Bab 72. Mulutnya
Si Tolol
Tin Ok mendongkol bukan main, ia mendongkol
dan bergusar tanpa dapat melampiaskan itu. Ia duduk separuh menyender, mukanya
menyeringai. Ia berniat mencabut anak panah di kakinya itu, ia tidak
berani. Ia khawatir nanti darahnya menyembur dan ia sukar menyumbatnya. Memang celaka kalau
si nona tidak menolongi ia membalut lukanya itu. Dengan terpaksa, ia menutup
mulut. “Lekas ambil air dingin” menitah si nona bengis. “Lekas”
Perintah itu dibarengi sama tamparan nyaring
ke muka serdadu yang diperintah itu.
Tin Ok mendengar itu, ia pikir. “Hebat ini
siluman perempuan. Kalau dia tidak bicara, tidak apa
asal dia membuka mulutnya, tentulah orang bercelaka”
“Ambil pisau” memerintah pula si nona. “Kau
potong ujung bajunya Kwa Tayhiap di dekat lukanya itu” Perintah itu dilakukan
satu serdadu.
“Orang she Kwa, kalau benar laki-laki, jangan
kau menjerit kesakitan” kata si nona.
“Jangan kau membikin nonamu mendongkol, nanti
dia tidak mau memperdulikan lagi padamu”
“Memangnya siapa yang kesudian kau
memperdulikannya?” kata Tin Ok sengit.
“Lekas kau pergi,jauh-jauh” Tapi belum ia
bicara habis, mendadak ia merasakan pahanya sangat sakit. orang telah memegang
gagang panah, bukan panah itu dicabut hanya ditusukkan sakit
dan kaget, sebelah tangannya melayang. Lagi
sekali ia merasakan sakit, kali ini pada tangannya, sebab pada tangannya itu
dibelesaki anak panah.
oey Yong mencabut anak panah dan menyerahkan
itu pada siterluka.
“Jikalau kau bergerak lagi satu kali, aku
akan gaplok padamu” terdengar pula suara si nona.
Tin ok sangat mendongkol tetapi ia berdiam.
Ia tahu, si nona berbuat apa yang dia katakan. sekarang ini ia bukan tandingan
nona itu. sungguh hina kalau ia sampai digaploki oey Yong. Dengan muka merah
padam, ia menutup mulut. Ia mendengar orang membeset beberapa kali pada
potongan bajunya, ia merasa lukanya dibalut keras sekali, guna mencegah
keluarnya darah. Habis itu ia merasakan dingin. si nona lagi mencuci
lukanya itu. Ia
menjadi heran.
” Kalau dia mau bikin aku celaka, kenapa dia
menolongi? Kalau dia mau mendongi
aku Hm Hm Ayah dan anaknya ini,
siluman-siluman dari Tho Hoa To, benarkah mereka
suka mendongi aku? Boleh jadi dia lagi
menggunai akal jahatnya” Dilain saat, oey Yong sudah selesai mengobati.
Tin ok segera merasakan sakitnya berkurang
sebagian besar. Ia tidak tahu oey Yong telah memakai obat siauw Hoan Tan dari
Tho Hoa To, obat mustajab nomor satu untuk luka-luka. setelah itu, ia merasakan
lapar, perutnya berbunyi keruyukan.
“Aku kira laparmu lapar paisu, kiranya lapar
tulen” kata si nona mengejek, tertawanya dingin. “Baiklah, mari kita berangkat”
Ia bukan mengasih makanan, ia mengajak pergi.
Pula ia telah
mengayun tangannya, maka kedua serdadu tukang gotong itu kembali merasa
sakitnya tongkat dari Partai
Pengemis. Mereka ini menggotong
pula orang yang luka itu, yang mereka diperintah memanggilnya “toaya” atau
“tuan besar”.
Kali ini orang berjalan kira empat puluh lie,
sang magrib telah mendatangi, burung-burung gagak pada berbunyi berisik sekali.
Entah ada berapa ribu gagak di situ.
Tin ok kenal baik kota Kee-hin, maka tahulah ia yang ia telah
dibawa ke dekat Tiat ciang Bio, kuil di mana ada dipuja Tiat Ciang ong Gan
ciang si Tombak
Besi, panglima perang yang kesohor
di jaman Ngo Tay. Di samping kuil itu
ada sebuah menara besar, yang sudah semenjak lama menjadi sarang gagah.
Penduduk menyangka burung itu burung malaikat, mereka tidak berani mengganggu,
maka juga, makin lama burung hitam itu jadi makin banyak.
“Ah, hari sudah gelap. di mana di sini kita
mencari pondokan?” berkata si nona.
Tin ok lantas berpikir: “Kalau kita menumpang
di rumah penduduk. ada kemungkinan rahasia nanti bocor dan tentara negeri bisa
datang untuk melakukan penangkapan”
Karena ini, ia menyahuti: “Di sebelah depan, tidak terlalu jauh, ada sebuah kuil
tua lainnya.”
si nona tidak menjawab, hanya ia kata bengis:
“Apakah bagusnya burung gagak untuk dipandang? Memangnya kamu belum pernah
melihatnya? Lekas jalan” Kedua serdadu lantas berjalan pula, kesakitan dan
ketakutan dan lelah sekali.
Tidak lama sampailah mereka di Tiat Ciang
Bio. Kwa Tin ok mendengar oey Yong menolak pintu. segera hidung mereka
tersampok bau kotoran gagak. Itulah tanda yang kuil itu sudah lama tertinggal
kosong dan tidak terurus. Ia tadinya menduda nona itu bakal menggerutu karena
kuil kotor, tidak tahunya si nona tidak memperdulikannya. Ia lantas mendengar kedua serdadu diperintah menyapu kotoran dan kemudian
masak air.
oey Yong sendiri mengganti obatnya si jago
Kang Lam, habis itu baru dia sendiri pergi mencuci muka dan kaki. Tin ok
merebahkan diri di ujung meja.
Belum lama, terdengarlah suara si nona:
“Perlu apa kamu memandangi kakiku?
Memangnya kakiku dipertontonkan kepada kamu?
Awas, aku nanti korek biji matamu”
Kedua serdadu itu ketakutan, mereka
menjatuhkan diri dan mengangguk-angguk hingga jidatnya nyaring mengenai lantai.
“Bilang, perlu apa kamu mengawasi aku mencuci
kaki?” si nona bertanya pula.
“Maafkan, nona,” kata satu serdadu sambil
mengangguk pula. “sebenarnya hambamu melihat kaki nona bagus bagus sekali”
“Celaka betul,” pikir Tin ok. “sampai ini
waktu mereka masih main gila Entah mereka bakal dikeset kulitnya dan dibetot
otot-ototnya atau tidak oleh si nona”
Tapi oey Yong tertawa, katanya: “Macam tolol
sebagai kamu masih mengetahui apa yang bagus dan apa yang tidak? Hm”
Dan satu serdadu
jumpalitan, karena dihajar tongkat si nona. setelah itu kedua serdadu itu pergi
bersembunyi di belakang. Tin ok berdiam saja, ia
ingin ketahui apa bakal terjadi pula.
oey Yong berjalan mondar mandir, kemudian
terdengar ia mengoceh seorang diri:
“ong Tiat Ciang
gagah luar biasa, diakhirnya ia toh kepala terpisah dari tubuhnya Apakah
artinya seorang enghiong? Apakah artinya seorang hoohan? Ah, tombak besinya ini tentulah tombak karatan”
Di masa mudanya,
sebelum matanya buta, Tin ok bersama Han Po Kie dan yang lainnya pernah memain
di kuil ong Gan ciang ini, meski mereka masih kecil, mereka pernah bergantian
mencoba mengangkat tombak besi itu, maka itu mendengar perkataannya nona itu,
ia menyahuti: “sudah pasti tombak itu tombak besi, bukannya tombak palsu”
“Ah” berkata si nona, yang terus mengangkat
tombak itu. “Beratnya tombak ini kira-kira tiga puluh kati Aku telah membikin
tongkatmu hilang, aku belum sempat menggantinya, karena besok kita bakal
berpisah, untuk pergi masing-masing, sebab kau tidak mempunyai senjata, baiklah
kau ambil tombak ini untuk dipakai sebagai gantinya tongkat.”
Tanpa menanti persetujuan oey Yong pergi
membikin patah ujung tombak yang tajam, lalu ia menyerahkan tombak yang tinggal
gagangnya itu, yang menjadi semacam toya atau tongkat.
Tin ok berduka ketika ia mendengar si nona
membilang besok mereka bakal berpisahan. sekarang ini ia sebatang kara. Pula
aneh, setelah berkumpul seharian itu sama si nona, ia sekarang merasa berat
untuk berpisahan. Ia memegangi tombak itu, yang antap beratnya, ia merasa
senjata itu cocok untuknya. Ia pun berpikiri “la memberikan senjata kepadaku,
nyata ia tidak bermaksud jahat.”
Lalu ia mendengar si nona berkata kepadanya:
“Inilah obat siauw Hoan
Tan bikinan ayahku.
obat ini ada faedahnya untuk lukamu. Kau membenci kami ayah dan anak.
terserah kepadamu untuk memakainya atau
tidak”
Tin ok merasakan tangannya dijejalkan sebuah
bungkusan, ia menyambuti itu dan memasukinya perlahan-lahan ke dalam sakunya.
la tidak dapat membilang suatu apa.
Lamengharap si nona masih berkata-kata pula,
tapi apa yang ia dengar hanya ini: “Nah, sekarang tidurlah” Lalu sunyi segala
apa.
Jago Kanglam ini merebahkan
dirinya, tombaknya diletaki di sisinya. Tidak bisa ia lantas tidur pulas. Ada saja pikiran yang
menyandingi padanya. Lamendengar suara gagak yang
berisik, suara mana makin lama makin reda, lalu sunyi segala apa.
Mengenai si nona, ia merasa orang tidak tidur
hanya duduk terus, duduk tanpa berkutik.
Adalah kemudian, terdengar nona itu
mengatakan seorang diri, suaranya perlahan, bersenandung. Dia membacakan
syairnya Eng
Kouw, yang Tin ok tidak mengerti maksudnya.
Hanya jago Kanglam ini merasa suara orang sedih, hingga
ia menjadi terharu.
Tidak lama dari itu barulah si nona bergerak.
rupanya dia merebahkan diri Kemudian lagi, suara napasnya menjadi perlahan lalu
berhenti.
Tin ok meraba tombak di sisinya. Kesunyian
membuatnya ia berpikir. Di depan matanya
lantas bagaikan berpeta Cu Cong lagi membaca kitab bututnya dan Han Po Kie dan
coan Kim Hoat seperti lagi menarik-narik kumis
patung malaikat. Lamerasakan seperti bermimpi bersama Lam Hie Jin dan Thio A
seng tengah saling menarik tombak besi itu, sedang siauw Eng - sananya - baru
berumur empat atau lima
tahun, dua kuncirnya ngacir, selagi dia tertawa haha-hihi, kuncirnya itu memain
dengan benang merahnya. Hanya sekejap. segala apa menjadi gelap. Lenyap segala
pertanyaan itu sebaliknya, timbullah hawa amarahnya, muncul kebenciannya yang
hebat terhadap si nona. Maka ia berbangkit,
sambil membawa tombaknya, ia berindap-indap mendekati si nona. Lamendengar suara
napas yang enteng, bukti bahwa nona itu lagi tidur nyenyak.
“Jikalau aku hajar dia, dia akan mati tanpa
merasa,” pikirnya jago ini, yang pikirannya seperti waswas itu. “Tanpa bersikap
begini, karena oey Lao shia sangat kosen, mana bisa aku menuntut balas? Anaknya
ini lagi tidur, inilah ketika yang baik pemberian Thian Biarlah Tong shia
merasakan enaknya orang kematian anak” Cuma sebentar ia berpikir begitu, atau
ia ingat pula: “Anak ini pernah menolongi jiwa ku, dapatkah aku membalas kebaikan
dengan kejahatan? Ah, biarlah Habis membunuh dia, aku pun membunuh diri di
sampingnya, guna membalas budinya”
Cuma bersangsi sebentar, Tin ok segera
mengangkat tombaknya. la telah pikir pula:
“Aku Kwa Tin ok. seumurku aku jujur dan
pemurah, selama beberapa puluh tahun dari hidupku, tidak pernah aku melakukan
apa-apa yang tidak pantas. sekarang aku dapat kembali ke kampung halamanku,
meski mati, tidak ada yang dibuat sesalan lagi”
Tepat sekali ia mengerahkan tenaganya,
mendadak ia mendengar suara tertawa nyaring dari kejauhan, suara itu
menyeramkan, membangunkan bulu roma.
oey Yong terbangunkan tertawa itu, ia terus
berlompat. Maka kagetlah, ia menyaksikan Kwa Tin ok lagi mengancam ia dengan
tombaknya ong Gan cian itu Tapi ia berteriak. “Auwyang Hong”
Tin ok kecele. Tidak dapat ia meneruskan
serangannya itu. la pun segera mendengar suara bicaranya beberapa orang, yang
terus mendatangi ke arah kuil. setelah itu, ia mendengar tindakan kaki, mungkin
dari tiga sampai empatpuluh orang, terdengarnya di depan dan belakang kuil, di
kedua samping.
setelah mendengari sekian lama, Tin ok
berkata dengan perlahan: “Terang mereka datang kemari karena mereka mendapat
dengar suara burung gagak. Mari kita sembunyi”
oey Yong setuju, ia memberikan penyahutannya.
Tin ok menuntun tangan orang untuk diajak
pergi ke belakang tapi di pintu pendopo bagian belakang itu, ia mengutuk kedua
serdadu tadi. Pintu itu dikuncikan mereka itu.
sedang begitu, di depan terdengar suara pintu
ditolak,Jadi untuk mereka, tidak ada tempo untuk pergi keluar.
“Mari
kita bersembunyi di belakang patung,” katanya. oey Yong menurut. la pun tidak melihat
lain tempat sembunyi.
Baru mereka memernahkan diri Tin ok mencium
bau belerang, maka tahulah ia yang orang telah menyalakan api.
“Paduka yang mulia Chao Wang,”
lalu terdengar suaranya Auwyang
Hong. “Kali ini dalam pertempuran
di Yan le Lauw kita tidak memperoleh hasil tetapi
kesudahannya kita telah memberi hajaran juga kepada semangatnya musuh” Chao
Wang atau Wanyen
Lieh, tertawa.
“Di
dalam segala hal aku mengandal kepada sianseng,” ia kata. “Begitu juga di lain hari,
dalam urusan mengambil kitab di Tiat Ciang Pang, aku mengharap sangat bantuan sianseng.”
“ltulah pasti” kata Auwyang Hong.
“sebenarnya, kalau bukan paduka yang mulia telah mengalami bahaya besar ini,
siapa menyangka kitabnya Gak Bu
Bok itu adanya di puncak Tiat Ciang
Hong?”
“Beberapa budak sianseng telah menolongi
jiwanya anakku, aku berterima kasih sekali,” berkata pula Chao Wang si pangeran
Kim. “Aku telah kirim mereka ke kota raja, untuk di sana mereka dirawat
seumur hidupnya.”
“ltu semua menandakan kebaikan paduka yang
mulia,” kata Auwyang
Hong tertawa.
“Khiu Pang cu telah menjadi gusar danpulang
ke gunungnya,” kemudian Wanyen
Lieh berkata pula, “Di sana
pasti dia bakal melakukan penjagaan kuat sekali, maka itu sianseng ada
mempunyai akal apa untuk mendapatkan kitabnya Gak Hui itu?”
“Paduka yang mulia mempunyai banyak orang
pandai, apakah artinya satu partai Tiat Ciang Pang?” berkata see Tok. “Biarnya Khiu Cian
Jin lihay, Auwyang Hong
merasa sanggup untuk melayani dia” la lantas tertawa kering.
Lalu terdengar suaranya Nio Cu ong, Pheng Lian
Houw, see Thong Thian dan lainnya,
yang mengumpak-umpak see Tok, sebaliknya Khiu Cian
Jin tidak dipandang mata sama
sekali.
setelah itu terdengar suaranya seorang muda:
“Tuan-tuan, kata-katamu tidak tepat.
Khiu Pangcu lihay sekali, aku
telah melihatnya dengan mataku sendiri Aku percaya, selain Auwyang sianseng,
tidak sanggup menandingi dia.” Tin ok mengenal suaranya Yo Kang, hatinya panas
sekali. Perkataannya Yo Kang itu membikin Nio Cu
ong semua kecele dan malu.
“Khiu Cian
Jin si tua bangka seperti ampas,
sekalipun Kwee
Ceng si bocah dia tidak
dapat mengalahkannya” tiba-tiba terdengar
suaranya Leng Tie siangjin. ” Kepandaian dia itu biasa saja”
Mendengar itu, Auwyang Hong
tertawa dingin. ” Kalau begitu, dapatkah sianjin mengalahkan Kwee Ceng?”
ia tanya.
Diam-diam orang tertawa. Mereka ingat
peristiwa itu hari di Ci Han Tong di istana di mana Leng Tie siangjin telah
dibikin terlempar dari dalam air tumpah.
“Bukan aku memandang rendah kepada siangjin,”
berkata pula Auwyang
Hong.
“orang dengan kepandaian sebagai kau, meski
kau belajar lagi sepuluh tahun, belum tentu kau dapat menjadi tandingannya Khiu Pangcu.
Nama Tiat Ciang sui-siang-pauw menggetarkan dua propinsi Lian ouw, hingga
sekalipun aku, tidak berani aku memandang enteng terhadapnya” Lagi sekali see
Tok tertawa kering.
Leng Tie siangjin mendongkol bukan main, ia
malu, akan tetapi ia tidak berani membuka mulut guna melawan bicara. Mukanya
menjadi merah.
Kwa Tin ok mendengar orang bicara, ia menahan
napas. Lamengenali semua orang tangguh itu. Kalau tadi ia ingin
mati bersama oey Yong, sekarang sebaliknya ia khawatir dirinya dan si nona
nanti terbinasakan mereka.
Habis itu terdengar hamba-hambanya Wanyen Lieh
mengatur tatakan untuk Wanyen Lieh bersama Yo Kang dan Auwyang Hong
beristirahat.
“Auwyang sianseng,” terdengar suaranya Yo
Kang. “Di dalam bukunya siangkoan Kiam
Lam, boanpwee melihat ada catatan tentang ilmu untuk memecahkan pukulan Tangan Besi
itu.”
Auwyang Hong girang mendengar
keterangan itu hingga ia berlompat bangun sambil menegasi: “Benarkah itu?”
“Boanpwee tidak berani mendusta,” kata Yo
Kang, yang menyebut diri “boanpwee”,
yang terlebih muda. “Hanya sayang, bagian
pelajaran itu termuat di dalam halaman-halaman yang justru kena dirobek-robek
si perempuan hina dina”
Auwyang Hong menyesal sekali. Ia
tidak takuti Khiu
Cian Jin
tetapi kepandaian orang itu ia malui. Maka sayang ilmu memecahkan ilmu silat Tangan Besi
itu telah lenyap dan musnah.
“Boanpwee telah membaca itu, bunyinya masih
boanpwee ingat samar-samar,”
berkata pula Yo Kang, “sayang kepandaianku
tidak berarti dan aku tidak dapat menyelami catatan itu. Di
dalam hal ini boanpwee mengharap petunjuk sianseng.”
Mendengar ini, timbul harapannya see Tok.
“Bagus, bagus” serunya. Hanya sejenak, ia
terus menghela napas. Kemudian ia kata:
” Keponakanku telah terbinasa di tangannya Oey Yok
Soedan orang-orang Coan Cin
Pay, dengan begitu Pek To san menjadi tidak ada ahli warisnya lagi. Aku pikir
baiklah aku ambil kau sebagai muridku.”
Yo Kang girang bukan main. Inilah justru
pengharapannya. Tidak ayal lagi, ia berlutut di hadapan see Tok, untuk paykui.
Tin ok menyesal dan mendongkol bukan main.
“Dia turunan baik-baik, mengapa sekarang dia
mengakui musuh sebagai ayahnya?” pikirnya. “sudah begitu, mengapa dia juga
mengangkat orang jahat sebagai gurunya?
Dia tenggelam semakin dalam, mungkin tidak
ada harapan untuk ia berbalik pikir.”
Melihat putranya mengangkat guru, Wanyen Lieh
berkata: “Di sini di tanah asing tidak
dapat disediakan hadiah untuk upacara mengangkat guru ini, baiklah itu ditunda sampai
lain hari.”
Auwyang Hong tertawa dan berkata
“Tentang barang permata, di Pek To San telah tersedia
cukup, Auwyang
Hong cuma mengharap bakat baik
dari anak ini, supaya dia menjadi ahli warisku yang berarti.”
“Sianseng, maaf,” berkata Wanyen Lieh.
Nio Cu ong beramai lantas
memberi selamat kepada Auwyang
Hong, Yo Kang dan pangeran Kim itu. yang pertama karena mendapat murid, yang
kedua karena mendapat guru, dan yang ketiga karena putranya mendapat guru
pandai.
“Tengah ramai mereka itu memberi selamat,
mereka mendengar seorang berkata-kata nyaring: “sa Kouw sudah lapar sa Kouw
sudah lapar sekali Kenapa aku tidak diberi makan?”
Kwa Tin ok mendengar suara itu yang ia
mengenalinya, ia menjadi heran. “Kenapa anak itu berada bersama Wanyen Lieh dan
Auwyang Hong?” pikirnya.
“Benar” terdengar saranya Yo Kang, yang
tertawa. “Lekas cari barang makanan untuk si nona, jangan bikin ia kelaparan
hingga nanti mendapat sakit”
Tidak lama setelah suaranya pangeran muda
itu, sa Kouw terdengar sudah mulai memakan apa-apa sembari makan maka terdengar
pula suaranya “saudara yang baik, kau bilang kau hendak mengajak aku pulang,
kau minta aku selalu mendengar perkataanmu, tetapi kenapa sampai sekarang aku
masih belum sampai di rumahku?”
“Besok kita akan sampai di rumahmu,” kata Yo
Kang. “Sekarang kau dahar biar kenyang dan lantas tidur baik-baik,” sa Kouw
berdiam, hanya sebentar.
“saudara yang baik,” katanya pula, “suara apa
itu di atas menara?”
” Kalau bukannya burung tentulah tikus,”
sahut si pangeran muda.
“Aku takut,” kata si nona tolol.
“Ah, nona tolol, takut apa?” Yo Kang kata
tertawa.
“Aku takut setan” sahut si nona.
“Di
sini ada begini banyak orang, mana setan berani datang ke mari?”
bilang pangeran muda itu.
Tin ok mendengar nyata, suaranya Yo Kang
sedikit menggetar dan tertawanya pun tidak wajar.
“Aku takut setannya si kate
dan gemuk itu,” berkata si nona pula.
“Hus, jangan ngaco
belo” kata Yo Kang, kembali tertawa.
“Apa sih si kate
gemuk? Buat apa kau menyebut nyebut”
“Hm, jangan kau kira tidak tahu” berkata sa
Kouw “si kate gemuk itu mati di dalam kuburan
dari nenekku maka arwahnya nenek bisa mengusir dia pergi dari pekuburan itu, untuk
melarang dia tinggal di dalam kuburan setelah diusir, dia nanti pergi mencari
kau”
“Tutup mulut” Yo Kang membentak. ” Kalau kau
terus banyak bacot, nanti aku panggil kakekmu, biar dia nanti membawa kau
kembali ke Tho Hoa To” Ancaman itu rupanya memakan, sa Kouw lantas menutup mulutnya.
“Hai, kau menginjak kakiku” tiba-tiba see
Thong Thian membentak. Rupanya si tolol, karena takutnya kepada setan, telah
menggeraki kakinya.
Tin ok segera berpikir. la percaya dengan si kate gemuk itu tentulah dimaksudkan Han Pe Kie,
saudaranya yang nomor tiga. saudara itu terbinasa di Tho Hoa To, terang dia
dibunuh oey Yok su, maka kenapa setannya hendak mencari Yo Kang? la heran. Sa Kouw
memang tolol tetapi kata-katanya itu mesti ada sebabnya, itu bukannya ocehan belaka.
Karena di situ ada banyak musuh, biarnya ia hendak menanyakan si nona tolol, tidak
dapat ia melakukan itu Lalu ia ingat kata-kata Oey Yok Soeselama di Yan
le Lauw bahwa dia ada manusia macam apa dan bagaimana dia bisa sama pendapat
sama mereka.
“Oey Yok Soetidak mau membunuh aku, maka bagaimana
d la dapat membunuh kelima saudaraku? Kalau bukan Oey Yok Soeyang membunuhnya, kenapa adik yang nomor
empat membilang dia melihat sendiri Oey Yok Soemembunuh saudaraku yang nomor dua dan
nomor tujuh?”
Tengah ia berpikir, Tin ok merasa oey Yong menarik
tangan kirinya dan di telapakan tangannya lantas mencoret beberapa huruf,
mulanya huruf “kiu” = minta, lalu yang lain: “
satu hal.” la lantas membalasi dengan
menuliskan pertanyaan: ” urusan apa itu?” oey Yong menulis pula: “Membilangi
ayahku slapa membunuh aku.”
Mengetahui pertanyaan itu, Tin ok melengak.
la tidak mengerti maksud si nona.
sedangkan ia berpikir, Ia merasakan angin
bergerak di sisinya, lalu oey Yong lompat keluar dari tempatnya sembunyi,
sambil tertawa, nona itu kata “Auwyang
Peehu, kau baik?”
Mendengar suara orang itu, Nio Cu
ong semua terkejut, dengan serentak, mereka menghunus senjata mereka
masing-masing, lantas mereka mengambil sikap mengurung. Di
antaranya ada yang berseru: “siapa kau?” oey Yong tidak takut, ia bahkan
tertawa terus.
“Ayahku menitahkan aku menantikan Auwyang Peehu
di sini” katanya keras.
“Perlu apa kamu membikin banyak berisik tidak
karuan?” Auwyang
Hong tertawa.
“Bagaimana ayahmu ketahui aku bakal tiba di
sini?” ia menanya.
“Ayahku mengerti ilmu bintang dan meramalkan
tidak ada apa-apa yang ia tidak tahu,”
menyahut si nona. “Asal dia menghitung-hitung
menuruti ilmu hitung Bun ong Kwa lantas dia tahu segala apa.”
Auwyang Hong tidak menanyakan
lagi, meski ia hanya percaya satu bagian dari perkataan si nona dan tidak mempercayainya
yang sembilan bagian.
see Thong Thian sendiri berlaku cerdik. Ia sudah lantas pergi ke luar kuil, kekelilingan, memeriksa, habis mana, ia
masuk kembali dengan hati lega. Ia tidak mendapatkan kawan si nona. sesudah menyimpan
senjata masing-masing, orang merubungi Wanyen Lieh.
oey Yong menghampirkan tempat duduk. untuk
bersila di situ. “Auwyang
Peehu, kau membikin ayahku
bersengsara” katanya, tertawa.
Auwyang Hong tidak menyahuti. Ia
tahu bocah in lihay mulutnya, kalau ia salah omong, di depan orang banyak itu
ia bisa mendapat malu. Maka ia menantikan perkataan lebih jauh dari si nona.
“Auwyang Peehu,”
berkata pula oey Yong. “Ayahku telah terkurung imam-imam dari coan cin Kauw di
dusur Sinteng-tin di Siauw Hong Lay, jikalau kau tidak menolongi, dia sukar
meloloskan dirinya.”
See Tok bersenyum. “Mana bisa jadi” katanya.
“Enak sekali kau bicara, Auwyang Peehu”
berkata pula si nona. “Satu laki-laki, dia berbuat, dia bertanggung jawab
Terang-terang kaulah yang membinasakan Tam cie Hian, si imam dari coan cin
Kauw, entah kenapa sekarang itu kawanan imam telah menggerembengi ayahku itu.
Sudah begitu muncul juga Loo Boan Tong ciu Pek Thong, yang mengacau. Ayahku
tidak mau mengaku atau menyangkal semua itu, maka juga, habis bagaimana?”
Di dalam hatinya, Auwyang Hong
girang. Tapi ia kata, “Ayahmu lihay sekali, apa yang mereka bisa bikin itu
beberapa bulu campur aduk?”
Sengaja See Tok menyebutnya imam-imam dari
coan cin Kauw itu sebagai “bulu campur aduk”.
“Tetapi ayahku juga bukannya menghendaki kau
datang sendiri untuk membantui padanya,” berkata pula si nona, “Hanya ayahku
menyuruh aku menyampaikan kepada kau bahwa setelah ia memikirkan susah payah
selama tujuh hari dan tujuh malam, ia telah berhasil dengan pemahamannya.
Inilah mengenai sebuah kata-kata”
“Apakah itu?” Auwyang I Hong tanya.
Oey Yong menyahuti. Ia
membacakan serintasan kata-kata Sansekerta.
Kwa Tin ok dan Wanyen Lieh
serta rombongannya tidak mengerti ucapan si nona itu, sebaliknya Auwyang Hong
menjadi terkejut.
“Benarkah Oey
Yok Soeberhasil
memahamkan bagian terakhir dari Kiu Im Cin-keng” pikirnya. Tapi karena ia seorang berpengalaman, ia tidak mengasih kentara akan
kagetnya itu. Ia
malah berlagak tenang.
“Bocah cilik, kau gemar mendustai orang”
katanya. “Kau ngaco belo, siapakah yang mengerti?”
“Ayahku telah berhasil menyalin semua itu,
aku melihatnya sendiri,” kata oey Yong.
“siapa mendustakan kau?”
Auwyang Hong tergoncang
ketenangan hatinya. Ia tahu Oey
Yok Soesangat
cerdas.
Memang orang yang dapat memahamkan Kiu Im
Cin-keng cuma si sesat dari Timur itu, tidak ada orang lainnya lagi.
“Kalau begitu, hendak aku memberi selamat
kepada ayahmu” katanya. Ia tetap berlaku tenang.
oey Yong bisa menduga kesangsian orang. Ia
kata pula, “Aku telah melihat terjemahan itu, sekarang aku masih mengingatnya.
Tidak ada halangannya untuk aku membacakannya mengasih kau dengar” Benar-benar
ia membacakan: ” Kalau tubuh bergerak, kalau tubuh berat seperti ketindihan
barang, atau kalau tubuh enteng seperti hendak terbang, atau tubuh terikat,
atau panas atau dingin, atau girang atau bergelisah, atau kaget, atau sangat
girang dan mabuk. semua itu harus disalurkan menurut ilmu yang di bawah ini,
guna memperoleh ketenangannya dan menjadi sempurna”
Auwyang Hong sangat tertarik.
Memang ilmu itu mesti didapat secara tenang, kalau tidak, orang bisa tersesat
dan menghadapi akibatnya yang membahayakan. Ia tidak tahu si nona menyebutkan terjemahannya It Teng
Taysu jadi Kiu Im Cin-keng yang tulen, ia hanya percaya itu sebab ia menganggap
masuk di akal.
“Habis bagaimana sadurannya itu?” ia tanya.
“Bagaimana bawahnya itu aku lupa,” berkata si
nona.
Auwyang Hong bersangsi. Ia tahu
nona ini sangat cerdik, tidak nanti dia lupa. Ia mau
percaya orang mendustai ia. Maka ia
memikirkan, kenapa si nona menyebut-nyebut bunyinya kitab itu.
“Ayah menyuruh menanya kau, Auwyang Peehu,”
kata oey Yong pula. “Kau menghendaki lima ribu huruf
atau tiga ribu?”
“Coba kau menjelaskan dulu,” menjawab see
Tok.
“Jikalau kau suka membantu ayah hingga kamu
berdua bersama memusnahkan Coan
Cin Kauw,
maka semua lima
ribu huruf dari Kiu Im Cin-keng akan aku baca habis untuk kau mendengarkannya.“
Auwyang Hong bersenyum. “Jikalau
aku tidak suka membantu ayahmu?”
“Maka ayah mau minta kau tolong membalaskan
sakit hatinya saja. setelah kau membinasakan Coan cin Liok Cu beserta Ciu Pek
Thong, akan aku membacakan yang tiga ribu huruf itu.” see Tok tertawa.
“Sebenarnya perhubungan ayahmu denganku tidak
erat, mengapa sekarang dia begini menghargai aku?” ia tanya.
“Ayah membilang, pertama-tama, yang membinasakan
keponakanmu itu ialah muridnya Coan Cin cit Cu, maka ayah pikir kau tentunya
akan membalaskan sakit hatinya”
Yo Kang menggigil sendirinya mendengar
perkataan nona. Ialah muridnya Khu
Cie Kie.
Jadi si nona pasti maksudkan dia.
“Eh, saudara yang baik, kau kedinginan?” tanya sa Kouw kepada pangeran muda itu.
Ia melihat tubuh orang bergemetaran. Yo Kang
menyahuti sembarangan saja.
“Kedua,” berkata pula oey Yong. “setelah
berhasil memahamkan kitab, ayah lantas bertempur sama kawanan imam itu, ia jadi
belum sempat menjelaskan semua. Kitab itu kitab aneh dan langka, mana dapat itu
dibikin lenyap? sekarang ini cuma kau seorang yang tabiatnya mirip ayahku, maka
itu ayah ingin mewariskan itu padamu, nanti baru kau mengajari aku.”
“Kata-kata ini dapat dipercaya,” Auwyang Hong
pikir. “Tanpa penjelasan, biar budak ini sangat cerdas, tidak nanti dia dapat
menangkap artinya kitab itu.” Tapi ia mengutarakan kesangsiannya. Ia kata:
“Mana aku ketahui kau membacakan yang asli atau yang palsu?”
“Kwee Ceng
si tolol telah mengasihkan kitab yang tertulis,” berkata si nona, “Maka kalau
kau mengakurkannya dengan apa yang aku bacakan, kau bakal mengetahui tulen atau
paisunya.”
“Kau benar juga. sekarang kau memberikan
ketika untuk aku beristirahat, besok aku nanti pergi menolongi ayahmu itu,”
berkata Auwyang
Hong. oey Yong tidak mau mengerti.
“Menolongi orang kesusahan seperti tolongi
orang kebakaran, bagaimana kau bisa menanti sampai besok? “
“Kalau begitu, nanti saja aku membalaskan
sakit hati ayahmu? sama bukan?”
See Tok tertawa. Ia telah berpikir, di mana
kitab sudah ada di tangannya, ia tinggal memaksa saja si nona memberikan
penjelasan kepadanya, nanti ia akan mendapat mengerti sendiri Bukankah bagus ia
membiarkan Oey
Yok Soedan
Coan Cin
Kauw bertempur mati-matian?
Kwa Tin ok memasang kuping. orang
membicarakan melulu soal kitab, ia tidak mengerti. Ia pun heran untuk
tulisannya oey Yong di telapakan tangannya itu: “Bilangi ayahku siapa yang
membunuh aku.”
Lalu terdengar suara oey Yong pula:
“Bagaimana kalau kau pergi besok pagi-pagi?
Dapatkah?” si nona agak kewalahan.
“Tentu” see Tok tertawa. “sekarang kau
beristirahatlah”
Oey Yong menurut, akan tetapi
Lamendekati sa Kouw.
“Eh, sa Kouw ayahku membawa kau ke Tho Hoa
To, kenapa sekarang kau ada di sini?” ia tanya.
“Aku tidak suka berdiam di Tho Hoa To, hendak
aku pulang ke rumah sendiri,” menyahut si tolol.
“Bukankah ini saudara she Yo yang telah pergi
ke Tho Hoa To dan lalu membawa
kau pergi? Benar bukan?” oey Yong tanya
pula.
“Benar. Dia benar-benar seorang baik hati”
Kwa Tin ok mendengar itu Ia heran.
” Kapannya Yo Kang pergi ke Tho Hoa To?” ia tanya dirinya sendiri.
” Habis, ke mana perginya ayahku?” oey Yong tanya.
sa Kouw nampak kaget.
“Jangan membilangi aku buron, ya?” katanya.
“Kakek bakal menghajar aku..”
“Aku tidak akan memberitahukan,” kata oey
Yong tertawa.
“Cuma hendak aku menanya kau dan kau harus
menjawabnya dengan baik.”
“Kau jangan membilangi kakek. ya. Kakek
hendak menangkap aku, buat dibawa pulang. Dia mau mengajari surat pada ku.”
“Tentu aku tidak memberitahukan” kata oey
Yong tertawa pula. “Kau bilang kakek mau mengajari
surat?”
“Benar. Hari itu di kamar tulis kakek
mengajari aku menulis surat.
Pula aku
diberitahu bahwa ayahku orang she Kiok dan namanya entah apa Hong. Benar-benar
aku sukar mengingati itu, lantas kakek gusar, dia mengatakan aku tolol hebat
sekali. Aku memang juga dipanggil sa Kouw”
“sa Kouw memang tolol,” kata oey Yong tertawa
manis. “Ayah memaki kau, itulah keliru” sa Kouw senang
mendengar perkataannya nona ini. “Bagaimana kemudiannya?”
“Aku mengasih tahu niatku ingin pulang, kakek
jadi semakin gusar selagi begitu, satu budak gagu datang masuk. Ia bicara sama
kakek, tangannya digerak-geraki. Kakek kata, ‘Aku tidak mau menemui tetamu,
suruh mereka pergi kembali’ Budak itu mengundurkan diri, tapi sebentar lagi ia
kembali sambil membawa sepotong kertas.
Kapan kakek melihat itu, ia lantas menitahkan
aku ikut si gagu menyambut sekalian tetamunya itu. Aku melihat si kate gemuk itu, muak aku melihatnya. Aku mendelik terhadapnya,
dia mendelik terhadapku.”
Tin ok membayangi halnya itu hari ia dan
saudara-saudaranya berkunjung ke Tho Hoa To. Keterangannya nona tolol ini cocok
sama keadaan itu waktu. Mulanya mereka ditolak, setelah Cu Cong
menulis surat,
mereka diterima. Memang benar, sa Kouw yang menyambut mereka. Hanya sekarang
Han Po Kie telah tidak ada bersama ia, ia menjadi sedih. “Apakah kakekmu
menemui mereka itu?” oey Yong bertanya pula.
” Kakek memerintah aku menemani mereka
bersantap. kakek sendiri mengundurkan diri. Aku tak senang melihat si kate gemuk itu, diam-diam aku meninggalkan mereka.
Aku melihat kakek di belakang, lagi duduk di
batu mengawasi laut. Aku pun turut memandangnya. Di
ana nampak sebuah perahu layar lagi mendatangi. Yang duduk diperahu itu ialah
bangsa imam.”
Kwa Tin ok berpikir: “Itu hari kami mendengar
kabar Coan cin Pay bakal menyatroni Tho Hoa To untuk menuntut balas, kami
lantas mendahului datang guna mengasih kisikan, buat minta dia suka menyingkir
untuk sementara waktu, supaya kami yang menemui pihak Coan cin Pay guna
memberikan penjelasan, hanya di pulau itu kami tidak mendapatkan tibanya
orang-orang coan Cin
Kauw itu Kenapa sekarang sa Kouw membilang
dari hal tibanya imam-imam itu yang naik perahu?”
“Bagaimana dengan kakek?”
“Kakek menggapaikan aku. Aku kaget. Aku
mengira kakek tidak tahu aku meninggalkan tetamu. Aku takut menghampirkan
kakek. aku khawatir nanti dihajar.
Kakek kata, ‘Aku tidak pukul padamu kau ke mari.’ Aku menghampirkan. Kakek lantas membilangi aku
dia mau pergi mancing dengan naik perahu, maka dia memesan kalau kawanan imam itu
mendarat, aku mesti menyambut mereka, untuk mengajak mereka masuk dan bersantap
bersama-sama rombongannya si kate
gemuk itu. Aku bilang bahwa akupun ingin pergi mancing. Lantas air mukanya
kakek menjadi guram. Terpaksa aku diam saja. “
“Kemudian lagi, bagaimana?”
“Kakek pergi ke belakang untuk mengambil
perahunya. Aku mendapat kenyataan, wajahnya semua imam itu tak sedap
dipandangnya, pantas kakek tidak sudi menemui mereka.”
“Benar, benar apa yang kau bilang. Kapan
kembalinya kakek?”
“Apa, kembali? Dia tidak pulang lagi.”
Tin ok terkejut hingga tubuhnya bergerak.
“Apakah kau tidak salah ingat? Kemudian lagi
bagaimana?” oey Yong menanya, suaranya rada bergemetar.
“selagi kakek hendak melayarkan perahunya
untuk berangkat, mendadak datang sepasang burung besar. Itulah sepasang
burungmu. Kakek menggapai kepada kedua burung itu. Mereka itu terbang turun. Ada apa-apa yang diikat
di kaki burung, bagus barang itu. Aku teriaki kakek: “Kakek, kakek kasih aku”
selagi mengucap itu, benar-benar sa Kouw
berteriak-teriak.
“sudah, jangan omong saja” Yo Kang membentak.
” orang mau tidur”
“Jangan perdulikan dia,” berkata oey Yong. ”
Kau omong terus.”
“Aku akan bicara perlahan,” katanya si tolol.
Dan ia benar memperlahankan suaranya. “Kakek tidak meladeni
aku, dia menyobek ujung bajunya, dia ikat itu di kaki burung, yang dia lantas
lepaskan pergi pula.”
oey Yong berpikiri “Ayah
hendak menyingkir dari Coan Cin
cit Cu, pantas dia tidak sempat mengambil ikan emas. Hanya panah di tubuhnya
burungku yang jantan, siapakah yang memanahnya?” Maka ia lantas menanya:
“siapakah yang memanah burung itu?”
“Memanah burung? Tidak.” selagi mengatakan
itu, si tolol melongo.
“Baik. Nah, kau cerita terus.”
“Melihat bajunya robek. kakek menyuruh aku
pulang untuk mengambil sepotong yang lain. Ketika kemudian aku kembali bersama
baju, kakek sudah tidak ada. Perahu kawanan imam juga tidak nampak. Cuma baju
robek itu ditinggalkan di tanah.” oey Yong tidak menanya lagi, ia berdiam.
“Ke mana perginya mereka?” katanya selang
sekian lama.
“Aku melihatnya. Mulanya aku
memanggil-manggil kakek. dia tidak menyahut. Lantas aku naik ke atas pohon,
memandang ke laut. Aku melihat perahu kakek di depan perahu si imam di
belakang. Perahu kakek kecil, perahu si imam besar. Perlahan-lahan kedua perahu
itu tak terlihat lagi. Aku tidak sudi melihat pula si kate
gemuk. aku terus berdiam di tepi laut main-main menendangi batu. sampai hari
sudah malam baru aku pulang dengan mengajak kakek itu serta ini saudara yang
baik,” Ia menunjuk Auwyang
Hong dan Yo Kang.
“Jadi kakek ini, bukannya kakek yang
mengajari kau surat?”
oey Yong menegaskan.
sa Kouw tertawa.
“Ya, kakek ini baik sekali,” sahutnya. “Dia
tidak mau mengajari aku surat,
dia bahkan membagi aku kue, Eh, kakek. kuemu masih ada atau tidak?”
“Ada”
sahut Auwyang
Hong sambil tertawa menyeringai.
“Ini aku bagi pula padamu”
Hati Kwa Tin ok seperti melonjak. Kiranya itu
hari Auwyang
Hong berada di pulau Tho Hoa To.
Justru itu sa Kouw menjerit keras, menyusul
mana terdengar bentrokan tangan dua kali, tanda dari satu pertempuran, sebagaimana
nampak tubuh orang berlompatan. “Kau hendak membunuh dia untuk menutup
mulutnya? Baiklah kau bunuh dulu padaku”
Auwyang Hong tertawa, dia kata: ”
Urusan ini dapat dikilangi untuk orang luar, tidak ayahmu, maka perlu apa aku
membunuh dia? Jikalau kau hendak menanyakannya, pergilah kau menanya sepuasnya”
sa Kouw merintih- rintih kesakitan tidak
dapat ia bicara. Entah ia telah ditotok jalan darah apanya oleh seeTok. siBisa
dari Barat.
“Tidak usah aku menanyakan dia, telah dapat
aku menduganya,” kata oey Yong.
“Aku cuma menghendaki dia mengucapkannya
sendiri”
“Budak perempuan, kau sangat cerdik” kata Auwyang Hong
tertawa. “Kenapa kau dapat menduga itu? Coba kaujelaskan kasih aku dengar.”
“Ketika pertama kali aku melihat keadaan di
pulauku itu,” menyahut si nona mengasih keterangannya, “Aku juga menyangka
adalah ayahku yang membinasakan Kang Lam Ngo Koay.”
Baru kemudian, setelah memikirkannya, aku
mendapat anggapan lain. coba kau pikir, cara
bagaimana ayahku dapat membiarkan mayatnya semua orang busuk itu berada di dalam
kuburan untuk menemani ibuku? Lagi pula mana bisa jadi
ayahku keluar dari kuburan tanpa mengunci pula pintunya?”
Auwyang Hong menepuk pahanya.
“Ah, benar, itulah kealpaanku” serunya. “Anak Kang,
benar bukan?”
Mendengar sampai di situ, Tin ok merasakan
hatinya mau meledak. Sekarang baru ia mengerti kiranya sejak siang-siang oey
Yong telah menduga si pembunuh adalah Auwyang Hong,
siBisa dari Barat yang kejam ini serta Yo Kang. si nona bermaksud baik, Ia
sendiri yang menyangka keliru .Jadi nona ini barusan keluar dari tempatnya sembunyi
melulu untuk membeber duduknya hal guna membersihkan ayahnya. Itulah perbuatan
berbahaya sekali. Ia menduga, suratnya si nona adalah untuk ia nanti memberitahukan
ayahnya, ialah oey Yok su, tentang orang yang membunuh padanya andaikata nona
itu menemui bencana. Maka ia jadi sangat berduka dan menyesal.
“Ah, nona, nona,” ia mengeluh di dalam
hatinya, “Bukankah cukupj ikalau kau memberitahukan aku siapa pembunuhnya semua
saudaraku itu? Kenapa kau bertindak begini rupa?” Kemudian ia ingat
tabiatnya sendiri Pikirnya pula: “Aku Hui Thian Pian-hok, kenapa aku sangat
sembrono? Kenapa aku berkukuh menuduh itu ayah dan putrinya? Memang, kalau ia
memberi keterangan padaku, mana bisa aku gampang mempercayainya? Kwa Tin ok. oh
Kwa Tin ok, kau pantas dihukum picis si buta yang busuk. kau memaksa si nona
kepada kebinasaannya “
Dalam sengitnya, Tin ok hendak menghajar
dirinya sendiri. Baiklah ia lantasmendengar pula suaranya Auwyang Hong,
yang menanya si nona: “Bagaimana caranya kau menduga padaku?”
“Tidaklah sukar menerkamu” menjawab si nona.
“Menghajar mati kuda dan mematahkan dacin, itulah perbuatan yang di jaman ini
cuma dapat dilakukan beberapa gelintir manusia. Hanya mula-mula aku masih
menduga lain orang. Ketika Lam Hie Jin hendak
menghembuskan napasnya yang terakhir, dengan jari tangannya ia masih dapat mencoret
beberapa huruf di tanah, ‘Yang membunuh aku ialah’ Huruf yang terakhir ini tidak
keburu menuliskan lengkap. baru pada bagian sampingnya, yang merupakan huruf ’sip’
yang berarti ’sepuluh’. Aku pikirkan huruf belum lengkap itu. she namamu tidak memakai
permulaan huruf sIP itu, maka aku menduga kepada Khiu Cian
Jin” Auwyang Hong tertawa
terbahak-bahak.
“Hebat Lam Hie Jin” katanya. “Dia dapat
menanti hingga tibamu”
“Aku melihat keadaannya sewaktu dia mau mati
itu, aku menduga dia terkena racun.”
oey Yong berkata pula. “Karena ini, aku
menduga keras kepada orang she Khiu itu.
Bukankah Tiat Ciang Pang memelihara banyak
kodok dan ular berbisa?” see Tok tertawa pula.
“Tiat Ciang Pang memelihara banyak binatang
berbisa tetapi tidak ada yang luar biasa,” ia berkata. “Ketika Lam Hie Jin mau
mati, bukankah dari mulutnya keluar suara tetapi tanpa dapat bicara? Bukankah
ia mati dengan wajah tertawa?”
“Benar sebenarnya dia terkena racun apa?”
Auwyang Hong tidak menjawab,
hanya ia menanya pula: “Bukankah tubuhnya meringkuk dan dia bergulingan di
tanah, tenaganya besar luar biasa? Benar tidak?”
“Benar Bisa
semacam itu, aku pikir, kecuali Tiat
Ciang pang, lain orang tidak memilikinya”
Kata-kata yang terakhir ini ada pancingan
membangkitkan kemarahan. Auwyang
Hong menginsyafi itu tetapi ia
tidak dapat menahan meledaknya kemurkaannya. Ia berseru dalam kemurkaannya itu:
” orang menyebutnya aku si bisa bangkotan, apakah itu panggilan kosong belaka?”
Ia mengetok lantai dengan tongkat ularnya. Ia kata pula nyaring: “Itulah ular
di tongkatku ini yang menggigitnya Dan
lidahnyalah yang dicatok itu Karena itu, tubuh dia menjadi tidak meninggalkan
bekas dan dia tidak dapat bicara” Tin ok merasakan sesak dadanya hingga hampir
ia pingsan.
oey Yong mendengar suara apa-apa di belakang
patung, ia dapat menduga, maka ia lantas batuk-batuk guna menyaruhkan suara
itu, kemudian ia berkata pula dengan sabar: “Ketika itu kau telah berhasil
membinasakan lima
anggota dari Kanglam
Cit Koay
yang lolos hanya Kwa Tin ok seorang, yang kedua matanya buta, maka itu menjadi
tidak ketahuan siapa yang melakukan pembunuhan hebat itu”
Tin ok mendengar perkataan ini, ia mengerti
kata-kata itu ditunjuki kepadanya. Ia pikiri “Ia mengisiki aku untuk jangan
sembarang bergerak. supaya kita berdua tak usah mati secara gelap”
Auwyang Hong berkata sambil
tertawa kering: “Apakah seorang buta dapat lolos dari tanganku? Hm Memang
sengaja aku meloloskan dia”
“Kau benar Kau membunuh yang lima, kau sengaja mau membikin dia percaya ayahkulah
yang membunuhnya supaya dia mengoarkannya, supaya nanti semua orang gagah
datang mengepung ayahku” Lagi-lagi Auwyang Hong
tertawa.
” Itulah bukan pikiranku hanya pikiran anak
Kang Benar bukan, anak?” Yo Kang menyahuti seperti tadi, sepintas lalu.
“sungguh suatu pikiran yang bagus luar biasa”
berkata oey Yong. “Aku kagum sekali”
Tentu saja itulah pujian ejekan.
“Kita bicara balik lagi,” kata Auwyang Hong.
“Bagaimana maka kemudian kau dapatmenduga aku?”
“Aku pikir Khiu Cian Jin
itu pernah bertempur denganku di selatan Liang ouw.
Dalam keadaan biasa, memang dapat dia mendahului aku tiba di Tho Hoa To, akan
tetapi aku mempunyai kuda merahku, tidak bias menjadi dia dapat melawan kudaku
itu. Lalu aku ingat suaranya Cu Cong. Di situ ia memesan untuk berjaga-jaga. Ia pun belum menulis lengkap. Huruf yang tidak lengkap itu dapat diteruskan
menjadi ‘Tong’. Dapat juga dijadikan ’see’. Maka itu, kalau bukannya Tong shia
tentulah see Tok. selama di Tho Hoa To telah aku dapat memikir itu hanya aku
belum dapat memastikannya sebab masih ada beberapa hal lainnya.”
Auwyang Hong menghela napas.
“Aku kira babwa aku telah menjabit rapat
sekali, tidak tahunya masih ada yang bolong,” katanya. “si mahasiswa dekil itu
sangat sebat, aku tidak dapat melihat dia menulis suratnya.”
“Dia digelarkan Biauw ciu sie-seng, si
mahasiswa Tangan
Lihay, pasti sekali dia menulis
tanpa memberikan ketika kau melihatnya Aku telah memikirkan keras huruf ’sip’
dari Lam Hie Jin itu Karena aku mendengar
kabar yang ini saudara Yo telah terkena racun dan mati, sama sekali aku tidak
pernah memikirkan dia.” Yo Kang heran.
” Kenapa kau ketahui aku terkena racun dan
mati?” ia tanya. “siapa yang memberitahukan
itu pada mu? “
“Banyak sekali hal-hal yang aku ketahui”
menjawab si nona. “Hari itu aku berada sendirian di pula u Tho Hoa To, aku
tidur tanpa merasa, aku mendusin, aku tidur pula, aku mendusin lagi, masih aku
tidak dapat menerka. selama tidur itu, aku pun banyak mimpi, dan didalam
mimpiku, aku melihat banyak orang Akhirnya aku mimpi melihat enci Bok. Aku mimpikan dia di Pakhia di sana dia mengadu ilmu silat untuk merangkapi jodohnya.
Mimpi sampai di situ aku mendusin dengan kaget, hingga aku berlompat bangun Itu
waktu baru aku tahu si pembunuh itu ialah, kau”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar