BAB
59
Mendapatkan
datangnya burung itu, semua ular lantas berdiam, tidak ada yang berani
berkutik, maka beberapa diantaranya lantas dipatuk dan dimakan. Habis itu,
burung itu terus mandi api, akan kesudahannya terbang menclok di pundak si
nona.
Dua-dua
Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali.
“Sekarang
kita tidak takuti ular!” berkata si anak muda gembira. “Sekarang kita mesti
mencari jalan untuk lolos dari puncak ini, bagaimana?”
Oey
Yong terus berpikir. Nyata ia lantas mendapat jalan.
“Hiat-niauw
bisa naik ke mari, kalau dia dapat
kenapa rajawali kita tidak?” demikian katanya. “Gak Bu Bok bernama Hui, aliasnya yaitu Peng Kie,
maka kalau sekarang kita memakai Tiauw Kie,
mustahil tidak dapat. Bukankah itu bagus?”
Kwee Ceng tidak mengerti.
“Apa
itu Tiauw Kie?” ia menanya.
Nama
Hui dari Gak Bu Bok berarti “terbang”, dan aliasnya itu, Peng Kie, berarti
“garuda angkat”. Oey
Yong menyebutnya “Tiauw Kie”
itu berarti “rajawali angkat”. Si anak muda memikirkan itu, di dalam waktu
pendek, ia tidak menangkap maksudnya si nona.
Oey Yong tengah merasakan
sakit tetapi ia menahan itu, ia menyahuti: “Kita suruh rajawali kita membawa
kita terbang pergi dari sini….!”
Kwee Ceng berjingkrak.
“Benar!”
ia berseru. “Itu pun bagus! Nanti aku panggil si rajawali!”
Tidak
ayal lagi pemuda ini duduk bersila, untuk bersemadhi, guna mengumpulkan tenaga
dalamnya, kemudian baru ia mengasih dengar siulannya yang keras dan panjang,
yang mengalun jauh. Inilah ilmu semadhi yang dulu hari ma Giok mengajarkan
kepadanya. Setelah memahamkan Kiu Im Cin-keng, ia memperoleh kemajuan yang luar
biasa. Jarak di antara puncak dan kaki gunung ada beberapa lie, tetapi begitu
siulan mendengung, burung mereka dapat mendengarnya, kedua burung itu lantas
terbang mencari mereka. Maka di lain saat, berkumpullah mereka, burung dan
manusia - kedua burung itu berdiri di depan si muda-mudi.
Kwee
Ceng membantu Oey Yong membuka baju lapisnya, terus ia membantu si nona
mendekam di punggungnya rajawali yang betina. Karena khawatir nona itu memegang
kurang keras, ia pun mengikatnya. Sesudah beres, baru ia mendekam di punggung
rajawali yang jantan. Akhirnya, ia mengasih dengar siulannya.
Kedua
burung itu mengerti orang, keduanya lantas membuka sayapnya masing-masing untuk
terbang.
Mulanya
hatinya pemuda dan pemudi itu kebat-kebit, tapi tak lama, mereka menjadi tabah.
Mereka dapat mendekam dengan tenang di punggung burungnya itu. Bahkan si nona
yang tetap bersifat kekanak-kanakan, lupa pada sakitnya. Ia ingin mempertontonkan
diri di depan Khiu Cian Lie si tua bangka, maka ia mengutik leher burungnya,
menyuruh si burung terbang ke arah gua.
Burung
itu mengerti, benar-benar ia terbang ke muka gua. Di
sana terlihat
si tukang membual lagi rebot menggebah ular. Dia pun lantas melihat burung
membawa orang terbang dan mengenali si nona. Ia kaget, ia heran, ia menjadi
sangat kagum. Ia lantas memanggil: ” Nona yang baik, kau bawalah juga aku
pergi! Kalau adikku melihat aku, maka aku si tua bangka tidak bakal dapat hidup
lebih lama pula…!”
Oey Yong mendengar permintaan itu, ia
tertawa.
“Burungku
ini tidak dapat menggendong dua orang!” ia riang gembira. “Kamu bersaudara
kandung, kau baiklah minta ampun pada saudaramu itu!” Dan
ia menepuk burungnya, menyuruhnya si burung terbang terus.
Melihat
orang hendak pergi, timbullah hati jahat si orang tua.
“Nona
yang baik,” ia berseru, “Kau lihatlah permainanku ini, menarik hati atau
tidak?”
Oey
Yong tertarik, ia memutar balik burungnya untuk datang mendekati.
Khiu
Cian Lie menanti sampai orang telah datang cukup dekat, mendadak ia berlompat
menubruk, memegang erat-erat pada si nona, hingga di lain saat, mereka telah
berada bersama di punggung rajawali itu. Ia tidak memperdulikan nona itu kaget.
Orang
tua itu menjadi nekat. Ketika ular masuk ke dalam gua, ia mengusirnya. Untuk
itu, ia pergi sampai di luar gua. Di
sini ia dapt dilihat oleh orang-orang Tiat Ciang Pang. Itu berarti keputusan
mati untuknya. Ia telah memasuki tempat keramat dan terlarang. Jangan kata ia,
sekalipun pangcu sendiri, apabila tanpa sebab dia masuk ke situ, dia bagian
mati. Maka itu, ingin ia dapat lolos.
Burung
rajawali betina itu benar-benar tidak kuat membawa dua orang. Dia terbang
tetapi dia bukan maju jauh, dia turun ke bawah, cuma dengan menggeraki kedua
sayapnya dengan sepenuhnya tenaga, baru ia dapat memperlambat turunnya itu. Dia
tetap turun…………
Khiu
Cian Lie memegang erat-erat kepada Oey Yong.
Syukur dia ini diikat tubuhnya, kalau tidak tentulah telah terlepas pegangannya
pada burungnya itu.
Burung
betina itu mengasih dengar suaranya berulang-ulang. Yang jantan mendengar itu,
dia hendak menolongi, tetapi bagaimana?
Orang-orang
Tiat Ciang Pang lantas dapat melihat peristiwa luar biasa itu. Mereka heran dan
kaget, semua mengawasi dengan mata terbuka dan mulut menganga, tidak ada yang
bersuara.
Disaat Oey Yong terancam bahaya itu,
tiba-tiba satu sinar merah berkelebat di dekatnya. Itulah hiat-niauw, si burung
api, yang menyambar dari belakang gunung. Sebab tadi ia terbang mengikuti
majikannya. Dan burung ini menyambar
matanya Khiu Cian Lie.
Dalam
keadaannya itu, orang she Khiu itu tidak dapat membela diri. Ia juga tidak
menyangka sama sekali sang burung bakal menghajar matanya. Ia kaget dan
kesakitan, lupa kepada pegagannya kepada tubuh Oey Yong, ia
mengucak matanya. Tepat ia mengucak matanya, tepat terlepas pegangannya, maka
sia-sialah segala dayanya pula, tubuhnya lantas terpelanting jatuh. Maka dilain
saat terdengarlah suara hebat dan menyayatkan hati datangnya dari lembah. Di lain saat, burung rajawali telah dapat terbang
pula seperti biasa bersama nona majikannya itu, mendekati burung yang jantan,
untuk terbang berendeng.
Selagi
mendekati kaki gunung, Kwee
Ceng mengasih dengar siulannya
yang nyaring, untuk memanggil kudanya. Ia sekarang berlega hati, sedang tadi ia
kagetnya bukan main, takutnya tak terkira, sebab ia tak berdaya untuk menolongi
kekasihnya. Oey Yong sendiri tidak kurang takutnya, hingga ia menyesal yang
dirinya kena diperdayakan orang tua yang sudah nekat itu.
Kuda
merah itu mendengar panggilannya, dia lari mengikuti, di darat, burung di
udara.
Kwee Ceng merasa ia sudah
terbang kira-kira tujuhpuluh lie, lantas ia memberi tanda kepada burungnya
berdua untuk berhenti terbang, untuk turun ke tanah. Ia berkhawatir untuk Oey Yong,
yang diam mendekam saja di punggung burungnya itu. Ketika ia memeriksa,
benarlah si nona pingsan. Maka lekas-lekas ia menguruti, untuk membikin
darahnya jalan seperti biasa.
Selang
sekian lama, barulah si nona mendusin.
Ketika
itu awan gelap, hingga si putri malam kena ketutupan. Kwee Ceng
bingung juga. Sambil memeluki Oey Yong,
ia memandang ke sekelilingnya. Ia
berada di tengah tegalan, yang gelap.
Di situ terlihat tempat
untuk memernahkan diri. Karena terpaksa, kemudian ia berjalan juga. Dia
menerjang rumput yang tinggi sebatas dengkul. Sudah begitu, saban-saban duri
pohon menusuk betisnya. Ia merasa sakit tetapi tak ia menghiraukannya. Ia jalan
terus.
Secara
begini, ia jalan perlahan sekali. Jagat gelap, jalanan tak kelihatan. Itulah
hebat. Hatinya berdebaran, ia khawatir nanti kejeblos di
liang atau jurang….
Sesudah
menderita seperjalanan kira dua lie, mendadak Kwee Ceng
melihat satu bintang besar, munculnya dari sebelah kiri. Rendah bintang itu,
seperti di ujung langit, cahaya berkelak-kelik. Ia mengawasi, niatnya untuk
mengenali arah tujuan. Karena ini ia lalu dapat melihat tegas, itulah bukan
bintang hanya api.
“Ada api tentu ada rumah
orang,” pikirnya. Maka ia menjadi mendapat hati. Maka ia berjalan terus,
tindakannya lebar menuju ke arah api itu.
Ia
telah jalan kira satu lie, lalu ia tiba di sutau tempat, di mana ada banyak
pohon. Sekarang ternyata, api terlihat dari antara pepohonan. Setelah masuk ke
rimba, jalanannya tak lurus lagi. Jalanan kecil itu berliku-liku. Mendadak ia
kehilangan api itu.
Kwee Ceng tidak putus asa. Ia
lompat naik ke atas sebuah pohon. Dari situ, ia melihat ke bawah. Ia mendapat
kenyataan ia telah melewati api itu, yang sekarang berada di sebelah
belakangnya. Ia turun, ia menuju balik. Kembali ia kehilangan api itu. Ia
menjadi heran setelah ia mengalami kejadian itu dua tiga kali. Ia merasakan
kepalanya pusing dan matanya seperti kabur. Terus ia tidak dapat mendekati api
itu. Kudanya serta tiga ekor burungnya, entah ada di mana.
Karena
jengkel, Kwee
Ceng ingin jalan di atas pohon
saja. Tapi ini sukar dilakukan. Rimba itu gelap dan ia mesti memodong-mondong Oey Yong.
Ia juga khawatir nanti kejeblok atau si nona kena kelanggar cabang-cabang
pohon, yang dapat melukakannya. Untung ia sabar, ia tidak menjadi putus asa. Ia
beristirahat sebentar, lantas ia berjalan pula.
Oey Yong terluka dan tubuhnya
lemah, tetapi dasar cerdik, otaknya berjalan. Ia melihat bagaimana ia dibawa
putar kayun oleh Kwee ceng, dengan perlahan-lahan ia mulai mengerti jalan di
dalam rimba itu. Ia menggunai otaknya, meramkan matanya.
“Engko Ceng,”
katanya kemudian, “Jalan ke kanan, ke samping,”
Girang
si anak muda mendengar orang dapat berbicara.
“Ah,
Yong-jie, kau baik?” tanyanya.
Nona
itu menyahuti tetapi tidak tegas.
Kwee Ceng menurut. Ia maju ke
kanan, lalu nyamping.
Oey Yong mengingat-ingat.
Setelah tujuhbelas tindak, ia berkata pula: “Engko Ceng,
jalan ke kiri, delapan tindak.”
Kwee Ceng menurut.
“Sekarang
ke kanan lagi, nyamping, tigabelas tindak.”
Kwee Ceng menurut pula.
Kali
ini mereka berjalan dengan si anak muda mengikuti petunjuk dari si nona. Oey Yong
sudah lantas dapat menduga, jalanan bukan jalanan wajar, hanya buatan manusia.
Dia adalah anak gadisnya Oey
Yok Su,
dan ia telah mendapatkan separuh lebih warisan ayahnya itu mengenai jalan
rahasia. Maka juga, meskipun ia meram, ia seperti bisa melihat tegas jalanan di
dalam rimba itu.
Demikian
mereka jalan sana
jalan sini, maju dan mundur. Akhirnya, dengan lekas, mereka menghadapi api
tadi. Kwee Ceng girang hingga ia lantas membuka
tindakan lebar untuk berlari.
“Jangan
kesusu!” Oey
Yong mencegah.
Tapi Kwee Ceng sudah berlari.
Mendadak
anak muda itu berkoak, karena kedua kakinya sudah menginjak lumpur, bahkan kaki
itu lantas terpendam dalam sebatas dengkul. Syukur ia lihay, dengan segera ia
menggenjot diri dengan ilmunya ringan tubuh, untuk berlompatmundur. Ketika ia
kembali ke tanah kering, hidungnya mencium bau lumpur itu. Ia berdiri diam dan
mengawasi. Cahaya api itu membantu kepadanya. Ia menampak ada kabut putih di
depannya itu, di situ ada sebuah rumah dengan dua ruang. Api keluar dari rumah
itu, ialah rumah atap.
“Kami
ada orang pelancongan!” Kwee
Ceng lantas berkata, “Kami pun
mendapat sakit berat, maka itu kami minta tuan rumah sukalah berlaku murah
dengan mengijinkan kami menumpang beristirahat seraya meminta air hangat.”
Di
dalam malam yang sunyi itu, suara Kwee Ceng cukup keras, akan tetapi sampai
sekian lama, ia tidak memperoleh jawaban, dari itu ia lekas berbicara pula
menyebutkan permintaannya itu untuk menumpang singgah.
Lagi-lagi
tidak ada penyahutan.
Ketika
lewat sekian waktu, Kwee Ceng mengulangi permintaannya untuk ketiga kalinya,
baru ia mendapat jawaban dari seorang perempuan, katanya: “Kamu telah dapat
tiba di sini, sudah tentu kamu mempunyai juga kepandaian untuk masuk ke dalam
rumahku ini. Mustahil aku mesti keluar menyambut kamu?”
Suara
itu tawar sekali, terang orang tidak sudi kedatangan tamu.
Di
hari-hari biasa, tidak suka Kwee Ceng mengganggu orang, lebih suka ia tidur di
dalam rimba atau tempat terbuka, akan tetapi sekarang ia ada bersama Oey Yong
yang lagi sakit itu, ia membutuhkan rumah. Maka dengan perlahan ia berdamai
sama si nona. Ia kata rumah dikurung lumpur. Bagaimana mereka bisa
menghampirkan rumah itu?
Oey Yong membuka matanya, ia
mengawasi sekian lama.
“Rumah
ini dibangun di tengah-tengah rawa lumpur,” katanya kemudian. “Sekarang coba
perhatikanlah, bukankah benar modelnya satu bundar dan satu persegi empat?”
Kwee Ceng membuka matanya
lebar-lebar, lantas ia menjadi girang sekali.
“Oh,
Yong-jie, bagaimana kau ketahui itu?” ia bertanya.
“Pergi
kau ke belakang rumah yang bundar itu,” kata Oey Yong
tanpa menyahuti. “Di situ kau jalan
lempang ke arah api banyaknya tiga tindak, lalu nyamping lima tindak, lalu lempang lagi tiga tindak.
Dengan lurus dan nyamping itu, kau tidak bakal salah jalan.”
Kwee Ceng menurut perkataan si
nona. Benarlah, setiap kakinya ditaruh, kaki itu menginjak pelatok kayu, yang
dapat bergerak miring ke sana
ke mari, maka siapa tak pandai ilmu
enteng tubuh, pastilah ia tak dapat menaruh kakinya dan berjalan di situ. Ia
jalan terus, sampai seratus sembilanbelas tindak, maka dapatlah ia jalan mutar
hingga di depan rumah yang persegi empat itu. Sekarang terlihat tegas, rumah
itu tanpa pintunya.
Oey
Yong berbisik: “Dari sini kau berlompat, kau menaruh kaki di sebelah kiri.”
Kwee
Ceng menurut, sambil terus menggendong si nona, ia berlompat. Sementara itu ia
heran sekali. “Semua dapat diterka Yong-jie!” katanya dalam hatinya.
Tempat
di mana si anak muda menaruh kaki adalah tanah, sedang yang di sebelah kanan
adalah air atau pengembang.
Berjalan
di pekarangan ini, Kwee ceng masuk ke sebelah dalam. Di
situ ada pintu model rembulan, yang tak ada daun pintunya.
“Masuk!”
kata Oey Yong. “Tidak ada yang aneh di dalamnya.”
Kwee Ceng mengangguk, terus ia
berkata nyaring: “Kami orang yang tengah membuat perjalanan lancang memasuki
rumah ini, harap tuan rumah suka memaafkannya,” kata-katanya ini diikuti dengan
tindakannya masuk ke dalam.
Sekarang Kwee Ceng melihat sebuah meja
panjang, di atas mana ada ditaruh tujuh buah pelita, ditaruhnya rapi seperti
bintang Pak Tauw. Di depan meja, di tanah ada berduduk
seorang wanita tua, yang rambutnya telah ubanan, bajunya dari kain kasar,
matanya mengawasi ke tanah di mana ada banyak lembaran bambu, dia seperti
sedang memikirkan lembaran bambu itu rupanya, sampai dia tidak mau mengangkat
kepalanya walaupun dia mendengar suara tetamunya.
Kwee Ceng meletaki Oey Yong
di atas kursi. Ia memandang mukanya, lantas ia merasa sangat berkasihan. Wajah
si nona sangat pucat dan kucal. Ia hendak membuka mulutnya, guna meminta air hangat,
tetapi ia batal. Ia melihatnya si nyonya rumah tengah memusatkan perhatiannya,
jadi ia khawatir mengganggu pemusatan pikiran orang itu.
Setelah
dapat berduduk beberapa saat, Oey Yong pulih sedikit kesegarannya. Maka itu, ia
juga dapat memperhatikan si nyonya serta lembaran-lembaran bambu yang lagi
diawasi nyonya tua itu. Setiap lembaran bambu itu panjangnya kira-kira empat
dim dan lebar dua hoen. Dan si nyonya agaknya berat memikirkan itu. Ia lantas
mengerti hitungan apa adanya itu. Oleh ayahnya, ia telah diajari dan ia
mengingatnya dengan baik.
“Lima! Duaratus tigapuluh
lima!” katanya tiba-tiba.
Si
nyonya terkejut, dia mengangkat kepalanya, matanya nampak tajam sekali, agaknya
ia gusar. Hanya sebentar, ia mulai menghitung pula.
Kwee
Ceng dan Oey Yong melihat kulit orang bersih, usianya ditaksir baru tigapuluh
tujuh kira-kira, mungkin disebabkan banyak pikir, maka rambutnya telah ubanan.
Habis
menghitung, wanita tua itu tampaknya heran. Tepat hitungannya si nona tadi.
Maka ia mengangkat pula kepalanya, memandang nona itu. Ia melihat tegas satu
wajah muda cantik dan cantik, hanya lesu. Kemudian ia tunduk pula, akan
menghitung lebih jauh.
Oey Yong mengawasi, sampai
sekian lama si nyonya belum dapat memecahkan, lalu ia berkata dengan perlahan:
“Duaratus duapuluh empat!”
Kembali
nyonya itu terkejut. Ia lantas mengangkat kepalanya. Agaknya ia penasaran, maka
ia menghitung terus. Segera juga ia mendapat jawaban, yang akur sama perkataan
si nona. Maka ia berdiri dengan melempangkan pinggangnya. Sekarang ia nampak
lebih nyata. Jidatnya sudah keriputan, usianya disangsikan sudah tigapuluhan,
mungkin baru duapuluhan lebih. Kedua matanya bersinar tajam.
“Mari ikut aku!” katanya kepada si nona, tangannya
menunjuk ke dalam kamar. Ia mengambil sebuah pelita, ia membawanya itu ke dalam
kamar yang ditunjuk itu.
Kwee Ceng memepayang Oey Yong
untuk mengikuti. Hanya setibanya di mulut pintu, ia merandak, tidak berani ia
turut masuk. Ia melihat kamar itu, yang temboknya bundar, lantainya penuh
pasir, di atas pasir itu ada coretan tanda-tanda lurus dan bundar, ada pula
guratan huruf-huruf thay, thian-goan dan lainnya, yang ia tidak tahu artinya.
Ia takut nanti merusak itu semua.
Oey Yong melihat semua itu,
ia mengerti itu adalah ilmu “Thian-goan Cie Soet”
(yang mirip dengan aljabar), maka ia menarik tongkatnya dari pinggangnya,
sambil bergelendot pada Kwee Ceng,
ia mencoret-coret di atas pasir
itu. Ia memecahkan beberapa hitungan, yang si nyonya belum dapat menjawabnya.
Maka lagi-lagi ia membuatnya nyonya itu heran.
Setelah
mengawasi dengan tercengan, si nyonya menanya: “Kau siapa?”
“Itulah
hitungan Thian-goan yang tidak sulit,” berkata Oey Yong,
yang tidak menjawab langsung, dan tanpa diminta, ia menjelaskan pokoknya
hitungan itu.
Muka
si nyonya menjadi pucat, tubuhnya bergoyang. Mendadak ia menjatuhkan diri di
atas pasirnya, tangannya memegangi kepalanya. Kelihatannya ia berpikir keras
sekali. Kemudian ia mengangkat kepalanya, lalu wajahnya menjadi terang.
“Dalam
hal menghitung, kau terlebih pandai daripada aku!” katanya. “Sekarang jawab
aku, bagaimana kau menghitung ini?” Dan
ia menunjuki hitungannya di atas pasir.
Oey
Yong mengingat baik bagaimana ayahnya mengatur Tho Hoa To hingga menjadi pulau
rahasia, pulau keder yang tidak dapat dimasuki sembarang orang.
“Gampang!”
sahutnya, dan ia menggurat-gurat pula di atas pasir itu.
Muka
si nyonya itu menjadi pucat pula, lalu ia menghela napas.
“Aku
kira inilah ciptaan sendiri, kiranya lain orang pun telah mengetahuinya,”
katanya masgul.
“Semua
itu gampang,” kata pula Oey
Yong, dan ia membacanya di luar
kepala. “Kau boleh coba.”
Si
nyonya menghitung menuruti ajaran si nona dan ia berhasil!
“Semua
ini mengenai pat-kwa,” kata Oey
Yong pula. Ia menjelaskan terlbih
jauh. “Rupanya kau belum jelas dengan petanya.” Terus ia menggurat-gurat lagi.
Nyonya
itu menjublak, matanya terpentang, mulutnya terbuka lebar. Lantas ia
berbangkit, tubuhnya nampaknya bergemetar.
“Nona,
kau siapa?” akhirnya ia tanya. Tapi,
sebelum ia menanti jawaban, mendadak ia menekan ulu hatinya, mukanya meringis,
tanda ia menahan sakit. Dari sakunya lekas-lekas ia mengeluarkan satu peles obat, yang terisi pil warna hijau, ia mengeluarkan
sebutir dan terus dimakannya. Lewat sesaat, wakahnya menjadi sedikit tenang.
“Habis
sudah…!” katanya tiba-tiba, lalu ia mengucurkan air mata.
Oey Yong dan Kwee Ceng
saling memandang. Mereka heran untuk sikap nyonya ini.
Tidak
lama, kelihatannya si nyonya mau bicara, atau ia batal karena kupingnya lantas
mendengar suara berisik yang datang dari jauh, lalu datang semakin dekat.
Kwee Ceng dan Oey Yong tahu
itulah barisan pengejar dari Tiat Ciang Pang.
“Musuh
atau sahabat?” tiba-tiba si nyonya tanya.
“Musuh
yang lagi mengejar kami,” sahut Kwee
Ceng terus terang. Suara berisik
itu mendekati terus.
“Tiat
Ciang Pang toh?” tanya pula si nyonya.
“Benar,”
menjawab Kwee
Ceng.
Nyonya
itu memasang kupingnya lalu ia berkata: “Khiu Pangcu
memimpin sendiri orang-orangnya itu,” katanya sesaat kemudian. “Sebenarnya kamu
ini siapa?!”
Pertanyaan
ini luar biasa, saking bengisnya.
Kwee Ceng maju di depan Oey Yong,
untuk menghalangi, lalu ia menjawab dengan nyaring: “Kamilah murid-muridnya Khiu Cie
Sin Kay
Ang Pangcu.
Ini adik seperguruanku telah kena dilukai Khiu Cian Jin
dari Tiat Ciang Pang, karena itu kami menyingkir ke mari,
maka umpama kata cianpwee ada punya sangkutan sama Tiat Ciang Pang itu dan tak
sudi menerima kami, sekarang juga kami meminta diri.”
Habis
berkata, pemuda ini menjura, lalu ia memegangi Oey Yong,
untuk dibawa pergi.
Nyonya
itu tertawa tawar.
“Usia
begini muda tetapi sudah keras kepala!” katanya. “Kamu dapat bertahan tetapi
adikmu ini tidak, kau mengerti? Aku kira kamu siapa, tidak tahunya kamu
murid-murid Ang
Cit Kong.
Pantas kamu lihay!”
Habis
berkata, si nyonya memasang kuping. Ia mendengar suara berseru-seru orang-orang
Tiat Ciang Pang itu, sebentar jauh sebentar dekat, sebentar tinggi sebentar
rendah. Kemudian ia kata: “Mereka itu tidak menemui jalanan, mereka tidak dapat
masuk ke mari. Umpama kata mereka toh dapat masuk, kamulah tetamu-tetamuku,
kamu boleh melegakan hati. Apakah kau kira Sin….Sin… Eng Kouw dapat dibuat
permainan?”
Sebenarnya
dialah Sin-soan-coe Eng Kouw, si ahli hitung, tetapi mengingat si nona jauh
terlebih pandai daripadanya, setelah menyebut Sin, ia tidak berani
meneruskannya.
Kwee
Ceng menjura, ia menghanturkan terima kasih.
Eng
Kouw menghampirkan Oey Yong, ia membuka baju orang, untuk memeriksa lukanya. Ia
mengerutkan keningnya, tanpa membuka suara, ia mengambil sebutir obatnya yang
hijau itu, setelah melumerkan itu di air, ia mengangsurkan pada Oey Yong.
“Kau
minum ini,” katanya.
Oey
Yong menyambuti obat itu, tetapi ia bersangsi untuk meminumnya. Ia belum kenal
nyonya ini.
Eng Kouw mengawasi, lalu ia
tertawa dingin dan berkata: “Kau terlukakan tangan jahat Khiu Cian
Jin, apakah kau masih memikir
untuk sembuh pula? Umpama kata aku berniat mencelakakan kau, tidak perlu aku
membuat begini. Inilah obat untuk menghentikan rasa sakit, kau tidak meminumnya
pun tidak apa!”
Mendadak
ia merampas pulang obatnya itu dan membuangnya ke tanah!
Kwee Ceng gusar melihat orang
begitu kurang ajar terhadap kekasihnya.
“Adikku
lagi terluka parah, mengapa kau membikin dia gusar begini macam?!” ia menegur.
“Yong-jie,
mari kita pergi!”
Nyonya
ini tertawa dingin pula. Ia kata: “Kamar Eng
Kouw ini kecil tetapi apa kamu
kira kamu dua orang muda bisa bilang pergi lantas dapat pergi dan bilang keluar
lantas keluar? Hm!” Ia lantas memegang dua batang bambunya dan menghadang di
ambang pintunya.
Kwee Ceng berpikir: “Tidak
dapat dengan jalan halus, terpaksa aku mesti menerjang…” Maka ia berkata:
“Cianpwee, maafkanlah aku!” Sembari berkata begitu, dengan gerakannya Hang
Liong Yu Hui ia nerobos keluar. Ia menggunai setengah tenaganya karena ia
khawatir nyonya itu tidak dapat mempertahankan diri. Ia pun tidak berniat
melukakan nyonya itu.
Atas
datangnya terjangan, si nyonya berkelit, tangan kirinya berbareng menolak
dengan enteng, dengan begitu gampang saja ia mengasih lewat serangan itu.
Kwee Ceng menjadi heran
sekali. Inilah ia tidak menyangka. Ia pun kaget karena tanpa perlawanan
tubuhnya terjerunuk. Syukur ia bisa lantas mempertahankan diri.
Melihat
demikian, si nyonya juga nampaknya heran. Ia tidak menyangka si anak muda bisa
menahan diri hingga sampai jatuh ngusruk. Maka berserulah dia: “Ha, bocah,
rupanya kau telah mewariskan semua kepandaian gurumu!” Ia lantas menggunai
bambunya menotok jalan darah kiok-tek-hiat di sambungan tangan si anak muda.
Kwee Ceng melihat totokan itu,
yang berbahaya, ia membebaskan diri dengan satu jurus lain dari Hang Liong
Sip-pat Ciang juga. Sekarang ia mengerti ilmu silat si nyonya adalah dari pihak
lunak. Karena ini, ia tidak berani alpa. Beberapa kali ia diserang secara
berbahaya. Syukur ia telah mendapatkan ajaran Pek Thong, kedua tangannya dapat
memecah diri, maka selalu ia lolos dari ancaman itu.
Selang
beberapa jurus, Kwee
Ceng kena terdesak dua tindak.
Karena terancam, ia menjadi terpaksa. Maka ia lantas membalas menyerang dengan
“Siang liong chio cu”, atau “Sepasang naga merebut mustika”. Inilah ajaran dari
Ang Cit Kong yang ia peroleh semasa si
Poo-eng, di dalam rumah abu keluarga Lauw.
Nyonya
itu terkejut atas serangan itu, diwaktu berkelit, ia sampai mengeluarkan
seruan. Walapun ia gesit, kali ini ia tidak dapat meloloskan diri sepenuhnya.
Ia bebas dari tinju kanan yang lurus tetapi ia tidak dapat menyingkir dari
serangan tangan kiri. Maka pundak kanannya kena tertekan tangan kiri si anak
muda. Kwee Ceng tidak menggunai tenaga, sebab ia
tahu, umpama si nyonya terbentur, tubuhnya bakal terlempar menabrak rumah dan
rumah atapmya itu bisa roboh. Tapi juga dugaan si anak muda meleset. Ketika
tangannya mengenai pundak orang, tangan itu seperti mengenai benda yang licin,
yang terus meluncur lewat. Untuk kagetnya, tubuh si nyonya seperti tertegar dan
dua batang bambunya dilemparkan ke tanah. Ia mengira nyonya itu terkena hebat,
lekas-lekas ia menahan tangannya itu.
Nyatanya Eng Kouw menggunai tipu.
Selagi si anak muda menarik pulang tangannya, sebab sekali ia membalas
menyerang. Lima jarinya menusuk ke dada, di mana ada dua jalan darah sin-hong
dan giok-sie.
Kwee
Ceng terdesak, ia lantas berkelit, terus kedua tangannya dipakai menolak
seperti tadi.
Itulah
serangan membalas yang hebat. Si nyonya mengetahui itu, maka kembali ia
membebaskan diri seperti tadi. Nyata ia telah menggunai “Nie-ciu Kang”, ialah
ilmu silat si Lindung.
Sampai
di situ, keduanya sama-sama berlompat mundur dan sama-sama bersiaga. Mereka
telah menginsyafi lihaynya masing-masing. Kwee Ceng
berpikir: “Aneh ilmu silat si nyonya ini. Dengan dia tidak bisa dihajar,
bukankah tinggal aku sendiri yang setaip saat bisa diserang olehnya?” Dan si nyonya kata di dalam hatinya: “Ini anak masih
muda sekali, cara bagaimana dia sudah
jadi begini lihay?. Di sini aku telah bersembunyi sepuluh tahun lebih, aku
telah mendapatkan ilmu yang luar biasa, aku memikir aku bisa menjagoi, hingga
tak lama lagi, aku bisa pergi untuk menuntut balas, siapa tahu, bocah bau susu
ini pun aku masih belum bisa merobohkannya…. Tidakkah ini berarti sia-sia
belaka aku menyiksa diri sepuluh tahun lebih. Bagaimana aku bisa nanti membalas
sakit hatiku itu?” Ingat begini, ia menjadi berduka, tanpa merasa, matanya
menjadi merah, air matanya lantas mengalir turun….
Kwee Ceng berhati mulia, ia
mengira si nyonya telah terhajar keras olehnya, ia lantas berkata: “Maaf,
cianpwee, aku yang muda berbuat kurang ajar terhadapmu, tetapi inilah bukan
disengaja. Sekarang aku minta sukalah cianpwee mengijinkan kami berlalu…”
Eng Kouw mendapatkan sambil
bicara si anak muda itu saban-saban melirik si nnona, agaknya ia sangat
menyayang dan memperhatikan, melihat begitu, ia jadi ingat akan nasibnya
sendiri yang tidak beruntung, yang terpisah jauh dari kekasihnya, yang tidak
mempunyai harapan akan dapat berkumpul pula. Kapan ia ingat akan nasibnya,
mendadak timbul rasa julesnya. Maka ia kata dengan dingin: “Anak perempuan ini
telah terkena tangan beracun Ngo Tok Sin-ciang dari Khiu Cian
Jin, paling lama ia hidup hanya
tiga hari, perlu apa kau masih menyayangi dan melindunginya?”
Mendengar
itu, Kwee Ceng kaget sekali, lekas-lekas ia menoleh
kepada Oey Yong. Ia melihat muka si nona seperti
ditawungi sinar guram. Dengan lantas ia lompat kepada kekasihnya itu.
“Yong-jie,
bagaimana kau rasa?” ia menanya, suaranya menggetar.
Oey Yong merasai dada dan
perutnya panas, sebaliknya kaki tangannya dingin. Ia menyahuti: “Engko Ceng,
selama tiga hari ini, jangan kau meninggalkan aku pergi sekalipun cuma
setindak. Dapatkah?”
“Setengah
tindak juga aku tidak akan tinggalkan kau…” menjawab si anak muda cepat sedang
hatinya mencelos. Rupanya si nona telah mendengar perkataannya si nyonya tua
itu.
“Sekalipun tidak
berpisah setengah tindak, temponya cuma lagi tigapuluh enam jam…! berkata si
nyonya dingin.
Kwee Ceng mengangkat
kepalanya, memandang nyonya itu. Ia tidak bisa berbuat lain daripada menunjuk
roman minta dikasihani, ialah agar nyonya itu jangan mengeluarkan kata-kata
yang dapat melukai hatinya Oey
Yong….
Sebenarnya Eng Kouw masih hendak memuasi
kejelusannya ketika ia menmpak roman si anak muda ang lesu itu, ia lantas
berpikir: “Adakah
Thian mengirim dua orang ini ke mari untuk aku membalas sakit hatiku ini?” Ia
mengangkat kepalanya, memandang langit. “Oh, Thian, Thian….” keluhnya.
Justru
itu di luar terdengar pula suara berisik dari orang-orang Khiu Cian
Jin, rupanya mereka masih mencari
di sekitar situ dan sekarang kembali mendekati rumah yang dikurung dengan rawa
lumpur, yang pepohonannya merupakan rahasia keder. Terang mereka menyangka si
muda-mudi berada di dalam rumah tetapi mereka tidak berdaya untuk memasukinya.
Lewat
lagi sesaat dari arah rimba terdengarlah suaranya Khiu Cian
Jin, si ketua Tiat Ciang Pang:
“Sin-soan-coe Eng
Kouw, Kiu Tiat Ciang mohon bertemu denganmu!”
Suara
itu datang dengan melawan angin tetapi karena dikeluarkannya dengan bantuan
tenaga dalam yang mahir, terdengarnya terang sekali.
Eng
Kouw bertindak ke jendela. Ia pun mengempor tenaga dalamnya. Ia menyahuti
dengan suara yang panjang: “Aku ini biasanya tidak menerima kunjungan orang
luar. Apakah kau tidak ketahui bahwa siapa datang ke tempatku ini, rawa lumpur
hitam, dialah bagiannya mati, tidak bagian hidupnya?!”
Di
sana terdengar pula suaranya Khiu Cian Jin: “Ada dua orang muda, satu pria dan
satu wanita, masuk ke dalam rawa lumpr hitam kau ini, maka aku minta sukalah
kau menyerahkan mereka padaku!”
“Siapakah
yang dapat masuk ke dalam rawa lumpur hitamku ini?” berkata Eng Kouw.
“Sekarang ini ada tengah malam buta rata, maka janganlah kau mengganggu tidur
orang yang nyenyak!”
“Baiklah
kalau begitu!” terdengar lagi suara Khiu Cian
Jin. “Jangan kau berkecil hati!”
Suara
itu bernada tak berani memandang enteng kepada si nyonya. Habis itu
terdengarlah suara berisik yang pergi jauh.
Eng Kouw berpaling pada Kwee Ceng.
“Kau ingin menolongi adikmu ini atau tidak?” ia tanya.
Kwee Ceng melengak, lalu ia
menjatuhkan dirinya berlutut.
“Jikalau
locianpwee suka menolong…” katanya.
“Locianpwee!”
kata si nyonya, bengis. “Apakah aku sudah tua?”
“Tidak,
tidak terlalu tua,” sahut Kwee
Ceng cepat.
Sinar
matanya Eng Kouw berpindah dari si anak muda ke
jendela, dari mulutnya terdengar kata-kata ini: “Tidak terlalu tua…Hm, itu
artinya sudah tua…!”
Kwee Ceng menjadi bingung.
Rupanya perkataannya itu telah menyinggung si nyonya. Ia tidak tahu mesti
membilang apa.
Eng Kouw menoleh pula.
Sekarang ia melihat kepala orang berkeringatan.
“Kalau
orangku itu dapat menyayangi aku satu persepuluh saja dari si bocah tolol ini,”
pikirnya. “Ah, tidakkah sia-sia belaka hidupku ini…” Lalu ia bersenandung
dengan perlahan:
“Empat
buah perkakas tenun…maka tenunan burung wanyoh bakal terbang
berpasangan….Sayang, belum lagi tua tetapi kepala sudah putih…. Gelombang musim
semi, rumput hijau, di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi, saling
berhadapan mandi baju merah……..”
Mendengar
itu Kwee Ceng heran.
“Ah,
rasanya aku kenal syair ini…” pikirnya. Tapi ia tidak ingat, siapa pernah
membacakan itu. Itulah bukannya Cu
Cong, gurunya yang nomor dua dan
juga bukan Oey
Yong. Maka dengan perlahan, ia
menanya si nona: “Yong-jie, siapakah yang mengarang syair ini? Apakah artinya
itu?”
Si
nona menggeleng kepala.
“Aku
mendengar ini baru untuk pertama kali,” sahutnya. “aku tidak tahu siapa
pengarangnya. Sayang belum tua tetapi kepala sudah putih…Sungguh suatu
kata-kata yang bagus!”
Kwee Ceng masgul, sudah ia
tidak ingat, Oey
Yong pun tidak tahu, sedang si
nona terpelajar, luas pengetahuannya. Pikirnya: “Syair bukan buatan Oey Yong,
tentu bukan karya ayahnya. Habis siapakah? Toh aku ingat aku pernah
mendengarnya…”
Eng Kouw pun lantas berdiam.
Ia lagi memikirkan segala apa yang telah berlalu. Ia nampak sebentar bergirang
sebentar berduka. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata: “Adikmu ini
terhajar tangannya Kiu Tiat Ciang Pang, entah ada benda apa yang menghalanginya
sehingga ia tidak mati lantas, meski begitu, tidak peduli bagaimana dia tidak
bakal dapat bertahan lewat tiga hari. Ah, lukanya ini cuma ada satu orang yang
dapat menolongnya…”
Kwee
Ceng lagi menjublak ketika ia mendengar kata-kata terakhir itu, hatinya lantas
memukul keras saking girangnya, maka ia lantas menjatuhkan diri berlutut pula
di depan nyonya itu, ia mengangguk tiga kali hingga kepalanya membentur tanah.
Ia lantas memohon: “Tolong loo…oh, tidak, tidak! Tolong kau menolongi adikku
ini, budimu tidak nanti aku lupai…”
“Hm!”
bersuara Eng
Kouw, dingin. “Mana aku mempunyai
kepandaian untuk menolongi orang? Kalau aku pandai, musahil aku berdiam di ini
tempat membeku menderita kesengsaraan ini…”
Kwee
Ceng berdiam saja.
“Nyata
kau beruntung,” kemudian nyonya itu berkata pula: “Kamu telah bertemu denganku
yang mengetahui tempat kediaman orang itu, dan beruntung pula, tempatnya tidak
jauh, maka di dalam tempo tiga hari, kamu dapat tiba di sana…Hanyalah sukar untuk dibilang orang itu
suka menolongi atau tidak.”
Kwee Ceng girang bukan
kepalang.
“Aku
nanti meminta, memohonnya!” ia berkata. “Aku percaya tidak nanti ia tidak
menolong kalau ia melihat bahaya lagi mengancam….”
“Apa
itu melihat bahaya mengancam tidak menolong?” kata Eng Kouw.
“Kebaikan apa kau telah berikan padanya? Kenapa dia mesti menolong kamu?”
Suara
itu menggenggam kegusaran.
Kwee Ceng mengerti, ia tidak
berani menyahuti.
Si
nyonya bertindak ke kamar luar, di sana
ia duduk di kursi, kepalanya ditunduki. Ia memegangi pit, entah dia menulis
apa. Habis menulis, surat-suratnya itu dilepit, lantas dibungkus rapi dengan
masing-masing sepotong cita, yang terus ia jahit, kemudian ia menjahit dan
menjahit lagi hingga merupakan tiga kantung. Habis itu, baru ia kembali ke
kamar bundar itu.
“Sekeluarnya
dari rimba ini, menyingkirlah kamu dari kepungannya Tiat Ciang Pang,” ia
berkata. “Kamu menuju langsung ke timur laut, terus sampai di kecamatan
Tho-goan. Di sana barulah kamu membuka kantung yang putih
itu. Seterusnya tindakan apa yang kamu harus lakukan, di dalam situ ada ditulis
jelas. Sebelum kamu sampai di sana,
ingat baik-baik, jangan kamu buka surat
ini!”
Kwee Ceng girang sekali, ia
menghanturkan terima kasih berulangkali. Kemudian ia menyodorkan tangannya
untuk menerima kantung-kantung itu.
Eng Kouw menarik pulang
tangannya.
“Tunggu
dulu!” katanya. “Jikalau orang itu tidak sudi menolong, yah sudah saja, tetapi
apabila dia suka menolongi hingga adikmu ini ketolongan, aku hendak minta suatu
apa.”
“Budi
ini mesti dibalas,” berkata Kwee
Ceng. “Cianpwee menitahkan saja!”
Eng Kouw tertawa dingin
ketika ia berkata: “Jikalau adikmu ini tidak binasa, maka di dalam tempo satu
bulan ia mesti kembali ke mari dan di
sini ia mesti tinggal bersama aku selama satu tahun!”
Kwee Ceng heran.
“Kenapa
begitu?” tanyanya.
“Kenapa
begitu?” balik tanya si nyonya.
“Apakah sangkutannya itu sama aku? Aku cuma tanya
kau, kau suka atau tidak?”
“Kau
menghendaki aku mengajari kau ilmu hitung Kie-bun-sut, bukan?” Oey Yong
campur bicara. “Apakah susahnya itu? Baik, aku memberikan janjiku!”
Eng Kouw mendelik kepada si
anak muda.
“Percuma
jadi laki-laki, kau tak bisa melawan kecerdikan adikmu satu persepuluh!” ia
mengejeknya tetapi ia menyerahkan tiga kantung kainnya itu.
Kwee Ceng menyambuti. Ia
melihat satu kantung putih, satu merah dan satu lagi kuning. Ia lantas
menyimpan itu baik-baik. Ia memberi hormat sambil menjura tetapi Eng Kouw
menyingkir, tak mau ia menerima hormat itu. Ia kata: “Tak usah kau mengucap
terima kasih padaku, aku juga tidak sudi menerimanya. Kamu dan aku bukan sanak
bukan kandung, perlu apa aku menolongi adikmu ini? Taruh kata kita bersanak,
juga tak usah kau menjadi begini bersyukur. Adalah janji kita yang mesti
ditepati. Aku bilang padamu, aku menolongi adikmu untuk diriku juga. Hm, siapa
tidak berbuat untuk dirinya, dia dimusnahkan Langit dan Bumi!”
Kwee Ceng heran sekali. Suara
itu pun tak sedap untuk kupingnya. Oleh karena ia memang tidak pandai bicara,
ia tidak tahu mesti membilang apa. Ia sekarang cuma mengingat keselamatannya Oey Yong.
Eng Kouw mengawasi pula si
pemuda dengan mata mendelik.
“Kau
telah bercapai lelas satu malaman,”
katanya. “Kmau juga tentu telah lapar, maka baiklah kamu dahar bubur!”
Oey Yong sudah lantas merebahkan
diri di atas pembaringan, ia beristirahat separuh pulas separuh sadar. Kwee Ceng
menjagai dia di sampingnya, pikirannya tidak tentram.
Eng Kouw, yang pergi ke
dalam, tak lama datang pula dengan membawa sebuah tetampan, di atas mana ada
dua mangkok bubur yang masih panas, asapnya masih mengepul-ngepul. Harum bubur
itu. Sebagai temannya ada daging ayam dan ikan.
Kwee Ceng lantas saja
terbangun selera makannya. Ia memang saudh lapar sekali. Ia tidak menyangsikan
pula si nyonya. Tadi ia mengkhawatirkan Oey
Yong, ia lupa makan.
Maka ia menepuk-nepuk belakang tangan kekasihnya itu.
“Yong-jie,
mari dahar!” katanya.
Oey Yong membuka matanya, ia
menggeleng kepala perlahan.
“Dadaku
sangat sakit, aku tidak mau dahar,” sahutnya.
“Hm!”
Eng Kouw tertawa dingin. “Ada obat untuk melenyapkan rasa nyeri tetapi
kamu bercuriga!”
Oey Yong tidak ambil peduli
sindiran itu.
“Engko Ceng,
mari kasih aku sebutir pil Kiu-hoa
Giok-louw-wan,” kata dia.
Pil
itu ada pil pemberiannya Liok Seng Hong semasa di Kwie-in-chung, si nona simpan
itu di dalam sakunya, ketika Ang Cit Kong dan Kwee Ceng terluka di tangan
Auwyang Hong, mereka makan obat itu beberapa butir, benar obat itu tidak dapat
menyembuhkan tetapi bisa menghilangi rasa sakit.
Kwee Ceng menyahuti, ia
membuka kantung si nona dan mengeluarkan obat yang diminta itu.
Ketika Oey Yong menyebutkan namanya
obat, hati Eng
Kouw terkesiap, begitu lekas ia
melihat pil merah itu, ia kata dengan bengis: “Adakah ini Kiu-hoa
Giok-louw-wan? Kasih aku lihat!”
Kwee Ceng heran mendengar
suara orang demikian aseran, ia menoleh. Maka ia melihat mata si nyonya
bersinar tajam. Ia menjadi lebih terheran lagi. Tapi ia menyerahkan semua
sekantung obat itu.
Kapan Eng Kouw menyambutnya, ia
merasakan bau harum dari obat itu menyampok hidungnya. Ia lantas merasakan
tubuhnya adem. Ia mengawasi si anak muda, terus ia menanya; “Obat ini ada obat
dari Tho Hoa To, darimana kamu mendapatkannya? Lekas bilang! Lekas!” Suaranya
itu bengis tetapi bengis bercampur nada sedih.
Dalam
herannya, Oey
Yong berpikir: “Dia hendak
mempelajari ilmu Kie-bun-sut, apakah ia mempunyai hubungannya sama salah satu
murid ayahku?”
Kwee Ceng sendiri sudah lantas
menjawab: “Adikku ini ialah putrinya pemilik Tho Hoa To!”
Mendadak Eng Kouw berlompat
berjingkrak.
“Anaknya
Oey Lao Shia?!” dia berteriak. Kedua matanya lantas bersinar bengis, kedua
tangannya terus dipentangkan, agaknya hendak dia menubruk si nona di depannya
itu.
“Engko Ceng,
kembalikan tiga kantung itu!” kata Oey Yong.
“Karena dialah musuh ayahku, kita jangan menerima budinya!”
Kwee Ceng mengeluarkan
kantungnya hanya ia berayal mengembalikannya. Ia bersangsi.
“”Letaki,
engko Ceng!” kata pula Oey
Yong. “Belum tentu aku mati! Mati
pun boleh apa!”
Belum
pernah Kwee Ceng tidak meluluskan sesuatu kehendaknya
si nona, maka ia meletakinya tiga kantung surat
wasiat itu.
Eng Kouw memandang keluar
jendela, perlahan terdengar keluhannya: “Oh, Thian, Thian…!” Kemudian dengan
lantas ia pergi ke kamar sebelah, di sana
ia membaliki tubuhnya, entah apa yang ia lakukan.
“Mari kita berangkat!” mengajak Oey Yong.
“Aku sebal melihat perempuan ini!”
Belum
lagi Kwee Ceng menyahuti, si nyonya sudah kembali.
“Aku
hendak memperlajari ilmu Kie-bun-sut, perlunya untuk memasuki Tho Hoa To,” ia
berkata, “Sekarang gadisnya Oey Lao Shia ada di sini, aku menyakinkannya
seratus tahun juga tidak ada gunanya. Dasar nasib, apa mau dibilang? Nah,
pergilah kamu! Bawalah kantung itu!”
Ketiga
kantung itu, bersama kantung obat, ia sesapkan di tangannya si anak muda.
Kepada Oey Yon ia berkata: “Obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini untukmu ada
bahayanya tidak ada faedahnya, maka janganlah kau makan pula, hanya kalau nanti
kau sudah sembuh, jangan kau lupa janji kita satu tahun itu! Ayahmu telah
membikin rusak seluruh penghidupanku, maka semua barang makanan di sini, lebih
suka aku memberikannya anjing yang makan, tak sudi aku memberikannya kepada
kamu!”
Lantas
bubur dan dua rupa masakannya itu ia lemparkan keluar jendela!
Oey Yong gusar bukan
kepalang, mau ia membuka mulutnya, atau mendadak ia sadar, maka ia lantas
pegangi Kwee
Ceng, untuk bangun berdiri. Dengan
tongkatnya, ia menulis tiga baris huruf di atas pasir, setelah mana ia mengajak
si anak muda itu bertindak ke luar.
Kapan
ia sudah tiba di pintu luar, Kwee Ceng berpaling ke belakang, dengan begitu ia
bisa melihat Eng Kouw, yang semenjak tadi berdiam saja, lagi mengawasi ke
tanah, agaknya dia berdiri bengong, rupanya dia tengah menghitung……..
Sesampainya
di muka rimba, Kwee Ceng menggendong Oey Yong, lalu ia bertindak pergi
mengikuti jalan masuknya tadi. Selama itu, ia menutup mulut, karena pikirannya
dipusatkan kepada tindakan kakinya itu supaya ia tidak salah jalan. Adalah
setibanya di luar, di tempat aman, baru ia menanya si nona apa yang ditulisnya
tadi.
Oey
Yong tertawa.
“Aku
menulis tiga macam hitungan untuknya,” sahutnya. “Dia boleh memikirkan itu
setengah tahun, tidak nanti dia mendapatkan jawabannya. Biarlah rambut putihnya
menjadi tambah uban! Siapa suruh dia bersikap demikian kurang ajar!”
“Sebenarnya
dia bermusuh apa dengan ayahmu?”
“Aku
tidak tahu. Tidak pernah aku mendengar ayah mengomonginya.” Ia hening sedetik.
Lantas ia menanya: “Dimasa mudanya, dia mestinya cantik sekali. Benar tidak
engko Ceng?” Selagi menanya begitu, di hatinya ia menduga apa mungkin nyonya
itu pernah saling menyinta dengan ayahnya…
“Biar
dia cantik atau tidak,” Kwee
Ceng menyahut. “Dia lagi
memikirkan tulisanmu itu, umpama kata dia mendadak menyesal, tidak nanti dia
dapat menyusul kita.”
“Entah
apa dia tulis di dalam kantungnya itu?” tanya
Oey Yong. “Jangan-jangan dia tidak bermaksud
baik. Apakah tidak baik kita membuka dan melihatnya?”
“Jangan,
jangan!” Kwee
Ceng mencegah. “Biar kita turut
pesannya, sampai di kecamatan Tho-goan baru kita buka…”
Oey Yong sangat
terpengaruhkan keinginan tahunya, ingin ia melihatnya, tetapi Kwee Ceng
tetap mencegah akhirnya ia suka mengalah.
Sementara
itu tanpa terasa sang malam telah berlalu, sang fajar datang menggantikannya, Kwee Ceng
naik ke atas sebuah pohon tinggi, untuk melihat kelilingan. Ia tidak melihat
orang-orang Tiat Ciang Pang, maka hatinya lega. Ia lantas bersiul memanggil
kuda serta burungnya, yang muncul dengan cepat. Yang datang belakangan ialah
kedua burung rajawali.
“Mari kita berangkat,” kata si anak muda setelah ia
dan si nona sudah berada di punggung kuda mereka.
Justru
itu waktu, di pinggiran rimba terdengar suara orang berseru-seru, lalu terlihat
munculnya beberapa puluh orang. Merekalah orang-orang Tiat Ciang Pang, yang tak
putus asa meskipun Eng Kouw telah menampik mereka, dengan terpaksa mereka
menanti sambil menyembunyikan diri, baru mereka keluar setelah Kwee Ceng
mengasih dengar suaranya yang nyaring memanggil kuda dan burungnya.
“Maaf,
tak dapat kami menemani kamu!” berkata Kwee Ceng kepada mereka itu seraya ia
mengeprak mengasih kudanya lari, maka dalam tempo yang pendek, di kuda merah
meninggalkan jauh sekali kawanan pengepungnya itu.
Di waktu tengah hari, Kwee Ceng
telah melalui perjalanan beberapa ratus lie, maka ia lantas berhenti di tepi
jalan, di mana ada sebuah warung nasi. Si situ ia bersantap. Oey Yong
lagi sakit, ia makan sedikit bubur.
Habis
makan anak muda ini menanya tuan rumah tempat itu apa namanya. Ia diberi tahu
bahwa ia berada di dalam wilayah kecamatan Tho-goan, maka tidak ayal lagi ia
mengeluarkan kantung putihnya, untuk dibuka dan diperiksa. Di dalam situ ada sehelai peta bumi dengan dua baris
yang berbunyi: “Jalan mengikuti petunjuk dalam gambar ini. Di ujung jalanan ini ada sebuah air tumpah yang
besar, di samping mana ada sebuah rumah yang atap. Sampai di situ bukalah
kantung yang merah.”
Tanpa
ragu-ragu, Kwee
Ceng menuruti surat wasiat itu. Ia mengasih kudanya lari
sampai sekira delapanpuluh lie, sampai jalanan nyata makin jauh makin sempit.
Lagi delapan atau sembilan lie, jalanan merupakan jalanan selat yang sempit, di
kiri-kanan ialah tembok gunung. Jalanan demikian kecil hingga muat hanya satu
orang. Kuda merah juga tidak dapat jalan di situ. Saking terpaksa, Kwee Ceng
menggendong pula Oey Yong dan kudanya ditinggalkan, dibiarkan mencari
makanannya sendiri.
Bab 61. Tukang pancing,
tukang kayu, petani dan pelajar
Satu jam Kwee Ceng
jalan terus. Kadang-kadang ada tempat demikian sempit hingga untuk lewat di
situ, Oey Yong mesti dipondong, tubuhnya dikasih
miring.
Ketika itu ada bulan ke tujuh, matahari
sangat terik, akan tetapi di situ puncak gunung menghalangi pengaruhnya sang Batara Surya,
maka juga jalanan di selat itu sebaliknya menjadi adem.
Kwee Ceng jalan terus sampai
ia merasa lapar, maka ia mengeluarkan bekalannya ransum kering, ia menangsel
perut sambil jalan, karena ia tidak mau menyia-nyiakan tempo. Ia telah makan
habis tiga biji kue. Tepat ketika lehernya kering karena ingin minum, kupingnya
mendengar suara air. Dengan lantas ia percepat tindakannya. Semakin lama suara
air semakin nyaring. Ia mesti jalan mendaki.
Akhirnya si anak muda tiba di atas bukit. Maka
dari situ ia dapat melihat iar tumpah itu, yang besar sekali, airnya meluncur
ke bawah, jatuh terbanting keras. Itulah sebab suara yang nyaring tadi. Ketika
ia mengawasi, di samping air tumpah itu ia tampak sebuah rumah atap. Ia lantas
mencari sebuah batu besar di mana ia berduduk. Ia lantas mengeluarkan kantung
yang merah, yang terus dibuka. Di dalam situ ada sebuah surat wasiat yang
berbunyi:
“Lukanya anak perempuan ini cuma Toan Hongya
yang dapat menolongi…”
Membaca surat
itu, Kwee Ceng terkejut.
“Toan Hongya!”
katanya kepada Oey
Yong. “Bukankah dialah Lam Tee si
Kaisar dari Selatan yang namanya kesohornya dengan nama ayahmu?”
Sebenarnya Oey Yong sudah lelah sekali
tetapi mendengar disebutnya nama Kaisar dari Selatan itu, Lam Tee, ia menjadi
ketarik hatinya.
“Lam Tee?” katanya. “Ya, aku pernah
mendengarnya dari ayah. Toan
Hongya itu adanya di Taili di
Inlam dimana ia menjadi raja. Apakah itu bukan…” Ia
berhenti berkata karena mendadak hatinya menjadi sangat dingin. Bukankah Inlam
itu ada satu propinsi yang jauh sekali, yang tak dapat dicapaikan dengan
perjalanan hanya tiga hari? Ia lantas menguatkan hatinya, untuk berduduk sambil
menyender pada tubuh si anak muda. Ia mau melihatnya sendiri suratnya Eng Kouw
itu.
Begini bunyinya surat dari kantung wasiat yang merah itu:
“Lukanya anak perempuan ini cuma Toan Hongya
yang dapat menolongi… hanya Toan
Hongya itu banyak perbuatannya
yang tak selayaknya, karena mana dia jadi tinggal menyembunyikan diri di Tho-goan, hingga orang sangat sukar menemuinya. Kalau orang
bicara dengannya dengan minta diobati, itulah justru pantangannya yang paling
besar. Kalau maksud itu diutarakan, belum lagi orang masuk ke rumahnya, orang
bakal dibikin celaka lebih dulu oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si
petani dan si pelajar. Maka itu untuk bertemu dengannya, kamu mesti mendusta.
Kamu bilang saja bahwa kamu datang atas nama gurumu, Ang Cit Kong, untuk bertemu sama Toan Hongya,
untuk menyampaikan berita penting. Apabila kamu telah bertemu sama Toan Hongya,
maka kamu serahkanlah isinya kantung kuning. Kehidupanmu tergantung dengan
ini.”
Habis membaca, Kwee Ceng
menoleh kepada Oey
Yong. Ia melihat si nona
mengerutkan keningnya. Ia menanya: “Yong-jie, kenapa Toan Hongya
melakukan banyak perbuatan tak layak? Kenapa justru permintaan tolong diobati
adalah pantangan yang terlebih besar lagi? Dan
apa itu artinya kecelakaan di tangan si tukang pancing, tukang kayu, petani dan
pelajar?”
Si nona menghela napas.
“Engko Ceng,
janganlah kau menganggap aku terlalu pintar hingga semua-semuanya aku mesti ada
jawabannya.” sahutnya.
Kwee Ceng terkejut, ia
mengawasi tanpa menanyakan lagi. Ia pondong nona itu.
“Baiklah, mari
kita turun!” ujarnya. Tapi, sebelum mulai bertindak, ia mengawasi pula ke bawah
ke air tumpah. Di tepi air, di mana
ada sebuah pohon yangliu, ia melihat seorang tengah berduduk, kepala orang itu
ditutup sama tudung bambu. Karena jaraknya jauh, ia tidak dapat melihat tegas.
Terpaksa, ia terus berjalan turun.
Terpengaruh oleh keinginannya lekas-lekas
sampai, terbantu oleh jalana di situ tak sesukar tadi, lekas juga Kwee Ceng
tiba di bawah, di tepian air tumpah itu. Sekarang ia melihat orang tadi sedang
duduk sambil memancing ikan.
Air tumpah jatuhnya sangat keras, air pun
mengalir deras luar biasa, di mana bisa ada ikan di situ? Taruh kata ada
ikannya, mana sempat ikan itu mencaplok umpan pancing? Maka anehnya yang orang
memancing ikan di air sedemikian itu.
Pemuda itu tidak berani lancang mengganggu
orang. Lebih dulu ia mengawasi saja. Ia mendapatkan si tukang pancing berumur
tigapuluh tujuh atau tigapuluh delapan tahun, kulit mukanya hitam seperti
pantat kuali, mukanya berewokan, bulunya kaku seperti kawat. Kedua mata orang
terus dipakai mengawasi tajam ke arah air. Setelah mengawasi sekian lama, ia
turunkan Oey Yong, supaya si nona dapat duduk menyender di pohon, untuk
beristirahat, ia sendiri pergi ke tepian, untuk melihat di kobakan air tumpah
itu ada ikan apa. Orang itu tetap diam saja, mereka tidak ditegur sama sekali.
Sekian lama Kwee Ceng
mengawasi, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya sinar kuning di dalam air itu. Si
tukang pancing nampak girang, sebab mendadak jorannya melenkung tertarik ke
arah air. Karena ada satu makhluk yang memakan umpan pancing itu - makhluk yang
seluruhnya berwarna kuning emas. Saking heran, si anak muda berseru sendirinya:
“Eh, binatang apakah itu?”
Berbareng sama seruannya si anak muda itu,
seekor binatang yang serupa itu melesat pula menyambar pancing, maka si tukang
pancing menjadi girang sekali, dengan erat-erat ia mempertahankan jorannya,
yang sebaliknya jadi makin melengkung. Rupanya kuat sekali merontanya si ikan
aneh itu, sebentar kemudian, patahlah joran itu, kedua ikannya berloncat ke
air, terus berenang pergi, lenyap di kolong batu. Meski air sangat deras, ikan
itu tak hanyut terbawa air.
Si tukang pancing lantas memutar tubuhnya,
dia mengawasi Kwee Ceng dengan mata mendelik dan muka merah, tandanya ia murka
sekali.
“Hai, bangsat cilik busuk!” dia mendamprat.
“Setengah hari dan setengah mati aku menantikan di sini, sekejap saja kau
membikin kaget dan kabur binatang yang aku lagi pancing itu!” Terus ia
mengangkat tangannya yang besar, seperti dia hendak menyerang, hanya entah
kenapa, dia menahannya, hingga tangannya itu mengasih dengar suara meretek.
Kwee Ceng tahu ia telah mengganggu orang itu,
ia tidak menjadi gusar.
“Maaf, paman,” katanya merendah. “Sebenarnya
bukan maksudku mengganggu padamu. Sebenarnya ikan apakah itu?”
Orang itu masih tetap gusar.
“Buka matamu!” katanya sengit. “Apakah itu
ikan? Itulah
Kim Wawa!”
Kwee Ceng tertawa. Ia tetap
tidak gusar.
“Mohon tanya
paman, apa itu Kim
Wawa?” ia tanya.
Ia tidak mengerti makhluk itu dinamai “Kim Wawa”
atau “Anak Emas”.
“Kim Wawa
ialah Kim Wawa!” orang itu berteriak semakin gusar.
“Eh, bangsat bau, perlu apa kau banyak bacot?!”
Tetap Kwee Ceng mengendalikan diri.
Ia membutuhkan petunjuk untuk mencari Toan Hongya.
“Maaf, paman,” katanya, sembari ia memberi
hormat pula.
Tapi Oey Yong tak dapat bersabar
seperti engko Ceng-nya itu.
“Kim Wawa
ialah ikan wawa yang berwarna kuning emas,” ia campur bicara. “Apakah yang aneh
pada ikan itu? Di rumahku, aku
memeliharanya beberapa pasang!”
Tukang pancing itu heran mendengar si nona
mengetahui tentang ikan itu, tetapi hanya sebentar ia tercengang, segera ia
mengasih dengar suaranya yang tak sedap: “Hm, kau ngepul ya? Kau memeliharanya
beberapa pasang! Aku
tanya padamu, apakah perlunya Kim Wawa
itu?”
“Apa perlunya?” sahut si nona sabar. “Aku
melihatnya ikan itu bagus, dia dapat bersuara yayaya, seperti anak kecil, maka
aku lantas memeliharanya, untuk dibuat main!”
Mendengar keterangan orang, tak salah,
pengail itu mulai menjadi sabaran sedikit.
“Eh, anak,” katanya kemudian, “Kalau benar
kau memelihara ikan itu, kau harus mengganti aku satu pasang!”
“Perlu apa aku mesti mengganti padamu?” si
nona menanya.
Orang itu menunjuk Kwee Ceng,
dia menyahutinya:” Aku mengail, aku dapat satu ekor, lantas dia berteriak tak
karua-karuan, hingga muncul satu seekor yang lain, hingga kejadian patahlah
joranku. Kim
Wawa ini sangat cerdik,
selanjutnya dia tak bakal kena dikail lagi, maka itu kalau kau tidak disuruh
mengganti, habis bagaimana?”
“Tatuh kata kau dapat memancingnya, kau cuma
dapat satu,” kata lagi Oey
Yong. “Apa mungkin kau dapat
mancing sekali dua?”
Ditanya begitu, orang itu berdiam. Ia
menggaruk-garuk kepalanya.
“Kalau begitu, kau menggantilah seekor!”
katanya kemudian.
Oey Yong tertawa. Ia berkata:
“Jikalau sepasang Kim
Wawa dipisahkan hidup-hidup, maka
tak lebih daripada tiga hari, baik yang jantan maupun yang betina, dua-duanya
bakal mati sendirinya.”
Mendengar begitu, lenyaplah kesangsiannya si
pengail, dengan lantas ia menjura kepada sepasang muda-mudi itu. Ia berkata
pula: “Baiklah, anggaplah aku yang tidak benar! Sekarang maukah kau membagi aku
satu pasang?”
Oey Yong tersenyum.
“Lebih dulu kau mesti menerangkan padaku,
perlu apa kau dengan ikan emas itu?” ia tanya.
Orang itu berdiam, agaknya ia bersangsi. Tapi
cuma sejenak, lantas ia membuka mulutnya.
“Baiklah, aku nanti menjelaskan kepada kamu,”
katanya. “Paman guruku, seorang India,
beberapa hari yang lalu telah datang ke mari
mengunjungi guruku. Ia telah mendapat tangkap itu sepasang ikan emas, ia girang
bukan main. Ia membilangi kita bahwa di negerinya itu ada semacam binatang yang
berbisa sekali, yang sangat sukar untuk disingkirkan, kecuali dengan ini ikan, yang
menjadi binatang pelumahnya. Dia menyerahkan ikan itu kepadaku, untuk aku
merawatnya beberapa hari, nanti setelah ia selesai berbicara sama guruku,
diwaktu ia berangkat pulang, hendak ia membawanya sekalian, untuk dipelihara di
sana, siapa
tahu…”
“Siapa tahu kau telah berlaku tidak hati-hati
dan kau membuatnya terlepas!” Oey
Yong mendahului.
Pengail itu kaget: “Eh, mengapa kau tahu?”
tanyanya heran.
“Tidakkah gampang menduga itu?” berkata si
nona tersenyum. “Ikan itu memangnya sukar dipeliharanya. Aku sendiri mulanya
memelihara lima
pasang dan kemudian kabur dua pasang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar