Kamis, 01 November 2012

Sia Tiauw Enghiong 60



BAB 60

Matanya si tukang pancing bersinar. Agaknya ia sangat tergiur.
“Nona yang baik, kau bagilah aku sepasang,” ia minta. “Kamu masih mempunyai dua pasang lagi, tidakkah itu cukup? Kalau paman gusar, itulah hebat untukku…”
“Untuk membagi kau satu pasang, itulah urusan kecil sekali;” berkata si nona, tetap manis. “Hanya aku hendak menanya kau, kenapa kau mula-mulanya galak sekali?”
Orang itu jengah, dia bingung. Ia mau tertawa tetapi pun gagal…..
“Ah, nona yang baik,” akhirnya ia kata, “Kau ini tinggal di mana? Apakah tidak jauh dari sini?”
“Kalau dikata dekat, tidak dekat,” sahutnya, “Kalau dikata jauh, ya tidak jauh, tetapi kalau beberapa ribu lie, ya ada…”
Tukang pancing itu kaget, lantas kumisnya bangun berdiri.
“Hai, budak cilik!” dia membentak, “Kiranya kau lagi permainkan tuanmu!” Dia sudah lantas mengangkat kepalannya yang besar, hendak ditimpahkan kepala orang, akan tetapi kapan dia melihat seorang nona cilik dan nampaknya lemah, dia batal sendirinya.
Kwee Ceng sendiri sudah lantas bersiap, untuk menjambret tangan orang itu.
Oey Yong tertawa. Sama sekali ia tidak takuti ancaman itu.
“Kenapa terburu nafsu?” katanya. “Aku telah memikirkan jalannya. Eh, engko Ceng, coba kau tolong panggil si rajawali putih!”
Anak muda itu tidak dapat menerka hati kawannya akan tetapi ia menuruti.
Kapan si pengail mendengar suara orang, ia terkejut. Suara itu nyaring mendengung, berkumandang di lembah-lembah. Maka sekarang ia kata di dalam hatinya: “Baiklah tadi aku tidak lantas bertempur dengannya, kalau tidak, aku bisa celaka….”
Tak lama datanglah sepasang rajawali mereka.
Oey Yong minta Kwee Ceng mengambil babakan pohon, di situ dengan jarumnya ia mencacah beberapa baris tulisan, singkat bunyinya:
“Ayah!
Aku menghendaki sepasang Kim Wawa, maka suruhlah si rajawali membawanya.
Dari anakmu,
Yong.”
Melihat itu barulah Kwee Ceng mengerti, maka ia menjadi girang sekali. Ia lantas menyiapkan tali, ialah ikat pinggangnya yang ia kutungi, lalu dengan itu ia ikat surat babakan pohon itu pada kakinya si rajawali yang jantan. Oey Yong pun lantas berkata kepada si rajawali itu: “Kau bawa ini ke Tho Hoa To, lekas pergi dan lekas kembali!”
Kwee Ceng masih khawatir burungnya itu kurang mengerti, ia menunjuk ke Timur dan tiga kali menyebutnya: “Tho Hoa To!”
Sepasang burung rajawali jinak itu berbunyi berbareng, lantas keduanya terbang pergi, setelah berputaran di tengah udara, mereka menuju ke timur, sebentar saja mereka lenyap di antara gumpalan mega.
Si Tukang pancing melongo matanya dan terpentang mulutnya.
“Tho Hoa To…Tho Hoa To…” katanya kemudian, seperti mengoceh tidak karuan. “Pernah apakah kamu dengan Oey Yok Su Loosianseng?”
Baru sekarang Oey Yong memprlihatkan aksinya.
“Ialah ayahku! Habis kenapa?!” sahutnya, temberang.
“Oh!” seru orang itu heran.
Oey Yong tidak menggubris sikap orang itu, ia tanya: “Dalam tempo beberapa hari saja, burung itu bakal membawa datang ikan itu kemari. Tidak terlambat, bukankah?”
“Harap saja…” kata orang itu, matanya mengawasi sepasang anak muda itu, agaknya ia bersangsi.
Kwee Ceng memberi hormat.
“Aku belum menanyakan nama she dan nama yang besar dari paman,” katanya.
Orang itu tidak menyahuti, sebaliknya ia menanya: “Perlu apa kau datang ke mari? Siapakah yang menyuruhnya?”
Kwee Ceng terus membawa sikapnya yang menghormat.
“Aku yang muda ada mempunyai urusan untuk mana aku memohon bertemu sama Toan Hongya,” ia memberitahukan. Ia sebenarnya mau memberi keterangan seperti petunjuknya Eng Kouw, akan menyebutkan nama gurunya, Ang Cit Kong, tetapi ia tidak biasa mendusta, mendadak ia merasa tak dapat ia mengatakan itu.
“Guruku tidak dapat menemui orang!” orang itu kata dengan keras. “Mau apa kau mencari guruku itu?”
Untuk sejenak Kwee Ceng terbenam dalam kesangsian. Ia sebenarnya mau terus bicara secara sebenarnya, tapi mendadak ia ingat keselamatannya Oey Yong. Tidakkah ia nanti menggagalkan si nona? Bukankah tak apa ia mendusta kali ini? Selagi ia bersangsi, si pengail telah mendapat lihat kesangsiannya itu dan melihat tegas si nona, yang lagi sakit.
“Kau mencari guruku untuk minta diobati, bukankah?” dia menanya.
Disenggapi begitu, pemuda itu tak dapat mendusta lagi. Ia mengangguk.
“Benar,” sahutnya, sedang hatinya menyesal tak dapat mendusta….
“Untuk menemui guruku, jangan harap!” kata tukang pancing itu bengis. “Biar aku ditegur guru dan pamanku, aku tak menghendaki lagi ikanmu itu! Lekas pergi!”
Kata-kata itu ketus dan pasti, bagaikan pantek paku, Kwee Ceng menjadi berdiri menjublak, untuk sesaat itu, ia merasakan tubuhnya dingin seluruhnya. Sesaat kemudian barulah ia dapat berkata pula.
“Nona yang terluka ini dan membutuhkan pengobatan adalah putri yang dicintai dari Oey Tocu dari Tho Hoa To,” ia berkata, ia pun menjura. “Sekarang ini, nona ini pun menjadi Pangcu dari Kay Pang. Maka itu paman, aku minta, dengan memandang Oey Tocu dan Ang Pangcu itu, sukalah kau menunjuki kami jalan, supaya kami diajak bertemu menemui Toan Hongya.”
Mendengar disebutkannya Ang Pangcu, roman si tukang pancing sedikit berubah, akan tetapi ia menggeleng kepala.
“Nona ini pangcu dari Kay Pang?” tanyanya. “Aku tidak percaya!”
Kwee Ceng menuju kepada tongkat Lek-tiok-thung di tangannya Oey Yong.
“Itulah tongkat Tah-kauw-pang dari Ang Pangcu,” ia berkata. “Tentunya paman mengenali tongkat itu…”
Tukang pancing itu mengangguk.
“Pernah apakah kamu dengan Kiu Cie Sin Kay?” ia tanya pula.
“Ialah guru kami.”
“Oh…” si tukang pancing bersuara perlahan. “Jadinya kamu datang ke mari mencari guruku ini karena disuruh gurumu, bukan?”
Lagi-lagi Kwee Ceng dibikin ragu-ragu. Ia ingat baik-baik ajarannya Eng Kouw untuk mendusta tetapi itu bertentangan dengan kejujurannya.
“Benar!” Oey Yong segera mendahului menjawab.
Orang itu bertunduk, terang ia ragu-ragu. Terdengar ia berkata dengan perlahan: “Bagaimana sekarang? Kiu Cie Sin Kay dengan guruku itu bersahabat luar biasa erat…”
Oey Yong ynag cerdik mengerti kesulitan orang itu, ia lantas berkata: “Guru kami menitahkan kami mencari Toan Hongya, disamping untuk minta dia menolong mengobati aku juga karena ada urusan penting yang mesti disampaikan!”
Mendadak orang itu mengangkat kepalanya. Kembali terlihat ia menjadi bengis.
“Benar Kiu Cie Sin Kay yang menitahkan kamu menemui Toan Hongya?” ia tanya keras.
“Ya,” menyahut Oey Yong.
Orang itu menegaskan pula: “Benar Toan Hongya, bukannya orang lain?”
Nama Toan Hongya itu ditekan keras, mendengar itu, Oey Yong menduga pasti ada sebabnya sesuatu, tetapi karena sudah terlanjur, ia tidak dapat lain jalan.
“Ya,” ia menyahut pasti, mengangguk.
Pengail itu maju dua tindak. Tiba-tiba ia berseru: “Toan Hongya sudah mati!”
Oey Yong dan Kwee Ceng kaget bukan kepalang.
“Mati?” tanya mereka berbareng.
“Ketika Toan Hongya mati, Kiu Cie Sin Kay ada disampingnya!” berkata si tukang pancing itu, suaranya tetap keras. “Maka itu cara bagaimana dia boleh menitahkan kalin pergi mencari lagi kepada Toan Hongya? Hayo bilang, siapakah yang menitahkan kamu? Dengan datang kemari, kamu membawa akal busuk apa? Lekas bilang!”
Segara ia maju setindak lagi, tangan kirinya dikipaskan sebagai ancaman, tangannya menyambar ke pundaknya si nona.
Kwee Ceng memang selalu bersiap, maka itu, melihat sikap garang dari orang itu, ia menghadang pula di depan Oey Yong, kedua tangannya bersikap dengan jurusnya “Melihat naga di sawah”. Manampak ini, orang itu heran. Itu tandanya si anak muda tak mau menyerang kepadanya. Meski begitu, ia melanjuti sambarannya. Karena ini mendadak ia merasakan benturan pada tangannya itu, yang bergemetar, terus ia merasakan dadanya panas, sedang tangannya itu mental balik. Dengan lantas ia lompat mundur, ia khawatir nanti diteruskan diserang anak muda itu. Selagi berlompat ia ingat pembicaraan Ang Cit Kong bersama gurunya tentang ilmu silat. Ia ingat, anak muda ini bersilat dengan Hang Liong Sip-pat Ciang.
“Teranglah mereka ini muridnya Ang Pangcu, tidak boleh aku berbuat salah terhadap mereka,” begitu ia lantas mendadat pikiran. Ia lantas mengawasi Kwee Ceng, siapa terus menunjuk sikap menghormat meski terang barusan ia menang unggul, tidak ada romannya yang puas atau temberang. Tapi ia masih berkata: “Jiewi benar ada murid-muridnya Kiu Cie Sin Kay tetapi jiewi datang kemari bukan atas titah gurumu itu, benar bukan?”
Kwee Ceng tak tahu maksud orang tetapi rahasia hatinya telah dapat diterka, dengan terpaksa ia mengangguk.
Tukang pancing itu tidak lagi bersikap bengis seperti semula.
“Walaupun Kiu Cie Sin Kay sendiri yang terluka dan datang ke mari, masih siauwko tidak dapat mengantarkan dia naik ke gunung untuk bertemu sama guruku, maka itu haraplah jiewi memaafkannya,” katanya. Sekarang ia menyebut diri dengan “siauwko” artinya ” yang muda”
“Apakah benar meskipun guruku sendiri yang datang, masih tidak dapat?” Oey Yong menegsakan.
“Tidak dapat!” menyahut orang itu, kepalanya digoyang. “Biarnya dipukul sampai mati, tidak dapat!”
Oey Yong mencurigai orang ini. Bukankah dia menyebut Toan Hongya gurunya dan dia juga membilang Toan Hongya sudah mati? Kenapa ia menyebutnya waktu Toan Hongya mati Kiu Cie Sin Kay berada di sampingnya? Tidakkah itu aneh?
“Tidak bisa lain, gurunya mesti ada di atas gunung!” ia lantas mengambil keputusan. “Tidak peduli dia Toan Hongya atau bukan, kita mesti menemuinya!”
Maka ia mengangkat kepalanya, mendongak ke atas gunung, yang puncaknya seperti masuk ke dalam awan. Itulah puncak lebih tinggi beberapa kali lipat daripada puncak Tiong Cie Hong dari Tiat Ciang San. Benar-benar puncak itu sulit untuk dinaiki. Kemudian ia mengawasi air tumpah. Ia memikirkan jalan untuk dapat mendaki gunung itu. Tengah ia mengawasi itu, ia melihat berkelebatnya sinar kuning di dalam air. Segera ia bertindak ke tepian sambil ia mengawasi jauh. Maka terlihatlah olehnya dua ekor ikan tadi berada di bawah batu, ekornya berada di luar guanya itu…. Ia lantas menggapai Kwee Ceng.
Anak muda itu mendekati. Ia pun lantas melihat ikan itu.
“Nanti aku turun dan menangkapnya,” kata Kwee Ceng.
“Jangan!” mencegah si nona. “Air deras, mana kau dapat berdiri diam di air? Janganlah berlaku tolol…!”
Akan tetapi Kwee Ceng berpikir, kalau ia menempuh bahaya dan menangkap ikan itu, untuk diserahkan pada si pengail, mungkin hati orang ini berubah. Ia pun tidak dapat menyia-nyiakan waktu lewat berlarut-larut, itulah membahayakan Oey Yong. Karena ia tahu, nona itu bakal mencegah padanya, maka diam-diam ia lompat ke air tanpa ia membuka lagi sepatu dan pakaiannya.
“Engko Ceng!” Oey Yong berteriak kaget. Ia lantas bangun, tetapi kedua kakinya bergoyang, serta tubuhnya terhuyung pula.
Si tukang pancing kaget, ia lompat menyambar nona itu, kemudian ia lari ke arah gubuk, agaknya dia lantas mencapai sesuatu guna menolongi si anak muda.
Oey Yong berduduk di batu, ia mengawasi ke arah Kwee Ceng, yang dapat berdiri tegak di air, gempurannya air tumpah yang dahsyat tak dapat membikin tubuhnya itu bergeming, maka legalah hatinya.
Kwee Ceng sendiri sudah lantas bertindak untuk menangkap ikan. Ia membungkuk, kedua tangannya dianjurkan perlahan-lahan, sikapnya waspada. Nyata ia bisa bekerja sebat dan jitu juga tangkapannya. Dua-dua tangannya bisa mencekal ekornya ikan emas itu, hanya ketika ia mengangkatnya, ia tidak berani mencekal keras-keras, ia khawatir ikan itu mati. Kesempatan ini digunai kedua ekor ikan itu yang badannya licin, waktu keduanya berontak, mereka dapat lolos dan melentik pula ke air, di mana mereka selulup pula masuk ke kolong batu!
Oey Yong menjerit saking menyesalnya karena sayang ikan itu lolos. Justru itu di belakangnya pun ada orang yang berseru. Ketika ia berpaling, ia melihat si tukang pancing lagi berdiri bengong di belakangnya, pundaknya memanggul sebuah perahu kecil dan tangannya mencekal sepasang pengayuh. Rupanya dia hendak menolong orang kecebur.
Kwee Ceng tidak lantas berlalu dari air tumpah. Ia tetap berdiri tegar. Ia membungkuk pula. Kedua tangannya di ulur ke kolong batu, ke gua tempat ikan tadi lari sembunyi. Tapi ia tidak mau menangkap ikan, yang tidak terlihat, hanya ia memegang batu, untuk diangkat. Ia girang ketika ia merasa batu itu bergerak sedikit. Maka sekarang ia menyiapkan tenaganya, untuk jurusnya “aga terbang ke langit”. Dengan mendadak ia mengangkat batu itu, terus dilemparkan ke sampingnya, di lain pihak, kedua tangannya menyambar ke air. Maka sejenak itu juga, kedua tangannya telah mencekal masing-masing seekor Kim Wawa!
Batu besar itu terbanting ke air di samping, berisik suaranya, air muncrat dan mengalir tambah keras. Kwee ceng sendiri tidak terhuyung tubuhnya ketika ia mengangkat dan melemparkan batu itu.
Si tukang pancing heran dan kagum, tetapi sekarang ia memikir daya untuk menolong Kwee Ceng naik ke darat. Pemuda itu berada di tempat sekira dua tombak. Dengan kedua tangan memegang ikan, sulit untuk dia menggunai lagi tangannya itu, atau ikan itu bakal terlepas pula. Akhirnya ia menyodorkan pengayuhnya, ia ingin anak muda itu mencekalnya, tanpa ia ingat tangan orang lagi memegang ikan….
Tapi Kwee Ceng tidak berkhawatir, setelah melihat ke tepian, ia menjejak dengan kaki kanannya, dengan begitu dia dapat berlompat ke pinggir, di sini ia menaruh kaki kirinya, untuk menjejak pula, maka di lain saat, ia sudah berada di atas di antara si nona dan si tukang pancing.
Oey Yong kaget, girang dan kagum. Sungguh ia tidak menyangka demikian pesat sudah kemajuannya pemudanya ini. Tentu sekali sesaat itu ia tidak ingat bahwa Kwee Ceng telah mempertaruhkan jiwanya cuma untuk menolong dia. Sebenarnya anak muda itu sendiri bergidik kalau ia ingat perbuatannya yang nekat itu.
Lain orang yang tercengang ialah si tukang pancing. Ia heran dan kagum. Maka sekarang tahulah ia, anak muda itu lihay tenaga dalamnya dan ilmu ringan tubuh, jangan dibicarakan lagi tentang nyali yang besar.
Segera setelah itu, Kwee Ceng tertawa. Kedua Kim Wawa di tangannya, sambil meronta-ronta telah mengasih dengar suaranya yang berisik, yang benar seperti gegowakannya seorang bocah!
“Ah, pantas dia dipanggil Kim Wawa!” katanya lagum. Kemudian ia mengulurkan tangannya kepada si tukang pancing, untuk menyerahkan ikan itu.
Orang itu terlihat alisnya bergerak, tanda dari kegirangannya. Ia pun lekas-lekas menurunkan pengayuhnya. Ketika ia sudah mengulurkan tangannya, mendadak ia menariknya pulang.
“Kau lemparkanlah kembali ke air, aku tidak menghendaki itu!” katanya.
“Kenapa begitu?” tanya Kwee Ceng heran.
“Meski aku menerima ikanmu, tidak dapat aku mengantarkan kau kepada guruku,” dia menyahut. “Menerima budi tetapi budi itu tidak dibalas, itulah perbuatan yang akan mendatangkan tertawanya orang-orang gagah di kolong langit ini!”
Kwee Ceng heran hingga ia tercengang.
“Paman,” katanya kemudian, sungguh-sungguh, “Kau tidak dapat meluluskan permintaan kami, pada itu mesti ada sebabnya, baiklah kami tidak hendak memaksakannya. Tapi kedua ekor ikan ini tidak berarti, inilah bukan budi, maka itu paman ambillah!” Ia mengulur pula tangannya, ia menyerahkan ikan itu.
Kali ini si tulang pancing menyambuti, hanya romannya sangat likat.
Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, ia kata: “Yong-jie, hidup dan mati itu takdir, umur manusia tak dapat dipastikan, maka kalau benar-benar kau tidak dapat disembuhkan, di dunia baka itu ada jalannya, maka di sana pastilah akan ada engko Cengmu yang akan tetap menemanimu! Mari kita pergi!”
Mendengar suaranya anak muda itu, merah matanya Oey Yong. Tapi ia sudah memikir sesuatu. Ia tidak lantas menyahuti si anak muda.
“Paman,” ia berkata kepada tukang pancing itu, “Kau tetap tidak dapat memberi petunjuk pada kami, tidak apalah, hanya ada satu hal yang aku tidak mengerti. Jikalau kau tidak menjelaskannya itu, mati pun aku tidak meram…”
“Apa itu?” menanya si tukang pancing heran.
“Kau lihat puncak itu licin bagaikan kaca,” berkata si nona. “Bukankah tidak ada jalan untuk mendakinya? Maka umpama kata bersedia akan mengantarkan kami, apa salahnya?”
Orang itu berpikir: “Telah pasti aku tidak dapat mengantarkan dia, maka apa halangannya kalau aku memberikan keteranganku kepadanya?” Maka ia menajwab: “Kalau dikata sukar, memangnya sukar, tetapi kalau dibilang gampang, benar-benar gampang sekali. Di sebelah sana, di ujung gunung itu, air tumpah tak sekeras di sini maka jikalau aku duduk di atas perahu besiku dan aku mendayung, aku dapat maju dengan melawan air. Kalau satu orang diantarkan satu kali, maka dua kali saja lantas dua orang dapat tiba di atas!”
“Oh, kiranya begitu!” berkata si nona. “Nah, ijinkan kami pergi!”
Nona ini lantas berbangkit, untuk memegangi tubuh Kwee Ceng, siap untuk berlalu.
Kwee Ceng memberi hormat pada orang itu tanpa membilang apa-apa.
Tukang pancing itu mengawasi orang, kemudian ia lari ke gubuknya, sebab ia khawatir ikannya nanti terlepas pula.
Begitu orang masuk ke dalam, Oey Yong lantas berkata: “Lekas ambil perahu dan pengayuhnya itu! Mari kita pergi ke atas!”
Kwee Ceng terkejut, ia melengak.
“Ini…ini kurang bagus…” katanya ragu-ragu.
“Baiklah!” seru si nona. “Kau mau jadi kuncu, nah jadilah kuncu!”
Kwee Ceng bingung: “Mana lebih penting, menolong Yong-jie atau jadi kuncu?” demikian otaknya bekerja sulit. Justru itu, Oey Yong dengan susah payah, sudah bertindak pergi. Cuma sedetik saja, ia lantas mengambil keputusannya. Ia lari ke perahu, ia angkat itu, ia melemparkannya ke air, ke atasan air tumpah itu, kemudian ia pergi menyambar kedua pengayuhnya. Tindakannya yang terakhir adalah menolong Oey Yong untuk lari ke atas, hingga dilain saat mereka sudah berada di atas di mana mereka tampak perahu tadi.
“Ser!” demikian suara terdengar, suara dari senjata rahasia.
Dengna mendak, Kwee Ceng membebaskan diri dari senjata rahasia itu, yang jatuh ke dalam perahu mana tepat datang ke dekatnya. Maka bersama-sama Oey Yong, ia lompat naik ke perahu itu, untuk segera dikuyah mudik…
Si tukang pancing terdengar caciannya tapi tak nyata apa katanya…
Kwee Ceng lantas mengayuh. Mulanya dengan tangan kiri, sebab ia masih memegangi Oey Yong, ketika perahu itu maju, ia melepaskan si nona, ia mengayuh dengan tangan kanannya itu. Demikian selanjutnya, setiap mengayuh, perahunya maju beberapa kaki….
“Budak busuk! Perempuan hina!” demikian sang angin membawa dampartan si tukang pancing, mendengar mana, Oey Yong tertawa, “Lihat, dia masih menganggapnya kau orang baik! Akulah yang dia caci!” katanya.
Kwee Ceng lagi mengayuh, matanya mengawasi ke depan, ia tidak mendengar guraunya si nona. Ia mesri memakai tenaga dan pikirannya. Perahu itu besar kepalanya dan enteng buntutnya, dia maju melawan air, yang boleh dibilang deras juga. Beberapa kali ia hampir terpukul mundur. Dengan menggunai tipu dari “Sin Liong pa bwee” atau “Naga sakti menggoyang ekor” dengan cepat ia dapat menguasai kedua pengayuhnya itu, kedua tangannya bergerak dengan cepat dan kuat dan rapi.
Senang Oey Yong melihatnya, dengan gembira ia kata: “Meski si tukang pancing tadi yang mengayuh, tidak nanti dia dapat mengayuh selekas ini!”
Perahu itu maju terus, setelah lewat sekian lama, air menikung, habis itu maka terlihatlah permukaan air yang airnya tenang, di kedua tepinya ada tumbuh pohon yangliu. Itulah kali kecil yang lebarnya setombak lebih. Di situ pun ada banyak pohon tho. Kalau itu waktu musim semi, pastilah indah pemandangan alamnnya. Sebagai gantinya bunga tho, di tepian ada banyak bunga putih yang kecil-kecil, yang baunya harum.
Dua-dua muda-mudi ini heran dan kagum. Tidak dinyana, di atas gunung ini ada tempat sepermai itu.
Iseng-isng Kwee Ceng mengayuh dalam, hampir ia membuatnya pengayuhnya terlepas. Di luar dugaannya, kali itu dalam tak terjajakan oleh pengayuhnya itu. Di bawahpun air menggolak.
Sekarang kenderaan air dapat dikayuh maju perlahan-lahan, keduanya dapat menikmati pemandangan alam yang indah, makin jauh nampkanya makin menarik hati.
“Jikalau lukaku ini sukar diobati,” kata Oey Yong menghela napas. “Biarlah aku terkubur di sini, tak usah aku turun lagi…”
Kwee Ceng berduka, hendak ia menghiburi si nona itu atau ia melihatnya di sebelah depan mereka ada sebuah terowongan, darimana ada terhembus bau harum yang keras sekali. Perahunya telah lantas masuk ke dalam gua itu yang airnya mengalir sedikit keras.
Segera kuping mereka mendengar suara apa-apa.
“Suara apakah itu?” si pemuda tanya.
“Entahlah,” sahut si nona menggeleng kepala.
Terowongan itu tidak panjang, sebentar kemudian mereka telah keluar di ujung yang lain. Segala apa menjadi terang seperti tadi. Bahkan sekarang mereka bersorak. Di depan mereka terlihat air mancur yang besar sekali, tingginya setombak lebih dan airnya meluncur tinggi bagaikan tiang menjulang ke udara. Itulah yang mangasih dengar suara tadi. Sampai di situ, habislah kali di atas gunung itu dan sumbernya kali ialah air mancur ini.
Kwee Ceng membantu Oey Yong naik ke darat, kemudian ia menarik perahunya ke batu, setelah mana bersama si nona ia memandangi air mancur itu. Di antara sinarnya matahari, air itu mengasih lihat bianglala yang intadh. Tak tahu mereka bagaimana harus memuji keindahan itu, mereka duduk diam sambil berpegangan tangan. Mereka masih kesengsem ketika mereka mendengar suara nyanyian yang seperti keluar dari arah belakang bianglala itu.
“Kota dan kalinya rusak semua! Mana si pencinta negara?
Memikirkan kemakmuran dan keruntuhan, itulah penderitaan.
Dinasti Tong bangun, itu artinya dinasti Swie roboh.
Jadi miriplah dengan naga yang berubah-ubah.
Cepat, langit dan bumi salah!
Lambat, langit dan bumi salah!”
Lantas juga terlihat si penyanyi, tangan kirinya membawa sebatang kayu cemara, tangan kanannya mencekal sebuah kampak. Maka teranglah, dia seorang tukang kayu - ya seorang tukang mencari kayu bakar.
Setelah melihat pakaian orang itu, Oey Yong ingat tulisannya Eng Kouw, ialah: “…….Kalau orang bicara dengannya dengan minta diobati, orang bakal terbikin celaka lebih dulu oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar…..” Tadi mereka bertemu sama tukang pancing. Dan ini, bukankah ini dia si tukang kayu?
Apakah mereka bakal bertemu sama petani dan si pelajar? Siapa empat orang ini? Murid atau pelayankah dari Toan Hongya? Ia menjadi masgul. Untuk melewati si tukang pancing demikian sukar, maka entah ini tukang kayu. Bukankah nyanyian dia ini bukan nyanyian sembarang? Entah bagaimana lagi dengan si petani dan si pelajar?
Kembali terdengar orang itu bernyanyi:
“Dari atas jembatan, memandang jauh,
Hawa dari kerajaan, telah runtuh….
Di atas panggung tak terlihat kepala perang….
Semenjak dulu, hanya seputaran, semua musnah.
Pahala, tidak kekal!
Nama juga tidak kekal!”
Perlahan jalannya si tukang kayu itu, lalu ia mengawasi si muda-mudi, acuh tak acuh lantas ia bekerja, mengampak kayu di pinggiran gunung.
Oey Yong melihat tubuh orang yang kekar dan roman gagah, gerak-geriknya seorang panglima perang, maka coba dia itu bukan dandan sebagai tukang kayu dan lagi berada di hutan ini, dia pasti dapat menjadi seorang kepala perang. Ia lantas ingat keterangan gurunya bahwa Lam Tee, si Kaisar dari Selatan, ialah Toan Hongya, telah menjadi kaisai di Taili, Inlam, maka apa mungkin tukang kayu ini asalnya ialah panglima perangnya? Nyanyian orang, pula suaranya, semuanya luar biasa.
Lagi sekali tukang kayu itu bernyanyi:
“Puncak gunung bagaikan bertumpuk,
Gelombang seperti berangkara murka,
Di jalanan kota Tongkwan sana,
Memandang ke barat, hati ragu-ragu,
Melihat istana, semua runtuh menjadi tanah…
Bangun, rakyat bersengsara!
Musnah, rakyat bersengsara!”
Mendengar kata-kata yang terakhir itu, Oey Yong ingat ayahnya sering mengatakan: “Apa itu segala kaisar dan panglima perang? Semua itu mahkluk jahat tukang membikin rakyat celaka! Merubah kerajaan, menukar she, semua itu menyusahkan rakyat saja!” Maka tanpa merasa, gadis itu memuji: “Nyanyian yang bagus!”
Tukang kayu itu berpaling, ia menancapkan kampaknya di pinggangnya.
“Bagus? Apanya yang bagus?” dia menanya.
Oey Yong hendak menyahuti ketika mendadak ia ingat: “Dia gemar bernyanyi, kenapa aku tidak mau membalas dia dengan nyanyian juga?” Maka ia bersenyum, lalu ia bernyanyi dengan suara perlahan:
“Gunung-gunung hijau saling menanti,
Mega-mega putih saling mencintai,
Tak bermimpikan jubah sulam dan sabuk emas,
Cukup dengan sebuah gubuk,
Dengan bunga hutannya mekar.
Siapakah yang memusingi:
Siapa bangun, siapa roboh,
Siapa berhasil, siapa gagal?
Cukup dengan gubuk dan satu sendok!
Melarat, semangat tak berubah!
Berhasil, cita-cita tak berubah!”
Nona ini lantas menyangka pasti si tukang kayu ialah panglimanya Lam Tee, panglima yang sekarang lagi hidup bersembunyi - yang dulunya pasti berkuasa besar atas bala tentara, maka itu ia memperdengarkan nyanyiannya itu, untuk menimpali nyanyian orang. Dugaannya memang tepat karena si tukang kayu menjadi girang, sambil menunju ke samping gunung, dia kata: “Naiklah!”
Di samping gunung itu ada sebuah batu yang besar mirip dengan langan tangan, ketika Kwee Ceng dan Oey Yong memandang ke atas, mereka hanya melihat awan dan bangkonya rotan. Meski begitu, si anak muda lari menghampirkan rotan itu, untuk disambar, untuk dipakai melapai naik!
Kwee Ceng cuma mengerti separuh dari semua nyanyian itu, di sebelah itu, yang ia paling khawatirkan ialah si tukang kayu nanti mengubah pikirannya, maka ia tidak mau membuang tempo lagi. Dengan kedua tangannya bekerja cepat, dengan lekas ia telah naik belasan tombak tingginya. Di situ, ia masih dengar nyanyian si tukang kayu:
“….dulu hari itu orang berebutan,
Sekarang bagaimana?
Menang, semua menjadi tanah!
Kalah, semua menjadi tanah!”
Oey Yong di punggungnya si anak muda tertawa.
“Engko Ceng,” katanya, “Kalau menurut dia itu, kita tak usah datang ke mari untuk minta diobati!”
Kwee Ceng heran hingga ia melengak: “Apa!” dia tanya.
“Semua orang toh bakal mati, bukan?” kata si nona tertawa. “Orang sembuh, dia berubah menjadi tanah! Orang tak sembuh, dia berubah menjadi tanah juga!”
“Fui!” si anak muda mengasih dengar suaranya. “Sudah, jangan dengari ocehannya!”
Oey Yong itu benar lucu, ia tidak menghiraukan si anak muda, dia bernyanyai perlahan: ” Hidup, kau menggendong aku! Mati kau menggendong aku juga!”
Kwee Ceng berdiam, ia kewalahan. Ia lebih memerlukan menggunai terus kedua tangannya, untuk naik ke atas, sampai mereka memasuki awan atau kabut. Ketika itu musim panas tetapi hawa dingin.

“Di hadapan kita ini terdapat segala pemandangan alam yang indah dan luar biasa,” kata si nona kagum, “Umpama kata aku tidak bakal dapat disembuhkan, taklah kecewa perjalanan kita ini…”
“Yong-jie, ah…” berkata si anak muda, masgul: “Jangan menyebut-nyebut tentang mati atau hidup, bisakah?”
Si nona tertawa, dengan perlahan ia meniup pundak orang.
“Eh, jangan main-main!” kata Kwee Ceng, yang merasakan pundaknya panas dan gatal, “Awas, nanti tanganku terlepas, nanti kita jatuh mati berdua…”
“Bagus!” berseru si nona. “Nah, kali ini bukanlah aku yang menyebut-nyebut hidup atau mati!”
Saking kewalahan, pemuda itu cuma bisa tertawa.
Lewat sekian lama, setelah melapai terus dengan tetap rajinnya, tibalah muda-mudi ini di bongkot rotan itu, ialah puncak gunung, yang merupakan sebuah tanah datar. Hanya belum sempat Kwee Ceng menurunkan tubuhnya Oey Yong, keduanya terkejut akan mendadak mendengar suara berisik seperti batu besar jatuh di susuli jeritan kerbau berulang-ulang, di susul lagi sama bentakan satu orang.
“Heran, mengapa di atas gunung begini ada kerbau?” kata si anak muda, yang lantas lari ke arah darimana suara datang. Ia tidak sempat menurunkan Oey Yong, yang berkata: “Bukankah ada si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar? Nah, kalau ada si petani mesti ada kerbaunya!”
Segera mereka mendengar lagi suaranya kerbau, dan sekarang mereka lantas melihat binatang itu, yang tengah mengangkat kepalanya, keletakannya luar biasa sekali, ialah tubuhnya terlentang di atas batu karang besar, keempat kakinya meronta-ronta tanpa dapat bangun, sedang batunya bergoyang-goyang. Di bawah batu itu dengan memasang kuda-kuda, satu orang mengangkat terbuka kedua tangannya, dipakai menampah batu itu berikut kerbaunya. Yang lebih hebat, orang itu berdiri di tempat di mana tidak ada tempat mundur lagi. Kalau tangan orang itu tak kuat menahan, kerbau dan batu itu mesti jatuh, atau orang itu ketimpa atau jatuh bersama kerbau itu, atau sedikitnya orang itu bakal patah tangan atau kakinya. Rupanya kerbau itu lagi makan rumput, dia terpeleset dan jatuh di batu itu, lalu orang itu mencoba menolongi dengan kesudahannya mereka sama-sama terancam bahaya.
Melihat keadaan manusia dan kerbau itu, Oey Yong tertawa. Katanya: “Tadi orang baru menyanyikan lagu San Po Yang, sekarang ini lagu San Po GU!”
Lagu yang dinyanyikan si tukang kayu tadi ialah lagu “San Po Yang” atau “Kambing di atas lereng”, dan si nona menyebutnya “San Po Gu”, ia menukar “Kambing” dengan “kerbau” (Gu)
Di atas puncak itu ada sawah lebar belasan bauw yang tengah ditanami. DI pinggir sawah ada sebuah pacul. Orang yang menahan batu berikut kerbau itu bertubuh telanjang dan kakinya melesak di lumpur sebatas dengkul.
Sembari mengawasi, Oey Yong pikir kerbau itu beratnya di atas dua ratus kati dan berat batunya tak berjauhan, maka itu bisalah dimengerti kuatnya orang itu, yang ia duga mestilah si petani yang dimaksudkan dalam suratnya Eng Kouw.
Kwee Ceng sudah lantas mengasih turun si nona, ia terus lari hendak membantui orang itu.
“Tahan, jangan kesusu!” si nona mencegah.
Tapi si anak muda itu murah hatinya, dia terus lari, tiba di samping si petani, ia berjongkok, sambil memasang kuda-kudanya, dia mengangkat kedua tangannya guna membantu menahan batu seraya dia berkata pada orang itu: “Aku nanti menahan batu ini, kau tolong singkirkan dulu kerbau itu!”
Orang itu menurut, akan tetapi ia melepaskan dulu sebelah tangannya, yang kanan, tangan kirinya menahan terus, rupanya ia khawatir si pemuda tak kuat. Tapi anak muda itu bukan cuma menahan, ia mengangkat batu itu hingga terangkat sedikit, hingga tangan si petani terlepas dari batu. Kapan ia melihat orang cukup kuat, ia lantas molos keluar, untuk lompat naik ke sebelah atas, darimana barulah ia mau menarik kerbau itu, hanya lebih dulu daripada itu, ia mengawasi si anak muda yang datangnya tiba-tiba sekali. Segera ia menjadi heran. Ia melihat seorang bocah umur tujuh atau delapanbelas tahun. Yang aneh, orang itu menahan batu berikut kerbau tanpa terlihat menggunai banyak tenaga. Ia menjadi heran dan bercuriga, sebab ia merasa ia sendiri sangat kuat. Ia melihat ke bawah, ia menampak Oey Yong, seorang bocah yang lain, bahkan ia mendapatkan nona itu lesu, sebagai seorang lagi sakit.
“Sahabat, untuk urusan apakah kau datang ke mari?” ia tanya, herannya bertambah.
“Aku mao memohon bertemu sama gurumu, Tuan,” Kwee Ceng menyahut terus-terang.
“Untuk urusan apakah?” orang itu menanya pula.
Kwee Ceng melengak, ia belum menyahut, atau terdengarlah suaranya Oey Yong: “Kau singkirkan dulu kerbau itu, sebentar kau menanya perlahan-lahan, tak nanti kelambatan! Kalau dia keterlepasan tangan, apakah bukan kerbau dan manusia akan jatuh bersama?”
Dalam herannya, si petani berpkir: “Dua orang ini datang untuk suhu mengobati mereka, maksud mereka baik, hanya heran kenapa kedua suheng di sebelah bawah tidak melepaskan panah nyaringnya? Kalau mereka ini datang dengan membolos, terang mereka mestinya lihay. Kalau dugaanku ini benar, baiklah aku gunai ketika selagi dia tidak dapat meloloskan diri, aku tanya dulu dia biar terang…” Maka ia menanya: “Apakah kamu datang untuk minta diobati?”
Kwee Ceng mengangguk. Ia pikir, sudah terlanjur omong sebenarnya, baiklah ia berterus-terang terus.
Melihat orang mengangguk, paras si petani berubah.
“Nanti aku tanya dulu!” katanya. Dengan gerakan yang nampaknya enteng sekali, ia berlompat turun.
“Eh!” Kwee Ceng memanggil, “Kau bantui aku menurunkan dulu batu besar ini!”
“Sebentar saja aku kembali!” berkata si petani tertawa.
Melihat kelakuan orang itu, Oey Yong sudah dapat lantas menerka maksudnya. Dia mau membikin Kwee Ceng lelah, setelah itu dengan gampang dia nanti mengusir mereka berdua. Karena menduga begini, ia menyesal yang ia lagi sakit hingga ia tidak dapat membantu engko Ceng-nya itu. Tentu sekali ia bingung, sebab tak tahu ia, berapa lama si petani bakal pergi!
“Eh, paman, mari!” ia memanggil. Ia bingung berbareng mendongkol pula.
Petani itu berhenti, ia tertawa dan berkata: “Dia bertenaga besar, buat satu jam atau tiga perempat, tidak apa, kau jangan takut!”
Ini jawaban membuat si nona gusar.
“Dengan baik hati engko Ceng menolongi padamu, kau sebaliknya hendak menyiksa,” pikirnya. “Apakah kau kira sedikit waku satu jam atau seperempat itu? Biaklah, kau perlu diberikan sedikit pengajaran…” Demikian lantas ia mendapat pikiran, maka ia kata pula pada petani itu. “Paman, bukankah kau hendak menanyakan gurumu dulu? Itulah pantas. Tapi di sini ada sepucuk surat, dari guruku, Ang Cit Kong, untuk dihanturkan kepada gurumu itu, maka tolong kau bawa sekalian.”
Mendengar disebutnya nama Ang Cit Kong, petani itu mengasih dengar suara terkejut. “Oh, kiranya nona muridnya Kiu Cie Sin Kay?” katanya. Terus ia menghampirkan, untuk mengambil surat yang dimaksudkan itu.
Dengan ayal-ayalan Oey Yong membuka kantung di punggungnya, ia beraksi mau mengeluarkan suratnya, tetapi ia terlebih dahulu mengambil baju lapisnya, sembari berbuat begitu, ia menoleh kepada Kwee Ceng. Mendadak ia memperlihatkan roman kaget, ia pun berteriak: “Oh, oh, celaka! Tangannya itu bakal nowah! Paman, kau tolongilah dia!”
Petani itu tercengang sebentar, lalu ia tertawa.
“Tidak apa-apa,” katanya. “Mana suratmu?”
“Kau tolongi,” kata Oey Yong pula. “Kau tidak tahu, sukoku itu lagi meyakinkan ilmu silat Pek-khong-ciang, kemarin ini tangannya direndam dalam air obat, belum habis latihannya itu, kalau dia menggunai tenaganya terlalu lama, tangannya itu bisa terluka…”
Oey Yong tahu dari ayahnya tentang bagaimana Pek-khong-ciang, Tangan Memukul Udara, harus dipelajari, maka itu, ia hendak mengakali di petani ini. Si petani tidak paham, ilmu Pek-khong-ciang itu sebagai murid lihay, ia pernah mendengarnya dari gurunya, maka itu, mendengar perkataan si nona, ia jadi berpikir: “Kalau tanpa sebab aku mencelakakan murid Kiu Cie Sin Kay, bukan saja suhu bakal menegur aku, hatiku sendiri pun tidak enak. Sekarang ini dia datang dengan maksud baik. Hanya aku menyangsikan si nona kecil ini, dia omong benar atau dia lagi menggunai akal liciknya untuk menipu aku agar aku membebaskan kawannya itu…”
Oey Yong melihat orang bersangsi, ia angkat baju lapisnya dan berkata pula: “Ini baju lapis joan-wie-kah dari Tho Hoa To, yang tak menpam senjata, tolong paman mengerebongkannya di pundaknya, kalau sudah dikerebongi, biarlah batu itu diletakkan pula di pundaknya, dengan begitu, dia tidak nanti dapat pergi, dia pun tak usah terluka. Bukankah itu bagus untuk kedua belah pihak?”
Si petani juga pernah mendengar tentang baju lapis itu, ia hanya tetap ragu-ragu ketika ia menyambuti baju itu.
Oey Yong senantiasa mengawasi orang, ia melihat orang tetap bersangsi, maka ia berkata pula: “Guruku telah mengajari aku tidak boleh aku berdusta terhadap lain orang, maka itu mana berani aku membohongi kau, Paman? Jikalau paman tidak percaya, kau cobalah bacok beberapa kali baju lapisku ini!”
Si petani mengawasi si nona, ia mau percaya orang jujur. Ia berpikir pula: “Kiu Cie Sin Kay itu orang tua dan terhormat, kata-katanya ada kata-kata bagaikan emas atau kumala, guruku pun sangat menghargainya, sedang nona ini tak macamnya tukang mendusta…” Karena berpikir demikian, ia lantas mencabut golok pnedek di pinggangnya, terus ia membacok baju lapis itu, sampai beberapa kali. Benar ia mendapat kepastian, abju itu tidak rusak. Sekarang ia baru percaya benar.
“Baiklah!” katanya kemudian, “Nanti aku mengerebongkannya!”
Petani itu tidak menyangka sama sekali, bahwa walaupun roman Oey Yong sangat polos dan kekanak-kanakan, otaknya sangat tajam, dibatok kepalanya banyak akalnya. Maka ia menghampirkan Kwee Ceng, ia meletakkan baju itu di lengan si anak muda, siap untuk dikerebongi, setelah mana ia memegang batu, untuk diangkat. Sembari berbuat begitu, ia kata: “Kau lepaskan tanganmu, kau pakai pundakmu untuk menahan batu!”
Dengan menyender pada batu, Oey Yong mengawasi petani itu tajam-tajam, begitu lekas ia melihat orang mengangkat batu, mendadak ia memanggil Kwee Ceng: “Engko Ceng, Hui liong cay thian!”
Kwee Ceng mendengar itu, ia mengerti maksud si nona itu. “Hui liong cay thian” itu ialah salah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang berarti “aga terbang di langit”. Itu pun artinya, ia harus terbang. Maka begitu ia merasai tindihan kendor, ia menarik tangan kanannya, tangna kirinya ia loloskan di bawah tangan kanannya itu, lalu kakinya menjejak, tubuhnya melessat ke samping Oey Yong! Bukan main sebatnya ia bergerak dengan jurus “Hui liong cay thian” itu.
“Kurang ajar” maki si petani begitu lekas ia ketahui bahwa ia sudah kena ditipu mentah-mentah. Sebab dalam sekejab itu, ialah yang sekarang mesti berdiri diam menahan pula batu serta kerbaunya itu!
“Engko Ceng, mari kita pergi!” kata Oey Yong. Ia memperlihatkan roman sangat puas, sembari menoleh kepada si petani, ia berkata: “Paman, tenagamu sangat besar, kau dapat menahan batu itu untuk satu jam atau tiga perempat, tidak nanti terjadi bahaya apa-apa, kau jangan khawatir….!”
“Hai, budak cilik!” maki si petani. “Secara begini kau akali si orang tua! Kau bilang Kiu Cie Sin Kay dapat dipercaya, tapi dengan begitu kau meruntuhkan nama baiknya, kau bocah cilik!”
Oey Yong tidak gusar, ia bahkan tertawa.
“Apakah yang runtuh?” ia berkata. “Memang guruku itu membilangi aku bahwa aku tidak boleh berdusta akan tetapi ayahku mengatakannya memperdayakan orang bukanlah suatu perkara hebat! Karena aku suka mendengar perkataan ayahku, jadi guruku tidak dapat berbuat apa-apa atas diriku!”
“Siapa ayahmu?” tanya si petani mendongkol sekali.
“Eh, bukankah aku telah memberikan kau tetika untuk menguji baju lapisku itu?” si nona membalikkan.
“Ah, biar mampus, biar mampus!” mengutuk petani itu. “Hai, kiranya kau budak setan, kaulah anak setan perempuan dari Oey Lao Shia! Ah, kenapa aku begini tolol?!”
“Memang!” kata pula Oey Yong, tetapi tertawa. “Kata-kata guruku memang berat bagaikan gunung, dia belum pernah mendusta, adalah sukar untuk mempelajari itu, sedang aku juga tidak berani mempelajarinya! Menurut aku, peljaran ayahkulah yang cepat!”
Lagi-lagi si nona tertawa, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi. Mereka mengikuti jalanan, untuk ke depan.
Kwee Ceng girang dan heran. Ia tidak mengerti kenapa Oey Yong mengakali si petani, hingga petani nitu sendiri yang memapah pula batu serta kerbaunya itu.
Tak lama sampailah mereka di ujung jalan itu. Di depan mereka melintang sebuah jembatan bagaikan penglari batu, lebarnya kira setengah kaki, kedua ujungnya duduk di antara kedua puncak, karena ada kabut atau awan, ujungnya yang lain tak nampak. Kalau batu itu terletak di tanah, kecil pun tak berarti, sekarang itulah sebuah jembatan, bawah itu ada jurang yang dalam, sungguh berbahaya. Dengan melihat saja ke bawah, hati sudah ngeri.
“Sungguh pandai sekali Toan Hongya menyembunyikan diri,” kata Oey Yong menghela napas.
“Umpama ada seorang bermusuh hebat dengannya, kalau musuh itu dapat mencari sampai di sini, mungkin sakit hatinya akan berkurang separuh….”
“Kenapa si tukang pancing mengatakan bahwa Toan Hongya sudah mati?” tanya Kwee Ceng. “Perkataannya itu membuat hatiku tidak tentram….”
“Ya, memang mengherankan,” sahut si nona. “Melihat romannya, dia tidak berbohong. Dia juga mengatakan guru kita melihat sendiri kematian Toan Hongya itu…”
“Ah, sudahlah!” kata Kwee Ceng akhirnya. “Sudah sampai di sini, tidak bisa lain, kita mesti jalan terus…!” Ia lantas berjongkok, untuk Oey Yong menggemblok di punggungnya, setelah mana ia berjalan cepat di jembatan batu itu. Ia menggunakan ilmu ringan tubuh “Keng-kang Tee-ciong-sut”
Sebenarnya jembatan batu itu tidak rata dan juga licin sekali, siapa jalan dis itu, semakin perlahan, semakin banyak ketikanya untuk terpeleset dan jatuh, maka Kwee Ceng sebaliknya berjalan seperti berlari. Hanya ketika sudah melalui kira-kira delapan tombak, Oey Yong lantas teriak: “Awas, di depan itu putus!”
Kwee Ceng pun telah melihat itu, ia tidak berpikir untuk mencari tahu, kenapa bisa terjadi begitu, ia hanya menjejak, untuk mengenjot tubuh, maka dilain saat ia sudah berlompat ke seberang.
Oey Yong tidak menghiraukan lagi kematian, ia cuma merasa perbuatan si anak muda sangat berbahaya. Selewat dari situ, ia tertawa. Ia kata: “Engko Ceng, terbangmu masih tetap kalah dengan si rajawali!”
Nyatanya jalanan terputus itu, tetapi ada sambungannya pula, bukan hanya ada satu itu, sebaliknya bahkan ada tujuh rintasan, tetapi ketujuh-tujuhnya dapat dilewati Kwee Ceng, maka dilain saat tibalah mereka di ujung jembatan yang terakhir, yang terputusnya agak lebar. Habis itu barulah tampak sebidang tanah datar. Di situ terdengar suara orang membaca kitab.
Kwee Ceng menghentikan tindakannya. Ia mengawasi bagian yang terputus itu, yang lebarnya beberapa tombak lebih. Tepat di atas tanah itu, yang ceglok, di situ ada seorang yang berdandan sebagai pelajar duduk bersila, tangannya memegang buku, mulutnya membaca. Surat bacaan tadi keluar dari mulut dia ini. Di belakangnya ada sebuah lagi jalan yang putus dan ceglok.
“Sukar…” si anak muda mengeluh. “Tidak sukar aku melompat ceglokan ini hanya di situ bercokollah si pelajar ini! Mana dapat aku melompati dia? Kalau tidak, di sini tidak ada jalan lain… Di mana aku mesti menaruh kakiku?” Terpaksa ia berkata: “Paman aku yang muda mohon bertemu dengan gurumu, maka itu, tolong paman memimpin aku menemuinya.”
Pelajar itu tidak menyahut, mungkin dia tidak mendengar, sebab dia lagi asyik sekali membaca kitabnya, sambil kepalanya digoyang-goyangkan.
Lagi sekali Kwee Ceng mengajaknya bicara, suaranya dikeraskan, tetapi masih si pelajar diam saja.
“Yong-jie, bagaimana?” akhirnya Kwee Ceng tanya pada kawannya.
Oey Yong tidak lantas menjawab. Ia memperhatikan tempat di mana di pelajar dudukl. Di situ mereka tidak bisa bertempur, sebab salah satu atau dua-duanya tentu akan celaka. Pula, taruh kata mereka menang, kemenangan itu tidak ada artinya. Bukankah mereka datang untuk memohon sesuatu? Mana dapat mereka mencelakakan orang? Maka atas pertanyaan Kwee Ceng itu, ia mengerutkan alisnya. Dari apa yang ia dengar, si pelajar lagi membacakan kitab Loen Gie, terang dan lancar suaranya.
“Untuk membikin dia membuka mulutnya, tidak ada lain jalan daripada membuat hatinya panas.” Kemudian nona ini membuka berpikir. Maka berkatalah ia mengejek: “Biarpun Loen Gie dibaca beribu kali putar balik, kalau tak mengerti maksud Guru Besar Khong Coe tentang peribudi besar toh percuma!”
Pelajar itu tampak terkejut, ia mengangkat kepalanya.
“Apakah itu peribudi besar?” tanyanya. “Aku mohon pengajaran.”
Oey Yong memandang pelajar itu, yang usianya limapuluh lebih, yang kepalanya ditutup dengan kopiah sabuk Siauw-yauw-kin, tangannya memegang kipas dan jenggotnya panjang. Dia benar mirip seorang pelajar.
“Apakah kau tahu ada berapa banyak murid Khong Coe?” ia menanya, suaranya tetap dingin, tertawanya mengejek.
“Apakah sukarnya?” jawab pelajar itu dengan tertawa. “Murid Khong Coe ada tiga ribu orang dan yang paling pandai tujuhpuluh dua!”
“Dari tujuhpuluh dua murid itu, orangnya ada yang tua dan ada yang muda,” kata si nona. “Tahukah kau, berapa yang tua dan berapa yang muda?”
Pelajar itu tercengang. Di dalam kitab Loen Gie hal itu tak dibicarakan, dan di kitab-kitab lain pun tidak dicatat.
“Aku mengatakan kau tidak mengerti bunyinya kitab, apakah aku salah?” tanya Oey Yong disengaja. “Tadi aku mendengar kau membaca, yang dewasa lina enam orang dan yang bocah enam tujuh orang. Bukankah lima kali enam menjadi tigapuluh orang? Bukankah enam kali tujuh menjadi empatpuluh dua? Jadi yang muda itu empatpuluh dua orang? Bukankah kalau kedua jumlah itu dijumlah lagi. semuanya jadi berjumlah tujuhpuluh dua? Hm! Kau belajar tetapi tanpa berpikir, hm, sungguh celaka!”
Pelajar itu tahu orang merebut alasan dengan dipaksakan, tanpa merasa, ia tertawa. Meskipun demikian, ia kagum akan kecerdikan si nona.
“Nona kecil, kau sungguh pandai!” katanya. “Aku kagum kepadamu! Kamu hendak mencari guruku, untuk urusan apakah itu?”
Oey Yong berpikir dengan cepat: “Jikalau terang terang aku memberitahukan, bahwa aku hendak minta diobati, pasti dia menggunakan segala macam cara untuk menghalang-halangi. Tapi pertanyaan ini juga tidak dapat tidak dijawab. Baiklah, dia membaca kitab Loen Gie, baik kejejal dia dengan ujar-ujar Khong Coe juga!” Maka ia tertawa dan menyambut: “Nabi itu tidak dapat aku menemuinya, maka dapat menemui kuncu juga bolehlah! Jikalau ada sahabat yang datang dari tempat yang jauh, bukankah itu menggirangkan?”
Pelajar itu dongak, ia tertawa lebar.
“Bagus, bagus!” katanya. “Sekarang aku hendak mengajukan tiga pertanyaan padamu, jikalau kau dapat menjawabnya, akan aku membawa kau kepada guruku, jikalau ada satu saja yang kau tidak mampu menjawabnya, maka persilahkan kamu berdua pulang kembali!”
“Ah, hebat, hebat!” Oey Yong mengeluh. “Aku tidak pernah membaca banyak kitab, jikalau pertanyaanmu sulit, sungguh aku tidak dapat menjawabnya…”
“Tidak sukar, tidak sukar!” si pelajar tertawa. “Di sini ada sebuah syair, yang melukiskan tentang diriku, untukmu cukup kau menjawabnya dengan mempat huruf. Kau coba saja!”
“Baik!” si nona menjawab. “Jadi inilah tebak-tebakan! Teka-teki itu menarik hati! Silahkan kau menyebutnya!”
Si pelajar mengurut kumisnya, ia membaca; “Enam kitab telah lama penah di dada, satu pedang sepuluh tahun digosok di tangan…”
“Aha!” memuji Oey Yong sambil mengulur lidah, “Inilah namanya Bun Bu Coan Cay! Sungguh hebat!” Ia memotong untuk memuji orang pandai dua-dua dalam ilmu surat (bun) dan silat (bu)
Si pelajar tertawa, ia melanjuti: “Di atas bunga Heng ada satu batang melintang, karena khawatir rahasia langit nanti bocor janganlah membuka Mulut. Satu titik bertumpuk-tumpuk besar bagaikan gantang, menutupi Setengah pembaringan hingga tak nampak apa-apa. Habis nama lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang. Tahukah tuan asal-usul diriku ini?”
Oey Yong segera berpikir. Ia lantas memegang pokok pertanyaan itu: “Habis nama lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang. Tahukah tuan asal-usul diriku ini?”
“Kalau melihat romannya, dulunya ia mesti seorang menteri di dalam pemerintahan Toan Hongya,” demikian pikirnya. “Kemudian ia menggantung kopiahnya, dia meninggalkan pemerintahan, mengundurkan diri untuk tinggal menyembunyi di gunung atau rimba. Apakah sukarnya teka-teki ini?” Maka ia lantas menjawab: “Huruf Enam itu kalau di bawahnya ditambah satu satu huruf Satu ditambah lagi huruf Sepuluh, itu jadinya huruf Sin. Huruf Heng itu kalau di atasnya ditambah Satu huruf yang melintang dan dibuang huruf Mulut dibawahnya, maka jadilah huruf Bie. Setengah Pembaringan itu kalau ditukar dengan huruf Besar dengan huruf besar itu ditambah Satu titik di atasnya, itulah huruf Cong. Kalau huruf Habis itu di buang kopiahnya, ialah atasannya, maka jadilah dia huruf Goan. Jadi semua itu bunyinya ialah Sin Bie Conggoan! Maaf, maaf, kiranya aku berhadapan sama yang mulia Sin-bie Conggoan!”
Pelajar itu terbengong. Ia mengganggapnya teka-tekinya itu sulit. Atau taruh kata orang dapat menjawabnya, mesti lewat dulu sekian lama, tidak sedemikian cepat. Dua orang itu berada di jembatan tunggal itu, meski si pemuda lihay, tidak nanti ia sanggup menggendong orang berdiam lama-lama di situ, ia menyangka mereka bakal tahu diri dan mundur sendirinya. Siapa sangka, Oey Yong telah menjawabnya cepat luar biasa, seperti tanpa mikir lagi. Oleh karena ini, karena si nona cerdas luar biasa, ia lalu memikir untuk mengajukan pertanyaan yang sukar. Ia lantas memandang ke sekitarnya. Di pinggiran gunung ia menampak sekumpulan semacam pohon palem, yang daunnya bergoyang-goyang mengikuti tiupan angin, bagaikan kebutan kipas. Sebagai seorang conggoan- tamatan tertinggi dari Hanlim Academy - ia lantas mendapat pikiran. Maka ia menggoyang-goyangkan kipasnya, terus ia berkata: “Aku ada mempunyai sebuah syair bagian atasnya, aku minta nona suka tolong menyambungi bagian bawahnya.”
Oey Yong meleletkan lidahnya.
“Oh, inilah yang dinamakan twie dan twie ini tak demikian menarik hati seperti teka-teki!” katanya. “Tapi baiklah, silahkan kau menyebutkannya!”
Bab 62. It Teng Taysu
Pelajar itu menunjuk dengan kipasnya ke kumpulan pohon palem itu, ia membacakan syairnya itu, atau lian, yang dikatakan bagian atasnya: “Sang angin meniup-niup pohon palem, bagaikan seribu tangan menggoyang-goyang sang kipas.”
Syair itu di satu pihak menggambarkan pemandangan alam - ialah yang pohon, di lain pihak menunjuki juga hal dirinya si pelajar - ialah kipasnya, maka Oey Yong lantas berpikir: “Tidak dapat aku menjawab dia dengan hanya menunjuk serupa benda, mesti juga ada arti yang merangkap di dalamnya.” Ia lantas memandang ke sekitarnya, hingga ia melihat di depannya, di tanah datar, sebuah bangunan sebagai kuil atau biara, di depan mana ada sebuah pengempang teratai. Ketika itu bulan ke tujuh hampir habis, daun teratai sudah kering kebih dari separuhnya. Lalu ia tertawa dan berkata: “Jawabanku itu untuk menyambungi sudah ada hanya aku khawatir aku berbuat salah terhadap kau, paman, jadi tidak leluasa untuk aku mengatakannya….”
“Tidak apa, kau sebut saja!” menyahut si pelajar.
“Jangan kau gusar, paman…”
“Tentu sekali tidak.”
Oey Yong menunjuk kepada kopiah siauw-yauw-kin di kepala pelajar itu.
“Baiköah!” katanya. “Sambunganku bagian bawah dari syairmu itu ialah: ‘Diantara daun teratai separuh kering, satu memedi kaki tunggal memakai siauw-yauw-kin.”
Mendengar itu, si pelajar tertawa terbahak-bahak.
“Bagus, bagus!” ia memuji. “Bukan saja jawabannya sangat tepat juga itu dijawabnya cepat sekali.”
Kwee Ceng mengawasi ke daun-daun teratai di pengempang itu, ia melihat ada selembar daun hampir kering yang duduknya begitu rupa hingga mirip dengan satu setan satu kaki yang memakai kopiah siauw-yauw-kin itu! Maka ia juga tertawa.
“Hus, hus, jangan tertawa!” kata si nona pada kawannya. “Tungkulan kau tertawa, kakimu bisa terpeleset, nanti kita berdualah yang bakal menjadi si setan-setan yang tidak memakai kopiah siauw-yauw-kin itu!”
Si pelajar sendiri sementara itu tengah berpkir. “Dia tidak dapat dirobohkan dengan twie yang umum saja, dia mesti menyaksikan yang sangat sukar.” Lalu ia ingat halnya di masa bersekolah, gurunya pernah memberikan ia twie yang sudah puluhan tahun belum pernah ada lain orang yang dapat menimpalinya. Ia hendak mencoba ini. Ia kata: “Sekarang aku mempunyai satu lian lagi, aku minta nona kecil menimpalinya. Inilah Kim Sek pie pee, delapan raja besar semua serupa kepalanya.”
Mendengar itu tanpa merasa Oey Yong tercengang. Kim sek pie pee itu, ialah alat-alat tetabuhan semacam gitar, memang semua empat-empat hurufnya berkepala dengan huruf-huruf Ong = Raja di atasnya. Inilah benar-benar syair atau lian yang sulit untuk ditempeli (twie).
Si pelajar mengawasi orang, senang hatinya menampak si nona menghadapi kesulitan. Ia lantas berkata: “Lian bagian atas ini memangnya sukar, aku sendiri tidak dapat menimpelinya dengan pasti, hanya karena kita sudah omong terlebih dahulu, umpama kata nona tidak dapat menempalinya, seperti janji kita, silahkan kamu kembali saja!”
Justru orang “mengusir” justru Oey Yong mendapat pikiran. Ia tertawa.
“Untuk menimpali itu, tidaklah sukar!” katanya. “Hanya aku merasa kurang enak di hati menyebutkan itu. Tadi saja aku telah berbuat salah terhadap paman, sedang sekarang aku bakal menyinggung berbareng kamu berempat si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan palajar.”
Pelajar ini tidak mempercayai orang.
“Untuk menimpali saja sudah sukar sekali, apapula dengan sekaligus mengenai empar orang,” pikirnya. “Benarkah itu?” Lalu ia membilang: “Asal kau dapat menimpali dengan tepat, bergurau sedikit tidak apa!
Si nona tertawa.
“Kalau paman bilang begitu, baiklah, lebih dulu aku minta maaf!” katanya. “Sambungannya lian paman itu ialah: Ci Bie Bong Liang, ialah empat setan cilik dengan masing-masing ususnya!”
Cie bie bong liang itu ialah setan hutan, setan gunung, setan tukang makan batok kepala orang dan peri, semua empat huruf berpokok dengan huruf Kwie = Setan.
Mendengar itu, si pelajar terperanjat, lekas-lekas ia berbangkit untuk untuk menjura dalam seraya tangannya dikibaskan.
“Aku menyerah, Nona,” katanya.
Oey Yong pun lekas-lekas memberi hormat.
“Jikalau bukannya paman beramai sangat bersungguh-sungguh menghalang-halangi kami berdua mendaki gunung, sebenarnya juga lian paman ini sangat sukar untuk dijawab!”
“Hm!” si pelajar bersuara seraya ia lantas minggir.
“Silahkan!” katanya. Ia memutar tubuh dan berlompat dari tempat menghadangnya itu.
Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang dengan perhatian, ia sebenarnya khawatir Oey Yong gagal, maka bukan main girangnya ia mengetahui si nona menang, segera ia berlompat, mulanya di tempat bekas si pelajar, lalu terus ke rintangan lainnya yang paling belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar