandang ke luar, kepada tiga laksa serdadunya. Ia berpikir. Tapi lekas juga, ia bilang: “Kau menulis begini, cuma enam huruf” Ia berhenti sebentar, lantas dia mengatakan, keras: “Jikalau kau mau berperang, lekaslah berperang”
Penulis itu heran, tetapi ia menulis. Ia menulis huruf-huruf yang besar “Berikan cap keb es a ranku Lekas kirim”Jenghiz Khan memerintah pula.
Mukhali maju, akan mencapi surat itu dengan Cap emas, dan seorang opsir pangkat cianhu-thio diperintah menyampaikan permakluman perang itu kepada musuh.
semua panglima menanti sampai derap kuda si utusan dan pengiringnya sudah terdengar jauh, dengan serentak mereka berseru: “Jikalau kau mau berperang, lekaslah berperang” seruan ini disambut oleh tiga laksa serdadu dengan teriakan perangnya.
seperti biasanya, teriakan perang ini segera diikuti oleh pekiknya kuda perang. Maka sejenak itu, seluruh tanah datar jadi seperti menggetar.
sesudah semua itu Jenghiz Khan menitahkan semua panglima dan tentaranyamengundurkan diri, lalu seorang diri ia duduk di kursi emasnya, untuk berpikir. Kursi itu ada kursi rampasan di waktu dia menyerang Chungtu, ibu kota negara Kim. Bagian belakang kursi berukiran naga melingkar merampas mutiara, sedang di kedua tangan-tangannya ada ukiran masing-masing seekor harimau galak. Karena itulah kursi takhta raja Kim. Ia memikirkan masa mudanya yang penuh dengan penderitaan, ia memikirkan ibunya, istrinya, empat putra-putrinya, lalu juga pelbagai kemenangannya, hingga negaranya menjadi besar dan luas, sedang sekarang ia bakal menghadapi musuh tangguh.
Usia Khan ini sudah lanjut akan tetapi kupingnya masih terang sekali. Ia mendengar suara seekor kuda yang datang dari kejauhan, beberapa kali binatang itu mengasih dengar suara sedih, lantas berhenti. Ia tahu apa artinya itu. Ialah kuda itu mendapat sakit yang tidak dapat diobati lagi, lalu majikannya, yang tidak tega mengawasi, penderitaannya, membunuhnya. Tiba-tiba ia ingat, “Aku sudah tua, sekarang aku bakal pergi perang. Dapatkah aku bakal pergi perang. Dapatkah aku kembali dengan masih hidup? Jikalau aku mati mendadak di medan perang, lalu keempat putraku memperebuti takhta, kedudukan Khan yang agung, tidakkah itu kacau? Dapatkah aku tak mati untuk selama-lamanya? ”
Ingat kematian, hatinya pendekar Mongolia ini bercekat.
“Aku mendengar di selatan ada orang yang dinamakan tosu, yang katanya dapat mengajari orang menjadi dewa, hidup seumurnya tanpa menjadi tua, benarkah itu?”
demikian ia berpikir. Ia lantas menepuk tangan, memanggil seorang pahlawannya.
Pahlawan itu dititahkan lekas memanggil Kwee Ceng.
Pemuda itu muncul dalam tempo yang cepat. Ia lantas ditanyai mengenai halnya si tosu atau imam.
“Tentang hidup panjang umur hingga menjadi dewa, anak tidak ketahui benar atau bohongnya,” Kwee Ceng memberi keterangan, yang benar ialah halnya ilmu bersemedhi, untuk menyalurkan napas dengan sempurna, guna menambah umur.”
Jenghiz Khan girang mendengar keterangan itu.
“Kenalkah kau orang semacam itu?” ia tanya. “Lekas kau cari seorang saja untuk dia datang menghadap aku”
“Imam semacam itu, apabila dia dipanggil dengan cara sembarangan, pasti dia tidak bakal datang,” Kwee Ceng beritahu.
“Kau benar. Nanti aku mengutus satu pembesar berpangkat tinggi mengundang dia datang ke Utara sini. coba bilang, siapa yang aku mesti undang?”
Kwee Ceng lantas memikirkan kaum Coan cin Pay, di antara siapa Tiang cun cu Khu Cie Kie adalah yang paling mahir ilmu silatnya dan siIatnya pun sudi gawe, maka mungkin dia itu dapat diundang. Maka ia lantas memujikan imam itu.
Jenghiz Khan girang, ia lantas memerintahkan penulisnya datang menghadap, untuk dititah menulis surat undangan itu.
Baru saja penulis ini mendapat bagian, hatinya jadi kecil, maka setelah berpikir, ia menulis ringkas, cuma enam huruf, bunyinya: “Kami mempunyai urusan, lekaslah kau datang.” Membaca itu, Jenghiz Khan gusar.
“Terhadap raja anjing aku bicara begitu rupa, apakah terhadap orang cerdik pandai mesti begitu juga?” bentaknya. “Kau tahu, kau mesti menulis panjang lebar dan hormat”
Penulis itu bingung tetapi ia menurut. Ia lantas mengarang suratnya itu, yang panjang
dan lemah lembut bunyinya, junjungannya diangkat, Khu Cie Kie dipuji tinggi. “
Cukupkah ini?” ia menanya rajanya. Jenghiz Khan tertawa.
“Ya, begini cukup, katanya. “Kau lantas rapikan, nanti aku mengutus Lauw Tiong Lok, itu pembesar tinggi berbangsa Tionghoa, yang pergi membawanya, untuk mengundang dia, pasti dia akan datang.” Penulis itu merampungkan suratnya.
Jenghiz Khan pun menyuruh Kwee Ceng menulis surat kepada Khu Cie Kie, untuk memberitahukan undangannya itu serta Kwee Ceng sendiri meminta si imam suka datang ke Utara. Habis itu, Lauw Tiong Lok lantas diutus.
Besoknya jenghiz Khan mengadakan kurultai, rapat besar untuk membicarakan lebih jauh soal menyerang ke Barat, di antaranya Kwee Ceng diangkat menjadi “Noyon”,
suatu pangkat paling tinggi, yang biasa tidak dianugerahkannya kecuali kepada pangeran, keluarga raja terdekat atau panglima perang, setelah mana, anak muda itu ditugaskan memimpin selaksa serdadu untuk turut berperang.
Kwee Ceng telah maju pesat ilmu silatnya tetapi dalam ilmu perang ialah seorang asing, berhubung dengan ini kedudukannya yang baru, yang ia tidak dapat tampik, ia lantas pergi kepada Jebe subotai untuk meminta pengajaran. Karena ia bebal, tidak gampang-gampang ia lantas mengerti, dari itu untuk beberapa hari, ia masgul sekali.
Tidakkah tugasnya berat? Bagaimana kalau di harian keberangkatan perang, titahnya tidak sempurna? Bagaimana kalau ia gagal? Tidakkah pasukannya bakal termusnah dan kehormatannya jenghiz Khan runtuh? Ia bingung hingga ia berniat menghadap junjungannya untuk menampik tugas itu.Justru ia mau mengambil putusan akan penampikannya itu, tiba-tiba serdadu pengawalnya masuk dengan warta bahwa ada seribu lebih orang Han yang datang dan lagi menantikan di luar kemah untuk minta bertemu padanya. Ia menjadi girang sekali.
“Ah, begini cepat Kiu Totiang datang?” pikirnya. Dengan cepat ia pergi ke luar.
setibanya di muka tangsi, ia melengak. Di sana ia menampak serombongan orang dengan dandanan sebagai pengemis. Ia heran bukan main.
Dari dalam rombongan tukang minta-minta itu lantas muncul tiga orang, untuk  menghampirkan si anak muda, guna menunjuki hormatnya, guna memperkenalkan diri Ternyatalah mereka ada ketiga tianglo dari Kay Pang, yaitu Lou Yoe Kiak, Kan dan Tio Tiang lo.
“Tahukah kamu tentang nona oey Yong?” ia tanya. Mengingat Kay Pang, ia lantas ingat nona kekasihnya itu.
” Kami telah mencarinya ke mana-mana, belum pernah kami mendengar kabar tentang Pang cu kami itu,” berkata Lou Yoe Kiak. “Baru saja kami mendengar kabar koanjin mau pergi berperang ke Barat, kami datang untuk menyerahkan diri kami.”
Pemuda ini heran sekali.
“Cara bagaimana kamu mendapat tahunya?” ia tanya pula.
“Khan yang agung telah mengirim utusan mengundang Khu Cie Kie Totiang, kita mendengarnya dari orang coan cin pay,” Yoe Kiak menyahut.
Kwee Ceng menjublak mendongak ke arah Selatan di mana ada gumpalan-gumpalan mega putih, hatinya berpikiri Kay Pang tersebar di seluruh negara, toh mereka tidak ketahui tentang Yong-jie, kalau begitu, dia lebih banyak terancam bahaya daripada menghadapi keselamatan” Maka tanpa merasa, kedua matanya menjadi merah. Tapi ia menerima kawanan pengemis itu, ia memerintahkan orangnya untuk memerinahkan mereka itu, ia sendiri terus menghadap Jenghiz Khan guna melaporkannya.
“Baik,”Jenghiz Khan menerima baik. “Kau masukilah mereka di dalam pasukan pwrangmu” sekalian menghadap junjungan itu, Kwee Ceng mengutarakan niatnya mengundurkan diri
Jenghiz Khan gusar, ia berkata dengan nyaring: “siapakah yang dilahirkan lantas dapat berperang? Tidak bisa, bukan? Maka itu, berperanglah, setelah beberapa kali, kau tentu lantas bisa”
Pemuda ini tidak berani banyak omong lagi, ia mengundurkan diri, akan balik ke kemahnya. Ia bingung dan berduka.
Melihat sikapnya anak muda itu, Yoe Kiak heran, ia menanya apa sebabnya. si anak muda menuturkannya. ” Itulah tidak apa,” Yoe Kiak menghiburkan.
sorenya, Yoe Kiak masuk ke dalam kemah, ia kata pada pemuda itu: ” Kalau tahu begini, ketika berangkat dari selatan tentulah aku membawa kitab ilmu perang dari sun Bu Cu atau kitabnya Kiang Thay Kong, dengan begitu, bereslah semua.” Mendengar ini, mendadak Kwee Ceng ingat kitab peninggalan Gak Hui. “Ah, mengapa aku melupakannya?” pikirnya. “Bukankah itu kitab ilmu perang?”
Ia lantas mengeluarkan kitabnya Gak Hui itu, lantas ia membaca. Dan ia membaca terus-terusan hingga malam itu ia lupa tidur dan lupa dahar. Paginya ia masih melanjuti membaca. sampai tengah hari barulah ia letih dan kantuk.
Kitabnya Gak Hui itu lengkap memuat segala apa mengenai pengaturan tentara dan berperang, umpama siasat menyerang dan membela diri, mendidik tentara, mengendalikan kepala-kepala perang, maka itu, si anak muda menjadi ketarik, Ketika itu hari ia membacanya di dalam perahu, perhatiannya kurang, sekarang lain. Tapi adabagian-bagiannya yang kurang jelas, maka ia mengundang Yoe Kiak dan minta tiang lo itu tolong menjelaskan.
“sekarang ini aku juga kurang mengerti,” berkata si pengemis. “Nanti aku pikirkan dulu, sebentar aku mencoba menjelaskannya.”
Dan ia mengundurkan diri Tidak lama ia kembali lagi, lalu ia menjelaskannya, dengan sempurna.
Bukan main girangnya Kwee Ceng, maka saban-saban ia minta bantuannya tiang lo itu. sebaliknya Yoe Kiak aneh. setiap kali ia ditanyakan, tidak dapat ia menjawab seketika juga, mesti ia berlalu dulu, untuk memikirkan dan memahamkannya, katanya setelah ia balik lagi, sebera ia bisa mengasih keterangan dengan baik sekali. Mulanya Kwee Ceng tidak memperhatikan itu, sesudah lewat beberapa hari, ia menjadi heran dan curiga. Maka ia ingin mencoba. Demikian itu malam, ia undang Yoe Kiak. La menanyakan satu huruf. “Nanti aku pikirkan,” berkata sitianglo yang lantas mengundurkan diri
” Kalau satu soal, pantas itu dipikirkan,” pikir Kwee Ceng seberlalunya si pengemis, “Akan tetapi ini hanya satu huruf, mustahil itu tidak dapat segera diartikannya?”
Maka ini kepala perang mudah lantas menyusul dengan diam-diam pada pengemis itu, untuk mencari tahu apa yang orang perbuat.
Loe Yoe Kiak bertindak cepat ke arah sebuah kemah kecil. Tidak lama ia berdiam di
dalam kemah itu, lantas ia kembali. Kwee Ceng lekas kembali ke kemahnya. Yoe Kiak menyusul dengan cepat.
“Sekarang aku telah mengerti,” kata si pengemis, yang terus menjelaskannya. Kwee Ceng lantas tertawa.
“Lou Tiang lo” katanya, “Kalau kau mempunyai guru, mengapa kau tidak mengundang dia untuk bertemu sama aku?” Pengemis itu melengak.
“Tidak” sangkalnya. Kwee Ceng menggenggam tangan orang.
“Mari kita pergi melihat” katanya. Dan ia berjalan sambil menuntun, untuk pergi ke kemah kecil tadi.
Di depan kemah itu ada menjaga dua orang pengemis, kapan mereka itu melihat Kwee Ceng datang, keduanya berbatuk satu kali. Mendengar itu, si anak muda melepaskan tangannya Yoe Kiak, ia lompat ke tenda untuk menyingkap. Ia melihat tenda bagian belakang bergerak, seperti bekas orang keluar dari situ. Ia memburu terus.
Tiba di belakang tenda, ia menampak rumput tebal, tidak ada orang di situ. Ia heran hingga ia berdiri dia saja. Kemudian ia menanyakan Yoe Kiak. Tianglo ini mengasih tahu bahwa kemah
itu kemahnya sendiri, tidak ada lain orang tinggal bersama dengannya. Ia heran dan masgul, ia tetap bercuriga.
setelah itu, kalau Kwee Ceng menanyakan sesuatu kepada Yoe Kiak. pengemis ini baru dapat menjawab di hari besoknya. Karena ini ia percaya benar, di sana mesti ada seorang lain, hanya orang tidak sudi menemui padanya. sebab orang tidak bermaksud jahat, selanjutnya ia tidak memaksa ingin mengetahui orang itu, ia membiarkannya saja.
selama belum berangkat perang, Kwee Ceng bekerja. Malam ia membaca kitab dan memahamkannya, mengingatnya baik-baik, siang ia melatih tentaranya, melatih berbaris dan berperang juga. Tentara Mongolia itu biasa berperang di tempat terbuka dengan menuruti caranya sendiri, sekarang mereka terlatih, tugas itu berat, tetapi mereka mesti menurut perintah, mereka terpaksa melakukannya.
satu bulan lebih Jenghiz Khan bersiap sedia terutama di bagian rangsum, selama itu Kwee Ceng telah berhasil melatih tentaranya itu hingga pasukannya mengerti apa yang dinamakan delapan barisan Thian-hok Tee-cay, Hong- yang, In-sui, Liong- hui, Houw-ek. Niauw-siang dan coa-poan, yang berdasarkan barisan rahasianya Cu-kat Liang, hanya di tangan Gak Hui, barisan itu diubah pula.
Kemudian datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Lima belas laksa serdadu berkumpul di tanah datar selagi udara bersih dan nyaman. Di situ Jenghiz Khan mengadakan sembahyang kepada langit dan bumi, untuk bersumpah untuk keberangkatannya pergi berperang. Kepada semua panglima perangnya ia kata: “Batu itu tidak ada kulitnya, jiwa  manusia ada habisnya, lihat sekarang rambut kepala dan kumisku sudah putih semua, maka itu, dengan kepergian perang ini, belum tentu aku dapat pulang dengan masih hidup, karenanya ini hari hendak aku mengangkat seorang putra mahkota, supaya semeninggalnya aku, dia dapat menggantikan aku mengangkat benderaku yang agung ini”
Mendengar kata-kata itu, yang tidak disangka, orang heran berbareng girang. Heran sebab itulah luar biasa, dan girang karena memang Khan itu perlu memilih ahli warisnya. semua mata lantas diawasi kepada pemimpin mereka itu, untuk mendengar disebutkannya nama calon penggantinya .
“Juji, kaulah putra sulungku,” berkata Jenghiz Khan, “Kau bilang, aku harus memilih siapa?”
Juji kaget di dalam hatinya. Dia pandai bekerja, dia paling banyak jasanya, dia pula putra sulung, maka dia percaya kalau nanti ayahnya menutup mata, dengan sendirinya dia bakal menggantikannya ayah itu. sekarang dia ditanya secara mendadak. Tidak dapat dia segera memberikan jawabannya.
Putra yang kedua dari Jenghiz Khan,jagatai, bertabiat keras, dengan kakaknya itu ia memang tidak akur, maka itu mendengar pertanyaan ayahnya itu dan melihat si kakak menjublak, dia kata dengan keras- “Juji hendak disuruh berbicara, dia hendak diperintah apakah? Apakah dapat kami dibiarkan diperintah oleh anak campuran bangsa Mergid?”
Ada sebabnya kenapa Jagatai mengatakan demikian. pada mulanya, pasukannya Jenghiz Khan lemah, itu waktu istrinya kena dirampas bangsa Mergid yang menjadi musuhnya, tempo istri itu kembali, ia sedang hamil, kemudian terlahirlah Juji. Meski demikian adanya si putra sulung Jenghis Khan menerimanya dengan baik, dia memandang si putra sebagai putra sejati. Maka hebatlah sikapnya Jagatai ini.
Bukan main gusarnya Juji kepada adiknya itu, ia berlompat dan menjambak dadanya si adik, Ia membentako “Ayah sendiri tidak memandang aku sebagai orang luar, kenapa kau begitu menghina aku? Kepandaian apa kau mempunyai yang dapat melebihkan aku? Kau cuma menang jumawa Marilah kita bertanding Jikalau dalam hal mengadu panah aku kalah dari kau, aku akan mengutungi jari jempolku Jikalau kita bertempur dan aku terkalahkan, akan aku rebah di tanah untuk selama-lamanya dan tidak akanbangunpula” Ia lantas berpaling kepada jenghiz Khan dan berkata. “Ayah silahkan ayah mengeluarkan firman mu” Jagatai tidak suka dijambak. dia melawan maka dua saudara itu sudah lantas berkutat.
Beberapa panglima segera maju untuk memisahkan. Borehu menarik tangan Juji dan Mukhali menarik tangannya Jagatai.
Jenghiz Khan berdiam, air mukanya muram. Ia ingat masa mudanya itu di waktu mana sekalipun kehormatan istrinya tidak sanggup membelanya, hingga sekarang terjadilah percederaan yang hebat ini.
Banyak panglima mempersalahkan Jagatai, yang dikatakan tidak seharusnya berbuat demikian hingga dia menyebabkan orang tuanya menjadi berduka.
Diakhirnya Jenghiz Khan berkata juga “Kamu berdua meletaki tangan kamu Juji putraku yang sulung, aku memang mencintai dan menghargai dia, maka itu mulai hari ini dan selanjutnya, aku larang siapa juga bicara tentang dia”
Jagatai melepaskan tangannya, ia tertawa dan berkata: “Juji memang gagah, siapa pun mengetahuinya. Hanya dia kalah dari adik ketiga ogotai dalam hal kemurahan hati, maka itu aku memilih ogotai”
“Juji, kau bagaimana?”Jenghiz Khan tanya putra sulungnya.
Juji dapat melihat suasana, ia tidak mempunyai harapan lagi, karena ia baik dengan ogotai dan mengetahui baik hati murah dari adik ini, dan ia percaya juga di belakang hari sang adik tidak bakal mencelakai padanya, ia menjawab “Baiklah Aku juga memilih ogotai”
Putra keempat, Tuli, tidak menentang pemilihan itu, maka itu Jenghiz Khan lantas mengadakan pesta, guna mengangkat dan meresmikan keangkatan putra mahkota itu.
Perjamuan berjalan sampai jauh malam, baru bubar.
Kwee Ceng pulang ke kemahnya dengan rada pusing, disaat ia hendak membuka baju, untuk tidur, satu serdadu pengiringnya lari masuk ke dalam kemahnya itu dan melaporkan: “Huma, hebat Pangeran sulung dan pangeran kedua, yang telah minum hingga mabuk. telah membawa pergi masing-masing senjatanya untuk bertempur satu pada lain”
Pemuda itu kaget bukan main. “Lekas laporkan kepada Kha Khan” ia memerintahkan.
“Kha Khan juga sudah mabuk dia telah dipanggil-panggil tetapi tidak dapat mendusin”
Kwee Ceng menjadi bingung. Hebat kalau dua saudara itu bertempur, sedangmereka mempunyai masing-masing pengikut dan tentaranya. Pula hebat akibatnya untuk angkatan perang Mongolia seumumnya. Ia berjalan mondar-mandir. Ia mengoceh seorang diri “Kalau Yong-jie ada di sini, dla dapat mengajari aku apa yang aku mesti lakukan”
sementara itu terdengar suara riuh, tanda dua pasukan hendak mulai bertempur.
Mendengar itu, pemuda itu menjadi semakin bingung. Tiba-tiba saja Lou Yoe Kiak datang masuk dan menyodorkan sehelai kertas di atas mana ada ini tulisan: “pakailah barisan Coa-poan untuk memisahkan kedua pasukan, lalu menggunai barisan Houw-ek untuk mengurung dan menawan yang tidak sudi menyerah.”
selama ini Kwee Ceng telah membaca hapal bunyinya kitab Gak Hui, maka itu begitu melihat surat itu, ia sadar. Ia menyesalkan dirinya: “Kenapa aku begini tolol hingga aku tidak dapat mengingat ini? Perlu apa aku membaca kitab ilmu perang?” segera ia menitahkan pasukan parangnya bersiap.
Tentara Mongolia telah terlatih baik, tata tertibnya sempurna, biar banyak yang sudah mabuk. begitu titah dikeluarkan, begitu mereka bersiap hingga sebentar saja. Mereka sudah berbaris rapi. Kwee Ceng lantas memimpin mereka memburu ke timur laut, sampai beberapa lie. Di sana ia menerima laporan, kedua pihak pasukannya Juji dan Jagatai sudah berhadapan dan pertempurannya mungkin telah dimulai. Ia pun lantas mendengar teriakan riuh dari tentara kedua pangeran itu
“jangan-jangan aku terlambat” pikirnya bingung sekali. “jangan-jangan bencana besar tak dapat dicegah pula” Tapi ia masih ingat untuk memberikan titah- titahnya, mengatur barisannya, Coa-poan-tin, atau barisan ular, yang ia titahkan terlebih jauh untuk menghalang di antara pasukan-pasukan kedua saudara yang lagi menuruti nafsu amarahnya itu.
Dua-dua juji dan Jagatai menjadi heran atas datangnya pasukan sama tengah itu, hingga mereka melengak.
“Siapa? siapa di sana?”Jagatai berteriak-teriak dengan pertanyaannya. “Kau hendak membantui aku atau Juji si anak haram?”
Kwee Ceng tidak menjawab, ia bekerja terus. Ia menggubah barisan ularnya, Coa-poan-tin, menjadi barisan sayap Harimau, Houw-ekstin, guna seluruhnya datang sama tengah, untuk mempengaruhi pasukannya kedua saudara itu. Jagatai segera mendapat lihat benderanya Kwee Ceng, ia menjadi gusar.
“Memang aku tahu bangsat bangsa Lam-ban bukan manusia baik-baik” serunya. Ia lantas menitahkan tentaranya menerjang pasukan si anak muda.
Barisan sayap Harimau sementara itu sudah bekerja. Itulah barisan yang dijaman dahulu digunakan Han sin menghajar Han Ie. Barisan itu terdiri dari pelbagai barisan kecil dan barisan-barisan kecil inilah yang bertindak sebat sekali.
Jagatai telah mengerahkan dua laksa serdadunya tetapi sekarang dua laksa serdadu itu kena dipisahkan satu dari lain. Memangnya tentara itu tidak berkelahi sungguh melawan pasukannya Juji, ke satu merekalah orang sendiri, kedua mereka takut kepada jenghiz Khan, dan sekarang, yang memisahkan mereka bangsa sendiri juga.
Kwee Ceng lantas berteriak-teriak: “Kita semua ada saudara-saudara bangsa Mongolia, tidak dapat kita saling membunuh diri Lekas kamu meletaki golok dan panah kamu, supaya Khan yang agung tidak nanti menghukum potong kepala kamu”
Berpengaruh suaranya anak muda ini, tentaranya Jagatai lantas saja lompat turun dari masing-masing kudanya dan meletaki senjata mereka.
Jagatai panas bukan main, dengan memimpin seribu lebih pengiringnya, ia merangsak kepada si anak muda, untuk menyerang.
Di antara pasukannya Kwee Ceng lantas terdengar tiga kali suara tambur, lantas ada delapan barisan kecilnya yang bergerak dari delapan penjuru, mereka itu bukannya menyambut penyerangan hanya memapakinya dengan tambang-tambang kalakan, maka hampir serentak, seribu lebih serdadunya Jagatai itu roboh, karena kaki kuda mereka telah terkalak, lantas mereka ditubruk dan diringkus, tangan mereka ditelikung ke belakang.
Juji kaget berbareng girang melihat sepak terjangnya Kwee Ceng itu Ia hendak menghampirkannya untuk berbicara, atau mendadak ia melihat pasukannya Kwee Ceng bergerak lebih jauh, mengurung kepada pihaknya. Ia terkejut sekali menyaksikan cara bergeraknya tentara si anak muda itu. Ialah seorang peperangan ulung, meski ia bingung, ia lantas memberikan titahnya untuk melakukan perlawanan. Tapi juga tentaranya itu, di dalam tempo yang pendek. kena dibubarkan dan ditawan tentaranya si anak muda.
Dua-dua Juji dan Jagatai menjadi berkhawatir sekali. Mereka ingat saat pertemuan pertama kali dari mereka dengan Kwee Ceng .Juji telah mencambuki si anak muda sampai anak muda itu mati hidup dan hidup mati, sedang Jagatai pernah menganjurkan anjing mengeroyok dan menggigitinya. Maka mereka khawatir si anak muda menggunai ketikanya ini untuk mencari balas. saking khawatir dan kaget, mereka sadar dari mabuk arak mereka. sekarang mereka pun menjadi takut nanti dihukum ayah mereka, bukan main mereka menyesal.
juga Kwee Ceng, setelah tindakannya itu, menjadi tidak tentram hatinya. Bukankah ia bergerak lancang, tanpa titah siapa juga? Bukankah ia, biar bagaimana, ada orang luar?
Tidakkah tindakannya ini berarti sangat besar? Maka ia tidak tahu, apa akan jadi  akibatnya: bencana atau kebaikan? Karena ini, ia pikir, baiklah ia berdamai sama ogotai dan Tuli. Tapi ia tidak dapat kesempatan akan menemui kedua pangeran itu, kupingnya sudah lantas mendengar suara terompet, lalu ia melihat lari mendatanginya Jenghiz Khan, yang akhirnya sadar juga dari pusingnya, hingga dia kaget dan gusar mendengar hal pertempuran dua putranya itu, tanpa dandan lagi, dengan rambut riap-riapan dia lari keluar dari tendanya, dia kaburkan kudanya. Ketika dia tiba, dia menjadi heran. Semua serdadu dari Juji dan Jagatai duduk diam di tanah, dan tentaranya Kwee Ceng menilik mereka itu. Pula kedua putranya, meski mereka tetap duduk di atas kuda mereka, mereka masing-masing diawasi oleh delapan pahlawan yang bersenjatakan golok, yang mengurung mereka itu.
Kwee Ceng lantas menghampirkan, untuk sambil berlutut menuturkan duduknya hal, juga tentang tindakannya sendiri untuk mencegah pertumpahan darah hebat.
sesudah mengetahui duduknya kejadian Jenghiz Khan girang bukan kepalang. Ia lantas mengumpulkan semua panglimanya, ia lantas menegur hebat kepada Juji dan Jagatai. sebaliknya, Kwee Ceng dan opsir-opsirnya diberi persenan.
Kwee Ceng menerima persenan, tetapi ia tidak ambil itu untuk dirinya sendiri, ia lantas menghadiahkan itu kepada tentaranya, maka juga semua serdadunya bersorak kegirangan.
setelah itu Kwee Ceng diberi selamat oleh sekalian panglima atas jasanya itu.
Anak muda itu menanti sampai semua tetamu sudah mengundurkan diri, ia ambil surat yang dibawa Lou Yoe Kiak. surat yang mengajari ia bagaimana harus bertindak tadi. Ia meneliti itu Ia heran.
“Dua barisan coa-poan dan Houw-ek memang telah aku melatihnya terhadap tentaraku tetapi belum pernah aku menyebutkan nama-namanya,” pikirnya. “Kenapa sekarang dia mengetahuinya? Mungkinkah dia mencuri baca kitab ilmu perangku itu?
Kitab itu tapinya selalu tersimpan di tubuhku, tidak pernah aku berpisah dengannya, cara bagaimana dia dapat membacanya?”
Ia masih berpikir sekian lama, lantas memerintahkan orangnya memanggil Lou Yoe Kiak.
“Lou Tiang lo,” ia berkata setelah si pengemis tiba. “Inilah kitab ilmu perangku, jikalau kau suka melihatnya. ini aku beri pinjam kepadamu.” Yoe Kiak tertawa.
“si pengemis melarat ini, seumurnya dia tidak bakal menjadi jendral” katanya.
“Untukku buat apakah sebuah kitab ilmu perang?” Kwee Ceng menunjuk kepada surat yang ia terima dari pengemis itu.
“Kalau begitu, mengapa kau mendapat tahu tentang dua pasukan coa-poan dan Houw-ek ini?” ia tanya.
“Bukankah koanjin pernah membicarakan itu padaku?” balik tanya si pengemis.
Agaknya ia heran. “Apakah koanjin sudah lupa?”
Kwee Ceng berdiam. Ia tahu orang mendusta, ia tetap bingung. Ia tidak bisa menerka duduknya hal yang benar.
Besoknya siang Jenghiz Khan berapat pula. Kali ini ia mengatur angkatan parangnya.
sebagai pasukan nomor satu ditetapkan pasukannya Jagatai dengan ogotai sebagai komandannya Jagatai sendiri dijadikan sianhong ialah pasukan depan. Pasukan nomor tiga ialah pasukan kiri Jenghis Khan sendiri bersama Tuli memimpin pasukan utama.
sebat sekali tindakan itu diambil, maka dilain saat berangkatlah angkatan perang ini beserta iring-iringan rangsumnya menuju ke Barat, menghampirkan Khoresm. Majunya makin lama makin jauh, masuknya makin lama makin dalam di wilayahnya shah Muhammad Ala-ed-Din. Angkatan perang shah itu besar jumlahnya tetapi mereka bukan tandingannya tentara Mongolia dalam ketangkasan berperang, dengan begitu dia kena terdesak.
Pada suatu hari Kwee Ceng menunda pasukan perangnya di tepi sungai. Malamnya, selagi ia membaca kitab perangnya, untuk dipahamkan terlebih jauh, ia mendengar suara berkelisik di atas tendanya, lalu pintu tendanya tersingkap dan satu orang bertindak masuk. Beberapa serdadu penjaga mencegah, mereka membentak. Tetapi satu demi satu mereka kena ditotok roboh. Kwee Ceng segera menyimpan kitabnya, ia berbangkit. orang yang menerobos masuk itu lantas memandang kepadan a dan tertawa. Dialah see Tok Auwyang Hong.
Kwee Ceng kaget berbareng girang. siapa sangka di tempat jauh sepuluh ribu lie dari Tiong-goan dia bertemu sama siBisa dari Barat itu.
“Mana nona oey?” itulah pertanyaannya yang pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar