BAB 60
Matanya si tukang pancing bersinar. Agaknya
ia sangat tergiur.
“Nona yang baik, kau bagilah aku sepasang,”
ia minta. “Kamu masih mempunyai dua pasang lagi, tidakkah itu cukup? Kalau paman
gusar, itulah hebat untukku…”
“Untuk membagi kau satu pasang, itulah urusan
kecil sekali;” berkata si nona, tetap manis. “Hanya
aku hendak menanya kau, kenapa kau mula-mulanya galak sekali?”
Orang itu jengah, dia bingung. Ia mau tertawa
tetapi pun gagal…..
“Ah, nona yang baik,” akhirnya ia kata, “Kau
ini tinggal di mana? Apakah tidak jauh dari sini?”
“Kalau dikata dekat, tidak dekat,” sahutnya,
“Kalau dikata jauh, ya tidak jauh, tetapi kalau beberapa ribu lie, ya ada…”
Tukang pancing itu kaget, lantas kumisnya
bangun berdiri.
“Hai, budak cilik!” dia membentak, “Kiranya
kau lagi permainkan tuanmu!” Dia sudah lantas mengangkat kepalannya yang besar,
hendak ditimpahkan kepala orang, akan tetapi kapan dia melihat seorang nona
cilik dan nampaknya lemah, dia batal sendirinya.
Kwee Ceng sendiri sudah lantas
bersiap, untuk menjambret tangan orang itu.
Oey Yong tertawa. Sama sekali
ia tidak takuti ancaman itu.
“Kenapa terburu nafsu?” katanya. “Aku telah
memikirkan jalannya. Eh, engko Ceng, coba kau tolong panggil si rajawali
putih!”
Anak muda itu tidak dapat menerka hati
kawannya akan tetapi ia menuruti.
Kapan si pengail mendengar suara orang, ia
terkejut. Suara itu nyaring mendengung, berkumandang di lembah-lembah. Maka
sekarang ia kata di dalam hatinya: “Baiklah tadi aku tidak lantas bertempur
dengannya, kalau tidak, aku bisa celaka….”
Tak lama datanglah sepasang rajawali mereka.
Oey Yong minta Kwee Ceng
mengambil babakan pohon, di situ dengan jarumnya ia mencacah beberapa baris
tulisan, singkat bunyinya:
“Ayah!
Aku menghendaki sepasang Kim Wawa,
maka suruhlah si rajawali membawanya.
Dari anakmu,
Yong.”
Melihat itu barulah Kwee Ceng
mengerti, maka ia menjadi girang sekali. Ia lantas menyiapkan tali, ialah ikat
pinggangnya yang ia kutungi, lalu dengan itu ia ikat surat babakan pohon itu pada kakinya si
rajawali yang jantan. Oey
Yong pun lantas berkata kepada si
rajawali itu: “Kau bawa ini ke Tho Hoa To, lekas pergi dan lekas kembali!”
Kwee Ceng masih khawatir
burungnya itu kurang mengerti, ia menunjuk ke Timur dan tiga kali menyebutnya:
“Tho Hoa To!”
Sepasang burung rajawali jinak itu berbunyi
berbareng, lantas keduanya terbang pergi, setelah berputaran di tengah udara,
mereka menuju ke timur, sebentar saja mereka lenyap di antara gumpalan mega.
Si Tukang pancing melongo
matanya dan terpentang mulutnya.
“Tho Hoa To…Tho Hoa To…” katanya kemudian,
seperti mengoceh tidak karuan. “Pernah apakah kamu dengan Oey Yok
Su Loosianseng?”
Baru sekarang Oey Yong
memprlihatkan aksinya.
“Ialah ayahku! Habis kenapa?!” sahutnya,
temberang.
“Oh!” seru orang itu heran.
Oey Yong tidak menggubris
sikap orang itu, ia tanya: “Dalam
tempo beberapa hari saja, burung itu bakal membawa datang ikan itu kemari.
Tidak terlambat, bukankah?”
“Harap saja…” kata orang itu, matanya
mengawasi sepasang anak muda itu, agaknya ia bersangsi.
Kwee Ceng memberi hormat.
“Aku belum menanyakan nama she dan nama yang
besar dari paman,” katanya.
Orang itu tidak menyahuti, sebaliknya ia
menanya: “Perlu apa kau datang ke mari?
Siapakah yang menyuruhnya?”
Kwee Ceng terus membawa
sikapnya yang menghormat.
“Aku yang muda ada mempunyai urusan untuk
mana aku memohon bertemu sama Toan
Hongya,” ia memberitahukan. Ia
sebenarnya mau memberi keterangan seperti petunjuknya Eng Kouw,
akan menyebutkan nama gurunya, Ang
Cit Kong,
tetapi ia tidak biasa mendusta, mendadak ia merasa tak dapat ia mengatakan itu.
“Guruku tidak dapat menemui orang!” orang itu
kata dengan keras. “Mau apa kau mencari guruku itu?”
Untuk sejenak Kwee Ceng
terbenam dalam kesangsian. Ia sebenarnya mau terus bicara secara sebenarnya,
tapi mendadak ia ingat keselamatannya Oey Yong.
Tidakkah ia nanti menggagalkan si nona? Bukankah tak apa ia mendusta kali ini?
Selagi ia bersangsi, si pengail telah mendapat lihat kesangsiannya itu dan
melihat tegas si nona, yang lagi sakit.
“Kau mencari guruku untuk minta diobati,
bukankah?” dia menanya.
Disenggapi begitu, pemuda itu tak dapat
mendusta lagi. Ia mengangguk.
“Benar,” sahutnya, sedang hatinya menyesal
tak dapat mendusta….
“Untuk menemui guruku, jangan harap!” kata
tukang pancing itu bengis. “Biar aku ditegur guru dan pamanku, aku tak
menghendaki lagi ikanmu itu! Lekas pergi!”
Kata-kata itu ketus dan pasti, bagaikan
pantek paku, Kwee
Ceng menjadi berdiri menjublak,
untuk sesaat itu, ia merasakan tubuhnya dingin seluruhnya. Sesaat kemudian
barulah ia dapat berkata pula.
“Nona yang terluka ini dan membutuhkan
pengobatan adalah putri yang dicintai dari Oey Tocu dari Tho Hoa To,” ia
berkata, ia pun menjura. “Sekarang ini, nona ini pun menjadi Pangcu dari Kay Pang.
Maka itu paman, aku minta, dengan memandang Oey Tocu dan Ang Pangcu itu,
sukalah kau menunjuki kami jalan, supaya kami diajak bertemu menemui Toan
Hongya.”
Mendengar disebutkannya Ang Pangcu,
roman si tukang pancing sedikit berubah, akan tetapi ia menggeleng kepala.
“Nona ini pangcu dari Kay Pang?”
tanyanya. “Aku tidak percaya!”
Kwee Ceng menuju kepada
tongkat Lek-tiok-thung di tangannya Oey Yong.
“Itulah tongkat Tah-kauw-pang dari Ang Pangcu,”
ia berkata. “Tentunya paman mengenali tongkat itu…”
Tukang pancing itu mengangguk.
“Pernah apakah kamu dengan Kiu Cie
Sin Kay?”
ia tanya pula.
“Ialah guru kami.”
“Oh…” si tukang pancing bersuara perlahan.
“Jadinya kamu datang ke mari mencari
guruku ini karena disuruh gurumu, bukan?”
Lagi-lagi Kwee Ceng
dibikin ragu-ragu. Ia ingat baik-baik ajarannya Eng Kouw
untuk mendusta tetapi itu bertentangan dengan kejujurannya.
“Benar!” Oey Yong
segera mendahului menjawab.
Orang itu bertunduk, terang ia ragu-ragu.
Terdengar ia berkata dengan perlahan: “Bagaimana sekarang? Kiu Cie
Sin Kay
dengan guruku itu bersahabat luar biasa erat…”
Oey Yong ynag cerdik mengerti
kesulitan orang itu, ia lantas berkata: “Guru kami menitahkan kami mencari Toan Hongya,
disamping untuk minta dia menolong mengobati aku juga karena ada urusan penting
yang mesti disampaikan!”
Mendadak orang itu mengangkat kepalanya.
Kembali terlihat ia menjadi bengis.
“Benar Kiu
Cie Sin
Kay yang menitahkan kamu menemui Toan Hongya?”
ia tanya keras.
“Ya,” menyahut Oey Yong.
Orang itu menegaskan pula: “Benar Toan
Hongya, bukannya orang lain?”
Nama Toan Hongya itu ditekan keras, mendengar
itu, Oey Yong menduga pasti ada sebabnya sesuatu,
tetapi karena sudah terlanjur, ia tidak dapat lain jalan.
“Ya,” ia menyahut pasti, mengangguk.
Pengail itu maju dua tindak. Tiba-tiba ia
berseru: “Toan
Hongya sudah mati!”
Oey Yong dan Kwee Ceng
kaget bukan kepalang.
“Mati?” tanya
mereka berbareng.
“Ketika Toan
Hongya mati, Kiu Cie
Sin Kay
ada disampingnya!” berkata si tukang pancing itu, suaranya tetap keras. “Maka
itu cara bagaimana dia boleh
menitahkan kalin pergi mencari lagi kepada Toan Hongya?
Hayo bilang, siapakah yang menitahkan kamu? Dengan datang kemari, kamu membawa
akal busuk apa? Lekas bilang!”
Segara ia maju setindak lagi, tangan kirinya
dikipaskan sebagai ancaman, tangannya menyambar ke pundaknya si nona.
Kwee Ceng memang selalu
bersiap, maka itu, melihat sikap garang dari orang itu, ia menghadang pula di
depan Oey Yong, kedua tangannya bersikap dengan
jurusnya “Melihat naga di sawah”. Manampak ini, orang itu heran. Itu tandanya
si anak muda tak mau menyerang kepadanya. Meski begitu, ia melanjuti
sambarannya. Karena ini mendadak ia merasakan benturan pada tangannya itu, yang
bergemetar, terus ia merasakan dadanya panas, sedang tangannya itu mental
balik. Dengan lantas ia lompat mundur, ia khawatir nanti diteruskan diserang
anak muda itu. Selagi berlompat ia ingat pembicaraan Ang Cit Kong bersama gurunya tentang ilmu silat.
Ia ingat, anak muda ini bersilat dengan Hang Liong Sip-pat Ciang.
“Teranglah mereka ini muridnya Ang Pangcu,
tidak boleh aku berbuat salah terhadap mereka,” begitu ia lantas mendadat
pikiran. Ia lantas mengawasi Kwee
Ceng, siapa terus menunjuk sikap
menghormat meski terang barusan ia menang unggul, tidak ada romannya yang puas
atau temberang. Tapi ia masih berkata: “Jiewi benar ada murid-muridnya Kiu Cie
Sin Kay tetapi jiewi datang kemari bukan atas titah gurumu itu, benar bukan?”
Kwee Ceng tak tahu maksud orang tetapi
rahasia hatinya telah dapat diterka, dengan terpaksa ia mengangguk.
Tukang pancing itu tidak lagi bersikap bengis
seperti semula.
“Walaupun Kiu
Cie Sin
Kay sendiri yang terluka dan
datang ke mari, masih siauwko tidak
dapat mengantarkan dia naik ke gunung untuk bertemu sama guruku, maka itu
haraplah jiewi memaafkannya,” katanya. Sekarang ia menyebut diri dengan “siauwko”
artinya ” yang muda”
“Apakah benar meskipun guruku sendiri yang
datang, masih tidak dapat?” Oey
Yong menegsakan.
“Tidak dapat!” menyahut orang itu, kepalanya
digoyang. “Biarnya dipukul sampai mati, tidak dapat!”
Oey Yong mencurigai orang
ini. Bukankah dia menyebut Toan Hongya gurunya dan dia juga membilang Toan Hongya
sudah mati? Kenapa ia menyebutnya waktu Toan Hongya mati Kiu Cie Sin Kay
berada di sampingnya? Tidakkah itu aneh?
“Tidak bisa lain, gurunya mesti ada di atas
gunung!” ia lantas mengambil keputusan. “Tidak peduli dia Toan Hongya
atau bukan, kita mesti menemuinya!”
Maka ia mengangkat kepalanya, mendongak ke
atas gunung, yang puncaknya seperti masuk ke dalam awan. Itulah puncak lebih
tinggi beberapa kali lipat daripada puncak Tiong Cie Hong dari Tiat Ciang San.
Benar-benar puncak itu sulit untuk dinaiki. Kemudian ia mengawasi air tumpah.
Ia memikirkan jalan untuk dapat mendaki gunung itu. Tengah ia mengawasi itu, ia
melihat berkelebatnya sinar kuning di dalam air. Segera ia bertindak ke tepian sambil
ia mengawasi jauh. Maka terlihatlah olehnya dua ekor ikan tadi berada di bawah
batu, ekornya berada di luar guanya itu…. Ia lantas menggapai Kwee Ceng.
Anak muda itu mendekati. Ia pun lantas
melihat ikan itu.
“Nanti aku turun dan menangkapnya,” kata Kwee Ceng.
“Jangan!” mencegah si nona. “Air deras, mana
kau dapat berdiri diam di air? Janganlah berlaku tolol…!”
Akan tetapi Kwee Ceng
berpikir, kalau ia menempuh bahaya dan menangkap ikan itu, untuk diserahkan
pada si pengail, mungkin hati orang ini berubah. Ia pun tidak dapat
menyia-nyiakan waktu lewat berlarut-larut, itulah membahayakan Oey Yong.
Karena ia tahu, nona itu bakal mencegah padanya, maka diam-diam ia lompat ke
air tanpa ia membuka lagi sepatu dan pakaiannya.
“Engko Ceng!”
Oey Yong berteriak kaget. Ia lantas bangun,
tetapi kedua kakinya bergoyang, serta tubuhnya terhuyung pula.
Si tukang pancing kaget, ia lompat menyambar
nona itu, kemudian ia lari ke arah gubuk, agaknya dia lantas mencapai sesuatu
guna menolongi si anak muda.
Oey Yong berduduk di batu, ia mengawasi ke
arah Kwee Ceng, yang dapat berdiri tegak di air, gempurannya air tumpah yang
dahsyat tak dapat membikin tubuhnya itu bergeming, maka legalah hatinya.
Kwee Ceng sendiri sudah lantas bertindak
untuk menangkap ikan. Ia membungkuk, kedua tangannya dianjurkan perlahan-lahan,
sikapnya waspada. Nyata ia bisa bekerja sebat dan jitu juga tangkapannya.
Dua-dua tangannya bisa mencekal ekornya ikan emas itu, hanya ketika ia
mengangkatnya, ia tidak berani mencekal keras-keras, ia khawatir ikan itu mati.
Kesempatan ini digunai kedua ekor ikan itu yang badannya licin, waktu keduanya
berontak, mereka dapat lolos dan melentik pula ke air, di mana mereka selulup
pula masuk ke kolong batu!
Oey Yong menjerit saking
menyesalnya karena sayang ikan itu lolos. Justru itu di belakangnya pun ada
orang yang berseru. Ketika ia berpaling, ia melihat si tukang pancing lagi
berdiri bengong di belakangnya, pundaknya memanggul sebuah perahu kecil dan
tangannya mencekal sepasang pengayuh. Rupanya dia hendak menolong orang
kecebur.
Kwee Ceng tidak lantas berlalu
dari air tumpah. Ia tetap berdiri tegar. Ia membungkuk pula. Kedua tangannya di
ulur ke kolong batu, ke gua tempat ikan tadi lari sembunyi. Tapi ia tidak mau
menangkap ikan, yang tidak terlihat, hanya ia memegang batu, untuk diangkat. Ia
girang ketika ia merasa batu itu bergerak sedikit. Maka sekarang ia menyiapkan
tenaganya, untuk jurusnya “aga terbang ke langit”. Dengan mendadak ia
mengangkat batu itu, terus dilemparkan ke sampingnya, di lain pihak, kedua tangannya
menyambar ke air. Maka sejenak itu juga, kedua tangannya telah mencekal
masing-masing seekor Kim
Wawa!
Batu besar itu terbanting ke air di samping,
berisik suaranya, air muncrat dan mengalir tambah keras. Kwee ceng sendiri
tidak terhuyung tubuhnya ketika ia mengangkat dan melemparkan batu itu.
Si tukang pancing heran dan kagum, tetapi
sekarang ia memikir daya untuk menolong Kwee Ceng
naik ke darat. Pemuda itu berada di tempat sekira dua tombak. Dengan kedua
tangan memegang ikan, sulit untuk dia menggunai lagi tangannya itu, atau ikan
itu bakal terlepas pula. Akhirnya ia menyodorkan pengayuhnya, ia ingin anak
muda itu mencekalnya, tanpa ia ingat tangan orang lagi memegang ikan….
Tapi Kwee Ceng tidak berkhawatir, setelah
melihat ke tepian, ia menjejak dengan kaki kanannya, dengan begitu dia dapat
berlompat ke pinggir, di sini ia menaruh kaki kirinya, untuk menjejak pula,
maka di lain saat, ia sudah berada di atas di antara si nona dan si tukang
pancing.
Oey Yong kaget, girang dan kagum. Sungguh ia
tidak menyangka demikian pesat sudah kemajuannya pemudanya ini. Tentu sekali
sesaat itu ia tidak ingat bahwa Kwee Ceng telah mempertaruhkan jiwanya cuma
untuk menolong dia. Sebenarnya anak muda itu sendiri bergidik kalau ia ingat
perbuatannya yang nekat itu.
Lain orang yang tercengang ialah si tukang
pancing. Ia heran dan kagum. Maka sekarang tahulah ia, anak muda itu lihay
tenaga dalamnya dan ilmu ringan tubuh, jangan dibicarakan lagi tentang nyali
yang besar.
Segera setelah itu, Kwee Ceng
tertawa. Kedua
Kim Wawa
di tangannya, sambil meronta-ronta telah mengasih dengar suaranya yang berisik,
yang benar seperti gegowakannya seorang bocah!
“Ah, pantas dia dipanggil Kim Wawa!”
katanya lagum. Kemudian ia mengulurkan tangannya kepada si tukang pancing,
untuk menyerahkan ikan itu.
Orang itu terlihat alisnya bergerak, tanda
dari kegirangannya. Ia pun lekas-lekas menurunkan pengayuhnya. Ketika ia sudah
mengulurkan tangannya, mendadak ia menariknya pulang.
“Kau lemparkanlah kembali ke air, aku tidak
menghendaki itu!” katanya.
“Kenapa begitu?” tanya
Kwee Ceng heran.
“Meski aku menerima ikanmu, tidak dapat aku
mengantarkan kau kepada guruku,” dia menyahut. “Menerima budi tetapi budi itu
tidak dibalas, itulah perbuatan yang akan mendatangkan tertawanya orang-orang
gagah di kolong langit ini!”
Kwee Ceng heran hingga ia
tercengang.
“Paman,” katanya kemudian, sungguh-sungguh,
“Kau tidak dapat meluluskan permintaan kami, pada itu mesti ada sebabnya,
baiklah kami tidak hendak memaksakannya. Tapi kedua ekor ikan ini tidak
berarti, inilah bukan budi, maka itu paman ambillah!” Ia mengulur pula
tangannya, ia menyerahkan ikan itu.
Kali ini si tulang pancing menyambuti, hanya
romannya sangat likat.
Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, ia
kata: “Yong-jie, hidup dan mati itu takdir, umur manusia tak dapat dipastikan,
maka kalau benar-benar kau tidak dapat disembuhkan, di dunia baka itu ada
jalannya, maka di sana
pastilah akan ada engko Cengmu yang akan tetap menemanimu! Mari kita pergi!”
Mendengar suaranya anak muda itu, merah
matanya Oey Yong. Tapi ia sudah memikir sesuatu. Ia
tidak lantas menyahuti si anak muda.
“Paman,” ia berkata kepada tukang pancing
itu, “Kau tetap tidak dapat memberi petunjuk pada kami, tidak apalah, hanya ada
satu hal yang aku tidak mengerti. Jikalau kau tidak menjelaskannya itu, mati
pun aku tidak meram…”
“Apa itu?” menanya si tukang pancing heran.
“Kau lihat puncak itu licin bagaikan kaca,”
berkata si nona. “Bukankah tidak ada jalan untuk mendakinya? Maka umpama kata
bersedia akan mengantarkan kami, apa salahnya?”
Orang itu berpikir: “Telah pasti aku tidak
dapat mengantarkan dia, maka apa halangannya kalau aku memberikan keteranganku
kepadanya?” Maka ia menajwab: “Kalau dikata sukar, memangnya sukar, tetapi
kalau dibilang gampang, benar-benar gampang sekali. Di sebelah sana, di ujung
gunung itu, air tumpah tak sekeras di sini maka jikalau aku duduk di atas
perahu besiku dan aku mendayung, aku dapat maju dengan melawan air. Kalau satu
orang diantarkan satu kali, maka dua kali saja lantas dua orang dapat tiba di
atas!”
“Oh, kiranya begitu!” berkata si nona. “Nah,
ijinkan kami pergi!”
Nona ini lantas berbangkit, untuk memegangi
tubuh Kwee Ceng, siap untuk berlalu.
Kwee Ceng memberi hormat pada
orang itu tanpa membilang apa-apa.
Tukang pancing itu mengawasi orang, kemudian ia
lari ke gubuknya, sebab ia khawatir ikannya nanti terlepas pula.
Begitu orang masuk ke dalam, Oey Yong
lantas berkata: “Lekas ambil perahu dan pengayuhnya itu! Mari
kita pergi ke atas!”
Kwee Ceng terkejut, ia
melengak.
“Ini…ini kurang bagus…” katanya ragu-ragu.
“Baiklah!” seru si nona. “Kau mau jadi kuncu,
nah jadilah kuncu!”
Kwee Ceng bingung: “Mana lebih
penting, menolong Yong-jie atau jadi kuncu?” demikian otaknya bekerja sulit.
Justru itu, Oey
Yong dengan susah payah, sudah
bertindak pergi. Cuma sedetik saja, ia lantas mengambil keputusannya. Ia lari
ke perahu, ia angkat itu, ia melemparkannya ke air, ke atasan air tumpah itu,
kemudian ia pergi menyambar kedua pengayuhnya. Tindakannya yang terakhir adalah
menolong Oey
Yong untuk lari ke atas, hingga dilain
saat mereka sudah berada di atas di mana mereka tampak perahu tadi.
“Ser!” demikian suara terdengar, suara dari
senjata rahasia.
Dengna mendak, Kwee Ceng
membebaskan diri dari senjata rahasia itu, yang jatuh ke dalam perahu mana
tepat datang ke dekatnya. Maka bersama-sama Oey Yong, ia
lompat naik ke perahu itu, untuk segera dikuyah mudik…
Si tukang pancing terdengar caciannya tapi
tak nyata apa katanya…
Kwee Ceng lantas mengayuh.
Mulanya dengan tangan kiri, sebab ia masih memegangi Oey Yong,
ketika perahu itu maju, ia melepaskan si nona, ia mengayuh dengan tangan
kanannya itu. Demikian selanjutnya, setiap mengayuh, perahunya maju beberapa
kaki….
“Budak busuk! Perempuan hina!” demikian sang
angin membawa dampartan si tukang pancing, mendengar mana, Oey Yong
tertawa, “Lihat, dia masih menganggapnya kau orang baik! Akulah yang dia caci!”
katanya.
Kwee Ceng lagi mengayuh,
matanya mengawasi ke depan, ia tidak mendengar guraunya si nona. Ia mesri
memakai tenaga dan pikirannya. Perahu itu besar kepalanya dan enteng buntutnya,
dia maju melawan air, yang boleh dibilang deras juga. Beberapa kali ia hampir
terpukul mundur. Dengan menggunai tipu dari “Sin Liong pa bwee” atau “Naga
sakti menggoyang ekor” dengan cepat ia dapat menguasai kedua pengayuhnya itu,
kedua tangannya bergerak dengan cepat dan kuat dan rapi.
Senang Oey Yong melihatnya, dengan gembira ia
kata: “Meski si tukang pancing tadi yang mengayuh, tidak nanti dia dapat
mengayuh selekas ini!”
Perahu itu maju terus, setelah lewat sekian
lama, air menikung, habis itu maka terlihatlah permukaan air yang airnya
tenang, di kedua tepinya ada tumbuh pohon yangliu. Itulah kali kecil yang
lebarnya setombak lebih. Di situ pun ada banyak pohon tho. Kalau itu waktu
musim semi, pastilah indah pemandangan alamnnya. Sebagai gantinya bunga tho, di
tepian ada banyak bunga putih yang kecil-kecil, yang baunya harum.
Dua-dua muda-mudi ini heran dan kagum. Tidak
dinyana, di atas gunung ini ada tempat sepermai itu.
Iseng-isng Kwee Ceng mengayuh dalam, hampir
ia membuatnya pengayuhnya terlepas. Di luar dugaannya, kali itu dalam tak
terjajakan oleh pengayuhnya itu. Di bawahpun air menggolak.
Sekarang kenderaan air dapat dikayuh maju
perlahan-lahan, keduanya dapat menikmati pemandangan alam yang indah, makin
jauh nampkanya makin menarik hati.
“Jikalau lukaku ini sukar diobati,” kata Oey
Yong menghela napas. “Biarlah aku terkubur di sini, tak usah aku turun lagi…”
Kwee Ceng berduka, hendak ia
menghiburi si nona itu atau ia melihatnya di sebelah depan mereka ada sebuah
terowongan, darimana ada terhembus bau harum yang keras sekali. Perahunya telah
lantas masuk ke dalam gua itu yang airnya mengalir sedikit keras.
Segera kuping mereka mendengar suara apa-apa.
“Suara apakah itu?” si pemuda tanya.
“Entahlah,” sahut si nona menggeleng kepala.
Terowongan itu tidak panjang, sebentar
kemudian mereka telah keluar di ujung yang lain. Segala apa menjadi terang
seperti tadi. Bahkan sekarang mereka bersorak. Di
depan mereka terlihat air mancur yang besar sekali, tingginya setombak lebih
dan airnya meluncur tinggi bagaikan tiang menjulang ke udara. Itulah yang
mangasih dengar suara tadi. Sampai di situ, habislah kali di atas gunung itu
dan sumbernya kali ialah air mancur ini.
Kwee Ceng membantu Oey Yong
naik ke darat, kemudian ia menarik perahunya ke batu, setelah mana bersama si
nona ia memandangi air mancur itu. Di
antara sinarnya matahari, air itu mengasih lihat bianglala yang intadh. Tak
tahu mereka bagaimana harus memuji keindahan itu, mereka duduk diam sambil
berpegangan tangan. Mereka masih kesengsem ketika mereka mendengar suara
nyanyian yang seperti keluar dari arah belakang bianglala itu.
“Kota
dan kalinya rusak semua! Mana si pencinta negara?
Memikirkan kemakmuran dan keruntuhan, itulah
penderitaan.
Dinasti Tong bangun, itu artinya dinasti Swie
roboh.
Jadi miriplah dengan naga yang berubah-ubah.
Cepat, langit dan bumi salah!
Lambat, langit dan bumi salah!”
Lantas juga terlihat si penyanyi, tangan
kirinya membawa sebatang kayu cemara, tangan kanannya mencekal sebuah kampak.
Maka teranglah, dia seorang tukang kayu - ya seorang tukang mencari kayu bakar.
Setelah melihat pakaian orang itu, Oey Yong
ingat tulisannya Eng
Kouw, ialah: “…….Kalau orang
bicara dengannya dengan minta diobati, orang bakal terbikin celaka lebih dulu
oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar…..” Tadi
mereka bertemu sama tukang pancing. Dan
ini, bukankah ini dia si tukang kayu?
Apakah mereka bakal bertemu sama petani dan
si pelajar? Siapa empat orang ini? Murid atau pelayankah dari Toan Hongya?
Ia menjadi masgul. Untuk melewati si tukang pancing demikian sukar, maka entah
ini tukang kayu. Bukankah nyanyian dia ini bukan nyanyian sembarang? Entah
bagaimana lagi dengan si petani dan si pelajar?
Kembali terdengar orang itu bernyanyi:
“Dari atas jembatan, memandang jauh,
Hawa dari kerajaan, telah runtuh….
Di atas panggung tak terlihat kepala perang….
Semenjak dulu, hanya seputaran, semua musnah.
Pahala, tidak kekal!
Nama juga tidak
kekal!”
Perlahan jalannya si tukang kayu itu, lalu ia
mengawasi si muda-mudi, acuh tak acuh lantas ia bekerja, mengampak kayu di
pinggiran gunung.
Oey Yong melihat tubuh orang
yang kekar dan roman gagah, gerak-geriknya seorang panglima perang, maka coba
dia itu bukan dandan sebagai tukang kayu dan lagi berada di hutan ini, dia
pasti dapat menjadi seorang kepala perang. Ia lantas ingat keterangan gurunya
bahwa Lam Tee, si Kaisar dari Selatan, ialah Toan Hongya,
telah menjadi kaisai di Taili, Inlam, maka apa
mungkin tukang kayu ini asalnya ialah panglima perangnya? Nyanyian orang, pula
suaranya, semuanya luar biasa.
Lagi sekali tukang kayu itu bernyanyi:
“Puncak gunung bagaikan bertumpuk,
Gelombang seperti berangkara murka,
Di jalanan kota
Tongkwan sana,
Memandang ke barat, hati ragu-ragu,
Melihat istana, semua runtuh menjadi tanah…
Bangun, rakyat bersengsara!
Musnah, rakyat
bersengsara!”
Mendengar kata-kata yang terakhir itu, Oey Yong
ingat ayahnya sering mengatakan: “Apa itu segala kaisar dan panglima perang?
Semua itu mahkluk jahat tukang membikin rakyat celaka! Merubah kerajaan,
menukar she, semua itu menyusahkan rakyat saja!” Maka tanpa merasa, gadis itu
memuji: “Nyanyian yang bagus!”
Tukang kayu itu berpaling, ia menancapkan
kampaknya di pinggangnya.
“Bagus? Apanya yang bagus?” dia menanya.
Oey Yong hendak menyahuti
ketika mendadak ia ingat: “Dia gemar bernyanyi, kenapa aku tidak mau membalas
dia dengan nyanyian juga?” Maka ia bersenyum, lalu ia bernyanyi dengan suara
perlahan:
“Gunung-gunung hijau saling menanti,
Mega-mega putih saling mencintai,
Tak bermimpikan jubah sulam dan sabuk emas,
Cukup dengan sebuah gubuk,
Dengan bunga hutannya mekar.
Siapakah yang memusingi:
Siapa bangun, siapa roboh,
Siapa berhasil, siapa gagal?
Cukup dengan gubuk dan satu sendok!
Melarat, semangat tak berubah!
Berhasil, cita-cita
tak berubah!”
Nona ini lantas menyangka pasti si tukang
kayu ialah panglimanya Lam Tee, panglima yang sekarang lagi hidup bersembunyi -
yang dulunya pasti berkuasa besar atas bala tentara, maka itu ia
memperdengarkan nyanyiannya itu, untuk menimpali nyanyian orang. Dugaannya memang
tepat karena si tukang kayu menjadi girang, sambil menunju ke samping gunung,
dia kata: “Naiklah!”
Di samping gunung itu ada sebuah batu yang
besar mirip dengan langan tangan, ketika Kwee Ceng dan Oey Yong memandang ke
atas, mereka hanya melihat awan dan bangkonya rotan. Meski begitu, si anak muda
lari menghampirkan rotan itu, untuk disambar, untuk dipakai melapai naik!
Kwee Ceng cuma mengerti
separuh dari semua nyanyian itu, di sebelah itu, yang ia paling khawatirkan
ialah si tukang kayu nanti mengubah pikirannya, maka ia tidak mau membuang
tempo lagi. Dengan kedua tangannya bekerja cepat, dengan lekas ia telah naik
belasan tombak tingginya. Di situ, ia
masih dengar nyanyian si tukang kayu:
“….dulu hari itu orang berebutan,
Sekarang bagaimana?
Menang, semua menjadi tanah!
Kalah, semua menjadi tanah!”
Oey Yong di punggungnya si
anak muda tertawa.
“Engko Ceng,”
katanya, “Kalau menurut dia itu, kita tak usah datang ke mari
untuk minta diobati!”
Kwee Ceng heran hingga ia
melengak: “Apa!” dia tanya.
“Semua orang toh bakal mati, bukan?” kata si
nona tertawa. “Orang sembuh, dia berubah menjadi tanah! Orang tak sembuh, dia
berubah menjadi tanah juga!”
“Fui!” si anak muda mengasih dengar suaranya.
“Sudah, jangan dengari ocehannya!”
Oey Yong itu benar lucu, ia
tidak menghiraukan si anak muda, dia bernyanyai perlahan: ” Hidup, kau
menggendong aku! Mati kau menggendong aku juga!”
Kwee Ceng berdiam, ia
kewalahan. Ia lebih memerlukan menggunai terus kedua tangannya, untuk naik ke
atas, sampai mereka memasuki awan atau kabut. Ketika itu musim panas tetapi
hawa dingin.
“Di hadapan kita ini terdapat segala pemandangan alam
yang indah dan luar biasa,” kata si nona kagum, “Umpama kata aku tidak bakal
dapat disembuhkan, taklah kecewa perjalanan kita ini…”
“Yong-jie, ah…” berkata si anak muda, masgul:
“Jangan menyebut-nyebut tentang mati atau hidup, bisakah?”
Si nona tertawa, dengan perlahan ia meniup
pundak orang.
“Eh, jangan main-main!” kata Kwee Ceng,
yang merasakan pundaknya panas dan gatal, “Awas, nanti tanganku terlepas, nanti
kita jatuh mati berdua…”
“Bagus!” berseru si nona. “Nah, kali ini
bukanlah aku yang menyebut-nyebut hidup atau mati!”
Saking
kewalahan, pemuda itu cuma bisa tertawa.
Lewat sekian lama, setelah melapai terus
dengan tetap rajinnya, tibalah muda-mudi ini di bongkot rotan itu, ialah puncak
gunung, yang merupakan sebuah tanah datar. Hanya belum sempat Kwee Ceng
menurunkan tubuhnya Oey
Yong, keduanya terkejut akan
mendadak mendengar suara berisik seperti batu besar jatuh di susuli jeritan
kerbau berulang-ulang, di susul lagi sama bentakan satu orang.
“Heran, mengapa di atas gunung begini ada
kerbau?” kata si anak muda, yang lantas lari ke arah darimana suara datang. Ia
tidak sempat menurunkan Oey
Yong, yang berkata: “Bukankah ada
si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar? Nah, kalau ada si
petani mesti ada kerbaunya!”
Segera mereka mendengar lagi suaranya kerbau,
dan sekarang mereka lantas melihat binatang itu, yang tengah mengangkat
kepalanya, keletakannya luar biasa sekali, ialah tubuhnya terlentang di atas
batu karang besar, keempat kakinya meronta-ronta tanpa dapat bangun, sedang
batunya bergoyang-goyang. Di bawah
batu itu dengan memasang kuda-kuda, satu orang mengangkat terbuka kedua
tangannya, dipakai menampah batu itu berikut kerbaunya. Yang lebih hebat, orang
itu berdiri di tempat di mana tidak ada tempat mundur lagi. Kalau tangan orang
itu tak kuat menahan, kerbau dan batu itu mesti jatuh, atau orang itu ketimpa
atau jatuh bersama kerbau itu, atau sedikitnya orang itu bakal patah tangan atau
kakinya. Rupanya kerbau itu lagi makan rumput, dia terpeleset dan jatuh di batu
itu, lalu orang itu mencoba menolongi dengan kesudahannya mereka sama-sama
terancam bahaya.
Melihat keadaan manusia dan kerbau itu, Oey Yong
tertawa. Katanya: “Tadi orang baru menyanyikan lagu San Po Yang, sekarang ini
lagu San Po GU!”
Lagu yang dinyanyikan si tukang kayu tadi
ialah lagu “San Po Yang” atau “Kambing di atas lereng”, dan si nona menyebutnya
“San Po Gu”, ia menukar “Kambing” dengan “kerbau” (Gu)
Di atas puncak itu ada
sawah lebar belasan bauw yang tengah ditanami. DI pinggir sawah ada sebuah
pacul. Orang yang menahan batu berikut kerbau itu bertubuh telanjang dan
kakinya melesak di lumpur sebatas dengkul.
Sembari mengawasi, Oey Yong
pikir kerbau itu beratnya di atas dua ratus kati dan berat batunya tak
berjauhan, maka itu bisalah dimengerti kuatnya orang itu, yang ia duga mestilah
si petani yang dimaksudkan dalam suratnya Eng Kouw.
Kwee Ceng sudah lantas
mengasih turun si nona, ia terus lari hendak membantui orang itu.
“Tahan, jangan kesusu!” si nona mencegah.
Tapi si anak muda itu murah hatinya, dia
terus lari, tiba di samping si petani, ia berjongkok, sambil memasang
kuda-kudanya, dia mengangkat kedua tangannya guna membantu menahan batu seraya
dia berkata pada orang itu: “Aku nanti menahan batu ini, kau tolong singkirkan
dulu kerbau itu!”
Orang itu menurut, akan tetapi ia melepaskan
dulu sebelah tangannya, yang kanan, tangan kirinya menahan terus, rupanya ia
khawatir si pemuda tak kuat. Tapi anak muda itu bukan cuma menahan, ia
mengangkat batu itu hingga terangkat sedikit, hingga tangan si petani terlepas
dari batu. Kapan ia melihat orang cukup kuat, ia lantas molos keluar, untuk
lompat naik ke sebelah atas, darimana barulah ia mau menarik kerbau itu, hanya
lebih dulu daripada itu, ia mengawasi si anak muda yang datangnya tiba-tiba
sekali. Segera ia menjadi heran. Ia melihat seorang bocah umur tujuh atau
delapanbelas tahun. Yang aneh, orang itu menahan batu berikut kerbau tanpa
terlihat menggunai banyak tenaga. Ia menjadi heran dan bercuriga, sebab ia
merasa ia sendiri sangat kuat. Ia melihat ke bawah, ia menampak Oey Yong,
seorang bocah yang lain, bahkan ia mendapatkan nona itu lesu, sebagai seorang
lagi sakit.
“Sahabat, untuk urusan apakah kau datang ke mari?” ia tanya,
herannya bertambah.
“Aku mao
memohon bertemu sama gurumu, Tuan,” Kwee Ceng
menyahut terus-terang.
“Untuk urusan apakah?” orang itu menanya
pula.
Kwee Ceng melengak, ia belum
menyahut, atau terdengarlah suaranya Oey Yong:
“Kau singkirkan dulu kerbau itu, sebentar kau menanya perlahan-lahan, tak nanti
kelambatan! Kalau dia keterlepasan tangan, apakah bukan kerbau dan manusia akan
jatuh bersama?”
Dalam herannya, si petani berpkir: “Dua orang
ini datang untuk suhu mengobati mereka, maksud mereka baik, hanya heran kenapa
kedua suheng di sebelah bawah tidak melepaskan panah nyaringnya? Kalau mereka
ini datang dengan membolos, terang mereka mestinya lihay. Kalau dugaanku ini
benar, baiklah aku gunai ketika selagi dia tidak dapat meloloskan diri, aku
tanya dulu dia biar terang…” Maka ia menanya: “Apakah kamu datang untuk minta
diobati?”
Kwee Ceng mengangguk. Ia
pikir, sudah terlanjur omong sebenarnya, baiklah ia berterus-terang terus.
Melihat orang mengangguk, paras si petani
berubah.
“Nanti aku tanya
dulu!” katanya. Dengan gerakan yang nampaknya enteng sekali, ia berlompat
turun.
“Eh!” Kwee Ceng
memanggil, “Kau bantui aku menurunkan dulu batu besar ini!”
“Sebentar saja aku kembali!” berkata si
petani tertawa.
Melihat kelakuan orang itu, Oey Yong
sudah dapat lantas menerka maksudnya. Dia mau membikin Kwee Ceng
lelah, setelah itu dengan gampang dia nanti mengusir mereka berdua. Karena
menduga begini, ia menyesal yang ia lagi sakit hingga ia tidak dapat membantu
engko Ceng-nya itu. Tentu sekali ia bingung, sebab tak tahu ia, berapa lama si
petani bakal pergi!
“Eh, paman, mari!”
ia memanggil. Ia bingung berbareng mendongkol pula.
Petani itu berhenti, ia tertawa dan berkata:
“Dia bertenaga besar, buat satu jam atau tiga perempat, tidak apa, kau jangan
takut!”
Ini jawaban membuat si nona gusar.
“Dengan baik hati engko Ceng menolongi
padamu, kau sebaliknya hendak menyiksa,” pikirnya. “Apakah kau kira sedikit
waku satu jam atau seperempat itu? Biaklah, kau perlu diberikan sedikit
pengajaran…” Demikian lantas ia mendapat pikiran, maka ia kata pula pada petani
itu. “Paman, bukankah kau hendak menanyakan gurumu dulu? Itulah pantas. Tapi di
sini ada sepucuk surat,
dari guruku, Ang
Cit Kong,
untuk dihanturkan kepada gurumu itu, maka tolong kau bawa sekalian.”
Mendengar disebutnya nama Ang Cit
Kong, petani itu mengasih dengar
suara terkejut. “Oh, kiranya nona muridnya Kiu Cie Sin Kay?”
katanya. Terus ia menghampirkan, untuk mengambil surat yang dimaksudkan itu.
Dengan ayal-ayalan Oey Yong
membuka kantung di punggungnya, ia beraksi mau mengeluarkan suratnya, tetapi ia
terlebih dahulu mengambil baju lapisnya, sembari berbuat begitu, ia menoleh
kepada Kwee Ceng. Mendadak ia memperlihatkan roman
kaget, ia pun berteriak: “Oh, oh, celaka! Tangannya itu bakal nowah! Paman, kau
tolongilah dia!”
Petani itu tercengang sebentar, lalu ia
tertawa.
“Tidak apa-apa,” katanya. “Mana suratmu?”
“Kau tolongi,” kata Oey Yong
pula. “Kau tidak tahu, sukoku itu lagi meyakinkan ilmu silat Pek-khong-ciang,
kemarin ini tangannya direndam dalam air obat, belum habis latihannya itu,
kalau dia menggunai tenaganya terlalu lama, tangannya itu bisa terluka…”
Oey Yong tahu dari ayahnya
tentang bagaimana Pek-khong-ciang, Tangan Memukul
Udara, harus dipelajari, maka itu,
ia hendak mengakali di petani ini. Si petani tidak paham, ilmu Pek-khong-ciang
itu sebagai murid lihay, ia pernah mendengarnya dari gurunya, maka itu,
mendengar perkataan si nona, ia jadi berpikir: “Kalau tanpa sebab aku
mencelakakan murid Kiu
Cie Sin
Kay, bukan saja suhu bakal menegur
aku, hatiku sendiri pun tidak enak. Sekarang ini dia datang dengan maksud baik.
Hanya aku menyangsikan si nona kecil ini, dia omong benar atau dia lagi
menggunai akal liciknya untuk menipu aku agar aku membebaskan kawannya itu…”
Oey Yong melihat orang bersangsi, ia angkat
baju lapisnya dan berkata pula: “Ini baju lapis joan-wie-kah dari Tho Hoa To,
yang tak menpam senjata, tolong paman mengerebongkannya di pundaknya, kalau
sudah dikerebongi, biarlah batu itu diletakkan pula di pundaknya, dengan
begitu, dia tidak nanti dapat pergi, dia pun tak usah terluka. Bukankah itu
bagus untuk kedua belah pihak?”
Si petani juga pernah mendengar tentang baju
lapis itu, ia hanya tetap ragu-ragu ketika ia menyambuti baju itu.
Oey Yong senantiasa mengawasi orang, ia
melihat orang tetap bersangsi, maka ia berkata pula: “Guruku telah mengajari
aku tidak boleh aku berdusta terhadap lain orang, maka itu mana berani aku
membohongi kau, Paman? Jikalau paman tidak percaya, kau cobalah bacok beberapa
kali baju lapisku ini!”
Si petani mengawasi si nona, ia mau percaya
orang jujur. Ia berpikir pula: “Kiu Cie Sin Kay itu orang tua dan terhormat,
kata-katanya ada kata-kata bagaikan emas atau kumala, guruku pun sangat
menghargainya, sedang nona ini tak macamnya tukang mendusta…” Karena berpikir
demikian, ia lantas mencabut golok pnedek di pinggangnya, terus ia membacok
baju lapis itu, sampai beberapa kali. Benar ia mendapat kepastian, abju itu
tidak rusak. Sekarang ia baru percaya benar.
“Baiklah!” katanya kemudian, “Nanti aku
mengerebongkannya!”
Petani itu tidak menyangka sama sekali, bahwa
walaupun roman Oey
Yong sangat polos dan
kekanak-kanakan, otaknya sangat tajam, dibatok kepalanya banyak akalnya. Maka
ia menghampirkan Kwee Ceng,
ia meletakkan baju itu di lengan
si anak muda, siap untuk dikerebongi, setelah mana ia memegang batu, untuk
diangkat. Sembari berbuat begitu, ia kata: “Kau lepaskan tanganmu, kau pakai
pundakmu untuk menahan batu!”
Dengan menyender pada batu, Oey Yong
mengawasi petani itu tajam-tajam, begitu lekas ia melihat orang mengangkat
batu, mendadak ia memanggil Kwee
Ceng: “Engko Ceng,
Hui liong cay thian!”
Kwee Ceng mendengar itu, ia
mengerti maksud si nona itu. “Hui liong cay thian” itu ialah salah satu jurus
dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang berarti “aga terbang di langit”. Itu pun
artinya, ia harus terbang. Maka begitu ia merasai tindihan kendor, ia menarik
tangan kanannya, tangna kirinya ia loloskan di bawah tangan kanannya itu, lalu
kakinya menjejak, tubuhnya melessat ke samping Oey Yong! Bukan main sebatnya ia
bergerak dengan jurus “Hui liong cay thian” itu.
“Kurang ajar” maki si petani begitu lekas ia
ketahui bahwa ia sudah kena ditipu mentah-mentah. Sebab dalam sekejab itu,
ialah yang sekarang mesti berdiri diam menahan pula batu serta kerbaunya itu!
“Engko Ceng,
mari kita pergi!” kata Oey Yong.
Ia memperlihatkan roman sangat puas, sembari menoleh kepada si petani, ia
berkata: “Paman, tenagamu sangat besar, kau dapat menahan batu itu untuk satu
jam atau tiga perempat, tidak nanti terjadi bahaya apa-apa, kau jangan
khawatir….!”
“Hai, budak cilik!” maki si petani. “Secara
begini kau akali si orang tua! Kau bilang Kiu Cie Sin Kay
dapat dipercaya, tapi dengan begitu kau meruntuhkan nama baiknya, kau bocah
cilik!”
Oey Yong tidak gusar, ia
bahkan tertawa.
“Apakah yang runtuh?” ia berkata. “Memang
guruku itu membilangi aku bahwa aku tidak boleh berdusta akan tetapi ayahku
mengatakannya memperdayakan orang bukanlah suatu perkara hebat! Karena aku suka
mendengar perkataan ayahku, jadi guruku tidak dapat berbuat apa-apa atas
diriku!”
“Siapa ayahmu?” tanya
si petani mendongkol sekali.
“Eh, bukankah aku telah memberikan kau tetika
untuk menguji baju lapisku itu?” si nona membalikkan.
“Ah, biar mampus, biar mampus!” mengutuk
petani itu. “Hai, kiranya kau budak setan, kaulah anak setan perempuan dari Oey
Lao Shia! Ah, kenapa aku begini tolol?!”
“Memang!” kata pula Oey Yong, tetapi tertawa.
“Kata-kata guruku memang berat bagaikan gunung, dia belum pernah mendusta,
adalah sukar untuk mempelajari itu, sedang aku juga tidak berani
mempelajarinya! Menurut aku, peljaran ayahkulah yang cepat!”
Lagi-lagi si nona tertawa, lalu ia menarik
tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi. Mereka mengikuti jalanan, untuk ke depan.
Kwee Ceng girang dan heran. Ia tidak mengerti
kenapa Oey Yong mengakali si petani, hingga petani nitu sendiri yang memapah
pula batu serta kerbaunya itu.
Tak lama sampailah mereka di ujung jalan itu.
Di depan mereka melintang sebuah
jembatan bagaikan penglari batu, lebarnya kira setengah kaki, kedua ujungnya
duduk di antara kedua puncak, karena ada kabut atau awan, ujungnya yang lain
tak nampak. Kalau batu itu terletak di tanah, kecil pun tak berarti, sekarang
itulah sebuah jembatan, bawah itu ada jurang yang dalam, sungguh berbahaya.
Dengan melihat saja ke bawah, hati sudah ngeri.
“Sungguh pandai sekali Toan Hongya
menyembunyikan diri,” kata Oey Yong menghela napas.
“Umpama ada seorang bermusuh hebat dengannya,
kalau musuh itu dapat mencari sampai di sini, mungkin sakit hatinya akan
berkurang separuh….”
“Kenapa si tukang pancing mengatakan bahwa Toan Hongya
sudah mati?” tanya Kwee Ceng.
“Perkataannya itu membuat hatiku tidak tentram….”
“Ya, memang mengherankan,” sahut si nona.
“Melihat romannya, dia tidak berbohong. Dia juga mengatakan guru kita melihat
sendiri kematian Toan
Hongya itu…”
“Ah, sudahlah!” kata Kwee Ceng
akhirnya. “Sudah sampai di sini, tidak bisa lain, kita mesti jalan terus…!” Ia
lantas berjongkok, untuk Oey
Yong menggemblok di punggungnya,
setelah mana ia berjalan cepat di jembatan batu itu. Ia menggunakan ilmu ringan
tubuh “Keng-kang Tee-ciong-sut”
Sebenarnya jembatan batu itu tidak rata dan
juga licin sekali, siapa jalan dis itu, semakin perlahan, semakin banyak
ketikanya untuk terpeleset dan jatuh, maka Kwee Ceng sebaliknya berjalan
seperti berlari. Hanya ketika sudah melalui kira-kira delapan tombak, Oey Yong
lantas teriak: “Awas, di depan itu putus!”
Kwee Ceng pun telah melihat
itu, ia tidak berpikir untuk mencari tahu, kenapa bisa terjadi begitu, ia hanya
menjejak, untuk mengenjot tubuh, maka dilain saat ia sudah berlompat ke seberang.
Oey Yong tidak menghiraukan
lagi kematian, ia cuma merasa perbuatan si anak muda sangat berbahaya. Selewat
dari situ, ia tertawa. Ia kata: “Engko Ceng,
terbangmu masih tetap kalah dengan si rajawali!”
Nyatanya jalanan terputus itu, tetapi ada
sambungannya pula, bukan hanya ada satu itu, sebaliknya bahkan ada tujuh
rintasan, tetapi ketujuh-tujuhnya dapat dilewati Kwee Ceng, maka dilain saat
tibalah mereka di ujung jembatan yang terakhir, yang terputusnya agak lebar.
Habis itu barulah tampak sebidang tanah datar. Di situ terdengar suara orang
membaca kitab.
Kwee Ceng menghentikan
tindakannya. Ia mengawasi bagian yang terputus itu, yang lebarnya beberapa
tombak lebih. Tepat di atas tanah itu, yang ceglok, di situ ada seorang yang
berdandan sebagai pelajar duduk bersila, tangannya memegang buku, mulutnya
membaca. Surat bacaan tadi keluar dari mulut dia ini. Di belakangnya ada sebuah
lagi jalan yang putus dan ceglok.
“Sukar…” si anak muda mengeluh. “Tidak sukar
aku melompat ceglokan ini hanya di situ bercokollah si pelajar ini! Mana dapat
aku melompati dia? Kalau tidak, di sini tidak ada jalan lain… Di mana aku mesti menaruh kakiku?” Terpaksa ia
berkata: “Paman aku yang muda mohon bertemu dengan gurumu, maka itu, tolong
paman memimpin aku menemuinya.”
Pelajar itu tidak menyahut, mungkin dia tidak
mendengar, sebab dia lagi asyik sekali membaca kitabnya, sambil kepalanya
digoyang-goyangkan.
Lagi sekali Kwee Ceng
mengajaknya bicara, suaranya dikeraskan, tetapi masih si pelajar diam saja.
“Yong-jie, bagaimana?” akhirnya Kwee Ceng
tanya pada kawannya.
Oey Yong tidak lantas
menjawab. Ia memperhatikan tempat di mana di pelajar dudukl. Di situ mereka tidak bisa bertempur, sebab salah satu
atau dua-duanya tentu akan celaka. Pula,
taruh kata mereka menang, kemenangan itu tidak ada artinya. Bukankah mereka
datang untuk memohon sesuatu? Mana dapat mereka mencelakakan orang? Maka atas
pertanyaan Kwee
Ceng itu, ia mengerutkan alisnya.
Dari apa yang ia dengar, si pelajar lagi membacakan kitab Loen Gie,
terang dan lancar suaranya.
“Untuk membikin dia membuka mulutnya, tidak
ada lain jalan daripada membuat hatinya panas.” Kemudian nona ini membuka
berpikir. Maka berkatalah ia mengejek: “Biarpun Loen
Gie dibaca beribu kali putar
balik, kalau tak mengerti maksud Guru Besar Khong
Coe tentang peribudi besar toh
percuma!”
Pelajar itu tampak terkejut, ia mengangkat
kepalanya.
“Apakah itu peribudi besar?” tanyanya. “Aku
mohon pengajaran.”
Oey Yong memandang pelajar
itu, yang usianya limapuluh lebih, yang kepalanya ditutup dengan kopiah sabuk
Siauw-yauw-kin, tangannya memegang kipas dan jenggotnya panjang. Dia benar
mirip seorang pelajar.
“Apakah kau tahu ada berapa banyak murid Khong Coe?”
ia menanya, suaranya tetap dingin, tertawanya mengejek.
“Apakah sukarnya?” jawab pelajar itu dengan
tertawa. “Murid
Khong Coe
ada tiga ribu orang dan yang paling pandai tujuhpuluh dua!”
“Dari tujuhpuluh dua murid itu, orangnya ada
yang tua dan ada yang muda,” kata si nona. “Tahukah kau, berapa yang tua dan
berapa yang muda?”
Pelajar itu tercengang. Di
dalam kitab Loen
Gie hal itu tak dibicarakan, dan
di kitab-kitab lain pun tidak dicatat.
“Aku mengatakan kau tidak mengerti bunyinya
kitab, apakah aku salah?” tanya Oey Yong
disengaja. “Tadi aku mendengar kau membaca, yang dewasa lina enam orang dan
yang bocah enam tujuh orang. Bukankah lima
kali enam menjadi tigapuluh orang? Bukankah enam kali tujuh menjadi empatpuluh
dua? Jadi yang muda itu empatpuluh dua orang? Bukankah kalau kedua jumlah itu
dijumlah lagi. semuanya jadi berjumlah tujuhpuluh dua? Hm! Kau belajar tetapi
tanpa berpikir, hm, sungguh celaka!”
Pelajar itu tahu orang merebut alasan dengan
dipaksakan, tanpa merasa, ia tertawa. Meskipun demikian, ia kagum akan
kecerdikan si nona.
“Nona kecil, kau sungguh pandai!” katanya.
“Aku kagum kepadamu! Kamu hendak mencari guruku, untuk urusan apakah itu?”
Oey Yong berpikir dengan
cepat: “Jikalau terang terang aku memberitahukan, bahwa aku hendak minta
diobati, pasti dia menggunakan segala macam cara
untuk menghalang-halangi. Tapi pertanyaan ini juga tidak dapat tidak dijawab.
Baiklah, dia membaca kitab Loen
Gie, baik kejejal dia dengan
ujar-ujar Khong
Coe juga!” Maka ia tertawa dan
menyambut: “Nabi itu tidak dapat aku menemuinya, maka dapat menemui kuncu juga
bolehlah! Jikalau ada sahabat yang datang dari tempat yang jauh, bukankah itu
menggirangkan?”
Pelajar itu dongak, ia tertawa lebar.
“Bagus, bagus!” katanya. “Sekarang aku hendak
mengajukan tiga pertanyaan padamu, jikalau kau dapat menjawabnya, akan aku
membawa kau kepada guruku, jikalau ada satu saja yang kau tidak mampu
menjawabnya, maka persilahkan kamu berdua pulang kembali!”
“Ah, hebat, hebat!” Oey Yong
mengeluh. “Aku tidak pernah membaca banyak kitab, jikalau pertanyaanmu sulit,
sungguh aku tidak dapat menjawabnya…”
“Tidak sukar, tidak sukar!” si pelajar
tertawa. “Di sini ada sebuah syair,
yang melukiskan tentang diriku, untukmu cukup kau menjawabnya dengan mempat
huruf. Kau coba saja!”
“Baik!” si nona menjawab. “Jadi inilah
tebak-tebakan! Teka-teki itu menarik hati! Silahkan kau menyebutnya!”
Si pelajar mengurut kumisnya, ia membaca;
“Enam kitab telah lama penah di dada, satu pedang sepuluh tahun digosok di
tangan…”
“Aha!” memuji Oey Yong
sambil mengulur lidah, “Inilah namanya Bun Bu Coan Cay! Sungguh hebat!” Ia
memotong untuk memuji orang pandai dua-dua dalam ilmu surat (bun) dan silat (bu)
Si pelajar tertawa, ia melanjuti: “Di atas bunga Heng ada satu batang melintang, karena
khawatir rahasia langit nanti bocor janganlah membuka Mulut. Satu titik
bertumpuk-tumpuk besar bagaikan gantang, menutupi Setengah pembaringan hingga
tak nampak apa-apa. Habis nama lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang.
Tahukah tuan asal-usul diriku ini?”
Oey Yong segera berpikir. Ia
lantas memegang pokok pertanyaan itu: “Habis nama lalu menanti menggantung
kopiah untuk pulang. Tahukah tuan asal-usul diriku ini?”
“Kalau melihat romannya, dulunya ia mesti
seorang menteri di dalam pemerintahan Toan Hongya,”
demikian pikirnya. “Kemudian ia menggantung kopiahnya, dia meninggalkan
pemerintahan, mengundurkan diri untuk tinggal menyembunyi di gunung atau rimba.
Apakah sukarnya teka-teki ini?” Maka ia lantas menjawab: “Huruf Enam
itu kalau di bawahnya ditambah satu satu huruf Satu ditambah lagi huruf
Sepuluh, itu jadinya huruf Sin. Huruf
Heng itu kalau di atasnya ditambah
Satu huruf yang melintang dan dibuang huruf Mulut dibawahnya, maka jadilah
huruf Bie. Setengah Pembaringan itu kalau ditukar dengan huruf Besar dengan
huruf besar itu ditambah Satu titik di atasnya, itulah huruf Cong. Kalau huruf
Habis itu di buang kopiahnya, ialah atasannya, maka jadilah dia huruf Goan.
Jadi semua itu bunyinya ialah Sin Bie Conggoan! Maaf, maaf, kiranya aku
berhadapan sama yang mulia Sin-bie Conggoan!”
Pelajar itu terbengong. Ia mengganggapnya
teka-tekinya itu sulit. Atau taruh kata orang dapat menjawabnya, mesti lewat
dulu sekian lama, tidak sedemikian cepat. Dua orang itu berada di jembatan
tunggal itu, meski si pemuda lihay, tidak nanti ia sanggup menggendong orang
berdiam lama-lama di situ, ia menyangka mereka bakal tahu diri dan mundur
sendirinya. Siapa sangka, Oey
Yong telah menjawabnya cepat luar
biasa, seperti tanpa mikir lagi. Oleh karena ini, karena si nona cerdas luar
biasa, ia lalu memikir untuk mengajukan pertanyaan yang sukar. Ia lantas
memandang ke sekitarnya. Di pinggiran gunung ia menampak sekumpulan semacam
pohon palem, yang daunnya bergoyang-goyang mengikuti tiupan angin, bagaikan
kebutan kipas. Sebagai seorang conggoan- tamatan tertinggi dari Hanlim Academy
- ia lantas mendapat pikiran. Maka ia menggoyang-goyangkan kipasnya, terus ia
berkata: “Aku ada mempunyai sebuah syair bagian atasnya, aku minta nona suka
tolong menyambungi bagian bawahnya.”
Oey Yong meleletkan lidahnya.
“Oh, inilah yang dinamakan twie dan twie ini
tak demikian menarik hati seperti teka-teki!” katanya. “Tapi baiklah, silahkan
kau menyebutkannya!”
Bab 62. It Teng Taysu
Pelajar itu menunjuk dengan kipasnya ke
kumpulan pohon palem itu, ia membacakan syairnya itu, atau lian, yang dikatakan
bagian atasnya: “Sang angin meniup-niup pohon palem, bagaikan seribu tangan menggoyang-goyang
sang kipas.”
Syair itu di satu pihak menggambarkan
pemandangan alam - ialah yang pohon, di lain pihak menunjuki juga hal dirinya
si pelajar - ialah kipasnya, maka Oey Yong
lantas berpikir: “Tidak dapat aku menjawab dia dengan hanya menunjuk serupa
benda, mesti juga ada arti yang merangkap di dalamnya.” Ia lantas memandang ke
sekitarnya, hingga ia melihat di depannya, di tanah datar, sebuah bangunan
sebagai kuil atau biara, di depan mana ada sebuah pengempang teratai. Ketika
itu bulan ke tujuh hampir habis, daun teratai sudah kering kebih dari
separuhnya. Lalu ia tertawa dan berkata: “Jawabanku itu untuk menyambungi sudah
ada hanya aku khawatir aku berbuat salah terhadap kau, paman, jadi tidak
leluasa untuk aku mengatakannya….”
“Tidak apa, kau sebut saja!” menyahut si
pelajar.
“Jangan kau gusar, paman…”
“Tentu sekali tidak.”
Oey Yong menunjuk kepada
kopiah siauw-yauw-kin di kepala pelajar itu.
“Baiköah!” katanya. “Sambunganku bagian bawah
dari syairmu itu ialah: ‘Diantara daun teratai separuh kering, satu memedi kaki
tunggal memakai siauw-yauw-kin.”
Mendengar itu, si pelajar tertawa
terbahak-bahak.
“Bagus, bagus!” ia memuji. “Bukan saja
jawabannya sangat tepat juga itu dijawabnya cepat sekali.”
Kwee Ceng mengawasi ke
daun-daun teratai di pengempang itu, ia melihat ada selembar daun hampir kering
yang duduknya begitu rupa hingga mirip dengan satu setan satu kaki yang memakai
kopiah siauw-yauw-kin itu! Maka ia juga tertawa.
“Hus, hus, jangan tertawa!” kata si nona pada kawannya. “Tungkulan
kau tertawa, kakimu bisa terpeleset, nanti kita berdualah yang bakal menjadi si
setan-setan yang tidak memakai kopiah siauw-yauw-kin itu!”
Si pelajar sendiri sementara itu tengah
berpkir. “Dia tidak dapat dirobohkan dengan twie yang umum saja, dia mesti
menyaksikan yang sangat sukar.” Lalu ia ingat halnya di masa bersekolah,
gurunya pernah memberikan ia twie yang sudah puluhan tahun belum pernah ada
lain orang yang dapat menimpalinya. Ia hendak mencoba ini. Ia kata: “Sekarang
aku mempunyai satu lian lagi, aku minta nona kecil menimpalinya. Inilah Kim Sek
pie pee, delapan raja besar semua serupa kepalanya.”
Mendengar itu tanpa merasa Oey Yong
tercengang. Kim sek pie pee itu, ialah
alat-alat tetabuhan semacam gitar, memang semua empat-empat hurufnya berkepala
dengan huruf-huruf Ong = Raja di atasnya. Inilah benar-benar syair atau lian
yang sulit untuk ditempeli (twie).
Si pelajar mengawasi orang, senang hatinya
menampak si nona menghadapi kesulitan. Ia lantas berkata: “Lian bagian atas ini
memangnya sukar, aku sendiri tidak dapat menimpelinya dengan pasti, hanya
karena kita sudah omong terlebih dahulu, umpama kata nona tidak dapat
menempalinya, seperti janji kita, silahkan kamu kembali saja!”
Justru orang “mengusir” justru Oey Yong
mendapat pikiran. Ia tertawa.
“Untuk menimpali itu, tidaklah sukar!”
katanya. “Hanya aku merasa kurang enak di hati menyebutkan itu. Tadi saja aku
telah berbuat salah terhadap paman, sedang sekarang aku bakal menyinggung
berbareng kamu berempat si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan palajar.”
Pelajar ini tidak mempercayai orang.
“Untuk menimpali saja sudah sukar sekali,
apapula dengan sekaligus mengenai empar orang,” pikirnya. “Benarkah itu?” Lalu
ia membilang: “Asal kau dapat menimpali dengan tepat, bergurau sedikit tidak
apa!
Si nona tertawa.
“Kalau paman bilang begitu, baiklah, lebih
dulu aku minta maaf!” katanya. “Sambungannya lian paman itu ialah: Ci Bie Bong
Liang, ialah empat setan cilik dengan masing-masing ususnya!”
Cie bie bong liang itu ialah setan hutan,
setan gunung, setan tukang makan batok kepala orang dan peri, semua empat huruf
berpokok dengan huruf Kwie = Setan.
Mendengar itu, si pelajar terperanjat,
lekas-lekas ia berbangkit untuk untuk menjura dalam seraya tangannya
dikibaskan.
“Aku menyerah, Nona,” katanya.
Oey Yong pun lekas-lekas memberi hormat.
“Jikalau bukannya paman beramai sangat
bersungguh-sungguh menghalang-halangi kami berdua mendaki gunung, sebenarnya
juga lian paman ini sangat sukar untuk dijawab!”
“Hm!” si pelajar bersuara seraya ia lantas
minggir.
“Silahkan!” katanya. Ia memutar tubuh dan
berlompat dari tempat menghadangnya itu.
Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang dengan
perhatian, ia sebenarnya khawatir Oey Yong gagal, maka bukan main girangnya ia
mengetahui si nona menang, segera ia berlompat, mulanya di tempat bekas si
pelajar, lalu terus ke rintangan lainnya yang paling belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar