Bab 66
Dengan tangan kanannya, nona Bok
menggenggam erat tangannya Oey
Yong, dengan tangan kirinya ia
mengusap-usap belakang tangan nona itu. Dengan matanya, ia mengawasi rontoknya
bunga ke permukaan air.
“Melihat dia membunuh Auwyang Kongcu,
aku menduga dia telah merubah perbuatannya yang sudah-sudah,” demikian ia
melanjuti. “Aku lebih girang lagi melihat dia disambut kedua orang lihay dari Kay Pang,
yang memperlakukan dia hormat sekali.
Begitulah aku turut dia sampai di Gakciu di
mana pihak Kay
Pang mengadakan rapat besarnya di
gunung Kun San. Lebih dulu daripada itu, diam-diam dia memberitahukan aku bahwa
Ang Pangcu telah meninggalkan pesan agar ia
menjadi pengganti pangcu.
Aku heran dan girang, tetapi aku sangsi,
hanya melihat semua orang Kay
Pang begitu menghormati dia,
kesangsianku lenyap. Aku bukan orang Kay Pang,
tidak dapat aku menghadiri rapat, maka itu aku menanti di dalam kota. Aku pikir, dengan
menjadi pangcu dari Kay
Pang, pasti dia bakal bekerja
untuk negera dan rakyat, pasti besar usahanya. Aku percaya juga, dia bakal
menumpas musuhku, guna membalaskan sakit hati ayah dan ibu angkatku. Malam itu
aku berpikir keras hingga aku tidak dapat tidur pulas. Di
waktu fajar selagi aku mulai lelah dan tidur layap-layap, mendadak dia pulang dengan
jalan lompat masuk dari jendela. Aku kaget, aku kira dia mau main gila pula.
Ketika aku hendak menegur, dia mendahului
berbisik. ‘Adik, urusan gagal, mari
kita lekas menyingkir!’ Aku lantas tanya dia apa sudah terjadi, dia menjawab; ‘Di dalam Kay Pang
ada pemberontak. Golongan
Baju Kotor
dan Baju Bersih bentrok karena urusan mengangkat
pangcu, mereka bertempur, sudah ada banyak orang yang binasa.’ Aku kaget dan
heran, aku menanya bagaimana duduknya. Ia menjawab: ‘Karena yang terbinasa
begitu banyak, aku mengundurkan diriku sendiri, aku tidak mau jadi pangcu lagi.’
Aku pikir, tindakan itu benar. Ia menerangkan pula, ‘Tapi pihak Pakaian Bersih
tidak mau melepaskan aku syukur aku dibantu Khiu Pangcu dari Tiat Ciang Pang, dengan
begitu bisa juga aku meloloskan diri dan berlalu dari Kun San. Sekarang ini mari kita pergi ke Tiat Ciang San untuk menyingkir
buat sementara waktu.’ Aku tidak tahu Tiat Ciang Pay itu rombongan baik atau
jahat, aku turut padanya. Setibanya
di Tiat Ciang San, baru aku
melihat gerak-geriknya Khiu
Pangcu aneh, rupanya mereka ada
dari kaum sesat. Karena itu aku usulkan dia mencari Tiang Cun
Cu Khu
Cie Kie,
supaya imam itu mengundang orang-orang gagah, untuk membantu pihak Kay Pang
mengadakan tata tertib partainya, supaya bisa dipilih satu pangcu yang tepat.
Aku kata, dia tidak dapat pergi dengan begitu saja, dia mesti ingat budinya Ang Pangcu
serta menjalani baik-baik pesannya. Tapi dia aneh, dia
bukan. bicara dari hal Kay Pang, dia justru menimbulkan urusan pernikahan. Kita jadi bentrok. Aku telah memberi teguran padanya.”
“Bagaimana kemudian?” Oey Yong tanya selagi si nona berhenti sebentar.
“Besoknya aku menyesal atas percederaan
kemarin itu,” kata Lim
Cu melanjuti. “Dia benar tidak
memperhatikan lagi urusan Kay
Pang, tetapi dengan menimbulkan
soal pernikahan, itu tandanya dia mencintai aku. Aku merasa aku menegur keras padanya, pantas dia menjadi tidak senang. Hanya malam itu,
hatiku jadi bertambah tidak tenang.
Aku menyalakan api, aku menulis surat padanya untuk
meminta maaf. Aku bawa surat
itu ke kamarnya, untuk meletakinya di bawah jendelanya. Selagi aku mau mengasih
masuk surat itu di sela-sela jendelanya mendadak aku mendengar dia lagi bicara,
entah sama siapa. Mulanya aku tidak berniat mendengari pembicaraan mereka itu,
hendak aku menaruh surat
itu dan lantas pergi. Tapi aku jadi ketarik sebab aku
mengenali suara orang itu. Dia mencoba bicara perlahan, toh aku dapat mendengarnya
dengan nyata.”
“‘Siauw-ongya’, demikian aku dengar ‘Pikiran
wanita memang tak ketentuannya.
Kalau nona Bok itu
tidak mau menurut, kau jangan terlalu buat pikiran. Pikirannya itu mungkin buat
sewaktu-waktu saja. Khiu
Pangcu khawatir kau berduka, ia
mengirimkan barang ini untuk kau melegakan hatimu.’ Aku heran. Entah barang apa
itu yang Khiu
Pangcu hendak memberikannya. Maka
ingin aku melihatnya.”
Mendengar itu, Oey Yong
pun heran dan turut ingin mengetahui. Bahkan la sayangi selagi di Tiat Ciang
San ia tidak dapat melihatnya, kalau tidak, tentulah ia sudah merampas itu?!”
Liam Cu meneruskan pula
ceritanya: “Dia membilang terima kasih. Dia kata dia tidak berduka dan tak usah
pangcu mengirimkan sesuatu kepadanya. Tapi orang itu tertawa dan kata; ‘Ongya
lihat dulu, aku tanggung ongya girang!’ Dia menepuk tangannya perlahan, dua
kali. Tanda itu disusul sama datangnya dua orang yang
menggotong sebuah keranjang besar. Aku lantas mengintai. Orang tadi
menghampirkan keranjang itu dan membuka tutupnya.
Oey Yong memotong; “Aku tahu
isinya keranjang itu, kalau bukan ular berbisa tentulah kodok. Pernah aku
melihat itu!”
Cin Lam Kim sebegitu jauh berdiam saja, dia
tidak campur bicara, air mukanya juga tidak berubah, tapi kali ini dia
mengawasi nona Oey.
“Adik, kau salah menerka!” kata Liam Cu.
“Di dalam keranjang besar itu ada satu
orang, ialah ini adik Cin!”
Oey Yong dan Kwee Ceng
mengasih dengar suara kaget perlahan.
Baru sekarang nona Cin itu berbicara, matanya
memandang ke kali, sikapnya tenang sekali. Ia kata; “Semenjak inkong dan nona
Oey pergi, bersama kakek aku tetap menuntut penghidupan sebagai penangkap ular.
Kami selalu ingat kepada inkong, tak habisnya kami membicarakannya meskipun
inkong tinggal di rumah kami cuma satu hari dua malam. Dengan begitu, hidup
kami tidak kesepian. Sampai pada suatu hari, selagi aku menangkap ular, aku
kedatangan tiga orang yang berpakaian hitam semua. Tidak karuan rupa, mereka
tertawa terhadapku. Aku curiga, lantas aku lari pulang. Mereka mengikuti. Belum
aku tiba di rumah, mereka telah berhasil menyusul aku dan aku lantas dipegang.
Aku ketakutan dan menjerit minta tolong. Kakek keluar, dia
mau menolongi aku. Dengan
lantas kakek dibunuh mereka itu.”
Kwee Ceng gusar sekali hingga
ia menumbuk pahanya.
“Dulu ada inkong yang menolong, kali ini ada
siapa?” si nona melanjuti. “Begitu aku dibawa ke gunung Tiat Ciang San.
Setibanya di puncak, baru aku mendapat tahu mereka juga telah menawan beberapa
puluh orang lain yang hidupnya sebagai tukang menangkap ular. Khiu Pangcu
mau menangkap banyak ular, untuk dipakai melatih semacam ilmu.”
Oey Yong mengangguk. “Aku
tahu itu,” katanya.
Lam Kim
seperti tidak mendegar perkataan si nona, ia bicara terus: “Tiat Ciang Pang menitahkan
aku menangkap ular. Sampai sebegitu jauh, aku tidak diganggu, bahkan dia
menitahkan aku mengusir kodok hijau untuk berkelahi
dengan kodok besar dan juga
mengusir ular untuk memakani kodok besar itu.
Hanya di dalam beberapa hari, tahulah aku apa sebabnya aksi mereka itu. Ialah
mereka itu memperhatikan caranya semua binatang itu berkelahi, lalu mereka
melatih diri dengan mencontoh perkelahiannya kodok hijau dan ular itu.”
Mendengar sampai di situ, Oey Yong
berlompat bangun.
“Engko Ceng!”
katanya, “Juga Khiu Cian Jin lagi mengharap-harap Kiu Im Cin-keng!”
Kwee Ceng tidak mengerti.
“Bagaimana?” dia tanya.
“Dia lagi memahamkan ilmu silat Kap Moa Kang
dari See Tok. Kalau nanti datang waktu pertemuan yang kedua kali di gunung Hoa
San, dia mau menjadi jago nomor satu di kolong langit ini.”
Baru sekarang Kwee Ceng
mengerti.
“Biar mereka berdua bertempur mati hidup, itu
baru bagus,” kata Oey
Yong. “Engko Ceng,
coba bilang, di antara mereka berdua, siapa yang terlebih lihay?”
Kwee Ceng berpikir. Lantas ia
menggoyang kepala.
“Aku tidak tahu, mereka sama lihaynya.”
“Ya, biarlah,” kata pula si nona. Ia
berpaling kepada Lam Kim, untuk menanya: “Enci, bagaimana kejadiannya maka kau
dimasuki ke dalam keranjang?”
“Aku telah menjadi budaknya, jangan kata baru
dimasuki ke dalam keranjang, disuruh mendaki gunung golok atau masuk ke dalam
kuali panas, semua terserah kepadanya ……” sahut nona Cin masgul.
Oey Yong tidak puas dengan
jawaban itu, tetapi mengingat orang lagi bersusah hati, ia tidak bilang suatu
apa.
“Aku hampir menjerit melihat adik Cin muncul
dari dalam keranjang,” kata Liam
Cu, yang melanjuti penuturannya.
“Dia pun kaget. Bandit Tiat Ciang Pang itu berkata sambil tertawa kepada Yo
Kang: ‘Siauw-ongya, permainan ini tak ada kecelaannya, bukan?’ Yo Kang
menggoyang-goyang tangannya. ‘Jangan-jangan!’ katanya, ‘Lekas bawa dia pergi!
Kalau nona Bok
ketahui ini, bisa onar ……’ Mendengar suaranya itu,
aku menyangka dia benar berlaku baik padaku. Tapi si bandit membujuk: ‘Nona Bok
mana tahu? Kalau ongya suka, lagi beberapa hari, apabila ongya turun gunung,
dengan cara diam-diam kami nanti
mengantarkan dia ke istana, tapi jika ongya sudah bosan, biarkan saja dia di sini.
Semua akan dilakukan hingga iblis pun tidak tahu.’ Lantas dia pegang adik Cin, untuk
ditarik keluar dari keranjang, dia kata: ‘Baik-baik kau melayani siauw-ongya.
Inilah tugas bagus untukmu!’ Setelah itu dia suruh dua orangnya berlalu dengan
membawa keranjang itu, dia sendiri turut berlalu sesudah memberi hormat pada Yo
Kang. Ketika dia pergi, dia sekalian menutup pintu. Setelah berada sendirian,
Yo Kang mengambil gunting, buat menggunting sumbu lilin, hingga apinya jadi
lebih terang, hingga dia bisa memandang kecantikannya adik Cin. Sembari tertawa dia menghampirkan, untuk menarik tangan orang. Dia menanya nama dan
umur adik Cin. Adik
Cin tidak menyahuti.
Lantas ia dipeluk dan
mukanya dicium, sembari tertawa dia kata; ‘Harum sungguh harum!’ Menyaksikan
itu, bukan main panas hatiku, mataku seperti kabur, hingga aku tidak melihat
apa yang dia lakukan terlebih jauh, sampai aku mendapatkan adik Cin memegang
sebatang cagak kecil, dua cagaknya diarahkan ke dadanya sendiri. Ia mengancam: ‘Memang
aku sudah tidak mengharap lagi jiwaku, asal kau langgar pula tubuhku, akan
kubunuh diri di depanmu!’ Aku puji adik Cin. Aku juga harap Yo Kang nanti
mundur. Dugaanku itu meleset. Acuh tak acuh, Yo Kang memutuskan dua buah kancing
bajunya, dengan itu dia menyentil dua kali. Dengan satu kancing dia membikin jatuh
cagak di tangan adik Cin dengan yang lain dia menotok urat gagu orang. Sampai di
situ, habis sabarku, maka aku mendobrak jendela dan berlompat masuk ke dalam kamar.
Dia tercengang tapi lantas dia tertawa.
“Adikku, kebetulan kau datang!” kata dia
padaku. Entah kenapa melihat dia tertawa, hawa marahku lenyap separuhnya.
Ketika kemudian dia membujuki aku, aku jadi bimbang, tidak tahu aku mesti
berbuat apa. Adalah ketika itu, adik Oey, kau memanggil aku.”
“Ketika itu aku juga tidak menyangka kau
berada di atas gunung Tiat Ciang San,” kata Oey Yong.
“Ketika enci bertempur sama Khiu Pangcu,”
kata Liam Cu, “Aku pergi ke luar, niatku untuk
membantui, tetapi entah ke mana perginya enci semua. Kembali hatiku menjadi jeri. Diam-diam aku kembali ke kamar, aku mengintai
di jendela. Samar-samar aku melihat dia memeluk pula adik Cin. Tiba-tiba saja aku
muntah darah, lantas aku berseru:
‘Baiklah, putus kita sampai di sini! Untuk
selama-lamanya aku tidak akan melihat pula padamu!’ Tanpa menanti jawaban, aku
lari turun gunung. Keadaan ada sangat kacau itu waktu. Aku melihat dengan
membawa obor orang-orang Tiat Ciang Pang meluruk ke puncak Tiong Cie
Hong. Dengan begitu, aku turun
gunung tanpa rintangan. Hatiku menjadi tawar, niatku ialah untuk mati saja. Aku
bertemu sebuah bangunan, yang gelap, aku langsung masuk ke dalamnya. Itulah
sebuah kelenteng. Di tembok kiri aku
melihat gambar lukisan seorang imam yang bersenjatakan sebatang pedang panjang,
sikapnya gagah, di samping itu ada tulisan tiga huruf, bunyinya Wa Sie Jin,
artinya orang mati yang hidup. Aku tidak tahu artinya kata-kata itu, hanya aku
berpikir, kalau aku mati, siapa akan membalas sakit hati ayah dan ibu angkatku?
Maka itu, aku lantas berdiam di situ, aku di terima menjadi murid oleh tookouw
tua dari kelenteng tersebut. Besoknya aku merasakan tubuhku panas, lalu aku
lupa akan diriku. Lewat beberapa hari, aku tersadar, aku mendapatkan adik Cin
ini ada di depan pembaringanku, lagi merawati aku.
Ia pun telah berdandan sebagai tookouw.”
Oey Yong hendak menanya Lam
Kim, bagaimana caranya dia lobos dari Tiat Ciang San, akan tetapi karena
khawatir nanti dapat jawaban kurang tepat seperti tadi, ia membatalkan niatnya
itu. Sebaliknya nona itu mengawasi Kwee Ceng,
sikap siapa seperti juga nona Oey, agaknya ingin ia memperoleh keterangan. Ia
lantas berkata:
“Orang she Yo itu telah digaplok beberapa
kali oleh enci Bok, dia menjublak saja. Ketika dia
mendengar suara berisik dari sakunya dia mengeluarkan pedang pendek, yang ia selipkan
di pinggangnya, terus dia memadamkan api. Dia mendekati aku, dia mengusap-usap
mukaku, setelah itu dia tertawa dan lompat keluar jendela. Kira satu jam, suara
berisik menjadi kurangan, rupanya orang telah pada memburu turun gunung.
Sebenarnya itulah saatnya untuk aku melarikan
diri, apa celaka si orang she Yo telah mengikat aku, hingga aku mesti rebah di
samping pembaringan tanpa berdaya. Masih aku mendengar suara berisik, yang
makin lama makin jauh dan akhirnya sirap. Selagi keadaan sunyi itu, si orang
she Yo kembali dengan jalan melompati jendela seperti tadi.
Lantas dia duduk di kursinya, dari
bayangannya aku melihat dia menunjang janggut, dia duduk terpekur. Kemudian aku
mendengar dia mengoceh sendirian, katanya: ‘Bocah she Kwee itu berani mendaki
gunung, mestinya di belakang dia ada orang yang pandai yang menyusul. Maka
inilah bukan tempat yang bagus! Buat apa aku berdiam
lama-lama di sini?’”
“Manusia hina!” kata Oey Yong
sengit.
Lam Kim
menyambungi: “Kemudian dia menepuk meja, dia kata: ‘Hm! Kau tidak sudi bertemu pula denganku selamanya …… Perduli apa? Asal
usahaku berhasil, kekayaan dan kemuliaanku bakal tidak ada batasnya, itu waktu
di dalam keratonku tentu telah berkumpul tiga ribu selir dan dayang! Mana aku
kekurangan si cantik manis?”
“Dasar bangsat!” mendamprat Kwee Ceng
yang mendongkol sekali.
Lam Kim
terkejut mendapatkan tuan penolongnya begitu gusar. Ia tidak tahu, dari kata-katanya
Yo Kang itu, terang sudah orang she Yo itu hendak menjual negara, untuk keuntungan
dirinya sendiri.
“Coba kau cerita terus,” kata Kwee Ceng
kemudian, sabar.
“Kau menghendaki aku bicara terus?” si nona
menegasi.
“Kalau kau letih, kau beristirahatlah dulu,”
sahut si pemuda.
Nona Cin mengawasi pula, air
mukanya berubah, toh ia bersikap tenang.
“Letih, itulah tidak,” katanya. “Hanya aku
mengalami kemalangan dan malu, susah aku mengatakannya ……”
“Kalau begitu, tidak usah kau bercerita. Mari kita omong dari lainnya hal.”
“Tidak. Sebenarnya aku mesti menuturkan semua
supaya kau tahu.”
“Nah, nanti aku pergi ke sana, kau boleh bicara sama ini dua enci Bok dan Oey,”
berkata si pemuda yang lantas berbangkit,
untuk bertindak pergi. Ia menduga tentulah Yo Kang sudah main gila terhadap
nona ini, sehingga dia likat untuk menuturkan pengalamannya itu.
Tetapi Lam Kim berkata. “Jikalau kau pergi,
sampai mati juga aku tidak akan menuturkan. Selama dua hari ini, enci Bok berlaku baik sekali padaku, meski begitu, aku tidak mau
bercerita kepadanya ……”
Kwee Ceng memandang Oey Yong,
nona itu mengedipi mata, menganjurkan ia berduduk, maka urung ia mengangkat
kaki, bahkan ia duduk pula di tempatnya.
Lam Kim
menghela napas. Ia nampak lega hatinya. Lantas ia mulai bercerita pula:
“Telah tetap keputusannya orang she Yo itu.
Dia lantas berbenah. Untuk itu dia menyalakan api. Ketika dia melihat aku di
tepi pembaringan, dia terperanjat. Dia menyangka bahwa aku sudah kabur. Dia
membawa ciaktay, untuk menyuluhi mukaku.
Lantas dia tertawa dan berkata ‘Hm! Karena
kau, aku kehilangan dia! Sekarang kau pikirlah. Jikalau kau suka menurut aku,
akan aku ajak kau turun gunung. Kalau tidak, boleh tetap rebah di sini, supaya
orang-orang Tiat Ciang Pang perlakukan apa mereka suka. Aku menjadi bingung,
aku bersangsi. Berdiam di gunung, akibatnya tentu berbahaya, tetapi dengan
turut dia, juga entah bagaimana akhirnya. Melihat aku berdiam saja, dia tertawa
nyaring. Mendadak timbul nafsu binatangnya, dia lantas merusak
diriku ……”
Tiga orang itu berdiam, cuma Bok Liam Cu
berdiam sambil mengucurkan air mata.
Itulah bukti Yo Kang main gila terhadapnya.
Ia tahu Yo Kang busuk tetapi tidaklah disangka dia hina begitu rupa. Ia pernah
mengasih ampun, tetapi sekarang?
Lam Kim
tenang luar biasa. Dia bercerita seperti juga dirinya
tidak ada sangkutnya dengan ceritanya itu. Dia kata; “Karena aku telah
ternodakan, aku lantas mengambil putusan. Aku ikut dia turun gunung. Aku telah pikir,
aku mesti menuntut balas, habis mana, hendak aku menghabiskan jiwaku. Gunung
Tiat Ciang San itu sangat berhahaya, dengan susah payah dia membantu aku turun.
Sampai fajar muncul, kita masih ada di tengah gunung. Dia
malu bertemu sama orang Tiat Ciang Pang, dia mengambil jalan dari belakang
gunung. Dia
sengaja memilih tempat yang tidak ada jalannya. Dengan begitu, sering dia
merayap pada pohon rotan. Maka perjalanan jadi semakin lama.
Lereng gunung pun makin berbahaya. Di sana
ada jurang yang dalam sekali, aku melihatnya hingga kakiku lemas. Tiba di
tempat tinggi, kaki tanganku bergemetaran. Dia tertawa. ‘Aku nanti gendong kau,
asal kau jangan bergerak! Nanti kita berdua habis
……’ Lantas dia jongkok di depanku. Aku pikir inilah ketika yang paling baik
untukku, untuk mati bersama. Aku lantas mendekam di punggungnya kedua tanganku
memeluk erat lebernya. Selagi dia hendak berbangkit, dengan kakiku, aku
menjejak keras batu besar di sisiku. Dia kaget. dia menjerit keras. Kita berdua
jatuh.”
Bok Liam Cu kaget hingga ia berkaok. Tapi segera ia ingat kejahatannya Yo Kang, lantas ia mengertak gigi. ia
menguati hati.
“Aku merasakan tubuhku melayang,” Lam Kim
meneruskan.
“Aku girang. Kalau tubuhku hancur lebur, dia
tentu bakal hancur lebur juga.
Mendadak aku merasakan gentakan hebat, mataku
kabur, hatiku memukul. Aku menduga habislah aku. Tapi segera aku mendengar Yo
Kang tertawa terbahak. Ketika aku membuka mataku, aku melihat tangan kanannya
merangkul cabang pohon cemara, yang tumbuh di lereng itu. Tubuh kita berdua
bergelantungan di cabang itu, yang telah menolong jiwanya. Tapi dia tidak sadar
bahwa aku hendak membikin celaka padanya.
Dia menyangka aku ketakutan dan tak dapat
berdiri betul. Dia puas sekali yang kami ketolongan. Sembari tertawa dia
kata: ‘Jikalau bukan siauw-ongya lihay ilmu silatnya, apa kira jiwa kecilmu
masih ada?’ Pohon itu terpisah dari tanah cuma tujuh atau delapan tombak. Dia
lantas merayap ke pohon. Dia kata pula: “Sekarang kita turun dulu ke lembah, di
sana baru kita
mencari jalan keluar.’ Di dalam lembah
itu ada hanya rumput-rumput yang sudah busuk dan tulang-tulang binatang. Dengan satu tulang paha, dia membuka jalan, sembari jalan dia bicara sambil
tertawa-tawa padaku. Aku takut dia curiga, nanti sukar aku turun tangan,
terpaksa aku melayani dia bicara. Tidak lama, dia berteriak sambil lompat
mundur.
Dia menggunai tulangnya membiak rumput tebal
di mana tadi dia menaruh kaki. Di situ
dia mendapatkan satu mayat, yang mengenakan baju kuning. Muka mayat rusak
hingga tak dapat dilihat lagi, cuma kumis dan jenggotnya yang putih bertitikan
darah segar. Rupanya belum lama dia jatuh mati di
situ.”
“Si tua bangka Khiu Cian Lie telah mampus,
toh masih ada orang yang melihat cecongornya!” kata Oey Yong.
“Yo Kang memeriksa tubuhnya mayat itu,”
berkata pula Lam Kim. “Banyak barang yang didapatkan, seperti cincin, pedang
pendek dan batu bata. ‘Kiranya tua bangka ini mati di sini,’ dia kata. Sembari
berkata begitu, dia menarik keluar sejilid buku ……”
“Mungkin itu buku sulapnya,” kata Oey Yong.
Seperti yang tidak mendengar perkataan si
nona, Lam Kim bercerita terus: “Si orang she Yo itu membuka dan memeriksa buku
itu, kelihatannya dia ketarik hatinya, dia membalik-balik terus lembaran dengan
romannya girang. Kemudian dia simpan buku itu di dalam sakunya. Habis itu kami
berjalan terus. Satu hari kami berada di dalam selat, sampai magrib baru kami
tiba di mulut selat itu. Kami mencari rumah seorang tani untuk menumpang
bermalam. Dia suruh aku mengaku sebagai istrinya, katanya agar
orang jangan curiga. Habis bersantap
malam, dia menyalakan api, dia membuka buku yang tadi, untuk diperiksa pula.
Aku melihat dia menggeraki tangan dan kakinya, seperti lagi bersilat. Rupanya
buku itu ada buku pelajaran silat. Aku menyender di
pembaringan letih dan berduka, rasanya malas aku bergerak. Mendadak aku mendengar dua kali suara kodok di luar jendela. Aku tahu betul,
itulah suara kodok hijau dicekuk ular berbisa.
Dengan tiba-tiba aku mendapat pikiran. Aku
ingat kakekku yang telah mati itu, ia tentu telah berkumpul bersama ayah ibuku,
sekalian pamanku dan yang lainnya di dunia baka. Aku sebaliknya, di dalam dunia
ini aku hidup sebatang kara, hidup
menderita, sengsara dan ternoda, bahkan mau mati juga sukar. Karena mendapat
ingat itu, aku kata pada orang she Yo itu: ‘Siauw-ongya, aku hendak keluar
sebentar.’ Dia tertawa.
‘Baik,’ katanya. ‘Asal jangan kau memikir
untuk kabur, sebab dalam sekejap, pasti aku dapat menyusul kau!’ Aku menjawab;
‘Aku lari? Lari ke mana?’ Ia tertawa pula dan kata:
‘Itu betul. Dengan tidak memikir lari, kaulah
anak yang manis!’ Sekeluarnya dari kamar, aku pergi
ke belakang. Aku berdiri sebentar. Aku mendengar suara si ular lagi menelan mangsanya.
Diam-diam aku menghampirkan ular itu, aku tangkap ekornya, terus aku menekuk
dia, lalu aku membungkusnya dengan sapu tangan. Lantas aku kembali ke dalam. Senang dia melihat aku kembali begitu cepat. Dia tertawa dan mengangguk-angguk. Kembali dia membaca bukunya itu. Kemudian dia
kata; ‘Pergi kau tidur lebih dulu, sebentar aku temani kau.’ Di dalam hatiku, aku damprat dia: ‘Orang jahat, hari
ini Thian menyuruhnya aku membalas sakit hatiku!”‘
Mendengar sampai di
situ, Oey Yong lantas ketahui apa cara membalas sakit hati nona Cin ini. Liam Cu juga mendapat menduga
samar-samar, maka teganglah hatinya.
Cuma Kwee Ceng yang masih belum
mengerti.
“Aku mengebut pembaringan mengusir nyamuk,
terus aku menurunkan kelambu,”
Lam Kim
menyambungi pula. “Sembari merebahkan diri, aku membuka sapu tanganku, akan
mengeluarkan ular itu. Aku menekannya, supaya dia tidak berkutik-kutik. Dengan tangan
kiriku, dengan kipas, aku menutup tubuh ular. Kemudian aku menantikan. Aku mesti
menahan napas. Sampai lama dia belum naik ke pembaringan, dia seperti
melupakan aku. Hatiku
berdenyutan. Aku khawatir aku gagal. Minyak pelita menjadi semakin kurang,
cahayanya pun menjadi guram, akhirnya api padam. Barulah itu waktu aku
mendengar dia tertawa dan berkata: ‘Haha, aku harus mati! Lantaran membaca buku saja, aku sampai melupakan si manis! Mustikaku, jangan kau
sesalkan aku ……’
Aku tidak menyahuti, malah aku berlagak pulas
dengan mengasih dengar suara menggeros perlahan. Tetapi kupingku kupasang. Aku
mendengar dia menutup bukunya, yang di kasih masuk ke dalam sakunya. Aku
mendengar dia membuka baju luarnya.
Aku mendengar juga dia naik di pembaringan
dan membuka sepatunya. Ketika itu hawa sangat panas, dia meloloskan semua
pakaiannya. Ketika dia memeluk aku, aku masih terus berpura-pura pulas, adalah
tangan kiriku dengan perlahan-lahan menyingkirkan kipas, lalu tangan kananku
membawa kepala ular ke dadanya. Dengan kukuku, aku mencubit ular itu,
membikinnya kesakitan dan kaget, karena mana dia lantas menggigit dada si
jahat. Dia kaget, dia berteriak: ‘Apa?’ Terus dia berlompat
turun dari pembaringan. Sekarang
dia merasakan ular masih menggigit dadanya, dia menariknya hingga terlepas,
tetapi gigi ular itu copot dan nancap di dadanya.”
Liam Cu kaget hingga ia
berjingkrak bangun, matanya mengawasi nona Cin. Ia ini bercerita sampai di
bagian sangat tegang itu tetapi romannya, suaranya juga, tenang-tenang saja.
Menampak demikian, nona Bok ini kagumsekali.
“Dia lantas berteriak-teriak: ‘Ular! Ular!”‘
Lam Kim masih meneruskan dengan sabar sekali.
“Ketika itu aku masih belum memikir lantas mati, aku hendak menyaksikan dia tersiksa,
habis itu baru aku mau pergi ke dunia baka menjenguk kakek dan ayah bundaku,
maka aku pun berpura-pura kaget dan berteriak-teriak: ‘Apa? Ular? Mana?
Mana?’ Dia menyahuti: ‘Aku digigit ular!’ Aku
menanya pula: ‘Mana ularnya? Lekas pasang api! Lekas!’ Benar-benar dia
menyalakan api. Aku melihat empat liang kecil dan hitam-hitam di dadanya,
diam-diam aku bergirang. Lantas
aku kata padanya: ‘Kau rebah saja, jangan bergerak, nanti aku pergi mencari
daun obat-obatan.’ Tuan rumah pun bangun dengan kaget. Dia kata: ‘Memang di
sini ada ular berbisa, hanya heran dia bolehnya naik ke pembaringan ……’ Aku
lantas bawa pelita dan pergi ke luar, untuk mencari daun obat-obatan. Yang aku
cari bukan daun obat untuk memunahkan bisa ular, sebaliknya obat yang bisa
membikin racun ular itu bekerja semakin berbahaya ……”
Ketika si. nona bercerita sampai di situ,
sebelah tangannya Liam
Cu melayang ke mukanya, hingga
sebelah pipinya menjadi merah dan bengkak.
Oey Yong lantas menyambar
tangannya nona Bok. “Enci, bukankah binatang itu harus
mendapatkan bagiannya?” ia menegur.
Liam Cu berdiam, kepalanya
pusing. Ia berdiam dengan mata mendelong.
Lam Kim
telah di tempiling ia tidak menggubrisnya, ia masih melanjuti ceritanya:
“Daun obat itu tidak dapat dicari dalam tempo
sebentaran itu, aku pun tidak terus mencarinya. Dia telah digigit ular beracun,
dia tidak dapat bertahan enam jam, maka aku mencabut rumput sembarangan, aku
mamah itu, dengan itu aku beborehkan dia.
Dadanya itu telah bengkak dan bergaris hitam.
Beberapa kali sudah dia pingsan. Aku berduduk di sisinya berpura-pura menangis.
Mulanya aku berpura-pura, di akhirnya aku menangis
benar-benar. Aku
ingat akan nasibku, aku jadi sangat bersedih. Satu kali dia sadar dia mengawasi
aku dengan tajam. Rupanya dia menyangka akulah yang sengaja menggigitkan ular
itu kepadanya. Setelah melihat aku menangis, kecurigaannya itulenyap. ia
menghela napas dan kata; Akhirnya toh ada juga seorang yang mengucurkan air
mata untukku ……’ Dari tengah malam sampai fajar, lagi tiga kali dia
pingsan lantas dia kedinginan, tubuhnya menggigil. Dia rupanya menduga
jiwanya tidak bakal ketolongan lagi, dia kata padaku: ‘Aku mau minta tolong
padamu, kalau beres dan berhasil, kau akan mendapat pembalasan baik sekali.’
Aku menjawab, ‘Aku tidak mengharapi hadiah. Kau sebutkan saja. Dia menyuruh aku
mengambil bukunya dari sakunya, dia kata: ‘Kalau aku sudah mati, kau ambil
pedang pendekku ini, bersama ini buku, kau mengantarkannya ke istana Pangeran
Chao Wang dari negara Kim, kau mesti menyerahkannya
sendiri di tangan pangeran itu. Bilang bahwa halnya surat wasiat Gak Bu Bok berada di dalam buku ini.”
Mendengar itu Oey Yong dan Kwee Ceng
saling mengawasi hati mereka sama bertanya: “Kenapa bukunya Khiu Cian Lie itu
ada hubungannya sama bukunya Gak Hui?”
“Dengan tenaganya yang hampir habis, dia
melanjuti pesannya padaku,” Lam Kim melanjuti tanpa memperhatikan sikap
orang-orang di dekatnya itu. “Dia kata: ‘Kau beritahu kepada Chao Wang
bahwa dengan mulutku sendiri aku menjanjikan kau supaya kau diangkat menjadi
permaisuri. Dengan begitu, maka kau bakal hidup senang dan mulia tak ada
taranya.’ Aku mengangguk tanpa membilang suatu apa. Dia tertawa sedih dan menanya: ‘Kenapa kau tidak
menghaturkan terima kasih padaku?’ Aku tetap tidak menyahuti. Aku telah
memikir, sesudah dia tidak dapat menggeraki tangan dan kakinya, hendak aku
membikin hancur kitab itu di depan matanya, supaya di saat kematiannya itu
tidak saja dia tersiksa lahir tetapi juga bathinnya ……”
“Kau! Kau!” membentak Liam Cu
bengis. “Kenapa kau begitu kejam? Benar dia berbuat tak pantas kepadamu tetapi
itu disebabkan dia menyukai kecantikanmu?!”
Oey Yong berduka, “Sayang,
saying ……” katanya perlahan.
“Sayang?” kata Lam Kim. Baru sekarang ia
memperhatikan suara orang. “Manusia begitu jahat tetapi kematiannya masih di
sayangi?”
Nona ini keliru mengerti. Oey Yong
menjawab dia: “Aku bukan menyayangi dia, aku menyayangi bukunya itu ……”
Nona Cin tidak meladeni pula,
ia hanya melanjutkan: “Di waktu fajar,
manusia jahat itu berteriak-teriak meminta air. Aku menuangi air ke dalam
sebuah mangkok dan meletaki mangkok itu di tepi pembaringan. ‘Ini air’, kataku.
Dia mengulur tangannya, untuk mengambil mangkok itu. Aku menggesernya
sedikit jauh. Dia tidak dapat mengambil, maka dia memaksakan diri untuk bangun,
untuk berduduk. Nyata tenaganya tidak mengijinkannya. ‘Tolong, tolong kau
kasihkan aku ……” dia minta. ‘Kau ambil sendiri,’ kataku. Dia mengeluarkan
seluruh tenaganya, tangannya dilonjorkan. Dia berhasil mengambil mangkok air
itu. Nampaknya dia girang sekali. Akan tetapi tangannya kaku, tangannya itu
tidak dapat ditekuk, ketika dia memaksa menekuknya, prang! Maka mangkok itu
terlepas dan jatuh pecah di tanah. Aku tahu bahwa dia telah habis tenaganya,
maka aku ambil bukunya, aku bawa ke depannya seraya berkata:
‘Bukankah kau menghendaki buku ini aku
membawanya ke istana Chao
Wang? Baiklah, kau lihat!’ Aku
merobeknya selembar, lembaran itu aku merobek-robeknya pula. Dia nampak kaget.
‘Kau …… kau ……” katanya. Terang dia kaget dan gusar. Aku hendak menyiksa dia.
Habis merobek selembar, aku merobek selembar lainnya. Dia gusar hingga dia
pingsan. Aku menanti, aku menanti sampai dia sadar, lalu aku merobek pula.
Demikian sampai aku
merobek beberapa lembar, dia lantas merapatkan matanya, tidak suka dia
melihatnya lebih jauh. Meski
dia tidak melihat, kupingnya dapat mendengar, kupingnya itu masih mendengar
terus. Demikian dia mendengari suara robekan kertas ……”
Seorang diri Lam Kim berbicara, tiga orang
mendengari dia. Tiga orang ini masing-masing kesannya. Mereka seperti dapat
membayangkan romannya Yo Kang di atas pembaringannya, selagi nona Cin merobeki
kertasnya.
“Tiba-tiba aku melihat perubahan pada air
mukanya,” nona Cin melanjuti. “Dia seperti lagi memasang kuping, memperhatikan
sesuatu. Aku berhenti merobek kertas. Aku juga memasang kupingku. Segera aku mendengar suara bicaranya beberapa orang serta tindakan kaki
mereka itu, mulanya jauh. Di saat kematiannya,
binatang itu masih licik sekali. Dia berpura-pura tidak mendengar suara itu. ‘Air, air, kasih aku air ……’ katanya.
Aku mendengar suara
orang datang semakin dekat, datang sampai di luar rumah.
Lantas aku mendengar cacian: ‘Binatang
perempuan! Pastilah dua binatang cilik itu diambil. Sin Soan
Cu!’ Lantas terdengar suara seorang lain: “Menurut aku, baiklah perempuan hina
itu dibakar mampus berikut binatang cilik itu!’ Lagi seorang berkata:
‘Tidak dapat kita berbuat demikian. Kalau dia
tidak terbakar mati? Binatang itu lihay, dia bisa menjadi biang penyakit untuk kaum kita
Tiat Ciang Pang.’ Mendengar mereka ada orang-orang Tiat Ciang Pang, aku kaget.
Aku takut mereka nanti masuk dan menolongi orang she Yo itu. Tiat Ciang Pang
memelihara banyak ular berbisa, mereka pasti bisa mengobati siapa keracunan
bisa ular. Lantas aku menjumput pecahan mangkok. Aku sudah memikir, kalau
mereka itu masuk ke dalam, hendak aku membinasakan dulu si orang she Yo,
setelah itu baru aku membunuh diri. Aku takut dia membuka mulut, maka dengan
bajunya aku membungkus kepalanya dan mulutnya aku sumbat dengan hancuran
kertas. Entah bagaimana, orang-orang Tiat Ciang Pang itu lewat terus, tidakada
seorang juga yang mampir dan masuk ke dalam rumah. Setelah merasa orang sudah
pergi jauh, aku membukai bungkusan kepalanya. Aku berniat mengulangimenyobek
lembaran buku itu. Tiba-tiba aku mendengar suara pintu pekarangan ditolak.
Aku heran. Aku tahu di situ sudah tidak ada
orang lain. Suami istri petani pemilik rumah itu, sudah pergi ke sawahnya. Aku
pergi ke pintu dan mengintai. Aku melihat delapan orang datang sambil
berpegangan tangan, perlahan jalannya, tangan mereka mencekal masing-masing
sebatang galah, yang mereka ketruk-ketruki ke tanah. Nyatalah mereka semua
orang-orang buta dan pakaian mereka dekil, tetapi masih terlihat tegas, asalnya
pakaian itu ialah putih.”
“Itulah budak-budaknya si bisa bangkotan,”
kata Oey Yong perlahan.
Lam Kim
menoleh kepada Kwee
Ceng dan berkata:
“Baru-baru ini ketika inkong dan aku berada
di dalam rimba, selagi inkong hendak menangkap hiat-niauw, aku melihat sendiri
budak-budak jahat itu dipatuki burung api itu, maka itu aku lantas mengenali
mereka. Dengan lantas aku pakai baju panjang itu menutup pula muka si bangsat.
Lalu aku mendengar seorang budak jahat itu berkata, “Ngamal, ngamal …… bagilah
sayur dan nasi dingin pada orang-orang buta ……’ Aku tidak berani bersuara, aku
diam saja. Si buta itu berkata pula, dia mengemis nasi. Aku tetap tidak
menjawab. Beberapa kali permintaannya itu diulangi. Akhirnya aku dengar, ‘Di sini tidak ada lain orang, mari
kita mencari ke lain tempat. Tadinya mereka itu pada
berduduk, lantas mereka pada bangun berdiri. Aku khawatir mereka nanti masuk
kedalam, maka aku lantas batuk-batuk, terus aku membuka pintu. Aku tanya mereka itu siapa. Nampaknya mereka itu kaget. Yang satu lantas
berkata, ‘Nona, sukalah berlaku baik, tolong kau membagi makanan untuk kami.’
Yang lainnya mengeluarkan sepotong perak dari sakunya seraya berkata; ‘Kita
membeli dengan uang ……’ Aku lantasmempersilahkan mereka duduk, kataku, nanti
aku masak nasi untuk mereka. Aku ingin mereka lekas-lekas pergi. Aku lantas
pergi ke dapur, aku masak nasi, aku menggorengi sayur. Demikian mereka duduk
berdahar. Habis mereka bersantap, disaat mereka mau pergi, mendadak si orang
she Yo berteriak. Aku lari ke dalam. Aku melihat dia mencoba berduduk,
tangannya menuding aku, dengan roman ketakutan, dia berteriak pula;
‘Auwyang Kongcu!
Auwyang Kongcu!’ Aku kaget hingga aku mencelat.
Aku tidak tahu siapa itu Auwyang
Kongcu. Aku berkhawatir sekali,
aku takut orang-orang buta itu mendengar suaranya. Maka aku pungut bajunya,
untuk membungkus pula kepalanya. Di luar
dugaanku, dia menjadi kuat sekali, dia berontak hingga aku terjatuh. Lagi
sekali dia mengasih dengar suaranya; ‘Auwyang Kongcu,
kau, kau ampuni aku …… kau ampuni aku ……’”
Oey Yong, Kwee Ceng dan Bok Liam Cu meliha
tegas Yo Kang membunuh Auwyang Kongcu, mereka mengerti ketakutannya Yo Kang
dalam keadaan was-wasnya itu, meski begitu, mereka merasakan punggung mereka
dingin. Mereka merasa ngeri. Bahkannona
Oey, meskipun dia gagah, dia
berlompat kepada Kwee
Ceng, untuk duduk menyenderkan
tubuhnya.
Lam Kim
melihat eratnya perhubungan muda-mud itu, sakit ia merasakan hatinya.
Tapi ia meneruskan: ‘Begitu orang she Yo itu
menyebut-nyebut Auwyang
Kongcu, budak-budak buta itu pada
nerobos ke dalam, mulut mereka bertanya berulang-ulang:
‘Kongcu! Kongcu’! Kau di mana?’ Aku menjadi
kaget. Tahulah aku, mereka itu bujang dan majikan. Aku merasa aku bakal gagal.
Dalam takutku, aku lantas lari. Entah kenapa,
waktu itu aku tak lagi ingin mati. Aku takut
nanti ditangkap mereka, aku bisa disiksa, maka aku kabur terus. Bagaikan ada
malaikat yang menunjuki aku lari sampai di kuilnya enci Bok,
justru enci Bok lagi sakit berat, tubuhnya sangat
panas. Aku lantas merawati sebisanya. Malam itu aku berpikir keras, akhirnya,
aku minta too-kouw tua itu menerima aku sebagai muridnya. Dua hari kemudian
baru panas tubuhnya enci Bok kurangan dan ia sadar
……”
“Kemudian bagaimana?” Liam Cu
memotong cerita nona itu.
“Bagimana? Tentu saja dia mati!” menyahut Lam
Kim.
“Nanti, nanti aku lihat ……!” Sambil berkata
begitu, Liam
Cu berlompat bangun, terus dia
lari.
“Enci! Enci!” Oey Yong
memanggil.
Liam Cu tidak mendengar, dia
lari terus, hingga sebentar saja dia lenyap di sebuah pengkolan. Oey Yong
bertiga tahu Liam
Cu tidak dapat melupakan Yo Kang,
tidak perduli orang she Yo itu terbukti kejahatannya. Mereka menghela napas.
Setelah berdiam sekian lama, Lam Kim
berbangkit.
“Inkong,” katanya perlahan pada Kwee Ceng,
“Aku telah menutur segala apa, maka bersyukurlah kepada Thian, aku dapat
dipertemukan pula kepada inkong.” Ia merogoh ke sakunya, ia mengeluarkan
sejilid buku yang sudah rusak, ia menyerahkan itu pada sianak muda seraya
menambahkan: “Buku ini telah aku robek belasan lembarannya, aku tidak tahu ini
sebenarnya buku apa, tetapi orang she Yo itu menganggapnya sebagai mustika, maka
mungkin ada faedahnya. Coba inkong periksa.”
Kwee Ceng menyambuti buku itu,
tanpa memeriksa lagi, ia masuki ke dalam sakunya.
“Sekarang kau berniat pergi ke mana?” ia
menanya. Ia lebih memerlukan nasibnya nona yang berperuntungan sangat malang ini.
“Aku telah bertemu pula sama inkong, untukku,
ke mana aku pergi, sama saja,”
menyahut nona Cin. “Kelihatannya Tiat Ciang
Pang bermaksud tidak baik kepada inkong maka itu aku harap inkong berdua suka
berhati-hati.”
“Kenapa kau ketahui tukang perahu itu orang
Tiat Ciang Pang?” Oey
Yong tanya“Sebab
dialah orang yang memasuki aku ke dalam keranjang dan menyerahkan aku pada si
orang she Yo itu.”
“Oh ……” kata nona Oey yang lantas telah
mengetahuinya bagaimana ia harus mengambil sikap kepada si tukang perahu.
“Setelah enci Bok
sembuh, kita berdamai untuk melakukan perjalanan bersama,”
Lam Kim
masih berkata lebih jauh. “Demikian tadi di rumah makan, kami melihat inkong
berdua serta itu tukang perahu. Dasar
Thian tidak mengijinkan orang
jahat dapat berbuat sesukanya, kami telah dibuatnya memergoki dia.”
Habis mengucap, si nona memberi hormat kepada
Oey Yong, terus ia berlutut pada Kwee Ceng
seraya berkata; “Sekarang perkenankan aku meminta diri. Semoga inkong panjang
umur dan beruntung!”
Kwee Ceng mengasih bangun nona
itu, hatinya pepat, Tidak tahu ia mesti membilang apa.
“Enci Cin,”
berkata Oey Yong, “Kau sudah tidak punya rumah, maka
baiklah kau turut kami pergi ke Kanglam.”
Lam Kim
menggeleng kepala.
“Aku berniat balik ke hutannya kakekku,”
katanya.
“Kau tinggal sebatang kara,
mana dapat?” Oey
Yong kata.
“Seumurku, aku memang bersendirian saja ……”
Oey Yong berpaling kepada Kwee Ceng, ia
membungkam.
Lam Kim
menoleh kepada si anak muda, habis mana ia memutar tubuhnya, untuk bertindak
pergi.
Pemuda itu masih menjublak sampai ia ingat
suatu apa.
“Nona, tunggu dulu!” ia memanggil.
Nona itu menghentikan tindakannya, ia tidak
memutar tubuhnya.
“Nona, kalau kau ketemu lagi orang jahat,
bagaimana?” Kwee Ceng tanya, nona itu tunduk, ia menyahuti dengan perlahan:
“Aku sebatang kara dan lemah, aku cuma akan menerima nasib saja ……”
“Mari aku ajarkan kau serupa ilmu,” berkata
Kwee Ceng, “Jikalau kau rajin mempelajarinya, aku percaya lain kali kau bisa
melawan sedikitnya lima orang.”
Nona itu berpikir sebentar, lalu ia
memberikan penyahutannya: “Baiklah kalau inkong menitahkannya, nanti aku
mempelajarinya.”
Kwee Ceng heran melihat orang tidak
bergembira karenanya. Ia lantas mengajari nona itu ilmu yang ia dapatkan dari
Tan Yang Cu Ma Giok selama di gurun pasir. Itulah ilmu tenaga dalam, Lwee Kang
Sim-hoat yang terdiri dari sepuluh jurus.’
Lam Kim berotak cerdas, ia memperhatikan
pengajaran itu. Tidak lama, ia telah dapat mengingat baik-baik.
“Setelah dipelajari sungguh-sungguh nanti
baru nampak kefaedahannya pelajaran ini,” Kwee Ceng memberi keterangan. “Kau
tidak mengerti ilmu silat, tetapi dengan meninju dan menendang kalang kabutan,
kau dapat juga melukai orang.”
Nona itu berdiam, lalu ia meminta diri pula
dan pergi dalam kesunyian.
Setelah orang pergi jauh, Oey Yong kata
kepada kawannya: “Aku memberi selamat padamu telah mendapat seorang murid!”
“Mana dapat dibilang dialah muridku,” kata si
anak muda. “Aku cuma mengharap dia tidak nanti diperhina lagi segala orang
jahat.”
“Itulah sukar dibilang,” kata Oey Yong.
“Sekalipun orang sepandai kau, kau masih dipermainkan orang jahat …….”
Kwee Ceng menghela napas.
“Di jaman kacau seperti ini, manusia kalah
dengan anjing,” ia bilang. “Apa mau di kata ……?”
“Sekarang, mari kita mampusi anjing gagu
itu!” berkata si anak muda tanya.
“Anjing gagu yang tadi,” sahut si nona, yang
lantas menggerak-geraki tangannya seraya mengasih dengar suara ah-aha-uh-uh.
Melihat itu Kwee Ceng tertawa.
“Jadi kita tetap menaiki perahunya si gagu
palsu itu?” ia menegaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar