Bab 74. Ilmu
Perangnya Gak
Hui
Habis memuji, Kwee ceng masih menjura empat
kali kepada kuburannya Yo Kang dan Bok Liam
cu itu, baru ia keluar dari kuil, untuk mulai dengan perkataannya mencari Oey Yong.
Di sepanjang jalan, di mana saja, ia
menanya-nanya orang tentang nona itu dengan ia menunjuki petaan roman dan
potongan tubuhnya si nona serta Auwyang Hong. Inilah pekerjaan sukar untuknya.
Setengah tahun lamanya ia merantau. Ia telah minta keterangannya pihak Kay Pang
dan coan cin Kauw dan orang-orang yang ia kenal, ia tetap tidak memperoleh
hasil. Ia bertabiat keras, ia tidak mau menyerah kalah, terus ia
mencari. Selama
itu pernah ia pergi ke Pakhia, dan dua kali ia mendatangi kota Pianliang, di sana pun ia tidak mendengar kabar halnya Wanyen Lieh.
Pada suatu hari pemuda ini tiba di propinsi
Shoatang, kebetulan ia berada di dalam satu daerah yang kosong, sebab di
sepanjang jalan itu, dari sepuluh rumah, sembilan yang ditinggalkan pergi
penghuninya. Dijalan besar banyak orang yang lagi berangkat mengungsi. Katanya
tentara Mongolia
dan Kim telah berperang, pihak Kim kalah dan tentaranya kabur buyar, sembari kabur
mereka itu main merampok dan memperkosa.
Tiga hari sudah Kwee ceng berjalan - ia
menuju ke Utara -ia mendapat kenyataan daerah semakin kosong dan keadaannya
semakin menyedihkan. Dengan begini ia menjadi semakin menyedihkan. Dengan
begini ia menjadi menginsyafi bahaya perang itu yang sangat merusak. terutama
sangat mengganggu rakyat negeri.
Dihari ketiga anak muda kita tiba di sebuah
dusun di dalam lembah, di situ ia hendak singgah untuk mencari nasi dan air
untuk kudanya, mendadak ia mendengar suara berisik dari kuda dan manusia,
ketika ia menoleh ke arah dari mana suara itu datang, ia melihat tibanya
beberapa serdadu Kim. Yang berjalan di
muka ada seorang punggawa di ujung tombak siapa ada tertusuk mayatnya seorang
bayi, punggawa itu sendiri tertawa terbahak-bahak sedang barisannya memulai
membakar dusun, yang penduduknya mereka usir keluar dari rumahnya, untuk diikat
dan dibunuh mati, tak perduli tua dan muda, cuma wanita yang muda yang mereka
belenggu untuk dibawa pergi.
Menyaksikan keganasannya orang itu, Kwee Ceng
menjadi naik darah. Ia mengajukan kudanya menghampirkan punggawa itu. Paling
dulu ia merampas tombak orang, habis itu tangan kirinya menyusul melayang.
Punggawa itu tidak menyangka sama sekali, selagi ia kaget, tangannya si anak
muda sudah tiba kepada sasarannya, maka itu sebelum ia berdaya, ia roboh
seketika, biji matanya sampai lompat ke luar, jiwanya terbang melayang.
semua serdadu Kim
menjadi kaget dan gusar, dengan serempak mereka berseru-seru dan maju untuk
mengepung si anak muda.
Kuda merah tidak takut, dikendalikan
majikannya. dia membawa tubuh majikannya ke mana majikan itu bergerak. Kwee Ceng
pun gusar sekali, kecuali tombak di tangan kanannya itu, ia merampas sebatang
golok besar, maka dengan kedua tangannya dengan ilmu silat pengajarannya Ciu
Pek Thong - ia melabrak tentara Kim
itu. Ia menikam dan membacok dengan hebat.
setelah melihat banyak kawannya yang roboh,
serdadu Kim itu menjadi kuncup nyalinya.
Mereka memang telah kehilangan pemimpin mereka. Maka dengan berteriak-teriak.
mereka melarikan diri ke luar dusun.
sementara itu dari sebelah depan terlihat
munculnya satu pasukan dari seratus lebih serdadu Mongolia, di depannya tertampak
satu benderanya yang besar. Melihat begitu, tentara Kim
itu, yang jeri kepada tentara Mongolia,
lantas lari balik, dengan terpaksa mereka menyerang pula Kwee Ceng,
guna membuka jalan kabur.
Anak muda itu sangat
membenci tentara Kim ini, ia lantas lari ke mulut lembah, di sana ia
menghadang. Dengan
cepat ia berhasil merobohkan belasan serdadupenunggang kuda, yang lari
mendahului kawan-kawannya. Robohnya mereka itu membikin kawan-kawan mereka
menjadi serba salah, mundur tidak bisa, maju tidak dapat.
Barisan Mongolia heran ada orang membantu
pihaknya, dengan begitu mereka berhasil menumpas sisa tentara Kim itu. Mereka jadi ingin juga mengetahui siapa itu pembantu
yang merintangi jalan molosnya musuh. selagi pekhu-thio, yang mengepalainya mau
maju untuk mencari keterangan, tiba-tiba seorang siphu-thio berseru^ “Kim Too
Huma” dan terus dia berlutut di tanah untuk memberi hormatnya.
Kapan pekhu-thio itu mengetahui orang adalah
menantu dari junjungan mereka, ia pun lompat turun dari kudanya, guna
memberikan hormatnya, setelah mana ia memberi perintah untuk seorang serdadunya
lekas memberi kabar kepada kepala perangnya.
Kwee Ceng tidak berdiam saja.
Ia lantas menitahkan tentara Mongolia
itu memadamkan api yang dilepaskan tentara Kim
tadi untuk membakar dusun itu Karena ini penduduk yang dapat tertolong itu pada
datang menghaturkan terima kasih mereka.
Baru saja penduduk itu lega hatinya atau
segera mereka dibikin kaget pula dan ketakutan. Mereka telah mendapatkan
datangnya lagi satu pasukan besar sebagaimana suara kuda dan tentara itu
membikin berisik luar dusun. Dengan muka pucat mereka saling mengawasi.
Itu waktu lantas terlihat seorang penunggang
kuda kabur ke dalam dusun, kudanya besar dan gagah. Dialah seorang panglima muda, yang lantas berseru: “Anda Kwee Ceng di
mana?”
Kapan Kwee Ceng telah melihat
panglima muda itu, ia girang sekali. “Anda Tuli”
ia berseru.
Maka keduanya lantas lari saling
menghampirkan, terus mereka saling rangkul.
Kedua burung rajawali mengenali Tuli,
putranya jenghis Khan, keduanya terbang menghampirkan, untuk mengulas- ulas
panglima muda itu.
Tuli menitahkan seorang Cian-hu-thio mengejar
terus tentara Kim, di lain pihak ia memerintahkan
mendirikan tenda di mana bersama Kwee Ceng ia duduk berkumpul, untuk mereka
bicara panjang lebar hal-hal semenjak mereka berpisahan.
Tuli menceritakan urusan ketentaraan di
utara, maka itu Kwee
Ceng jadi mendapat tahu selama
satu tahun lebih Jenghiz Khan telah tak hentinya berperang ke timur dan barat,
hingga dia dapat merampas banyak daerah, hingga keempat putranya yaitu Juji Jagatai, ogotai dan Tuli ini, telah membangun banyak jasa,
demikian juga empat panglimanya yang kenamaan, Mukhali, Borehu, Boroul dan
chilaun. Dan sekarang ini Tuli bersama
Mukhali lagi memimpin angkatan perangnya menyerang negara Kim,
dipropinsi shoa tang ini, beberapa kali tentara Kim
itu telah kena dilabrak hingga kacau balau, hingga angkatan perangnya
dipusatkan di kota
Tongkwan di mana mereka mengunci pintu, tidak berani mereka melayani perang .
Baru beberapa hari berkumpul sama Tuli itu,
lantas ada diterima perintah dari Jenghiz Khan di gurun utara. semua putra dan
panglima dipanggil berkumpul di sana.
Tuli dan Mukhali tidak berani menyangkal
panggilan itu, setelah menyerahkan tentaranya kepada wakilnya, mereka lantas
berangkat.
Kwee Ceng ingat kepada ibunya,
ia turut bersama. Dengan begitu ia jadi dapat terus
menemani Tuli.
Pada suatu hari tibalah mereka di tepi sungai
onon, di sana
memandang ke tegalan yang luas sekali terlihatlah tenda-tenda tentara yang
sangat banyak jumlahnya, sedang suara meringkiknya kuda-kuda perang berisik
sekali. ujung-ujung tombak yang tajam bergemerlapan di antara cahaya matahari. Di antara puluhan ribu tenda itu ada sebuah yang
besar luar biasa yang warnanya kuning, ujung tenda teratas terbuat dari pada
emas. Di depan tenda besar itu
dipancar sebuah bendera besar, bendera yang menjadi tanda kebesaran dari
junjungan bangsa Mongolia.
Dari situlah keluar titah Jenghiz Khan memanggil berkumpul semua putra dan
kepala perangnya.
Berdiri di atas sebuah tumpukan pasir tinggi,
Kwee Ceng memandang ke seluruh perkemahan itu
Ia merasakan keang kerannya angkatan parang Mongolia, ia berdiam saja.
Tapi tak usah lama ia berdiam, dari arah
markas kelihatan datangnya satu barisan berkuda yang kecil, yang menyambut Tuli
dan Mukhali, maka dilain saat ia sudah mengikuti pangeran dan panglima itu
menuju ke tenda besar tadi. setibanya mereka di dalam, pemuda ini terperanjat.
Ternyata lain-lain kepala perang sudah berkumpul di situ.
Jenghiz Khan girang melihat tiga orang itu.
Tuli bersama Mukhali segera memberikan laporannya, sedang Kwee Ceng
memberi hormatnya sambil berlutut, kemudian ia menambahkan. “Kha Khan menitahkan aku
memotong batang lehernya Wanyen
Lieh, untuk mengambil kepalanya,
akan tetapi beberapa kali sudah aku menemui dia, saban-saban dia dapat
meloloskan diri, dari itu aku mohon Kha Khan memberikan hukumanmu kepadaku”
Jenghiz Khan tertawa. Ia berkata: “Kalau
burung elang sudah menjadi besar, pada suatu hari pastilah dia akan dapat
menerkam si rase, maka itu kenapa aku mesti menghukum padamu?”
segera setelah itu, kepala bangsa Mongolia ini
memulai dengan rapatnya untuk mengatur tindakan menyerang besar-besaran kepada
negara Kim. Kebanyakan panglima
mengusulkan kerja sama dengan pemerintah song guna menggencet kota Tongkwan. “Baiklah, begini kita
mengambil keputusan,”jenghis Khan menyatakan setuju. Maka utusan segera dikirim
ke selatan, kepada kerajaan song.
sampai sore baru rapat dibubarkan, Kwee Ceng
keluar dari markas dalam cuaca remang-remang ia hendak mencari tenda ibunya.
Tiba-tiba ia merasakan dua tangan yang halus menutupi matanya dan hidungnya
dapat mencium bau yang harum. Ia melengak sejenak,
lantas ia memanggil: “Adik GochinBaki” Ia pun memutar tubuhnya.
Putriny ajenghiz Khan berdiri dengan wajah manis. Sekarang ia nampak terlebih jangkung, romannya agung.
“Adik” Kwee Ceng memanggil pula. Putri kegirangan hingga ia menjadi terharu sendirinya. “Ah, benar-benar kau
kembali” katanya.
Menyaksikan kepolosan nona itu, hati Kwee Ceng
tergerak. sampai tak tahu ia mesti mengucapkan apa. Keduanya berdiri diam, mata
mereka saling mengawasi.
“Pergi kau menemui ibumu,” katanya. “Kau
pulang dengan masih hidup, maka kau terkalah, siapa yang terlebih girang, aku
atau ibumu”
“Pastilah ibu akan girang luar biasa,”
menyahut Kwee
Ceng.
“Apakah aku pun tidak sangat bergirang?” tanya si nona.
Nona ini menunjuki kepolosannya bangsa Mongolia, yang
selalu mengucapkan apa yang dia pikir. Mendengar itu, Kwee Ceng
kembali merasa terharu.
Lantas keduanya, sambil berpegang tangan,
pergi ke tendanya Lie Peng, maka tak usahlah dituturkan lagi bagaimana
kegirangannya ibu dan anak itu Lewat beberapa hari Jenghiz Khan panggil Kwee Ceng
menghadap dan mengatakannya^ “Tentang semua perbuatanmu, aku telah mendengarnya
dari Tuli. Kau dapat memegang kepercayaanmu, anak aku girang sekali. Kau tunggu
lagi beberapa hari, nanti aku nikahkan kau dengan putriku.”
Kwee Ceng kaget. segera ia
ingat oey Yong. pikirnya: “sampai sekarang ini masih belum ketahuan Yong-jie
masih hidup atau sudah mati, mana bisa aku membelakangi dia menikah lain
orang?” Ia ingin menampik tetapi melihat roman angker dari Jenghiz Khan, ia
gagal membuka mulutnya.
Jenghiz Khan ketahui pemuda itu jujur, ia
menyangka orang berdiam saking girangnya, maka dia lantas memberikan hadiahnya
berupa uang emas seratus kati, kerbau lima
ratus ekor dan kambing dua ratus ekor. Dia memerintahkan untuk si anak muda
menyiapkan sendiri segala keperluan nikahnya itu.
GochinBaki adalah putri tunggal dan ia sangat
disayang ayahnya, sedang itu waktu berkat pelbagai kemenanganJenghiz Khan,
pelbagai suku bangsa Mongolia
merasa senang, maka juga, berhubung sama pernikahan si putri, yang telah lantas
diumumkan, dari sana
sini segera datang pemberian selamat berikut rupa-rupa hadiah, barang permata
tak terkecuali, hingga semua itu mesti ditempati dalam beberapa puluh tenda.
GochinBaki girang bukan kepalang, akan tetapi
Kwee Ceng sebaliknya murung, apapula hari
pernikahan mendatangi semakin dekat.
Lie Peng dapat melihat kedukaan dan
kebingungan putranya itu, pada suatu malam ia menanyakan sebabnya.
Kwee Ceng berlaku terus-terang
dengan menutur hal pergaulannya sama oey Yong.
Mengetahui hal putranya ini, nyonya Kwee
berdiam. “Ibu, anakmu menghadapi kesukaran ini, bagaimana baiknya?” Kwee Ceng
tanya.
“Budinya Khan sangat besar mana itu dapat disiasiakan?”
kata sang ibu. “Hanya
Yong-jie, ini anak. walaupun aku
belum pernah melihatnya, mestinya dia manis sekali”
“Ibu, kalau umpama ayah menemui urusan
begini, apakah akan dibuatnya?” Kwee
Ceng tanya
pula.
Inilah pertanyaan luar biasa. Lie Peng
melengak. Kemudian ia tunduk, akan memikirkan siIat suaminya, yang ia kenal
baik sekali.
“Ayahmu lebih suka menderita daripada dia
menyia-nyiakan lain orang,” jawab ibu ini akhirnya.
Kwee Ceng berbangkit, ia kata
dengan gagah: “Anak belum pernah bertemu sama ayah akan tetapi anak akan
mencontoh siIatnya Jikalau
Yong-jie selamat, anak akan memenuhkan
janji dan akan nikah putri CochinBaki, apabila atas diri Yong-jie terjadi sesuatu,
anak tidak akan menikah seumur hidup,”
“Memang begitu mestinya,” pikir sang ibu.
“Tidak boleh keluarga Kwee dibikin putus turunannya olehmu. Tapi anak ini kukuh
seperti ayahnya, tidak ada gunanya” Maka ia tanya:
“Habis bagaimana kau hendak bicara sama Khan?”
“Aku akan bicara terus-terang,” sahut sang
anak.
Lie Peng adalah ibu bijaksana, ia bersedia
mengiringi kehendak anaknya itu.
“Baik,” katanya. “Di sini kita tidak bisa tinggal lebih lama pula, nah, pergi kau bicara
sama Khan. Besok
pagi kita berangkat ke selatan.” Kwee Ceng
mengangguk.
Ibu dan anak ini lantas berbenah membuntal
bungkusannya. Mereka
Cuma membekal pakaian seperlunya
dan sejumlah uang, yang lainnya, yang menjadi hadiahnya Jenghiz Khan, mereka
membiarkan saja.
“sekarang aku hendak pamitan dari putri
GochinBaki,” kata Kwee
Ceng selesainya mereka.
Lie Peng bersangsi.
“Mana dapat itu diberitahukan dia,” katanya. “Baik kau pergi dengan diam-diam saja supaya dia tidak bersusah hati”
“Tidak. ibu, aku mesti bicara sama dianya,”
kata Kwee Ceng pasti. Dan
ia bertindak pergi.
Putri GochinBaki berdiam bersama
ibunya di dalam sebuah kemah. selama beberapa hari ia gembira sekali, ia repot
menyiapkan segala apa untuk pernikahannya, maka ia heran waktu mendengar Kwee Ceng
di luar kemah memanggil padanya. Ia pun likat ketika ia berkata “Ibu”
sang ibu tertawa dan kata: “Lagi beberapa
hari kamu bakal menikah, satu hari tidak bertemu pun tidak dapat Baiklah, kau
pergilah menemui dia” Gochin bersenyum, lantas ia pergi keluar. “Engko Ceng”
katanya perlahan.
“Adik, aku ingin bicara sama kau,” berkata Kwee Ceng,
yang lantas mengajak si nona bertindak ke arah barat, terpisah jauh dari
perkemahan. Di sana mereka duduk di atas rumput.
Gochin menyenderkan tubuhnya di tubuh si anak
muda.
“Engko Ceng,
aku juga ingin bicara denganmu,” katanya perlahan.
Kwee Ceng terperanjat.
“Oh, kau pun telah mengetahuinya?” katanya.
Ia lantas pikir: “Dia sudah mendapat tahu, inilah terlebih baik pula, jadi aku
tidak usah bicara banyak”
“Tahu apa?” kata si putri, ia heran. “Aku
hanya hendak memberitahukan kau bahwa aku bukan anak dari Kha Khan”
“Apa kau bilang?” tanya
Kwee Ceng, heran.
Gochin mengangkat kepalanya memandangi si Putri Malam
yang baru mulai muncul.
“Kalau nanti aku sudah menikah sama kau,”
berkata si putri perlahan, “Aku akan melupakan diriku bahwa akulah anaknya
Jenghiz Khan, aku melainkan ketahui aku ialah istrinya Kwee Ceng,
maka apabila kau hendak memukul aku atau memaki aku, kau boleh memukul dan
memakinya, jangan nanti karena kau pikir karena ayahku Khan yang agung, kau
nanti merasa terhina.” Kwee
Ceng terharu sekali.
“Adikku, kau sangat baik,” katanya, “Maka
sayang sekali, aku tidak setimpal dijodohkan dengan kau”
” Kenapa tidak setimpal?” Gochin tanya.
“Di kolong langit ini kaulah orang
yang paling baik, kecuali ayah, tidak ada yang dapat menimpali kau. Keempat
kakakku itu, mereka tidak ada separuh mu”
Kwee Ceng berdiam, tidak dapat
ia membuka mulutnya, untuk memberitahukan bahwa besok, kapan sang pagi datang,
ia bakal meninggalkan Mongolia.
“Di dalam beberapa hari
ini, aku girang sekali,” Gochin berkata pula. ” Ketika itu hari aku mendengar
kabar kau mati, aku ingin lantas turut mati juga, syukur sekali Tuli telah
merampas golok dari tanganku. Tidak demikian, mana sekarang aku bisa menikah denganmu? Engko Ceng,
jikalau aku tidak dapat menikah sama kau, benar-benar aku tidak suka hidup
lagi.” Kwee Ceng berdiam.
“Kalau Yong-jie,
tidak bisa ia bicara begini padaku,” pikirnya. “Dua-dua mereka, mereka baik
sekali terhadapku” Ingat oey Yong, ia menghela napas.
“Eh, mengapa kau menarik napas?” Gochin
heran.
“Tidak apa-apa” menyahut si anak muda
bersangsi.
“Ah, kau tentu ingat kakakku yang nomor satu
dan nomor dua,” kata si putri. “Mereka memang tidak menyukai kau. Tapi di sana ada kakakku yang
nomor tiga dan nomor empat, mereka baik sekali kepadamu. Baik kau jangan
berduka, di d-pan ayah aku telah mengatakan bahwa kakak yang nomor satu dan
nomor dua itu tidak baik, yang baik ialah kakak nomor tiga dan nomor empat.”
Kwee Ceng heran. ” Kenapa
begitu?” ia tanya. Gochin agaknya
senang.
“Aku telah mendengar ibu berkata bahwa
sekarang ini usia ayah sudah lanjut dan ayah lagi memikir untuk mengangkat
putra mahkota. Coba kau terka, siapakah yang bakal terpilih?”
“Pastilah kakakmu yang paling tua Juji,”
menyahut Kwee
Ceng. “Dia berusia paling tua dan jasanya pun besar.” Putri itu menggeleng
kepala ia tertawa.
“Kau menerka keliru,” bilangnya. “Menurut
aku, menduga kakak yang nomor tiga, atau kakak yang nomor empat.”
Juji, putra sulung dari Jenghiz Khan, pintar
dan pandai bekerja danputra yang nomor dua Jagatai,
gagah dan pandai berperang. ogotai, putra nomor tiga, gemar minum dan berburu,
hatinya lapang dan jujur. Dia menginsyafinya, yang bakal menggantikan ayahnya
tentulah Juji atau Jagatai, bahwa ia tidak mempunyai
pengharapan, dari itu ia tidak turut itu kedua saling bersaing mengejar
kedudukan Khan yang maha agung itu, karena ini, beberapa saudaranya, juga
adiknya yang perempuan, baik sekali dengannya. Maka itu Kwee Ceng
menyangsikan hanya dengan kata-katanya Gochin Jenghiz Khan akan menukar putra mahkota
pilihannya itu. Kesangsian ini ia utarakan pada putri itu.
“Aku juga tidak tahu pasti, aku menduga
saja,” kata Gochin, ” Hanya andaikata benar salah satu kakakku yang nomor satu
atau yang nomor dua yang menjadi Khan, kaujangan khawatir, jikalau mereka
berani mengganggumu, akan aku mengadu jiwa dengan mereka itu”
GochinBaki berani berkata begitu, sebab ia
sangat disayangi ayahnya hingga keempat saudaranya sudah mengalah terhadapnya. Kwee Ceng
tahu putri ini bakal lakukan apa yang dikatakan itu, ia bersenyum.
“Tak usahlah kau sampai berbuat demikian,”
katanya.
“Itulah yang diharap. umpama kata saudaraku
itu memperlakukan kita berdua tidakselayaknya,. kita berangkat saja ke selatan”
“Aku justru hendak membilangi kau aku hendak
pulang ke selatan” kata Kwee
Ceng, membarengi ketikanya ini.
Gochin heran hingga ia melengak.
“Aku khawatir ayah dan ibuku tidak akan
memberi ijin” katanya. “Tapi aku akan pergi seorang diri”
“Ah, aku selalu mendengar perkataanmu,” kata
putri itu. “Kau membilang hendak pulang ke selatan, aku akan turut kau, jikalau
ayah dan ibuku tidak mengijinkannya, kita pergi secara diam-diam”
Kwee Ceng tidak dapat menahan
sabar lagi. Ia berlompat bangun. “Aku berdua ibuku yang akan pulang ke selatan”
katanya.
Kembali GochinBaki heran, hingga dia
duduk menjublak, matanya mengawasi si pemuda, yang pun memandang kepadanya. Dia
masih belum mengerti maksud orang.
“Adikku, maafkan aku, aku menyesal yang aku
tidak dapat menikah denganmu,” kata Kwee Ceng
sesaat kemudian.
“Apakah aku telah melakukan sesuatu
kesalahan?” tanya si putri. “Apakah
kau menyesal yang aku telah tidak membunuh diri? Benarkah itu?”
“Bukan, bukannya kau bersalah” kata Kwee Ceng.
“Akupun tidak tahu siapa yang salah, hanya setelah aku pikir-pikir, yang salah
itu ialah aku. Duduknya begini”
Pemuda ini lantas menuturkan hal
persahabatannya sama oey Yong. Ketika ia menceritakan sampai di bagian oey Yong
itu ditawan Auwyang
Hong dan ia telah mencarinya
setengah tahun lebih dengan sia-sia, Gochin menepas air mata karena ia turut
merasa kasihan atas nasibnya nona yang dianggap bernasib malang itu.
“Maka itu, adikku kau lupakanlah aku,” kata Kwee Ceng.
“Aku pasti hendak mencari dia.”
“setelah kau berhasil mencari dia, kau akan
dating menjenguk aku atau tidak?”
menanya si nona bangsawan.
“Jikalau dia selamat, aku pasti akan kembali
ke Utara ini,” Kwee
Ceng menyahuti, “Itu waktu,jikalau
kau tidak menyia-nyiakan aku dan tetap masih menginginkannya, aku akan menikah
denganmu, tidak nanti aku menyesal.”
“Jangan kau membilang begitu,” berkata si
putri. “Kau tahu sendiri, aku ini untuk selama-lamanya ingin menikah sama kau.
Nah, kau pergilah mencari dia Kau cari dia, sepuluh tahun, dua puluh tahun, asal
aku masih hidup, aku akan menantikan kau di padang rumput ini.”
Kwee Ceng terharu bukan main.
“Ya, sepuluh tahun, dua puluh tahun, akan aku
cari dia,” ia bilang. “sepuluh tahun, atau dua puluh tahun, aku pun akan selalu
mengingat yang kau di sini, di padang
rumput, lagi menantikan aku.”
Gochin berlompat bangun,
ia menyesapkan diri di dadanya si anak muda, ia menangis tersedu sedan. Kwee Ceng memeluk perlahan
lahan, matanya pun merah.
Justru itu waktu, empat penunggang kuda lari
mendatangi dari arah barat dan lewat di dekat sepasang muda-mudi ini, mereka
itu langsung menuju ke kemah dari Jenghiz Khan. Ketika terpisah lagi beberapa
puluh tombak dari kemah, kuda yang satu roboh terguling, tidak dapat dia bangun
pula. Itulah tanda latihannya yang sangat. Penunggang kudanya telah berlompat
bangun, terus dia kabur ke dalam kemah.
Hanya sejenak saja, maka dari dalam kemah
lari keluar sepuluh serdadu, mereka berdiri di empat penjuru kemah itu, untuk
memperdengarkan suara terompetnya.
Itulah terompet tanda panggilan kilat untuk
sekalian perwira. Kalau terompet itu dibunyikan, tidak perduli pangeran atau
panglima yang tersayang, apabila Khan yang agung menghitung dengan tekukan
sepuluh jarinya tetapi ada yang belum datang memenuhi panggilan, maka dia bakal
segera dihukum potong kepala tanpa ampun lagi.
Kwee ceng ketahui itu.
“Kha Khan menghimpunkan panglima perang” katanya.
Tanpa banyak bicara lagi, ia meninggalkan GochinBaki untuk kabur pulang. Ia
menggunai ilmunya ringan tubuh. Dari segala penjuru, ia mendengar derapnya kaki
kuda. Ketika ia tiba di dalam kemah Jenghiz Khan justru baru menekuk jeriji
tangannya yang ke lima.
Tempo delapan jari tangan telah tertekuk. maka kumpullah semua putra dan
panglimanya.
Jenghiz Khan sudah lantas berkata nyaring:
“Adakah raja anjing itu mempunyai putra-putra yang begini gesit? Adakah dia
mempunyai panglima-panglima perang yang begini gagah?”
“Tidak” menyahut sekalian pangeran dan
panglima berbareng. Jenghiz Khan menepuk dada.
“Kamu lihat” katanya pula. Dia menunjuk.
“Inilah perutusanku yang dikirim ke Khoresm *) Apakah yang itu raja anjing Muhammad telah perbuat atas budak- budakku yang setia?”
semua orang berpaling ke arah yang ditunjuk
junjungan mereka. Di situ ada beberapa
orang Mongolia
dengan muka bengkak dan matang biru dan kumisnya terbakar bersih.
Kumislah tanda keagungan dari seorang
pahlawan Mongolia.
Kalau kumis terbentur saja sudah satu penghinaan, sekarang terbakar habis. Maka semua panglima itu menjadi sangat gusar hingga mereka berseru-seru.
*) KHORESM atau KHIVA,
Dahulunya suatu negara dibawah pemerintahan
seorang Khan, dan sekarang menjadi salah satu propinsi daripada negara bagian
USBEKISTAN di UNI SOVIET. “Khoresmia itu suatu negara besar di sebelah Barat
kita,” berkata pulaJenghiz Khan.
“oleh karena kita memusatkan perhatian kita
dalam penyerangan kepada anjing Kim, terhadapnya
kita suka mengalah .Juji, anakku, kau bilang, bagaimana sikapnya itu anjing Muhammad terhadap kita?”
Juji maju satu tindak. ia menyahuti dengan
nyaring: “Tahun dulu itu ayah menitahkan anakmu menyerang bangsa Mergid yang
harus mampus itu, anak pulang dengan kemenangan. Ketika itu Muhammad
telah mengirim satu pasukan perangnya menggencet bangsa Mergid itu. Karenanya
kedua pasukan telah bertemu satu dengan lain. Anak lantas mengirim utusan untuk
mengadakan perhubungan baik dengan membilang ayah suka bersahabat dengan
Khoresm.
Lantas Muhammad bilang: “MeskipunJenghiz Khan tidak
menitahkan kamu menyerang aku akan tetapi Tuhan memerintahkan aku menghajar
kamu.” Kita jadi bertempur dan kita menang, hanya pada waktu tengah malam,
lantaran jumlah musuh lebih besar sepuluh lipat, diam-diam aku mengundurkan
diri”
“Walaupun demikian, Kha
Khan masih tetap berlaku baik
terhadapnya,” berkata Boroul. “Tempo kita mengirim kafilah perdagangan kita,
semua barang kita dirampas Muhammad dan semua
saudagarnya dibunuh mati sekarang mengirim utusan untuk mengikat persahabatan, Muhammad telah mendengar ojokannya Wanyen Lieh si pangeran
anjing dari negara Kim, dia membunuh
utusan kita yang gagah dan menyerang pengiring-pengiringnya utusan itu, separuh
pengiring dibinasakan dan separuhnya lagi dibakar kumisnya lalu diusir pulang”
Mendengar disebutnya nama Wanyen Lieh,
Kwee Ceng campur bicara. “Apakah Wanyen Lieh
ada di Khoresm?” ia tanya.
“Anjing Kim
itu berserikat sama Khoresm,” berkata Jenghiz Khan, “Mereka hendak menggencet
kita Apakah kita takut?”
“Khan kita yang agung tak ada tandingannya di
kolong langit ini” berseru para panglima. “Kha Khan, kau titahkan kita pergi
menyerang Khoresm, nanti kita menggempur kota-kotanya, kita membakar rumah-
rumahnya, kita membunuh habis rakyatnya laki-laki dan perempuan, kita rampas
hewan mereka”
“Muhammad mesti
dibekuk Wanyen
Lieh mesti dibekuk” Jenghiz Khan menambahkan.
“Ya” berseru para hadirin hingga api lilin di
dalam kemah jadi berkelak- kelik, Jenghiz Khan menghunus golok di pinggangnya,
ia membacok ke depannya, lantas ia lari ke luar kemah, lompat naik atas
kudanya, atas mana semua panglima turut berlari-lari keluar, naik juga atas
kuda mereka, lari mengikuti.
Jenghiz Khan melarikan kudanya beberapa lie,
lalu dia naik atas sebuah bukit kecil.
semua orang tahu junjungan itu hendak
mengasah pikiran seorang diri, mereka tidak turut naik, mereka hanya lantas
mengitari, mengurung bukit kecil itu. Jenghiz Khan melihat Kwee Ceng
berada tak jauh di sampingnya.
Kwee Ceng mengeprak kuda
merahnya, unluk menghampirkan. Jenghiz Khan memandang ke tanah datar di mana
tampak cahaya api bagaikan bintang di pelbagai tenda tentaranya. Ia lantas
mengayun cambuknya.
“Anak.” katanya, “Dulu hari tempo kita
dikurung sangum dan Jamukha di atas bukit, pernah aku omong sama kau. Apakah
kau masih ingat kata-kata itu?”
“Aku masih ingat,”
menjawab si anak muda. ” Ketika itu kau membilangi, kita bangsa Mongolia
mempunyai banyak orang gagah, asal kita tidak lagi saling membunuh, hanya kita
berserikat menjadi satu, maka kita bangsa Mongolia akan membuatnya seluruh
dunia menjadi lapangan penggembalaan ternak kita.” Jenghiz Khan
menjeterkan cambuknya di udara.
“Benar” katanya. “sekarang bangsa Mongolia telah
bersatu padu, mari kita pergi membekuk
Wanyen Lieh”
Kwee Ceng telah berkeputusan
untuk besok pulang ke selatan, tetapi sekarang ia menghadapi urusan besar ini,
terpaksa ia mesti mengubah keputusannya itu. Wanyen Lieh
musuh besarnya, tidak dapat ia melepaskannya. Maka ia menjawab raja Mongolia itu,
“Kali ini kita pasti akan membekuk Wanyen Lieh”
Jenghiz Khan berkata pula: “Khoresm ia
terkenal sebagai negara dengan sejuta serdadu pilihan, akan tetapi menurutku,
jumlahnya yang tepat kira-kira enam - atau tujuh puluh laksa jiwa. Kita di sini
sebaliknya cuma mempunyai dua puluh laksa jiwa, dari sini, beberapa laksa
serdadu diperlukan menghajar anjing Kim,
dari itu dengan limabelas laksa serdadu melawan tujuhpuluh laksa jiwa, kau
bilang, apakah pasti kita bakal menang?”
Kwee Ceng belum kenal urusan
perang tetapi ia muda dan nyalinya besar, ia tidak pernah jeri
akan kesukaran, maka mendengar pertanyaan itu, ia kata dengan gagah:
“Pasti menang”
“Ya, pasti menang” berkata Jenghiz Khan.
“Baru-baru ini aku telah mengatakan kepada kau bahwa aku akan perlakukan kau
sebagai anakku sendiri, mengenai ini hendak aku membilangi kau, kata-katanya
Temujin tidak pernah dilupakan sekarang kau turut aku berperang ke Barat, setelah membekuk
Muhammad dan Wanyen Lieh,
sepulangnya barulah kau menikah dengan putriku”
Inilah apa yang Kwee Ceng
harap maka ia mengiakan. Jenghiz Khan melarikan kuda turun dari bukit. ” Kumpulkan tentara” ia menitah. segera pasukan pengiringnya membunyikan
terompet.
Jenghiz Khan melarikan terus kudanya ke
kemahnya. selama itu di sepanjang jalan terlihat tubuh orang bergerak-gerak
bagaikan bayangan dan banyak kuda berlari-larian akan tetapi suatu orang tidak
terdengar sama sekali, suatu tanda dari tata tertib yang sempurna. Ketika ia
tiba di muka kemah, maka tiga laksa serdadunya sudah berbaris rapi di padang rumput, golok
panjang mereka berkilauan di antara cahaya rembulan.
setibanya di dalam kemah Jenghiz.Khan
memanggil penulisnya, untuk menitahkan dia menulis surat pernyataan perang. Penulis itu tidak
menanya jelas lagi, ia menggelar kertas kulit kambing di atas tanah, sambil
berlutut, ia mulai menulis. Mulanya ia memuji
junjungannya, lalu dia mengancam musuh untuk membayar upeti.
“He, kepada siapa kau menulis surat?” bentak Jenghiz
Khan dengan murka, penulisnya itu ia tendang terbalik. “Menulis sama raja
anjing kenapa demikian rewel?” Ia mencambuk kepala orang seraya berkata keras-
“Kau dengar Apa yang aku bilang, kau catat”
Penulis itu ketakutan, ia merayap bangun,
akan mengambil kertas pula dan siap. Ia berlutut seraya mengawasi mulut
junjungannya.
Jenghiz Khan menyingkap tendanya, ia
memandang ke luar, kepada tiga laksa serdadunya. Ia berpikir. Tapi lekas juga,
ia bilang: “Kau menulis begini, cuma enam huruf” Ia berhenti sebentar, lantas
dia mengatakan, keras: “Jikalau kau mau berperang, lekaslah berperang”
Penulis itu heran, tetapi ia menulis. Ia
menulis huruf-huruf yang besar “Berikan cap keb es a ranku Lekas kirim”Jenghiz
Khan memerintah pula.
Mukhali maju, akan mencapi surat itu dengan Cap emas, dan seorang opsir
pangkat cianhu-thio diperintah menyampaikan permakluman perang itu kepada
musuh.
semua panglima menanti sampai derap kuda si
utusan dan pengiringnya sudah terdengar jauh, dengan serentak mereka berseru:
“Jikalau kau mau berperang, lekaslah berperang” seruan ini disambut oleh tiga
laksa serdadu dengan teriakan perangnya.
seperti biasanya, teriakan perang ini segera
diikuti oleh pekiknya kuda perang. Maka sejenak itu, seluruh tanah datar jadi
seperti menggetar.
sesudah semua itu Jenghiz Khan menitahkan
semua panglima dan tentaranyamengundurkan diri, lalu seorang diri ia duduk di
kursi emasnya, untuk berpikir. Kursi itu ada kursi rampasan di waktu dia
menyerang Chungtu, ibu kota
negara Kim. Bagian belakang kursi
berukiran naga melingkar merampas mutiara, sedang di kedua tangan-tangannya ada
ukiran masing-masing seekor harimau galak. Karena itulah kursi takhta raja Kim. Ia memikirkan masa mudanya yang penuh dengan
penderitaan, ia memikirkan ibunya, istrinya, empat putra-putrinya, lalu juga
pelbagai kemenangannya, hingga negaranya menjadi besar dan luas, sedang
sekarang ia bakal menghadapi musuh tangguh.
Usia Khan ini sudah lanjut akan tetapi kupingnya masih
terang sekali. Ia mendengar suara seekor kuda yang datang dari kejauhan,
beberapa kali binatang itu mengasih dengar suara sedih, lantas berhenti. Ia
tahu apa artinya itu. Ialah kuda itu mendapat sakit yang tidak dapat diobati
lagi, lalu majikannya, yang tidak tega mengawasi, penderitaannya, membunuhnya. Tiba-tiba ia ingat, “Aku sudah tua, sekarang aku bakal pergi perang. Dapatkah aku bakal
pergi perang. Dapatkah aku kembali dengan masih hidup? Jikalau aku mati
mendadak di medan
perang, lalu keempat putraku memperebuti takhta, kedudukan Khan yang agung,
tidakkah itu kacau? Dapatkah aku tak mati untuk selama-lamanya? ”
Ingat kematian, hatinya pendekar Mongolia ini
bercekat.
“Aku mendengar di selatan ada orang yang
dinamakan tosu, yang katanya dapat mengajari orang menjadi dewa, hidup
seumurnya tanpa menjadi tua, benarkah itu?”
demikian ia berpikir. Ia lantas menepuk
tangan, memanggil seorang pahlawannya.
Pahlawan itu dititahkan lekas memanggil Kwee Ceng.
Pemuda itu muncul dalam tempo yang cepat. Ia lantas ditanyai mengenai halnya si tosu atau imam.
“Tentang hidup panjang umur hingga menjadi
dewa, anak tidak ketahui benar atau bohongnya,” Kwee Ceng
memberi keterangan, yang benar ialah halnya ilmu bersemedhi, untuk menyalurkan
napas dengan sempurna, guna menambah umur.”
Jenghiz Khan girang mendengar keterangan itu.
“Kenalkah kau orang semacam itu?” ia tanya. “Lekas kau cari seorang
saja untuk dia datang menghadap aku”
“Imam semacam itu,
apabila dia dipanggil dengan cara sembarangan, pasti dia tidak bakal datang,”
Kwee Ceng beritahu.
“Kau benar. Nanti aku mengutus satu pembesar
berpangkat tinggi mengundang dia datang ke Utara sini. coba bilang, siapa yang
aku mesti undang?”
Kwee Ceng lantas memikirkan
kaum Coan cin Pay, di antara siapa Tiang cun cu Khu Cie Kie adalah yang paling mahir ilmu silatnya
dan siIatnya pun sudi gawe, maka mungkin dia itu dapat diundang. Maka ia lantas
memujikan imam itu.
Jenghiz Khan girang, ia lantas memerintahkan
penulisnya datang menghadap, untuk dititah menulis surat undangan itu.
Baru saja penulis ini mendapat bagian,
hatinya jadi kecil, maka setelah berpikir, ia menulis ringkas, cuma enam huruf,
bunyinya: “Kami mempunyai urusan, lekaslah kau datang.” Membaca itu, Jenghiz
Khan gusar.
“Terhadap raja anjing aku bicara begitu rupa,
apakah terhadap orang cerdik pandai mesti begitu juga?” bentaknya. “Kau tahu,
kau mesti menulis panjang lebar dan hormat”
Penulis itu bingung tetapi ia menurut. Ia
lantas mengarang suratnya itu, yang panjang
dan lemah lembut bunyinya, junjungannya
diangkat, Khu
Cie Kie
dipuji tinggi. “
Cukupkah ini?” ia menanya rajanya. Jenghiz
Khan tertawa.
“Ya, begini cukup, katanya. “Kau lantas
rapikan, nanti aku mengutus Lauw
Tiong Lok,
itu pembesar tinggi berbangsa Tionghoa, yang pergi membawanya, untuk mengundang
dia, pasti dia akan datang.” Penulis itu merampungkan suratnya.
Jenghiz Khan pun menyuruh Kwee Ceng menulis surat kepada Khu Cie
Kie, untuk memberitahukan
undangannya itu serta Kwee Ceng sendiri meminta si imam suka datang ke Utara. Habis
itu, Lauw Tiong Lok
lantas diutus.
Besoknya jenghiz Khan mengadakan kurultai,
rapat besar untuk membicarakan lebih jauh soal menyerang ke Barat, di antaranya
Kwee Ceng diangkat menjadi “Noyon”,
suatu pangkat paling tinggi, yang biasa tidak
dianugerahkannya kecuali kepada pangeran, keluarga raja terdekat atau panglima
perang, setelah mana, anak muda itu ditugaskan memimpin selaksa serdadu untuk
turut berperang.
Kwee Ceng telah maju pesat
ilmu silatnya tetapi dalam ilmu perang ialah seorang asing, berhubung dengan
ini kedudukannya yang baru, yang ia tidak dapat tampik, ia lantas pergi kepada
Jebe subotai untuk meminta pengajaran. Karena ia bebal,
tidak gampang-gampang ia lantas mengerti, dari itu untuk beberapa hari, ia
masgul sekali.
Tidakkah tugasnya berat? Bagaimana kalau di
harian keberangkatan perang, titahnya tidak sempurna? Bagaimana kalau ia gagal?
Tidakkah pasukannya bakal termusnah dan kehormatannya jenghiz Khan runtuh? Ia
bingung hingga ia berniat menghadap junjungannya untuk menampik tugas
itu.Justru ia mau mengambil putusan akan penampikannya itu, tiba-tiba serdadu
pengawalnya masuk dengan warta bahwa ada seribu lebih orang Han
yang datang dan lagi menantikan di luar kemah untuk minta bertemu padanya. Ia
menjadi girang sekali.
“Ah, begini cepat Kiu Totiang
datang?” pikirnya. Dengan cepat ia pergi ke luar.
setibanya di muka tangsi, ia melengak. Di sana ia menampak serombongan orang dengan dandanan sebagai pengemis. Ia heran bukan main.
Dari dalam rombongan tukang minta-minta itu
lantas muncul tiga orang, untuk menghampirkan
si anak muda, guna menunjuki hormatnya, guna memperkenalkan diri Ternyatalah
mereka ada ketiga tianglo dari Kay
Pang, yaitu Lou Yoe Kiak, Kan dan Tio Tiang
lo.
“Tahukah kamu tentang nona oey Yong?” ia tanya. Mengingat Kay Pang, ia
lantas ingat nona kekasihnya itu.
” Kami telah mencarinya ke mana-mana, belum
pernah kami mendengar kabar tentang Pang cu kami itu,” berkata Lou Yoe
Kiak. “Baru saja kami mendengar
kabar koanjin mau pergi berperang ke Barat, kami datang untuk menyerahkan diri
kami.”
Pemuda ini heran sekali.
“Cara
bagaimana kamu mendapat tahunya?” ia tanya
pula.
“Khan yang agung telah mengirim utusan mengundang
Khu Cie Kie Totiang, kita mendengarnya dari orang coan
cin pay,” Yoe
Kiak menyahut.
Kwee Ceng menjublak mendongak
ke arah Selatan di mana ada gumpalan-gumpalan mega putih, hatinya berpikiri Kay Pang
tersebar di seluruh negara, toh mereka tidak ketahui tentang Yong-jie, kalau
begitu, dia lebih banyak terancam bahaya daripada menghadapi keselamatan” Maka
tanpa merasa, kedua matanya menjadi merah. Tapi ia menerima kawanan pengemis
itu, ia memerintahkan orangnya untuk memerinahkan mereka itu, ia sendiri terus
menghadap Jenghiz Khan guna melaporkannya.
“Baik,”Jenghiz Khan menerima baik. “Kau
masukilah mereka di dalam pasukan pwrangmu” sekalian menghadap junjungan itu, Kwee Ceng
mengutarakan niatnya mengundurkan diri
Jenghiz Khan gusar, ia berkata dengan nyaring:
“siapakah yang dilahirkan lantas dapat berperang? Tidak bisa, bukan? Maka itu, berperanglah, setelah beberapa kali, kau tentu lantas bisa”
Pemuda ini tidak berani banyak omong lagi, ia
mengundurkan diri, akan balik ke kemahnya. Ia bingung dan berduka.
Melihat sikapnya anak muda itu, Yoe Kiak
heran, ia menanya apa sebabnya. si anak muda menuturkannya. ” Itulah tidak
apa,” Yoe Kiak menghiburkan.
sorenya, Yoe Kiak
masuk ke dalam kemah, ia kata pada pemuda itu: ” Kalau tahu begini, ketika
berangkat dari selatan tentulah aku membawa kitab ilmu perang dari sun Bu Cu
atau kitabnya Kiang Thay Kong, dengan begitu, bereslah semua.” Mendengar ini, mendadak
Kwee Ceng ingat kitab peninggalan Gak Hui. “Ah, mengapa aku melupakannya?”
pikirnya. “Bukankah itu kitab ilmu perang?”
Ia lantas mengeluarkan kitabnya Gak Hui itu,
lantas ia membaca. Dan ia membaca terus-terusan hingga
malam itu ia lupa tidur dan lupa dahar. Paginya ia masih melanjuti membaca.
sampai tengah hari barulah ia letih dan kantuk.
Kitabnya Gak Hui itu lengkap memuat segala
apa mengenai pengaturan tentara dan berperang, umpama siasat menyerang dan
membela diri, mendidik tentara, mengendalikan kepala-kepala perang, maka itu,
si anak muda menjadi ketarik, Ketika itu hari ia membacanya di dalam perahu,
perhatiannya kurang, sekarang lain. Tapi adabagian-bagiannya yang kurang jelas,
maka ia mengundang Yoe
Kiak dan minta tiang lo itu tolong
menjelaskan.
“sekarang ini aku juga kurang mengerti,”
berkata si pengemis. “Nanti aku pikirkan dulu, sebentar aku mencoba menjelaskannya.”
Dan ia mengundurkan diri
Tidak lama ia kembali lagi, lalu ia menjelaskannya, dengan sempurna.
Bukan main girangnya Kwee Ceng,
maka saban-saban ia minta bantuannya tiang lo itu. sebaliknya Yoe Kiak
aneh. setiap kali ia ditanyakan, tidak dapat ia menjawab seketika juga, mesti
ia berlalu dulu, untuk memikirkan dan memahamkannya, katanya setelah ia balik
lagi, sebera ia bisa mengasih keterangan dengan baik sekali. Mulanya Kwee Ceng
tidak memperhatikan itu, sesudah lewat beberapa hari, ia menjadi heran dan
curiga. Maka ia ingin mencoba. Demikian itu malam, ia undang Yoe Kiak.
La menanyakan satu huruf. “Nanti aku pikirkan,”
berkata sitianglo yang lantas mengundurkan diri
” Kalau satu soal, pantas itu dipikirkan,”
pikir Kwee Ceng seberlalunya si pengemis, “Akan
tetapi ini hanya satu huruf, mustahil itu tidak dapat segera diartikannya?”
Maka ini kepala perang mudah lantas menyusul
dengan diam-diam pada pengemis itu, untuk mencari tahu apa yang orang perbuat.
Loe Yoe Kiak bertindak cepat ke
arah sebuah kemah kecil. Tidak lama ia berdiam di
dalam kemah itu, lantas ia kembali. Kwee Ceng
lekas kembali ke kemahnya. Yoe
Kiak menyusul dengan cepat.
“Sekarang aku telah mengerti,” kata si
pengemis, yang terus menjelaskannya. Kwee Ceng
lantas tertawa.
“Lou Tiang
lo” katanya, “Kalau kau mempunyai guru, mengapa kau tidak mengundang dia untuk
bertemu sama aku?” Pengemis itu melengak.
“Tidak” sangkalnya. Kwee Ceng
menggenggam tangan orang.
“Mari
kita pergi melihat” katanya. Dan ia
berjalan sambil menuntun, untuk pergi ke kemah kecil tadi.
Di depan kemah itu ada
menjaga dua orang pengemis, kapan mereka itu melihat Kwee Ceng
datang, keduanya berbatuk satu kali. Mendengar itu, si anak muda melepaskan
tangannya Yoe Kiak, ia lompat ke tenda untuk menyingkap. Ia
melihat tenda bagian belakang bergerak, seperti bekas orang keluar dari situ.
Ia memburu terus.
Tiba di belakang tenda, ia menampak rumput
tebal, tidak ada orang di situ. Ia heran hingga ia berdiri dia saja. Kemudian
ia menanyakan Yoe
Kiak. Tianglo ini mengasih tahu bahwa kemah
itu kemahnya sendiri, tidak ada lain orang
tinggal bersama dengannya. Ia heran dan masgul, ia tetap bercuriga.
setelah itu, kalau Kwee Ceng menanyakan
sesuatu kepada Yoe
Kiak. pengemis ini baru dapat
menjawab di hari besoknya. Karena ini ia percaya benar, di sana mesti ada seorang lain, hanya orang
tidak sudi menemui padanya. sebab orang tidak bermaksud jahat, selanjutnya ia
tidak memaksa ingin mengetahui orang itu, ia membiarkannya saja.
selama belum berangkat perang, Kwee Ceng
bekerja. Malam ia membaca kitab dan memahamkannya, mengingatnya baik-baik,
siang ia melatih tentaranya, melatih berbaris dan berperang juga. Tentara Mongolia itu
biasa berperang di tempat terbuka dengan menuruti caranya sendiri, sekarang
mereka terlatih, tugas itu berat, tetapi mereka mesti menurut perintah, mereka
terpaksa melakukannya.
satu bulan lebih Jenghiz Khan bersiap sedia
terutama di bagian rangsum, selama itu Kwee Ceng
telah berhasil melatih tentaranya itu hingga pasukannya mengerti apa yang dinamakan
delapan barisan Thian-hok Tee-cay, Hong- yang, In-sui, Liong- hui, Houw-ek.
Niauw-siang dan coa-poan, yang berdasarkan barisan rahasianya Cu-kat Liang, hanya di tangan Gak Hui, barisan itu diubah pula.
Kemudian datanglah hari yang ditunggu-tunggu.
Lima belas laksa serdadu berkumpul di tanah datar selagi
udara bersih dan nyaman. Di situ Jenghiz Khan
mengadakan sembahyang kepada langit dan bumi, untuk bersumpah untuk
keberangkatannya pergi berperang. Kepada semua panglima perangnya ia kata:
“Batu itu tidak ada kulitnya, jiwa manusia
ada habisnya, lihat sekarang rambut kepala dan kumisku sudah putih semua, maka
itu, dengan kepergian perang ini, belum tentu aku dapat pulang dengan masih hidup,
karenanya ini hari hendak aku mengangkat seorang putra mahkota, supaya semeninggalnya
aku, dia dapat menggantikan aku mengangkat benderaku yang agung ini”
Mendengar kata-kata itu, yang tidak disangka,
orang heran berbareng girang. Heran sebab itulah luar biasa, dan girang karena
memang Khan itu perlu memilih ahli warisnya. semua mata lantas diawasi kepada
pemimpin mereka itu, untuk mendengar disebutkannya nama calon penggantinya .
“Juji, kaulah putra sulungku,” berkata
Jenghiz Khan, “Kau bilang, aku harus memilih siapa?”
Juji kaget di dalam hatinya. Dia pandai
bekerja, dia paling banyak jasanya, dia pula putra sulung, maka dia percaya
kalau nanti ayahnya menutup mata, dengan sendirinya dia bakal menggantikannya
ayah itu. sekarang dia ditanya secara mendadak. Tidak dapat dia segera
memberikan jawabannya.
Putra yang kedua dari Jenghiz Khan,jagatai, bertabiat keras, dengan kakaknya itu ia memang
tidak akur, maka itu mendengar pertanyaan ayahnya itu dan melihat si kakak menjublak,
dia kata dengan keras- “Juji hendak disuruh berbicara, dia hendak diperintah apakah?
Apakah dapat kami dibiarkan diperintah oleh anak campuran bangsa Mergid?”
Ada sebabnya kenapa Jagatai mengatakan demikian. pada mulanya, pasukannya Jenghiz
Khan lemah, itu waktu istrinya kena dirampas bangsa Mergid yang menjadi musuhnya,
tempo istri itu kembali, ia sedang hamil, kemudian terlahirlah Juji. Meski demikian
adanya si putra sulung Jenghis Khan menerimanya
dengan baik, dia memandang si putra sebagai putra sejati. Maka hebatlah
sikapnya Jagatai ini.
Bukan main gusarnya Juji kepada adiknya itu,
ia berlompat dan menjambak dadanya si adik, Ia membentako “Ayah sendiri tidak
memandang aku sebagai orang luar, kenapa kau begitu menghina aku? Kepandaian
apa kau mempunyai yang dapat melebihkan aku? Kau cuma menang jumawa Marilah
kita bertanding Jikalau dalam hal mengadu panah aku kalah dari kau, aku akan
mengutungi jari jempolku Jikalau kita bertempur dan aku terkalahkan, akan aku
rebah di tanah untuk selama-lamanya dan tidak akanbangunpula” Ia lantas
berpaling kepada jenghiz Khan dan berkata. “Ayah silahkan ayah mengeluarkan firman mu” Jagatai tidak suka dijambak. dia melawan maka dua saudara itu
sudah lantas berkutat.
Beberapa panglima segera maju untuk
memisahkan. Borehu menarik tangan Juji dan Mukhali menarik tangannya Jagatai.
Jenghiz Khan berdiam, air mukanya muram. Ia
ingat masa mudanya itu di waktu mana sekalipun kehormatan istrinya tidak
sanggup membelanya, hingga sekarang terjadilah percederaan yang hebat ini.
Banyak panglima mempersalahkan Jagatai,
yang dikatakan tidak seharusnya berbuat demikian hingga dia menyebabkan orang
tuanya menjadi berduka.
Diakhirnya Jenghiz Khan berkata juga “Kamu
berdua meletaki tangan kamu Juji putraku yang sulung, aku memang mencintai dan
menghargai dia, maka itu mulai hari ini dan selanjutnya, aku larang siapa juga
bicara tentang dia”
Jagatai melepaskan
tangannya, ia tertawa dan berkata: “Juji memang gagah, siapa pun mengetahuinya.
Hanya dia kalah dari adik ketiga ogotai dalam hal kemurahan hati, maka itu aku
memilih ogotai”
“Juji, kau bagaimana?”Jenghiz Khan tanya putra
sulungnya.
Juji dapat melihat suasana, ia tidak
mempunyai harapan lagi, karena ia baik dengan ogotai dan mengetahui baik hati
murah dari adik ini, dan ia percaya juga di belakang hari sang adik tidak bakal
mencelakai padanya, ia menjawab “Baiklah Aku
juga memilih ogotai”
Putra keempat, Tuli, tidak menentang
pemilihan itu, maka itu Jenghiz Khan lantas mengadakan pesta, guna mengangkat
dan meresmikan keangkatan putra mahkota itu.
Perjamuan berjalan sampai jauh malam, baru
bubar.
Kwee Ceng pulang ke kemahnya
dengan rada pusing, disaat ia hendak membuka baju, untuk tidur, satu serdadu
pengiringnya lari masuk ke dalam kemahnya itu dan melaporkan: “Huma, hebat
Pangeran sulung dan pangeran kedua, yang telah minum hingga mabuk. telah
membawa pergi masing-masing senjatanya untuk bertempur satu pada lain”
Pemuda itu kaget bukan main. “Lekas laporkan
kepada Kha Khan” ia memerintahkan.
“Kha Khan juga sudah mabuk dia telah
dipanggil-panggil tetapi tidak dapat mendusin”
Kwee Ceng menjadi bingung.
Hebat kalau dua saudara itu bertempur, sedangmereka mempunyai masing-masing
pengikut dan tentaranya. Pula
hebat akibatnya untuk angkatan perang Mongolia seumumnya. Ia berjalan
mondar-mandir. Ia mengoceh seorang diri “Kalau Yong-jie
ada di sini, dla dapat mengajari aku apa yang aku mesti lakukan”
sementara itu terdengar suara riuh, tanda dua
pasukan hendak mulai bertempur.
Mendengar itu, pemuda itu menjadi semakin
bingung. Tiba-tiba saja Lou
Yoe Kiak
datang masuk dan menyodorkan sehelai kertas di atas mana ada ini tulisan:
“pakailah barisan Coa-poan untuk memisahkan kedua pasukan, lalu menggunai
barisan Houw-ek untuk mengurung dan menawan yang tidak sudi menyerah.”
selama ini Kwee Ceng telah membaca hapal
bunyinya kitab Gak Hui, maka itu begitu melihat surat itu, ia sadar. Ia menyesalkan dirinya:
“Kenapa aku begini tolol hingga aku tidak dapat mengingat ini? Perlu apa aku
membaca kitab ilmu perang?” segera ia menitahkan pasukan parangnya bersiap.
Tentara Mongolia telah terlatih baik, tata
tertibnya sempurna, biar banyak yang sudah mabuk. begitu titah dikeluarkan,
begitu mereka bersiap hingga sebentar saja. Mereka sudah berbaris rapi. Kwee Ceng
lantas memimpin mereka memburu ke timur laut, sampai beberapa lie. Di sana
ia menerima laporan, kedua pihak pasukannya Juji dan Jagatai
sudah berhadapan dan pertempurannya mungkin telah dimulai. Ia pun lantas mendengar teriakan riuh dari tentara kedua pangeran itu
“jangan-jangan aku terlambat” pikirnya
bingung sekali. “jangan-jangan bencana besar tak dapat dicegah pula” Tapi ia
masih ingat untuk memberikan titah- titahnya, mengatur barisannya,
Coa-poan-tin, atau barisan ular, yang ia titahkan terlebih jauh untuk menghalang
di antara pasukan-pasukan kedua saudara yang lagi menuruti nafsu amarahnya itu.
Dua-dua juji dan Jagatai
menjadi heran atas datangnya pasukan sama tengah itu, hingga mereka melengak.
“Siapa? siapa di sana?”Jagatai
berteriak-teriak dengan pertanyaannya. “Kau hendak membantui aku atau Juji si
anak haram?”
Kwee Ceng tidak menjawab, ia
bekerja terus. Ia menggubah barisan ularnya, Coa-poan-tin, menjadi barisan
sayap Harimau, Houw-ekstin, guna seluruhnya datang sama tengah, untuk
mempengaruhi pasukannya kedua saudara itu. Jagatai segera mendapat lihat benderanya Kwee Ceng, ia menjadi gusar.
“Memang aku tahu bangsat bangsa Lam-ban bukan
manusia baik-baik” serunya. Ia lantas menitahkan tentaranya menerjang pasukan
si anak muda.
Barisan sayap Harimau sementara itu sudah
bekerja. Itulah barisan yang dijaman dahulu digunakan Han
sin menghajar Han Ie. Barisan itu terdiri dari pelbagai barisan kecil dan
barisan-barisan kecil inilah yang bertindak sebat sekali.
Jagatai telah mengerahkan
dua laksa serdadunya tetapi sekarang dua laksa serdadu itu kena dipisahkan satu
dari lain. Memangnya tentara itu tidak berkelahi sungguh melawan pasukannya
Juji, ke satu merekalah orang sendiri, kedua mereka takut kepada jenghiz Khan,
dan sekarang, yang memisahkan mereka bangsa sendiri juga.
Kwee Ceng lantas
berteriak-teriak: “Kita semua ada saudara-saudara bangsa Mongolia, tidak
dapat kita saling membunuh diri Lekas kamu meletaki golok dan panah kamu,
supaya Khan yang agung tidak nanti menghukum potong kepala kamu”
Berpengaruh suaranya anak muda ini,
tentaranya Jagatai lantas saja lompat turun dari
masing-masing kudanya dan meletaki senjata mereka.
Jagatai panas bukan main,
dengan memimpin seribu lebih pengiringnya, ia merangsak kepada si anak muda,
untuk menyerang.
Di antara pasukannya Kwee Ceng
lantas terdengar tiga kali suara tambur, lantas ada delapan barisan kecilnya
yang bergerak dari delapan penjuru, mereka itu bukannya menyambut penyerangan
hanya memapakinya dengan tambang-tambang kalakan, maka hampir serentak, seribu
lebih serdadunya Jagatai itu roboh, karena kaki kuda
mereka telah terkalak, lantas mereka ditubruk dan diringkus, tangan mereka
ditelikung ke belakang.
Juji kaget berbareng girang melihat sepak
terjangnya Kwee
Ceng itu Ia hendak menghampirkannya
untuk berbicara, atau mendadak ia melihat pasukannya Kwee Ceng
bergerak lebih jauh, mengurung kepada pihaknya. Ia terkejut sekali menyaksikan cara bergeraknya tentara si anak muda itu. Ialah seorang
peperangan ulung, meski ia bingung, ia lantas memberikan titahnya untuk
melakukan perlawanan. Tapi juga tentaranya itu, di dalam tempo yang pendek.
kena dibubarkan dan ditawan tentaranya si anak muda.
Dua-dua Juji dan Jagatai
menjadi berkhawatir sekali. Mereka ingat saat pertemuan pertama kali dari
mereka dengan Kwee
Ceng .Juji telah mencambuki si
anak muda sampai anak muda itu mati hidup dan hidup mati, sedang Jagatai
pernah menganjurkan anjing mengeroyok dan menggigitinya. Maka mereka khawatir
si anak muda menggunai ketikanya ini untuk mencari balas. saking khawatir dan
kaget, mereka sadar dari mabuk arak mereka. sekarang mereka pun menjadi takut
nanti dihukum ayah mereka, bukan main mereka menyesal.
juga Kwee Ceng,
setelah tindakannya itu, menjadi tidak tentram hatinya. Bukankah ia bergerak
lancang, tanpa titah siapa juga? Bukankah ia, biar
bagaimana, ada orang luar?
Tidakkah tindakannya ini
berarti sangat besar? Maka
ia tidak tahu, apa akan jadi akibatnya:
bencana atau kebaikan? Karena ini, ia pikir, baiklah ia
berdamai sama ogotai dan Tuli. Tapi ia tidak dapat kesempatan akan menemui kedua
pangeran itu, kupingnya sudah lantas mendengar suara terompet, lalu ia melihat
lari mendatanginya Jenghiz Khan, yang akhirnya sadar juga dari pusingnya,
hingga dia kaget dan gusar mendengar hal pertempuran dua putranya itu, tanpa
dandan lagi, dengan rambut riap-riapan dia lari keluar dari tendanya, dia
kaburkan kudanya. Ketika dia tiba, dia menjadi heran. Semua serdadu dari Juji
dan Jagatai duduk diam di tanah, dan tentaranya Kwee Ceng
menilik mereka itu. Pula
kedua putranya, meski mereka tetap duduk di atas kuda mereka, mereka
masing-masing diawasi oleh delapan pahlawan yang bersenjatakan golok, yang mengurung
mereka itu.
Kwee Ceng lantas menghampirkan,
untuk sambil berlutut menuturkan duduknya hal, juga tentang tindakannya sendiri
untuk mencegah pertumpahan darah hebat.
sesudah mengetahui duduknya kejadian Jenghiz
Khan girang bukan kepalang. Ia lantas mengumpulkan semua panglimanya, ia lantas
menegur hebat kepada Juji dan Jagatai. sebaliknya, Kwee Ceng
dan opsir-opsirnya diberi persenan.
Kwee Ceng menerima persenan,
tetapi ia tidak ambil itu untuk dirinya sendiri, ia lantas menghadiahkan itu
kepada tentaranya, maka juga semua serdadunya bersorak kegirangan.
setelah itu Kwee Ceng
diberi selamat oleh sekalian panglima atas jasanya itu.
Anak muda itu menanti sampai semua tetamu
sudah mengundurkan diri, ia ambil surat
yang dibawa Lou
Yoe Kiak.
surat yang
mengajari ia bagaimana harus bertindak tadi. Ia meneliti itu Ia heran.
“Dua barisan coa-poan dan Houw-ek memang
telah aku melatihnya terhadap tentaraku tetapi belum pernah aku menyebutkan
nama-namanya,” pikirnya. “Kenapa sekarang dia mengetahuinya? Mungkinkah dia
mencuri baca kitab ilmu perangku itu?
Kitab itu tapinya selalu tersimpan di
tubuhku, tidak pernah aku berpisah dengannya, cara
bagaimana dia dapat membacanya?”
Ia masih berpikir sekian lama, lantas
memerintahkan orangnya memanggil Lou Yoe Kiak.
“Lou Tiang
lo,” ia berkata setelah si pengemis tiba. “Inilah kitab ilmu perangku, jikalau kau
suka melihatnya. ini aku beri pinjam kepadamu.” Yoe Kiak
tertawa.
“si pengemis melarat ini, seumurnya dia tidak
bakal menjadi jendral” katanya.
“Untukku buat apakah sebuah kitab ilmu
perang?” Kwee Ceng menunjuk kepada surat yang ia terima dari
pengemis itu.
“Kalau begitu, mengapa kau mendapat tahu
tentang dua pasukan coa-poan dan Houw-ek ini?” ia tanya.
“Bukankah koanjin pernah membicarakan itu
padaku?” balik tanya si pengemis.
Agaknya ia heran. “Apakah koanjin sudah
lupa?”
Kwee Ceng berdiam. Ia tahu
orang mendusta, ia tetap bingung. Ia tidak bisa menerka
duduknya hal yang benar.
Besoknya siang Jenghiz Khan berapat pula.
Kali ini ia mengatur angkatan parangnya.
sebagai pasukan nomor satu ditetapkan
pasukannya Jagatai dengan ogotai sebagai komandannya
Jagatai sendiri dijadikan sianhong ialah pasukan
depan. Pasukan nomor tiga ialah pasukan kiri Jenghis Khan
sendiri bersama Tuli memimpin
pasukan utama.
sebat sekali tindakan itu diambil, maka
dilain saat berangkatlah angkatan perang ini beserta iring-iringan rangsumnya
menuju ke Barat, menghampirkan Khoresm. Majunya makin lama makin jauh, masuknya
makin lama makin dalam di wilayahnya shah Muhammad Ala-ed-Din. Angkatan perang
shah itu besar jumlahnya tetapi mereka bukan tandingannya tentara Mongolia
dalam ketangkasan berperang, dengan begitu dia kena terdesak.
Pada suatu hari Kwee Ceng
menunda pasukan perangnya di tepi sungai. Malamnya, selagi ia membaca kitab
perangnya, untuk dipahamkan terlebih jauh, ia mendengar suara berkelisik di
atas tendanya, lalu pintu tendanya tersingkap dan satu orang bertindak masuk.
Beberapa serdadu penjaga mencegah, mereka membentak. Tetapi satu demi satu
mereka kena ditotok roboh. Kwee
Ceng segera menyimpan kitabnya, ia
berbangkit. orang yang menerobos masuk itu lantas memandang kepadan a dan tertawa.
Dialah see Tok
Auwyang Hong.
Kwee Ceng kaget berbareng
girang. siapa sangka di tempat jauh sepuluh ribu lie dari Tiong-goan dia
bertemu sama siBisa dari Barat itu.
“Mana nona oey?” itulah pertanyaannya yang
pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar