Kamis, 01 November 2012

Sia Tiauw Enghiong 56



BAB 56

Tengah muda-mudi ini bergurau, di tangga lauwteng terdengar pula suara tindakan kaki. Segera terlihat munculnya ketiga tiangloo yang tadi pergi mengikuti Yo Kang. Mereka menghampirkan untuk terus memberi hormat. Tiangloo yang ditengah, yang mukanya putih dan tubuhnya gemuk, yang kumisnya gompiok, sudah lantas tertawa sebelum ia berbicara. Coba ia tidak berpakaian banyak tambalannya, tentulah orang menyangka dia itu seorang hartawan. Dengan manis ia berkata: “Jiewi, si pengemis tua she Lou tadi telah dengan diam-diam menurunkan tangan jahat. Kami tidak senang melihat kelakuannya itu maka datang untuk memberikan pertolongan kami.”
Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut.
“Bagaimana itu?” mereka tanya.
“Bukankah dia tidak sudi dahar bersama jiewi tadi?”
“Ya! Apakah dia telah meracuni kami?”
Pengemis itu menghela napas.
“Inilah gara-garanya partai kami lagi malang,” ia berkata, romannya berduka. “Di luar keinginan kami, di antara kami boleh ada banyak orang buruk semacam dia. Dia itu lihay, asal tangannya menyentil, racun yang disimpan di kuku tangannya bisa tanpa diketahui lagi masuk nyampur ke dalam barang makanan atau arak. Jiewi telah terkena racun itu dan hebat, tidak lewat sampai setengah jam, maka jiewi sukar ditolongi lagi…….”
Oey Yong terkejut tetapi ia bersangsi. “Kami tidak bermusuh dengannya, kenapa dia boleh menurunkan tangan jahat?” tanyannya.
“Jiewi telah keracunan berbahaya sekali, baik jiewi lekas makan obat ini, baru jiewi bisa dapat ditolong!” kata si pengemis tanpa menyahuti dulu pertanyaan orang. Ia lantas mengeluarkan satu bungkusan obat bubuk warna kuning, obat itu ia masuki ke dalam dua cangkir arak, “Lekas minum, jiewi!” katanya pula.
Oey Yong melihat tadi Yo Kang, ia curiga, maka itu, mana mau ia minum arak itu. Maka ia berkata: “Tadi tuan Yo itu kenal kami, tolong samwie ajak dia datang menemui kami.”
“Memang jiewi harus bertemu dengannya,” berkata si pengemis. “Tetapi racun jahanam itu berbahaya sekali, baik jiewi minum dulu obat ini. Kalau ayal-ayalan, nanti susah buat diobatinya.”
“Samwie baik sekali, terima kasih,” berkata Oey Yong. “Nah, marilah duduk untuk kita minum bersama! Sebenarnya kami kagum sekali kepada Kay Pang sebab kami ingat tahun dulu itu pangcu dari genarai yang kesebelas, di Pak Kouw San dia seorang diri telah melayani banyak lawan yang gagah dengan sepasang tongkatnya, dengan sepasang tangannya, dia telah membinasakan lima jago dari Lok-yang! Sungguh gagah!”
Tiga pengemis itu nampak heran sebab mendadak mendengar orang bicara perihal partainya, maka mereka lantas saling melirik. Heran mereka, kenapa nona begini muda ketahui peristiwa dulu hari itu.
“Ang Pangcu itu lihay sekali ilmu silatnya yang bernama Hang Liong Sip-pat Ciang,” berkata pula Oey Yong. “Kepandaiannya itu tak ada bandingannya di kolong langit ini, maka entahlah samwie telah dapat memperlajari beberapa jurus dari ilmu silat itu?”
Mendengar ini, tiga pengemis itu lantas menduga tentulah orang curiga dan tak sudi minum arak campur obat itu. Maka yang beroman mirip hartawan itu berkata sambil tertawa: “Kalau nona bercuriga, tentu sekali kami tidak berani memaksa, tetapi marilah nona melihat suatu bukti nanti nona percaya. Sekarang jiewi lihat dimataku ada apa yang luar biasa?”
Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi, mereka mendapatkan mata orang bercahaya tajam sekali. Oey Yong melihat tidak ada apa-apa yang aneh, maka ia memikirnya itulah tak lebih tak kurang sepasang mata babi………
Tetapi si pengemis itu sudah berkata pula: “Jiewi awasi mataku, jangan sekali jiewi memecah perhatianmu. Lihatlah, sekarang jiewi mulai merasa kulit matamu berat dan kepala pusing, seluruh tubuh jiewi tidak ada tenaganya. Nah, itulah alamat terkena racun. Lekas jiewi menutup mata dan tidur!”
Kata-kata itu menarik dan berpengaruh. Kwee Ceng dan Oey Yong benar-benar lantas merasa matanya ingin dirapatkan dan lesu, benar-benar seluruh tenaganya habis.
“Tempat ini menghadap telaga besar,” berkata pula si pengemis. “Hawanya pun adem sekali, maka itu jiewi silahkan kamu berangin dan tidur di sini! Tidur, tiudrlah!”
Makin lama kata-kata itu terdengar makin perlahan, kata-kata itu sangat manis dan menarik hati, maka tanpa merasa sepasang muda-mudi itu menguap, lalu tidur pulas dengan mendekam di meja. Beberapa lama sang tempo telah lewat, inilah mereka tak tahu, hanya mereka merasa ada hawa sejuk yang menyampok muka mereka, samar-samar pun kuping mereka mendengar suara gelombang. Mereka lantas membuka mata mereka. Maka tampaklah di antara mega munculnya sang rembulan, yang baru mulai naik di gunung timur. Mereka terkejut. Tadi toh mereka tengah bersantap dan minum arak di Gak Yang Lauw, kenapa sekarang sudah malam? Mereka mau berbangkit, atau mereka merasakan kaki dan tangan mereka telah diringkus. Mereka mau berseru, ataupun mereka merasakan mulut mereka telah disumpal biji bebuahan, hingga mereka merasakan mulut mereka sakit.
Sebagai seorang cerdik Oey Yong lantas mengerti bahwa ia telah kena dipermainkan di pengemis gemuk itu, hanya ia belum bisa menerka, orang menggunai ilmu apa membuat dia dan Kwee Ceng menjadi mengantuk dan lemas dan akhirnya tidur lupa daratan. Ia mengerti, maka ia tidak mau banyak berpikir. Ia segera melihat ke sekitarnya. Ia nampak Kwee Ceng di sisinya, kelihatannya kawan itu lagi mau meronta, maka hatinya lega sebagian.
Kwee Ceng pun mendusin karena ia merasakan sampokan hawa dingin. Ia kaget untuk belungguan yang kuat sekali, hingga ia tidak mampu berontak untuk memutuskannya. Kiranya itulah tambang yang dipakai mengikatnya ialah tali kulit kerbau campur kawat. Ketika ia hendak mencoba buat berontak lagi, tiba-tiba ia merasa dingin di pipinya, dua kali pipinya disampok pedang. Ketika ia mengawasi, ia dapatkan empat pengemis muda menjagai dia dengan senjata di tangan.
Oey Yong lantas berpikir terus. Satu hal yang membuatnya kaget. Ia mendapat kenyataan mereka berada di atas sebuah puncak, di sekitarnya telaga dengan airnya yang jernih. Di antara sinar rembulan, ai sekarang melihat tegas ke sekitarnya itu. Ia menjadi heran sekali kenapa ia tidak merasa orang telah mengangkutnya ke atas puncak itu, ialah puncak dari gunung Kun San di tengah telaga Tong Teng itu.
Di depan ia terlihat sebuah panggung tinggi belasan tombak. Di sekitarnya itu duduk beberapa ratus pengemis. Semua duduk dengan diam. Itulah sebabnya kepana mereka mulanya tak nampak, tak ketahuan. Segera setelah ia ingat, hatinya girang. Pikirnya: “Benarlah! Hari ini Cit gwee Capgouw, hari Rapat Besar Kaum Kay Pang! Biarlah aku bersabar, sebentar aku memperdengarkan titah suhu, mustahil mereka tidak akan menaati….”
Lewat sekian lama, segala apa masih diam saja. Nona ini mulai habis sabarnya. Karena tak dapat bergerak, ia merasakan kaki tangannya baal. Sang waktu pun berjalan terus. Kemudian sinar rembulan menjojoh pinggiran panggung di mana ada tiga huruf besar: “Hian Wan Tay”, artinya panggung “Kaisar Hian Wan”. Maka ingatlah Oey Yong akan cerita dongeng, katanya dulu hari Oey Tee, ialah Kaisar Hian Wan itu, telah membuat perapian kaki tiga di sini, setelah perapian itu rampung, dia menunggang naga naik ke langit. Jadi inilah panggung yang berhikayat itu.
Lagi sekian lama, di waktu sinar rembulan telah memenuhi seluruh panggung, maka terdengarlah suara yang tiga-tiga kali, suara itu sebentar cepat dan sebentar perlahan, sebentar tinggi, sebentar rendah, ada iramanya. Kemudian ternyata semua pengemis memegang tongkat kecil, dengan itu mereka mengetuk batu hingga berlagu.
Oey Yong menghitung, setelah terdengar sampai delapanpuluh satu kali, suara itu berhenti serentak. Lalu kelihatan berbangkitnya empat pengemis yang usianya tinggi, ialah keempat tiangloo, Lou Yoe Kiak serta tiga tiangloo lainnya yang Oey Yong mengenalinya dengan baik. Mereka itu berdiri di empat penjuru panggung. Semua pengemis pada berbangkit, dengan membawa tongkat ke depan dadanya, mereka memberi hormat sambil menjura.
Si tiangloo putih dan terokmok setelah menanti semua pengemis berduduk pula, lantas berkata dengan nyaring: “Saudara-saudara, Thian telah melimpahkan bahaya untuk Kay Pang kita, ialah Ang Pangcu kami telah berpulang ke langit di Lim-an!”
Mendengar warta itu, semua pengemis berdiam, hanya seorang yang kemudian berteriak keras, terus ia roboh ke tanah, setelah mana semua pengemis pada menumbuki dadanya, semua menangis sedih, ada yang menggerung-gerung, ada yang mambanting-banting kaki. Tangisan mereka itu berkumandang jauh.
Kwee Ceng kaget sekali. “Aku tidak dapat mencari suhu, kiranya ia telah menutup mata…” pikirnya. Ia pun menangis, hanya tidak dapat bersuara sebab mulutnya tersumbat.
Oey Yong bercuriga. Ia pikir: “Kami tidak dapat mencari suhu, musathil mereka bisa! Mungkin kawanan manusia jahat ini lagi mengelabui orang banyak…”
Tengah orang sangat bersedih itu, Lou Yoe Kiak bertanya: “Pheng Tiangloo, ketika Pangcu berpulang ke dunia baka, adakah tiangloo melihatnya sendiri?”
Si tiangloo putih dan gemuk itu menyahuti: “Lou Tiangloo, jikalau Pangcu masih hidup, siapa yang berani makan nyali macam tutul dan hati harimau untuk menjumpai padanya? Orang yang melihat sendiri Pangcu meninggal dunia berada di sini. Yo Siangkong, silahkan kau memberi keterangan kepada orang banyak!”
Seorang lantas muncul di antara orang banyak. Dialah Yo Kang. Dengan memegang tongkat bambu, ia naik ke panggung. Semua pengemis berdiam, untuk memasang kuping.
Yo Kang berbatuk satu kali, baru ia mulai bicara. Ia kata: “Kejadian ialah baru satu bulan yang lalu. Kejadiannya di kota Lim-an. pangcu telah berkelahi dan orang kesalahan memukul ia hingga ia mati.”
Mendengar itu, suara orang banyak menjadi riuh.
“Siapakah musuh itu?!” tanya mereka. Nyata mereka murka. “Lekas bilang, lekas! Pangcu demikian lihay, mungkinkah dia jatuh? Pastilah Pangcu telah dikepung ramai-ramai maka ia roboh!”
Kwee Ceng mendongkol mendengar keterangan Yo Kang itu. “Pada satu bulan yang lalu, suhu ada bersama aku! Ha, kiranya dia lagi main lagi!”
Yo Kang mengangkat kedua tangannya, ia menunggu sampai suara orang reda, baru ia berkata pula: “Orang yang mencelakai hingga Pangcu mati ialah Tong Shia Oey Yok Su, pemilik dari Pulau Tho Hoa To, bersama tujuh imam bangsat dari Coan Cin Pay!”
Oey Yok Su sudah lama tidak meninggalkan pulaunya, antara kaum pengemis ini, dalam sepuluh, sembilan tidak ada yang mengenal dia, hanya Coan Cin Cit Cu sangat kesohor maka mereka mengenalnya. Mereka mau percaya ketua mereka kalah karena dikeroyok, maka itu mereka mencaci dan mengutuk, ada yang mau lantas pergi untuk menuntut balas. Tentu sekali mereka tidak tahu bahwa mereka lagi dipermainkan Yo Kang, yang mau mengadu mereka dengan Tong Shia dan Coan Cin Cit Cu. Tentang Kanlamg Liok Koay, ia tidak takut. Yo Kang bertindak begini karena Ang Cit Kong terluka parah hajaran Kuntauw Kodok dari Auwyang Hong sedang Kwee Ceng, ia menyangka telah mati tertikam olehnya di dalam istana, siapa tahu kemarin ia menemui Kwee Ceng dan Oey Yong di Gak Yang Lauw, karena itu sudah kepalang, ia minta Pheng Tiangloo membekuk kedua orang itu dengan tipu, dengan liap-sim-hoat, yang mirip dengan ilmu sihir. Ia mengharap Tong Shia, Coan Cin Kauw dan Kay Pang nanti ludas bersama kerana bentroknya mereka bertiga…….

Selagi suara orang berisik itu maka bangkitlah salah satu dari tiga tiangloo itu, ialah Kan iangloo. “Saudara-saudara, mari dengar perkataanku!” ia kata. Ia telah putih kumis dan alisnya, tubuhnya tegar, di dalam partainya dia disegani. Maka semua orang lantas berdiam.
“Sekarang ini kita lagi menghadapi dua urusan sangat penting,” ia berkata. “Kesatu untuk menuruti pesan Pangcu, yaitu untuk memilih pangcu generasi kesembilanbelas. Kedua guna berdaya mencari balas untuk pangcu kita itu.”
“Benar!” menyahut semua pengemis.
“Tapi kita mesti bersembahyang dulu untuk pangcu,” berkata Lou Yoe Kiak. Ia menjumput lumpur, yang ia lalu bikin menjadi patung, mirip dengan patung Ang Cit Kong, ia meletaki itu di atas panggung, terus ia mendekam di tanah dan menangis sedih. Semua pengemis turut menangis pula.
Oey Yong sendiri berpikir: “Hm, kamu gila! Suhu toh baik-baik saja, dia tidak mati, kenapa kamu tangisi? Kamu gila sudah mengikat aku dan engko Ceng, sampai kita tidak bisa bicara! Inilah kamu yang cari penyakit sendiri, sia-sia belaka kamu bersedih…..”
Setelah orang menangis sekian lama, Kan Tiangloo menepuk tangannya tiga kali. Lantas semua orang berhenti menangis. Tiangloo ini berkata: “Kita sekarang berapat di sini, kita sebenarnya harus mengangkat pangcu baru menurut petunjuk Ang Pangcu, karena Ang Pangcu telah menutup nmata, kita harus menuruti pesannya saja, dan kalau pesannya tak ada, kita harus menaati pemilihan oleh keempat tiangloo. Inilah aturan kita turun-temurun. Benar begitu, saudara-saudara?”
Semua pengemis menyahuti membenarkan.
Kang Tiangloo lantas berkata pula: “Yo Siangkong, silahkan kau menyampaikan pesan dari Ang Pangcu itu!”
Dalam Kay Pang, pengangkatan pangcu baru adalah urusan paling besar dan penting. Pada itu tergantung makmur dan runtuhnya partai. Maka pangcu adalah yang memegang peranan paling penting. Pernah terjadi pangcu mereka yang ketujuhbelas, yaitu Cian Pangcu, meski dia gagah, dia lemah, pimpinannya tidak tepat, maka terjadilah bentrokan di antara kedua golongan Pakaian Bersih dan Pakaian Dekil hingga partai menjadi lemah. Ang Pangcu kemudian menguasai keadaan, dia melarang bentrokan. Dengan begitu, Kay Pang maju pula. Maka itu sekarang, selagi menaruh perhatian besar, orang berdiam menanti perkembangan.
Yo Kang memegang Lek-tiok-thung dengan kedua tangannya, ia angkat itu tinggi di atasan kepalanya, lalu ia berkata: “Ang Pangcu kena dikeroyok oleh orang jahat, dia mendapat luka parah hingga jiwanya terancam bahaya. Kebetulan itu waktu aku yang rendah lewat di tempat kejadian, cepat-cepat aku menyembunyikan dia di rumahku, setelah dapat menipu musuh-musuh itu pergi, aku lantas mengundang tabib. Sayang, karena parahnya luka, pangcu tidak dapat ditolongi lagi…….”
Mendengar itu, terdengar banyak keluhan.
Yo Kang berhenti sebentar, baru ia melanjuti: “Ketika Ang Pangcu hendak menghembuskan napasnya yang terakhir, ia menyerahkan tongkat suci ini kepadaku dan dia menugaskan aku yang rendah untuk menerima tanggung jawab yang berat sebagai pangcu yang kesembilanbelas…”
Orang banyak menjadi heran. Tidak disangka, pangcu yang baru adalah ini pemuda yang mirip seorang sastrawan.
Yo Kang itu cerdik sekali. Setelah mendapatkan tongkat Lek-tiong-thung di rumahnya Sa Kouw di Gu-kee-cun, ia mendapat kenyataan kedua pengemis gemuk dan kurus itu sangat menghormat padanya, segera ia mendapat pikiran. Lantas di sepanjang jalan ia menanya ini dan itu kepada mereka tentang tongkat itu. Kedua pengemis itu melihat orang memegang tongkat partainya, mereka menjawab segala pertanyaan. Dengan begitu tahulah Yo Kang tentang tongkat itu serta pengaruhnya. Maka ia pikir, selagi Kay Pang sangat besar dan berpengaruh, kenapa dia tidak mau mengangkanginya? Bukankah Ang Pangcu telah mati dan tentang kematiannya itu tidak ada saksinya? Bagaimana besar faedahnya kalau ia yang menggantikan memegang pimpinan? Ia lantas mengambil keputusan, maka itu dengan mempengaruhi ketiga tiangloo, hendak ia mewujudkan cita-citanya menjadi pangcu dari Kay Pang.
Kan Tiangloo, Pheng Tiangloo dan Nio Tiangloo percaya obrolannya Yo Kang itu. Ini pun kebetulan sekali untuk mereka. Sebenarnya mereka ingin sekali diangkat menjadi pangcu, cuma di dalam hal ini, mereka malang sama Lou Tiangloo. Di bawah pimpinan Ang Pangcu, mereka menerima keadaan. Ang Pangcu dapat bertindak bijaksana, dia bisa mengimbangi keadaan, dia bersedia mengenakan baju bersih dan baju kotor bergantian. Hanya diantara keempat tiangloo, dia sebenarnya menghargai Lou Yoe Kiak, cuma Yoe Kiak ini, cacatnya ialah tabiatnya keras dan terburu nafsu, beberapa kali pernah ia hampir menerbitkan onar, kalau tidak, pasti siang-siang ia sudah diangkat menjadi pangcu. Untuk rapat besar di Gakciu ini, pihak Pakaian Bersih sebenarnya berkhawatir Lou Yoe Kiak yang nanti kepilih, ketiga tiangloo itu pernah memikir daya untuk mencegahnya, tetapi karena takut kepada Ang Cit Kong, mereka tidak berani bergerak. Maka mereka tidak sangka, sekarang muncul Yo Kang dengan tongkat suci mereka dan katanya Ang Pangcu telah terbinasa. Mereka berduka tetapi mereka tak melupai urusan besar mereka. Mereka berlaku sangat hormat kepada Yo Kang. Mereka heran Yo Kang tidak mau menerangkan pesan pangcu mereka. Mereka tidak tahu pemuda ini sangat licin. Baru tiba disaat rapat ini, Yo Kang menyebutkan pesan itu - pesan karangan otaknya sendiri. Mereka menyesal, yang mereka tidak terpilih, akan tetapi mereka dapat menghiburkan diri, sebab Yoe Kiak tidak terpilih juga. Maka, sambil memikir, mungkin di belakang hari mereka dapat mempengaruhi Yo Kang ini, mereka mengangguk tandanya mereka suka menerima si anak muda sebagai ketua mereka yang baru.
Kan Tiangloo lantas berkata: “Tongkat yang di pegang Yo Siangkong ialah tongkat sejati dari partai kita, tetapi kalau ada saudara yang menyangsikan, silahkan maju untuk memeriksa.
Lou Yoe Kiak melirik Yo Kang. Ia sangsi pemuda ini dapat memimpin Kay Pang. Maka ia maju, akan memeriksa tongkat suci itu. Ia mendapat kenyataan kesejatian nya tongkat itu. Maka berpikirlah ia: “Tentulah Pangcu mengingat vudi maka pangcu mewariskan tongkat suci ini kepadanya. Karena pangcu telah memesannya, mana dapat aku membantahnya?” Karena itu ia pun mempercayainya. Ia angkat tongkat ke atas kepalanya, dengan hormat ia menyerahkan kembali kepada Kan Tiangloo, yang tadi menyambuti itu dari tangan Yo Kang. Ia kata: “Kami menurut kepada pesan Ang Pangcu, kami menjunjung Yo Siangkong sebagai pangcu kami yang kesembilanbelas!”
Mendengar ini semua pengemis berseru memperdengarkan persetujuan mereka.
Kwee Ceng dan Oey Yong tidak bisa bicara, juga mereka tidak bisa bergerak, bukan main mendongkol dan masgulnya mereka.
“Benar dugaannya Yong-jie, Yo Kang ini bernyali besar, berani dia main gila seperti ini,” pikir si anak muda. “Dia tentunya bakal mendatangkan onar besar.”
Oey Yong sebaliknya lagi memikirkan, tindakan apa yang Yo Kang bakal mengambil terhadap mereka berdua, sebab tentulah mereka tidak bakal dilepaskan dengan begitu saja.
Yo Kang mengasih dengar suaranya: “Aku yang rendah, muda usiaku dan cupat pengetahuanku, tidak berani aku menerimanya ini tugas yang berat.”
“Pesan Ang Pangcu demikian rupa, janganlah Yo Siangkong merendahkan diri,” kata Pheng Tiangloo.
“Benar!” berkata Lou Yoe Kiak, yang lantas batuk satu kali, lalu ia berteriak dan meludah ke muka si anak muda.
Yo Kang tidak menyangka, tidak dapat ia berkelit, reak si pengemis tua nemplok di pipi kanannya. Ia menjadi kaget. Baru ia mau menanyakan ketiga tiangloo lainnya atau mereka itu pun bergantian telah lantas meludah kepadanya, setelah mana keempat tiangloo itu, dengan menyilang tangan, mereka lantas memberi hormat sambil berlutut dan mendekam. Yo Kang masih tidak mengerti, ia tetap berdiri tercengang.
Perbuatannya keempat tiangloo ini disusul oleh semua pengemis lainnya, dengan mengikuti runtunannya, mereka itu menghampirkan untuk menludahkan, saban habis berludah, baru memberi hormat.
“Adalah ini cara meludah tanda hormat kepadaku?” Yo Kang tanya dirinya sendiri. Ia tidak tahu, demikianlah aturan yang dihormati Kay Pang, setiap pangcu baru mesti diperhina, sebab pengemis, mereka mesti bersedia menerima penghinaan khalayak ramai. Ia tidak tahu itulah semacam latihan kebathinan.
Selang sekian lama barulah semua pengemis memberi hormatnya, lalu ramailah suara mereka: “Yo Pangcu, silahkan naik ke panggung Hian Wan Tay!”
Yo Kang melihat panggung tidak terlalu tinggi, hendak ia membanggakan kepandaiannya. Lantas ia menjejak kedua kakinya, untuk mengapungi diri, berlompat naik. Bagus caranya ia berlompat naik itu, karena ia mempunyai ilmu ringan tubuh yang baik. Hanya di matanya keempat tiangloo, terlihatlah kepandaiannya itu masih rendah, tetapi mengingat usianya yang muda, ia tidak dapat dicela. Keempat tiangloo itu percaya ialah murid seorang yang pandai.
Begitu lekas berada di atas panggung, Yo Kang mengasih dengar suaranya yang nyaring: ” Penjahat yang mencelakai Ang Pancu masih belum dapat dibinasakan tetapi dua pembantunya telah aku berhasil membekuknya!”
Mendengar itu, berisiklah semua pengemis itu, segera terdengar teriakan mereka: “Di mana? Di mana? Lekas cincang padanya! Jangan lantas dihukum mati, hukum picis dulu padanya biar dia tahu rasa!”
Kwee Ceng tidak mendiga jelek, maka ia kata di dalam hatinya: “Aku hendak lihat siapa pembantunya pembunuh itu….”
Yo kang lantas berseru: “Bawa mereka ke depan panggung!”
Pheng Tiangloo lantas bertindak cepat kepada Kwee Ceng dan Oey Yong, dengan masing-masing sebelah tangannya, ia memegang dan mengangkat tubuh orang, buat dibawa ke depan panggung di mana ia menggabruki dua muda-mudi itu.
Sekarang baru Kwee Ceng mendusin.
“Ha, binatang, kiranya kau maksudkan kami!” ia mendamprat di dalam hatinya.
Lou Yoe Kiak terperanjat kapan ia melihat Kwee Ceng dan Oey Yong, yang ia kenali, maka ia lantas mengingat kepada keterangannya Lee Seng. Ia lantas berkata: “Pangcu, dua orang ini ialah murid-muridnya Ang Pangcu! Cara bagaimana mereka dapat mencelakai guru mereka?”
“Justru itulah sebabnya, yang membuat orang semakin gemas!” berkata Yo Kang.
Pheng Tiangloo pun berkata: “Pangcu melihatnya sendiri, mana bisa salah?”
Lee Seng dan Ie Tiauw Hian hadir di dalam rapat ini, keduanya lantas maju dan berkata: “Harap pangcu ketahui, dua orang itu adalah orang-orang gagah, untuk mereka, kami berdua bersedia menanggungnya dengan jiwa kami. Pasti sekali kebinasaan Ang Pangcu tidak ada hubungannya sama mereka ini!”
“Kalau bicara, biarlah tiangloo kamu yang bicara!” Nio Tiangloo membentak. “Apa di sini dapat kamu campur mulut?!”
Kedua pengemis ini ada dari golongan Pakaian Kotor dan berada di bawah pimpinan Lou Yoe Kiak, derajat mereka pun rendah, tidak berani mereka berbicara lebih lanjut pula. Mereka mengundurkan diri dengan sangat penasaran.
“Di dalam hal ini bukannya aku yang rendah tidak mempercayai Pangcu,” berkata Lou Yoe Kiak kemudian, ” Akan tetapi mengingat urusan membalas sakit hati ialah urusan sangat besar, aku mohon Pangcu nanti memeriksanya denagn seksama.”
Yo Kang memang telah memikir, maka lantas ia menyahuti: “Baiklah, nanti aku periksa.” Kemudian ia mengawasi Kwee Ceng dan Oey Yong serta berkata: “Aku hendak menanya kamu, tidak usah kamu membuka mulutmu. Jikalau apa yang aku katakan benar, kamu mengangguk, kalau tidak, kamu menggoyang kepala. Jikalau kamu mendusta, sedikit saja, ingat golok dan pedang tidak mengenal kasihan!”
Pangcu ini mengibaskan tangannya, maka Pheng Tiangloo dan Nio Tiangloo lantas menghunus senjata mereka, dipasang di punggung Kwee Ceng dan Oey Yong. Pheng Tiangloo memegang pedang, dan Nio Tiangloo mencekal golok.
Oey Yong gusar sekali hingga mukanya menjadi pucat. Ia lantas mengingat peristiwa di Gu-kee-cun, tempo dari lain kamar ia mendengari Liok Koan Eng berbicara sama Thia Yauw Kee, bicara hal lamaran sambil main mengangguk-angguk. Ia tidak menyangka, sekarang ia mesti mengalami kejadian itu.
Yo Kang tahu Kwee Ceng jujur dan polos dan dapat dipermainkan, maka ia memegang tubuh orang, untuk diangkat ke samping. Segera ia menanya dengan suaranya yang bengis: “Bukankah anak perempuan ini anak kandung dari Oey Yok Su?”
Kwee Ceng menutup matanya, ia tidak mengambil mumat pertanyaan itu.
Nio Tiangloo menekan dengan ujung goloknya.
“Benar atau tidak!” dia menanya. “Mengangguk atau menggoyang kepala?”
Kwee Ceng sebenarnya tidak niat membuka mulutnya, ketika ia berpikir, biarnya ia tidak dapat membuka, toh perkara akan menjadi terang juga. Maka ia lantas mengangguk.
Begitu melihat orang mengangguk, banyak pengemis lantas berteriak-teriak: “Buat apa ditanyakan terlebih jauh! Lekas bunuh! Lekas bunuh padanya!” Mereka itu mau percaya benarlah pangcu mereka telah terbinasa di tangan Oey Yok Su. Ada pula yang berteriak: “Lekas bunuh dia! Mari kita cari si tua bangka pembunuh itu!”
“Saudara-saudara, jangan berisik!” Yo Kang berkata. “Tunggu sampai aku sudah menanyakan dia terlebih jauh!”
Mendengar begitu, rapat menjadi sunyi pula.
“Oey Yok Su telah tunangkan gadisnya kepada kau, benarkah?” Yo Kang menanya pula. Ia telah memikir matang runtun pertanyaannya itu.
Kwee Ceng anggap itu benar, ia mengangguk pula.
Yo Kang meraba pinggang orang, dari situ ia menarik keluar pisau belati yang tajam sekali.
“Inilah pisau yang dikasihkan kepadamu oleh Khu Cie Kee, salah seorang dari Coan Cin Pay, dan imam tua she Khu itu mengukir namamu di sini, benar?” Yo Kang tanya.
Kwee Ceng mengangguk.
“Ma Giok dan Coan Cin Cit Cu telah mengajari kau ilmu silat dan Ong Cie It, salah satu anggota lain dari Coan Cin Pay itu pernah menolongi jiwamu! Bukankah kau tidak dapat menyangkal itu?”
“Perlu apa aku menyangkal?” pikir si anak pemuda yang polos itu. Dan ia mengangguk.
“Pangcu Ang Cit Kong menganggap kamu berdua orang baik-baik dan dia pernah mengajari ilmu silatnya yang istimewa kepada kamu, benar tidak?”
Kwee Ceng mengangguk.
“Ang Cit Kong telah dibokong musuhnya hingga dia terluka parah. Kamu berdua berada di samping orang tua itu, benarkah?”
Untuk sekian kalinya, Kwee Ceng mengangguk.
Semua pengemis menyaksikan dan mendengari pemeriksaan itu, selagi suaranya Yo Kang semakin bengis, Kwee Ceng terus mengangguk saja, dari itu mereka menyangka Kwee Ceng itu mengakui kesalahannya, mereka tidak memikir bahwa semua pertanyaan itu tidak ada hubungannya sama urusan Ang Cit Kong. Yo Kang tengah memainkan peranannya yang teratur. Mendengar itu, Lou Yoe Kiak pun kena terpengaruhi hingga ia menjadi sangat membenci Kwee Ceng dan Oey Yong itu. Ia bertindak mendekati dan menendang Kwee Ceng beberapa kali.
Yo Kang tidak mencegah, ia berkata pula: “Saudara-saudara! Nyata dua bangsat ini berlaku terus terang, maka itu baiklah mereka dibebaskan dari siksaan terlebih jauh. Pheng Tiangloo, Nio Tiangloo, silahkan kamu turun tangan!”
Mendengar begitu, Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi sambil tersenyum sedih, hanya kemudian Oey Yong mendadak tertawa. Sebab ia ingat: “Aku yang mati bersama-sama engko Ceng, bukannya putri Gochin Baki itu!”
Kwee Ceng lantas memandang ke langit, ia ingat ibunya yang berada jauh di gurun pasir. Ia mengawasi ke langit di mana tampak bintang-bintang bersinar. Maka ingatlah ia akan pertempuran hebat di antara Coan Cin Cit Cu dan Bwee Tiauw Hong dan Oey Yok Su. Siapa bakal mati, pikirannya menjadi jernih, demikian Kwee Ceng, ia menjadi ingat jelas barisan Thian Kong Pak Tuaw Tin dari Coan Cin Cit Cu itu.
Sedang begitu, kedua tiangloo sudah siap untuk bekerja, Kwee Ceng pun telah dihampirkan.
“Tunggu dulu!” mendadak terdengar cegahannya Lou Yoe Kiak. Ia lantas mendekati Kwee Ceng, dari mulut siapa ia keluarkan biji yang menyumpal mulut anak muda itu. Ia lantas menanya: “Bagaimana caranya pangcu kami telah orang bikin celaka, kau tururkanlah biar jelas!”
“Tak usah tanya, aku tahu semua!” berkata Yo Kang yang terkejut untuk perbuatan Tiangloo itu.
“Pangcu,” berkata Yoe Kiak, “Lebih jelas kita menanya dia lebih baik. Di dalam hal yang mengenai pangcu kita itu, siapa pun tidak dapat dilepaskan!”
Yo Kang berdiam. Permintaan Yoe Kiak ini pantas, tidak dapat ia melarangnya.
Kwee Ceng telah dibebaskan dari sumbatannya, ia masih tidak mau bicara, ia terus mengawasi langit di utara itu. Ia menjublak, hingga beberapa kali Yoe Kiak mengulangi pertanyaannya, ia seperti tiadak mendengarnya. Karena sekarang ia lagi memahamkan keletakan bintang-bintang itu, tujuh bintang Pak-tauw, yang tepat sama barisannya rahasianya Coan Cin Cit Cu. Ia tengah memperoleh kemajuan, maka ia tidak memperdulikan si tiangloo.
Oey Yong dan Yo Kang melihat orang tidak hendak menggunai ketika yang baik itu untuk membela diri, yang satu berduka, yang lainnya bergirang. Tapi Yo kang tidak sudi menyia-nyiakan ketikanya lagi, maka itu, ia mengibasi tangannya, memberi tanda kepada kedua tiangloo Pheng dan Nio untuk tidak menunda pula dijalankannya hukuman mati itu.
Tepat ketika kedua tiangloo itu hendak mengayunkan senjatanya masing-masing, di situ terdengar satu suara yang diberikuti berkelebatnya sinar merah tua melintas di permukaan telaga. Kedua tiangloo itu heran, mereka mengawasi. Lalu terlihat pula dua sinar biru meluncur ke udara, berpisah dari Kun San jauhnya beberapa lie. Terang sinar itu muncul dari tengah telaga.
Kan Tiangloo lantas berkata: “Pangcu, ada tetamu agung!”
Yo Kang terperanjat. “Siapakah?” tanya dia.
“Pangcu dari Tiat Ciang Pang!” sahut Kan Tiangloo.
“Tiat Ciang Pang?” Yo Kang menegasi. Ia tidak tahu halnya partai Tangan Besi itu.
“Itulah sebuah partai besar di sekitar Su-coan dan Ouwlam,” Kan Tiangloo menerangkan, “Pangcu mereka telah datang, dia harus disambut dengan hormat. Maka dua jahanam ini, baik sebentar kita menghukumnya.”
“Baiklah,” sahut Yo Kang. “Silahkan tiangloo menyambut tetamu terhormat itu.”
Kan Tiangloo lantas memberikan titahnya. Maka di atas sebuah gunung Kun San terlihat meluncurnya tiga buah panah api, yang warnanya merah.
Tidak lama dari itu terlihatlah datangnya perahu, yang terus mendekati tepian. Pihak Kay Pang memasang obor, mereka menyambut.
Panggung Hian Wan Tay ada di atas puncak Kun San, dari kaki gunung ke puncak, perjalanannya cukup jauh, maka itu meski tetamu lihay ilmunya ringan tubuh, masih diperlukan waktu untuk mendakinya.
Kwee Ceng dan Oey Yong telah dibawa ke dalam rombongan orang banyak, mereka dijagai murid-murid Pheng Tiangloo.
Oey Yong mengawasi Kwee Ceng, ia heran sekali. Pemuda itu, seperti orang tolol, masih berdiam saja, dari mulutnya terdengar suara sangat perlahan, entah apa yang dikatakannya.
Tengah nona ini heran, ia melihatnya tetamu telah tiba. Obor ada sangat terang, maka terlihatlah tegas-tegas tetamu itu, yang diiringi beberapa puluh orang dengan pakaian hitam. Dia mengenakan baju kuning yang pendek, tangannya membawa kipas.
Siapakah dia kalau bukannya Khiu Cian Jin?
Kan Tiangloo maju menyambut, ia bicara dengan ramah tamah, sikapnya sangat menghormati. Setelah itu ia memperkenalkannya kepada Yo Kang. Ia kata: “Inilah Tiat Ciang Sui-siang-piauw Khiu Pangcu, yang kepalan saktinya tak ada tandingan, yang namanya menggetarkan dunia.”
Yo Kang tidak memandang mata kepada tetamunya ini. Selama di Kwie-in-chung, Thay Ouw, ia telah menyaksikan orang turun merek. Ia tidak menyangka orang adalah pangcu dari suatu partai besar. Tapi karena orang telah datang berkunjung dan ia tuan rumah, ia berpura-pura pilon.
“Sungguh aku girang dengan pertemuan kita ini!” katanya, tertawa. Dengan mengulur tangannya untuk berjabatan tangan. Ia lantas mengerahkan tenaganya berniat membikin orang kesakitan dan menjerit karenanya. Di dalam hatinya ia kata: “Semua orang percaya kau lihay tetapi di sini hendak aku merobohkanmu! Inilah ketika yang baik sekali! Tua bangka, hendak aku meminjam kau untuk aku memamerkan kepandaianku di antara semua pengemis ini!”
Begitu lekas Yo Kang menggunai tenaganya, begitu lekas ia merasa telapakan tangannya panas, seperti terkena bara, maka lekas-lekas ia menarik pulang tangannya, akan tetapi tangannya itu seperti kena kecantol, tak dapat dilepaskan, sedang hawa panasnya jadi semakin hebat. Tanpa merasa ia menjerit: “Aduh! Mati aku!” Mukanya lantas menjadi pucat, air matanya mengucur, saking sakitnya, pinggangnya menjadi lengkung, hampir dia pingsan.
Keempat tiangloo kaget, semua berlompat maju. Kan Tiangloo sebagai tertua di antaranya, dengan tongkat baja di tangannya menggetok batu gunung, hingga terdengar suara nyaring dan lelatu apinya muncrat, lalu ia menanya: “Khiu Pangcu, Yo Pangcu kami masih sangat muda sekali, mengapa kau menguji kepandaiannya?”
Pangcu she Khiu ini menyahuti dengan dingin: “Aku berjabat tangan dengan baik-baik dengannya, adalah pangcu kamu yang telah mencoba aku. Yo Pangcu telah berminat meremas hancur beberapa tulangku yang tua!”
Sambil mulut mengatakan demikian, Khiu Pangcu tidak melepaskan tangannya, maka itu Yo Kang terus berteriak teraduh-aduh, suaranya makin perlahan. Rupanya ia tidak dapat bertahan leboh lama pula, lantas dia pingsan.
Baru sekarang Khiu Cian Jin melepaskan tangannya, dengan disemperkan, maka Yo Kang yang sudah tak sadarkan diri, lantas terguling tubuhnya. Syukur Lou Yoe Kiak keburu lompat untuk memegangi.
Kan Tiangloo menjadi gusar.
“Khiu Pangcu apakah artinya ini?” ia menegur.
“Hm!” ketua Tiat Ciang Pang itu mengasih dengar suaranya sedang tangan kirinya menyambar kemuka orang.
Kan Tiangloo mengangkat tongkatnya, untuk menangkis atau - dengan kesebatannya yang luar biasa - Khiu Cian Jin telah dapat menangkap tongkat orang, hanya belum sempat ia merampasnya, Kan Tiangloo sudah menarik keras sekali. Karena itu ia lantas mengayunkan tangan kanannya ke kiri, tepat mengenai tongkat itu. Kali ini Kan Tiangloo merasakan tangannya sakit, bahkan telapakan tangannya itu pecah dan mengucurkan darah, hingga dia tidak dapat memegang lebih lama pula dan senjatanya itu kena juga dirampas. Bahkan dengan tongkatnya itu, tetamu ini lantas berhasil menangkis golok dan pedang Pheng Tiangloo dan Nio Tiangloo, yang telah segera menyerang sebab mereka ini menyaksikan rekan mereka sudah bertempur.
Khiu Pangcu lihay sekali hampir berbareng dengan itu, ia juga menyikut mukanya Lou Yoe Kiak, hingga dia ini mesti mundur juga.
Semua pengemis menjadi kaget, semua lantas menghunus senjata mereka, bersiap untuk menyerbu asal ada titah dari ketua mereka.
Khiu Cian Jin mencekal tongkat dengan tangan kiri dan tangan kanannya, ia tertawa lebar dan panjang, sambil berbuat begitu ia mengerahkan tenaganya, sembari berteriak ia hendak membikin patah tongkat itu, tetapi ia tidak berhasil, karena tongkat itu terbuat dari baja pilihan, maka itu sesudah terus ia mengerahkan tenaganya, ia cuma bisa menekuk melengkung bundar beberapa lipat. Baru sekarang ia mengendorkan tenaganya, ia melemparkan tongkat dengan tangan kirinya, hingga tongkat terlempat mengenai batu gunung, keras suaranya, batu gunung itu pada meletik lelatunya, ujungnya tongkat nancap.
Menyaksikan semua itu, kaum Kay Pang jagi kaget dan kagum.
Yang lebih kaget dan heran adalah Oey Yong. Nona ini kata dalam hatinya: “Tua bangka ini terang satu penipu besar yang tidak mempunyai guna, sekarang kenapa dia menjadi begini lihay? Sungguh aneh!”
Rembulan sedang bersinar terang sekali. Oey Yong memandang tajam kepada orang tua itu. Tidak salah, dialah Khiu Cian Jin si penipu yang dula kali ia ketemukan di Kwie-in-chung dan Gu-kee-cun. Maka ia jadi mau berpikir, apakah juga penipuan belaka ilmu kepandaiannya orang ini?
Kemudian si nona menoleh pula kepada Kwee Ceng, ia mendapat kenyataan pemuda itu masih saja mengawasi bintang-bintang di langit, hingga ia menjadi bingung. Ia tidak tahu, apa yang sebenarnya lagi dikerjakan kawannya itu.
Khiu Cian Jin dengan suaranya yang dingin, terdengar berkata: “Tiat Ciang Pang serta partai tuan-tuan tidak ada hubungannya satu dengan lain, karena aku mendengar hari ini ada harian Rapat Besar kamu, aku sengaja datang berkunjung, karena itu kenapakah pangcu kamu dengan tidak karu-karuan hendak merobohkan aku?”
Kan Tiangloo telah menjadi jeri, sekarang mendengar suara orang bukannya suara bermusuh, maka ia lantas memberikan penyahutannya. Ia kata: “Khiu Pangcu salah paham! Pangcu kesohor di empat penjuru negeri, kami biasa sangat menhargainya, maka dengan kunjungan pangcu ini, bagi kami itulah suatu kehormatan besar.”
Khiu Cian Jin mengangkat kepalanya, ia tidak menyahuti, sikapnya jumawa. Hanya sejenak kemudian, baru ia membuka pula mulutnya. Ia kata: “Aku mendengar kabar Ang Pangcu telah berpulang ke dunia baka, maka dengan begitu di kolong langit ini berkurang pula satu orang gagah, sungguh sayang! Sekarang partai kamu mengangkat satu pangcu yang baru seperti ini, ini pun sayang, sayang!”
Ketika itu Yo Kang sudah mendusin, ia mendengar suara yang sangat menghina itu, akan tetapi ia tidak berani membuka mulutnya. Ia masih merasakan tangannya sakit, tangan itu bengkak berikut lima jejirinya.
Keempat tiangloo juga tidak tahu meski mengucap apa, maka terdengarlah Khiu Cian Jin berkata pula: “Aku yang rendah hari ini datang berkunjung, ada dua maksudku untuk mana aku ingin memohon sesuatu. Untuk itu aku pun hendak menghadiahkan apa-apa.”
“Tolong Khiu Pangcu memberi petunjuk,” kata Kan Tiangloo yang belum tahu orang menghendaki apa.
Khiu Cian Jin tidak langsung menjawab, ia hanya menyapu dengan matanya kepada semua hadirin di seputarnya itu. Ketika ia telah melihat Kwee Ceng dan Oey Yong, lantas sinar matanya menjadi tajam sekali.
Oey Yong tidak takut, ia membalas mengawasi dengan tajam juga. Bahkan ia mengasih lihat senyuman memandang enteng. Ia telah pikir: “Buat kau beraksi bagaimana juga, aku tentu menganggapmu satu penipu besar!”
Khiu Cian Jin berpaling kepada Kan Tiangloo.
“Nona kecil itu serta kawannya si bocah telah mencelakai beberapa muridku,” katanya. “Maka itu dengan membesarkan nyali aku hendak minta mereka untuk aku menghukumnya.”
Kan Tiangloo tidak berani mengambil keputusan.
“Yo Pangcu, bagaimana?” ia menanya ketuanya itu.
“Dua orang ini sebenarnya ada musuh-musuh besar partai kami,” berkata Yo Kang, “Maka aku tidak menyangka, mereka juga telah berdosa terhadap Khiu Pangcu. Kalau begitu mari kita menghukumnya bersama-sama!”
Khiu Cian Jin mengangguk.
“Itu boleh!” katanya. “Sekarang permintaan yang keduanya. Kemarin ini ada beberapa muridku yang lagi bekerja atas titahku, entah kenapa mereka itu menyebabkan kemurkaannya dua anggota dari partai kamu, mata mereka telah dibikin buta!” Dia lantas menuding Kwee Ceng berdua dan menambahkan: “Kabarnya kedua bangsat itu telah membantui menurunkan tangan. Orang-orangku itu tidak punya guna, aku tidak bisa membilang suatu apa, hanya kalau kejadian ini sampai teruwar, tentulah kami Tiat Ciang Pang menjadi hilang mukanya, maka itu, aku si orang tua menjadi tidak kenal gelagat, aku ingin sekali belajar kenal dengan kepandaiannya kedua sahabat itu!”
Yo Kang tidak mencintai orang-orang Kay Pang, tidak ada niatnya untuk melindungi mereka, maka itu mana ia mau berbuat salah lagi hanya untuk dua orang? Maka ia lantas menanya: “Siapakah sudah lancang menerbitkan onar, yang telah bentrok dengan sahabat-sahabat dari Tiat Pangcu? Lekas kamu keluar untuk memohon maaf dari Khiu Pangcu ini!”
Kay Pang itu semenjak dipimpin Ang Cit Kong belum pernah hilang muka, maka itu bukan main mendongkolnya semua anggotanya mendengar ini pangcu baru bersikap demikian lemah. Lee Seng dan Ie Tiauw Hin lantas maju ke depan. Lee Seng kata dengan nyaring: “Harap dimaklumi pangcu. Peraturan partai kami yang nomor empat berbunyi menganjurkan kami berlaku mulia, kami mesti bisa menolong sesamanya yang berkesusahan. Kemarin ini kebetulan saja kami menyaksikan sahabat-sahabat dari Tiat Ciang Pang membikin celaka rakyat jelata dengan mereka mengumbar ular mereka, sebab kami tidak dapat menahan sabar lagi, kami lantas mencegah perbuatan mereka itu. Kebetulan di situ ada ini dua sahabat kecil, jikalau tidak ada mereka yang membantu, pastilah kami berdua pun terbinasa oleh ular-ular berbisa itu!”
“Tidak peduli bagaimana, kamu mesti menghanturkan maaf kepada Khiu Pangcu!” berkata Yo Kang bengis.
Lee Seng dan Ie Tiauw Hin saling mengawasi. Mereka menghadapi kesukaran, hati mereka panas sekali. Kalau mereka tidak menghanturkan maaf, mereka menentang titah pangcu; kalau mereka menurut, mereka sangat penasaran. Tapi tak lama Lee Seng bersangsi, ia lantas berseru kepada semua anggota partainya: “Saudara-saudara, jikalau Ang Pangcu masih hidup, tidak nanti kami dibiarkan hilang muka, maka itu sekarang, Siauwtee sekarang lebih suka terbinasa, tidak nanti Siauwtee menerima penghinaan!”
Sembari berkata begitu, Lee Seng mencabut pisau belati dari betisnya, dengan itu ia lantas menikam dadanya, ulu hatinya, maka di situ juga ia roboh dengan jiwanya melayang.
Menampak demikian, Ie Tiauw Hin menubruk saudaranya itu, untuk merampas pisau belatinya, dengan apa ia pun menikam dirinya, maka ia juga roboh dengan jiwanya melayang.
Semua pengemis terbangun semangatnya. Kejadian ini sangat hebat untuk mereka. Tapi mereka masih berdiam, tanpa ada titah pangcu, mereka tidak berani lancang.
Setelah menyaksikan semua itu, Khiu Cian Jin tertawa tawar.
“Permintaanku yang kedua ini sudah beres,” katanya. “Maka sekarang kami hendak menghanturkan bingkisan kepada partai tuan-tuan!” Habis berkata, ia memberi tanda dengan tangan kirinya. Maka beberapa puluh orang bertubuh besar yang mengenakan pakaian hitam lantas maju bersama kopor mereka yang besar, yang lantas dibuka tutupnya, dari situ mereka mengambil masing-masing sebuah tetampan untuk diletaki di samping Yo Kang. Itulah uang emas dan perak dan permata yang sinarnya berkeredepan!
Semua pengemis heran melihat orang mengeluarkan harta sebesar itu.
“Tiat Ciang Pang kami,” berkata Khiu Cian Jin, “Meski kami masih dapat makan, tidak nanti kami sanggup mengeluarkan bingkisan begini berharga, maka itu baiklah tuan-tuan ketahui, ini adalah hadiah dari Chao Wang dari negera Kim, yang meminta kami tolong menyampaikannya.”
Mendengar keterangan ini, Yo Kang heran dan girang.
“Di mana adanya Chao Wang?” ia menanya lekas. “Aku ingin bertemu dengannya!”
“Inilah kejadian pada beberapa bulan yang lalu,” menyahut Khiu Cian Jin, menyahuti apa yang tidak ditanya. Karena ia memberikan keterangannya. “Itu waktu Chao Wang telah mengirimkan utusannya kepadaku membawa bingkisannya ini dan dia minta partaiku yang tolong menyampaikannya.”
Mendengar itu, Yo Kang tahu bahwa hal itu terjadi sebelum ayahnya - ilaga Chao Wang - berangkat ke Selatan. Hanya ia belum tahu maksudnya mengapa Kay Pang dikirimkan harta sebesar ini.
Khiu Cian Jin masih meneruskan keterangannya: “Chao Wang mengagumi partai tuan-tuan, maka itu ia memerintahkan istimewa untuk aku sendiri yang menyampaikan bingkisan ini.”
“Jikalau begitu kami membuat capai saja kepada pangcu!” berkata Yo Kang girang.
Khiu Cian Jin tertawa.
“Yo Pangcu muda tetapi nyata kau luas pandangannya, kamu menang jauh daripada Ang Pangcu!” ia memuji.
Yo Kang masih belum tahu maksud ayahnya berhubungan sama Kay Pang, maka ia menanya pula: “Entah ada titah apakah dari Chao Wang untuk perkumpulan kami? Tolong pangcu menitahkannya saja!”
“Menitahkan, itulah tak dapat disebutkan,” berkata Khiu Cian Jin. “Hanya Chao Wang memesan untuk memberitahukan bahwa wilayah utara ini tanahnya miskin dan rakyatnya melarat, jadi sukar untuk…..”
Yo Kang cerdas, segera ia dapat menduga.
“Jadinya Chao Wang menghendaki kami pergi ke Selatan?” katanya.
“Sungguh Yo Pangcu cerdas sekali!” berkata Khiu Cian Jin, memuji. “Maaf untuk sikapku tadi. Chao Wang membilang bahwa propinsi-propinsi Kwietang dan Kwiesay serta Hokkien, tanahnya subur, rakyatnya makmur, maka itu ia bertanya kenapa saudara-saudara dari Kay Pang tidak mau pergi ke Selatan untuk menaruh kaki di sana? Wilayah Selatan jauh lebih menang daripada wilayah Utara ini.”
“Terima kasih untuk petunjuk Chao Wang serta pangcu sendiri,” berkata Yo Kang tertawa. “Percayalah, aku yang rendah pasti bakal menurutinya.”
Khiu Cian Jin heran orang dengan gampang saja menerima hadiah itu, tetapi karena ia khawatir Kay Pang nanti menyesal, ia lantas berkata: “Kata-katanya seorang laki-laki cukup dengan sepatah kata! Dengan semua saudara dari Kay Pang berangkat ke Selatan, bukankah itu berarti bahwa kamu tidak bakal kembali ke Utara ini?”
Yo Kang hendak memberikan jawabannya ketika Lou Yoe Kiak memotong: “Harap pangcu mengetahuinya! Kami semua hidup dari mengemis, maka itu, apa perlunya kami dengan uang emas dan barang permata? Laginya partai kita berada di seluruh negeri, kami merdeka, maka kapannya kami pernah dipengaruhi lain orang? Oleh karena itu aku memohon pangcu memikirkan dengan seksama!”
Sekarang ini Yo Kang telah dapat menerka maksudnya Wanyen Lieh. Di Kangpak ini, yaitu utara Sungai Besar, Kay Pang menjadi musuh bangsa Kim, sering terjadi, kalau pihak Kim jauh ke utara, Kay Pang suka mengganggu mengacau bagian belakang, baik dengan membunuh punggawa perangnya maupun dengan membakar rangsum, maka kalau Kay Pang dipindah ke Selatan, jadi gampanglah usaha bangsa Kim itu. Maka itu atas cegahannya Lou Yoe Kiak, ia berkata: “Ini adalah maksud baik dari Khiu Pangcu, jikalau kita tidak menerima, itu tandanya kita berlaku tidak hormat. Uang emas dan perak dan permata ini, aku sendiri tidak membutuhkannya, maka itu Suwie Tiangloo, sebentar sebubarnya rapat, silahkan kamu membagi-bagikannya kepada semua saudara!”
Tapi Yoe Kiak tidak memperdulikan perkataannya ini pangcu baru. Ia berkata pula: “Ang Pangcu kami yang tua dikenal sebagai Pak Kay, maka itu usaha kita di Utara ini mana dapat gampang-gampang ditinggalkan secara begini? Laginya partai kita bercita-cita bersetia dan membela negera sedang dengan bangsa Kim, kita adalah musuh turunan, dari itu tidak dapat bingkisannya ini diterima! maka itu tidak dapat kita pindah ke Kanglam!”
Yo Kang menjadi tidak senang, air mukanya menunjuki itu. Tapi belum lagi ia membuka mulutnya, Pheng Tiangloo sambil tertawa mendahului padanya. Kata ini Tiangloo; “Lou Tiangloo, urusan besar dari partai kita diputuskan oleh pangcu, bukan diputuskan kau seorang diri, bukankah?”
Yoe Kiak tetapi tetap sama sikapnya. Ia kata keras: “Jikalau mesti melupakan kesetiaan dan kejujuran, biarnya mati, aku tidak suka menurut!”
“Ketiga tiangloo Kan, Pheng dan Nio, bagaimana pikiran kalian?” Yo Kang tanya ketiga tetua itu.
“Kami bersedia untuk titah pangcu!” menyahut ketiga tiangloo itu serentak.
“Bagus!” berseru Yo Kang. “Mulai tanggal satu bulan delapan, kita pergi menyeberangi Sungai Besar!”
Atas perkataan itu, sebagian besar orang Kay Pang menjadi gaduh.
Di dalam Kay Pang ini, perbedaan di antara golongan Pakaian Bersih dan Pakaian Kotor nyata sekali. Golongan Pakaian Bersih, meski pakaian mereka banyak tambalannya, tetapi pakaian itu bersih seperti pakaian orang kebanyakan dan cara hidupnya sama dengan khalayak ramai, tidak demikian dengan golongan Pakaian Kotor yang teguh sama cita-citanya, sudah pakaiannya butut dan dekil, mereka tidak menggunai uang untuk membeli barang, bahkan mereka tidak duduk bersantap bersama-sama dengan lain orang, mereka tidak nanti bertempur bersama orang yang tidak mengerti ilmu silat. Benar di antara empat Tiangloo, tiga ada dari golongan Pakaian Bersih, walaupun demikian, jumlah pengemis Pakaian Kotor terlebih banyak. Mereka inilah yang sekarang memberi suara setuju kepada Lou Yoe Kiak.
Melihat sikapnya sebagaian pengemis itu, Yo Kang menajdi bingung juga. Ketiga tiangloo she Kan, Pheng dan Nio lantas mengasih dengar suara nyaring mereka, untuk meminta orang jangan gaduh, suaranya itu tidak diambil mumat. Kan Tiangloo menjadi habis sabar, maka ia memandang Lou Yoe Kiak.
“Lou Tiangloo, adakah kau hendak memberontak kepada pangcu?” dia tanya bengis.
“Biarnya aku dihukum picis, tidak nanti aku berani melawan yang tua!” menyahut Yoe Kiak keren. “Apapula untuk memberontak terhadap pangcu, pasti aku lebih-lebih tak berani. Akan tetapi anjing Kim itu adalah musuh besar dari Kerajaan Song kita! Apakah katanya Ang Pangcu kepada kita?”
Kan Tiangloo bertiga kena terdesak, mereka lantas tunudk. Mereka mulai menyesal.
Khiu Cian Jin melihat suasana itu, maka ia pikir usahanya bakal gagal kalau Lou Yoe Kiak tidak dipengaruhi, maka itu dengan tertawa dingin, ia berkata kepada Yo Kang: “Yo Pangcu, hebat Lou Tiangloo ini!” Lalu menyusuli penutup perkataannya itu, dengan kedua tangannya diulur ke arah pundak si tiangloo.
Ketika mendengar orang tertawa dingin, Lou Yoe Kiak sudah bercuriga, ia telah siap sedia, maka itu, ketika ia diserang, dengan cepat ia berkelit sambil menunduk untuk nelusup masuk ke selangkangan orang. Sebab ia mengerti dengan baik, tidak bisa ia melawan dengan kekerasan. Sembari nelusup itu, tanpa menanti lempangnya pinggangnya, kakinya sudah menendang ke kempolan pangcu dari Tiat Ciang Pang. Dia bernama Lou Yoe Kiak, Lou si Mempunyai Kaki, dari itu bisa dimengerti ilmu dupakan itu.
Khiu Cian Jin heran untuk caranya orang berkelit itu, Guna melindungi diri, ia lantas mengayun tangannya ke belakang, guna menghajar kakinya si pengemis.
Yoe Kiak tahu tangan lawan itu hebat, ia menarik pulang dupakannya ketiga. Ia khawatir kakinya nanti terluka. Sambil lompat ke samping, ia meludah kepada lawannya itu!
Khiu Cian Jin boleh gagah dan luas pengalamannya, akan tetapi serangan semacam itu ia tidak menyangka sama sekali, maka itu, belum sempat ia berkelit, mukanya sudah kena diludahi. Ludah itu tidak mendatangkan rasa sakit atau gatal, toh itu membuatnya tercengang.
“Lou Tiangloo, jangan kurang ajar kepada tetamu agung!” Yo Kang membentak.
Yoe Kiak masih taat kepada ketuanya, tetapi justru ia hendak merubah sikapnya, Khiu Cian Jin yang gusar sudah lantas menyerang padanya, kedua tangannya yang kuat seperti kepit sudah menyambar ke arah tenggorakan. Ia kaget, maka ia berlompat jumpalitan untuk menghindarkan diri dari bahaya. Tapi ia terlambat, selagi kupingnya mendengar ejekan, “Hm!” kedua tangannya kena disambar lawan itu. Dalam kagetnya ia berontak, tetapi sia-sia saja. Ia sudah banyak pengalamannya, ia tidak menjadi bingung atau ketakutan, maka ia berdaya pula. Dengan tiba-tiba ia menyeruduk dengan kepalanya!
Semenjak masih kecil, Yoe Kiak sudah melatih kepalanya itu, maka itu, serudukannya dapat menggempur tembok hingga bolong. Pernah ia bertaruh sama saudara-saudara separtai dengan ia melawan banteng, mengadu kepala, kepalanya sendiri tidak kurang suatu apa, si kerbau sendiri roboh kelenger. Hanya kali ini, ketika kepalanya mengenai perut, ia merasa membentur benda lunak seperti kapas. Ia kaget, ia mengerti bahaya, dengan lekas ia menarik pulang kepalanya itu. Untuk kagetnya lagi, perut orang itu mengikuti kepalanya itu. Ia lantas mengerahkan tenaganya, untuk membebaskan kepalanya itu. Sebagai kesudahan dari pergulatannya itu, ia merasa kepalanya mulai panas sedang kedua tangannya yang terus dicekal menjadi panas sekali, seperti tangan itu dimasuki ke dalam perapian marong….
“Kau takluk atau tidak?!” tanya Khiu Cian Jin membentak.
“Bangsat busuk, takluk apa!” menjawab Yoe Kiak membentak juga.
Khiu Cian Jin mengerahkan tangan kirinya, maka lima jari Lou Tiangloo mengasih dengar suara meretak, kelima jarinya kena dipencet patah.
“Kau takluk atau tidak?!” tanya pula ketua Tiat Ciang Pang itu.
“Bangsat busuk, takluk apa!” Yoe Kiak membandel.
Khiu Cian Jin memencat pula, maka sekarang kelima jari kiri dari Lou Yoe Kiak yang pada patah. Ia merasakan sakit bukan main, ia sampai menjadi was-was, tetapi ia bernyali besar dan besar kepala, ia terus masih mencaci.
“Jikalau aku menggeraki perutku, kepalamu pun bakal remuk!” Khiu Cian in mengancam. “Aku maun lihat, kau masih dapat mencaci atau tidak…..”
Disaat Lou Yoe Kiak menghadapi waktu kematiannya itu, dari antara rombongan pengemis mendadak terlihat seorang berlompat maju - seorang yang tubuhnya tinggi dan dadanya lebar. Dialah si bocah Kwee Ceng!
Dengan tindakan lebar, Kwee Ceng ini segera menghampirkan Lou Yoe Kiak, terus ia mengangkat tangannya yang kanan, dengan itu tiga kali beruntun ia menghajar kempolan si pengemis. Dia menghajar Yoe Kiak akan tetapi tenaganya itu tersalur, dari kempolan terus ke kepala, terus juga ke perutnya ketua Tiat Ciang pang itu, hingga tiga kali Khiu Cian Jin merasakan benturan yang kuat, hingga sekejap itu juga, buyarlah kekuatannya menempel dan menyedot.
Begitu lekas ia merasakan kepalanya merdeka, Yoe Kiak lantas mengangkat bangun tubuhnya, hanya kedua tangannya, yang masih belum dilepaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar