BAB
56
Tengah
muda-mudi ini bergurau, di tangga lauwteng terdengar pula suara tindakan kaki.
Segera terlihat munculnya ketiga tiangloo yang tadi pergi mengikuti Yo Kang.
Mereka menghampirkan untuk terus memberi hormat. Tiangloo yang ditengah, yang
mukanya putih dan tubuhnya gemuk, yang kumisnya gompiok, sudah lantas tertawa
sebelum ia berbicara. Coba ia tidak berpakaian banyak tambalannya, tentulah
orang menyangka dia itu seorang hartawan. Dengan manis ia berkata: “Jiewi, si pengemis tua she Lou tadi telah dengan
diam-diam menurunkan tangan jahat. Kami tidak senang melihat kelakuannya itu
maka datang untuk memberikan pertolongan kami.”
Kwee
Ceng dan Oey Yong terkejut.
“Bagaimana
itu?” mereka tanya.
“Bukankah
dia tidak sudi dahar bersama jiewi tadi?”
“Ya! Apakah dia telah meracuni kami?”
Pengemis itu menghela napas.
“Inilah gara-garanya partai kami lagi malang,” ia
berkata, romannya berduka. “Di luar keinginan kami, di antara kami boleh ada
banyak orang buruk semacam dia. Dia itu lihay, asal tangannya menyentil, racun
yang disimpan di kuku tangannya bisa tanpa diketahui lagi masuk nyampur ke
dalam barang makanan atau arak. Jiewi telah terkena racun itu dan hebat, tidak
lewat sampai setengah jam, maka jiewi sukar ditolongi lagi…….”
Oey
Yong terkejut tetapi ia bersangsi. “Kami tidak bermusuh dengannya, kenapa dia
boleh menurunkan tangan jahat?” tanyannya.
“Jiewi
telah keracunan berbahaya sekali, baik jiewi lekas makan obat ini, baru jiewi
bisa dapat ditolong!” kata si pengemis tanpa menyahuti dulu pertanyaan orang.
Ia lantas mengeluarkan satu bungkusan obat bubuk warna kuning, obat itu ia
masuki ke dalam dua cangkir arak, “Lekas minum, jiewi!” katanya pula.
Oey Yong melihat tadi Yo Kang, ia curiga, maka itu, mana
mau ia minum arak itu. Maka ia berkata: “Tadi tuan Yo itu kenal kami, tolong
samwie ajak dia datang menemui kami.”
“Memang jiewi harus bertemu dengannya,” berkata si
pengemis. “Tetapi racun jahanam itu berbahaya sekali, baik jiewi minum dulu obat
ini. Kalau ayal-ayalan, nanti susah buat diobatinya.”
“Samwie baik sekali, terima kasih,” berkata Oey Yong.
“Nah, marilah duduk untuk kita minum bersama! Sebenarnya kami kagum sekali
kepada Kay Pang sebab kami ingat tahun dulu itu pangcu dari genarai yang
kesebelas, di Pak Kouw San dia seorang diri telah melayani banyak lawan yang
gagah dengan sepasang tongkatnya, dengan sepasang tangannya, dia telah
membinasakan lima jago dari Lok-yang! Sungguh gagah!”
Tiga pengemis itu nampak heran sebab mendadak mendengar
orang bicara perihal partainya, maka mereka lantas saling melirik. Heran
mereka, kenapa nona begini muda ketahui peristiwa dulu hari itu.
“Ang Pangcu itu lihay sekali ilmu silatnya yang bernama
Hang Liong Sip-pat Ciang,” berkata pula Oey Yong. “Kepandaiannya itu tak ada
bandingannya di kolong langit ini, maka entahlah samwie telah dapat
memperlajari beberapa jurus dari ilmu silat itu?”
Mendengar ini, tiga pengemis itu lantas menduga tentulah
orang curiga dan tak sudi minum arak campur obat itu. Maka yang beroman mirip
hartawan itu berkata sambil tertawa: “Kalau nona bercuriga, tentu sekali kami
tidak berani memaksa, tetapi marilah nona melihat suatu bukti nanti nona
percaya. Sekarang jiewi lihat dimataku ada apa yang luar biasa?”
Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi, mereka mendapatkan mata
orang bercahaya tajam sekali. Oey Yong melihat tidak ada apa-apa yang aneh,
maka ia memikirnya itulah tak lebih tak kurang sepasang mata babi………
Tetapi si pengemis itu sudah berkata pula: “Jiewi awasi
mataku, jangan sekali jiewi memecah perhatianmu. Lihatlah, sekarang jiewi mulai
merasa kulit matamu berat dan kepala pusing, seluruh tubuh jiewi tidak ada
tenaganya. Nah, itulah alamat terkena racun. Lekas jiewi menutup mata dan
tidur!”
Kata-kata itu menarik dan berpengaruh. Kwee Ceng dan Oey
Yong benar-benar lantas merasa matanya ingin dirapatkan dan lesu, benar-benar
seluruh tenaganya habis.
“Tempat ini menghadap telaga besar,” berkata pula si
pengemis. “Hawanya pun adem sekali, maka itu jiewi silahkan kamu berangin dan
tidur di sini! Tidur, tiudrlah!”
Makin lama kata-kata itu terdengar makin perlahan,
kata-kata itu sangat manis dan menarik hati, maka tanpa merasa sepasang
muda-mudi itu menguap, lalu tidur pulas dengan mendekam di meja. Beberapa lama
sang tempo telah lewat, inilah mereka tak tahu, hanya mereka merasa ada hawa
sejuk yang menyampok muka mereka, samar-samar pun kuping mereka mendengar suara
gelombang. Mereka lantas membuka mata mereka. Maka tampaklah di antara mega
munculnya sang rembulan, yang baru mulai naik di gunung timur. Mereka terkejut.
Tadi toh mereka tengah bersantap dan minum arak di Gak Yang Lauw, kenapa
sekarang sudah malam? Mereka mau berbangkit, atau mereka merasakan kaki dan
tangan mereka telah diringkus. Mereka mau berseru, ataupun mereka merasakan
mulut mereka telah disumpal biji bebuahan, hingga mereka merasakan mulut mereka
sakit.
Sebagai seorang cerdik Oey Yong lantas mengerti bahwa ia
telah kena dipermainkan di pengemis gemuk itu, hanya ia belum bisa menerka,
orang menggunai ilmu apa membuat dia dan Kwee Ceng menjadi mengantuk dan lemas
dan akhirnya tidur lupa daratan. Ia mengerti, maka ia tidak mau banyak
berpikir. Ia segera melihat ke sekitarnya. Ia nampak Kwee Ceng di sisinya,
kelihatannya kawan itu lagi mau meronta, maka hatinya lega sebagian.
Kwee Ceng pun mendusin karena ia merasakan sampokan hawa
dingin. Ia kaget untuk belungguan yang kuat sekali, hingga ia tidak mampu
berontak untuk memutuskannya. Kiranya itulah tambang yang dipakai mengikatnya
ialah tali kulit kerbau campur kawat. Ketika ia hendak mencoba buat berontak
lagi, tiba-tiba ia merasa dingin di pipinya, dua kali pipinya disampok pedang.
Ketika ia mengawasi, ia dapatkan empat pengemis muda menjagai dia dengan
senjata di tangan.
Oey
Yong lantas berpikir terus. Satu hal yang membuatnya kaget. Ia mendapat
kenyataan mereka berada di atas sebuah puncak, di sekitarnya telaga dengan
airnya yang jernih. Di antara sinar rembulan, ai sekarang melihat tegas ke
sekitarnya itu. Ia menjadi heran sekali kenapa ia tidak merasa orang telah mengangkutnya
ke atas puncak itu, ialah puncak dari gunung Kun San di tengah telaga Tong Teng
itu.
Di
depan ia terlihat sebuah panggung tinggi belasan tombak. Di sekitarnya itu
duduk beberapa ratus pengemis. Semua duduk dengan diam. Itulah sebabnya kepana
mereka mulanya tak nampak, tak ketahuan. Segera setelah ia ingat, hatinya
girang. Pikirnya: “Benarlah! Hari ini Cit gwee Capgouw, hari Rapat Besar Kaum
Kay Pang! Biarlah aku bersabar, sebentar aku memperdengarkan titah suhu,
mustahil mereka tidak akan menaati….”
Lewat sekian lama, segala apa masih diam saja. Nona ini
mulai habis sabarnya. Karena tak dapat bergerak, ia merasakan kaki tangannya
baal. Sang waktu pun berjalan terus. Kemudian sinar rembulan menjojoh pinggiran
panggung di mana ada tiga huruf besar: “Hian Wan Tay”, artinya panggung “Kaisar
Hian Wan”. Maka ingatlah Oey Yong akan cerita dongeng, katanya dulu hari Oey
Tee, ialah Kaisar Hian Wan itu, telah membuat perapian kaki tiga di sini,
setelah perapian itu rampung, dia menunggang naga naik ke langit. Jadi inilah
panggung yang berhikayat itu.
Lagi sekian lama, di waktu sinar rembulan telah memenuhi
seluruh panggung, maka terdengarlah suara yang tiga-tiga kali, suara itu
sebentar cepat dan sebentar perlahan, sebentar tinggi, sebentar rendah, ada
iramanya. Kemudian ternyata semua pengemis memegang tongkat kecil, dengan itu
mereka mengetuk batu hingga berlagu.
Oey Yong menghitung, setelah terdengar sampai
delapanpuluh satu kali, suara itu berhenti serentak. Lalu kelihatan
berbangkitnya empat pengemis yang usianya tinggi, ialah keempat tiangloo, Lou
Yoe Kiak serta tiga tiangloo lainnya yang Oey Yong mengenalinya dengan baik.
Mereka itu berdiri di empat penjuru panggung. Semua pengemis pada berbangkit,
dengan membawa tongkat ke depan dadanya, mereka memberi hormat sambil menjura.
Si tiangloo putih dan terokmok setelah menanti semua
pengemis berduduk pula, lantas berkata dengan nyaring: “Saudara-saudara, Thian
telah melimpahkan bahaya untuk Kay Pang kita, ialah Ang Pangcu kami telah
berpulang ke langit di Lim-an!”
Mendengar warta itu, semua pengemis berdiam, hanya
seorang yang kemudian berteriak keras, terus ia roboh ke tanah, setelah mana
semua pengemis pada menumbuki dadanya, semua menangis sedih, ada yang
menggerung-gerung, ada yang mambanting-banting kaki. Tangisan mereka itu
berkumandang jauh.
Kwee Ceng kaget sekali. “Aku tidak dapat mencari suhu,
kiranya ia telah menutup mata…” pikirnya. Ia pun menangis, hanya tidak dapat
bersuara sebab mulutnya tersumbat.
Oey Yong bercuriga. Ia pikir: “Kami tidak dapat mencari
suhu, musathil mereka bisa! Mungkin kawanan manusia jahat ini lagi mengelabui
orang banyak…”
Tengah orang sangat bersedih itu, Lou Yoe Kiak bertanya:
“Pheng Tiangloo, ketika Pangcu berpulang ke dunia baka, adakah tiangloo
melihatnya sendiri?”
Si tiangloo putih dan gemuk itu menyahuti: “Lou Tiangloo,
jikalau Pangcu masih hidup, siapa yang berani makan nyali macam tutul dan hati
harimau untuk menjumpai padanya? Orang yang melihat sendiri Pangcu meninggal
dunia berada di sini. Yo Siangkong, silahkan kau memberi keterangan kepada
orang banyak!”
Seorang lantas muncul di antara orang banyak. Dialah Yo
Kang. Dengan memegang tongkat bambu, ia naik ke panggung. Semua pengemis
berdiam, untuk memasang kuping.
Yo Kang berbatuk satu kali, baru ia mulai bicara. Ia kata:
“Kejadian ialah baru satu bulan yang lalu. Kejadiannya di kota Lim-an. pangcu
telah berkelahi dan orang kesalahan memukul ia hingga ia mati.”
Mendengar itu, suara orang banyak menjadi riuh.
“Siapakah musuh itu?!” tanya mereka. Nyata mereka murka.
“Lekas bilang, lekas! Pangcu demikian lihay, mungkinkah dia jatuh? Pastilah
Pangcu telah dikepung ramai-ramai maka ia roboh!”
Kwee Ceng mendongkol mendengar keterangan Yo Kang itu.
“Pada satu bulan yang lalu, suhu ada bersama aku! Ha, kiranya dia lagi main
lagi!”
Yo Kang mengangkat kedua tangannya, ia menunggu sampai
suara orang reda, baru ia berkata pula: “Orang yang mencelakai hingga Pangcu
mati ialah Tong Shia Oey Yok Su, pemilik dari Pulau Tho Hoa To, bersama tujuh
imam bangsat dari Coan Cin Pay!”
Oey Yok Su sudah lama tidak meninggalkan pulaunya, antara
kaum pengemis ini, dalam sepuluh, sembilan tidak ada yang mengenal dia, hanya
Coan Cin Cit Cu sangat kesohor maka mereka mengenalnya. Mereka mau percaya
ketua mereka kalah karena dikeroyok, maka itu mereka mencaci dan mengutuk, ada
yang mau lantas pergi untuk menuntut balas. Tentu sekali mereka tidak tahu
bahwa mereka lagi dipermainkan Yo Kang, yang mau mengadu mereka dengan Tong
Shia dan Coan Cin Cit Cu. Tentang Kanlamg Liok Koay, ia tidak takut. Yo Kang
bertindak begini karena Ang Cit Kong terluka parah hajaran Kuntauw Kodok dari
Auwyang Hong sedang Kwee Ceng, ia menyangka telah mati tertikam olehnya di
dalam istana, siapa tahu kemarin ia menemui Kwee Ceng dan Oey Yong di Gak Yang
Lauw, karena itu sudah kepalang, ia minta Pheng Tiangloo membekuk kedua orang
itu dengan tipu, dengan liap-sim-hoat, yang mirip dengan ilmu sihir. Ia
mengharap Tong Shia, Coan Cin Kauw dan Kay Pang nanti ludas bersama kerana
bentroknya mereka bertiga…….
Selagi suara orang berisik itu maka bangkitlah salah satu
dari tiga tiangloo itu, ialah Kan iangloo. “Saudara-saudara, mari dengar
perkataanku!” ia kata. Ia telah putih kumis dan alisnya, tubuhnya tegar, di
dalam partainya dia disegani. Maka semua orang lantas berdiam.
“Sekarang ini kita lagi menghadapi dua urusan sangat
penting,” ia berkata. “Kesatu untuk menuruti pesan
Pangcu, yaitu untuk memilih pangcu generasi kesembilanbelas. Kedua guna berdaya
mencari balas untuk pangcu kita itu.”
“Benar!” menyahut semua pengemis.
“Tapi kita mesti bersembahyang dulu untuk pangcu,”
berkata Lou Yoe Kiak. Ia menjumput lumpur, yang ia
lalu bikin menjadi patung, mirip dengan patung Ang Cit Kong, ia meletaki itu di
atas panggung, terus ia mendekam di tanah dan menangis sedih. Semua pengemis
turut menangis pula.
Oey Yong sendiri berpikir: “Hm, kamu gila! Suhu toh
baik-baik saja, dia tidak mati, kenapa kamu tangisi? Kamu gila sudah mengikat
aku dan engko Ceng, sampai kita tidak bisa bicara! Inilah kamu yang cari
penyakit sendiri, sia-sia belaka kamu bersedih…..”
Setelah orang menangis sekian lama, Kan Tiangloo menepuk
tangannya tiga kali. Lantas semua orang berhenti menangis. Tiangloo ini
berkata: “Kita sekarang berapat di sini, kita sebenarnya harus mengangkat
pangcu baru menurut petunjuk Ang Pangcu, karena Ang Pangcu telah menutup nmata,
kita harus menuruti pesannya saja, dan kalau pesannya tak ada, kita harus
menaati pemilihan oleh keempat tiangloo. Inilah aturan kita turun-temurun.
Benar begitu, saudara-saudara?”
Semua pengemis menyahuti membenarkan.
Kang
Tiangloo lantas berkata pula: “Yo Siangkong, silahkan kau menyampaikan pesan
dari Ang Pangcu itu!”
Dalam
Kay Pang, pengangkatan pangcu baru adalah urusan paling besar dan penting. Pada
itu tergantung makmur dan runtuhnya partai. Maka pangcu adalah yang memegang
peranan paling penting. Pernah terjadi pangcu mereka yang ketujuhbelas, yaitu
Cian Pangcu, meski dia gagah, dia lemah, pimpinannya tidak tepat, maka
terjadilah bentrokan di antara kedua golongan Pakaian Bersih dan Pakaian Dekil
hingga partai menjadi lemah. Ang
Pangcu kemudian menguasai keadaan,
dia melarang bentrokan. Dengan begitu, Kay Pang
maju pula. Maka itu sekarang, selagi menaruh perhatian besar, orang berdiam
menanti perkembangan.
Yo
Kang memegang Lek-tiok-thung dengan kedua tangannya, ia angkat itu tinggi di
atasan kepalanya, lalu ia berkata: “Ang Pangcu kena dikeroyok oleh orang jahat,
dia mendapat luka parah hingga jiwanya terancam bahaya. Kebetulan itu waktu aku
yang rendah lewat di tempat kejadian, cepat-cepat aku menyembunyikan dia di rumahku,
setelah dapat menipu musuh-musuh itu pergi, aku lantas mengundang tabib.
Sayang, karena parahnya luka, pangcu tidak dapat ditolongi lagi…….”
Mendengar
itu, terdengar banyak keluhan.
Yo
Kang berhenti sebentar, baru ia melanjuti: “Ketika Ang Pangcu hendak
menghembuskan napasnya yang terakhir, ia menyerahkan tongkat suci ini kepadaku
dan dia menugaskan aku yang rendah untuk menerima tanggung jawab yang berat
sebagai pangcu yang kesembilanbelas…”
Orang
banyak menjadi heran. Tidak disangka, pangcu yang baru adalah ini pemuda yang
mirip seorang sastrawan.
Yo
Kang itu cerdik sekali. Setelah mendapatkan tongkat Lek-tiong-thung di rumahnya
Sa Kouw di Gu-kee-cun, ia mendapat kenyataan kedua pengemis gemuk
dan kurus itu sangat menghormat padanya, segera ia mendapat pikiran. Lantas di
sepanjang jalan ia menanya ini dan itu kepada mereka tentang tongkat itu. Kedua
pengemis itu melihat orang memegang tongkat partainya, mereka menjawab segala
pertanyaan. Dengan begitu tahulah Yo Kang tentang tongkat itu serta pengaruhnya.
Maka ia pikir, selagi Kay
Pang sangat besar dan berpengaruh,
kenapa dia tidak mau mengangkanginya? Bukankah Ang
Pangcu telah mati dan tentang
kematiannya itu tidak ada saksinya? Bagaimana besar faedahnya kalau ia yang
menggantikan memegang pimpinan? Ia lantas mengambil keputusan, maka itu dengan
mempengaruhi ketiga tiangloo, hendak ia mewujudkan cita-citanya menjadi pangcu
dari Kay Pang.
Kan
Tiangloo, Pheng
Tiangloo dan Nio Tiangloo
percaya obrolannya Yo Kang itu. Ini pun kebetulan sekali untuk mereka.
Sebenarnya mereka ingin sekali diangkat menjadi pangcu, cuma di dalam hal ini,
mereka malang
sama Lou Tiangloo. Di
bawah pimpinan Ang
Pangcu, mereka menerima keadaan. Ang Pangcu
dapat bertindak bijaksana, dia bisa mengimbangi keadaan, dia bersedia mengenakan
baju bersih dan baju kotor bergantian. Hanya diantara keempat tiangloo, dia
sebenarnya menghargai Lou Yoe Kiak, cuma Yoe Kiak ini, cacatnya ialah tabiatnya
keras dan terburu nafsu, beberapa kali pernah ia hampir menerbitkan onar, kalau
tidak, pasti siang-siang ia sudah diangkat menjadi pangcu. Untuk rapat besar di
Gakciu ini, pihak Pakaian Bersih sebenarnya berkhawatir Lou Yoe Kiak yang nanti
kepilih, ketiga tiangloo itu pernah memikir daya untuk mencegahnya, tetapi
karena takut kepada Ang Cit Kong, mereka tidak berani bergerak. Maka mereka
tidak sangka, sekarang muncul Yo Kang dengan tongkat suci mereka dan katanya
Ang Pangcu telah terbinasa. Mereka berduka tetapi mereka tak melupai urusan
besar mereka. Mereka berlaku sangat hormat kepada Yo Kang. Mereka heran Yo Kang
tidak mau menerangkan pesan pangcu mereka. Mereka tidak tahu pemuda ini sangat
licin. Baru tiba disaat rapat ini, Yo Kang menyebutkan pesan itu - pesan
karangan otaknya sendiri. Mereka menyesal, yang mereka tidak terpilih, akan
tetapi mereka dapat menghiburkan diri, sebab Yoe Kiak tidak terpilih juga.
Maka, sambil memikir, mungkin di belakang hari mereka dapat mempengaruhi Yo
Kang ini, mereka mengangguk tandanya mereka suka menerima si anak muda sebagai
ketua mereka yang baru.
Kan
Tiangloo lantas berkata: “Tongkat yang di pegang Yo Siangkong ialah tongkat
sejati dari partai kita, tetapi kalau ada saudara yang menyangsikan, silahkan
maju untuk memeriksa.
Lou Yoe Kiak melirik Yo Kang. Ia
sangsi pemuda ini dapat memimpin Kay Pang.
Maka ia maju, akan memeriksa tongkat suci itu. Ia mendapat kenyataan kesejatian
nya tongkat itu. Maka berpikirlah ia: “Tentulah Pangcu
mengingat vudi maka pangcu mewariskan tongkat suci ini kepadanya. Karena pangcu
telah memesannya, mana dapat aku membantahnya?” Karena itu ia pun
mempercayainya. Ia angkat tongkat ke atas kepalanya, dengan hormat ia
menyerahkan kembali kepada Kan Tiangloo, yang tadi menyambuti itu dari tangan
Yo Kang. Ia kata: “Kami menurut kepada pesan Ang Pangcu,
kami menjunjung Yo Siangkong sebagai pangcu kami yang kesembilanbelas!”
Mendengar ini semua pengemis berseru memperdengarkan
persetujuan mereka.
Kwee Ceng dan Oey Yong tidak bisa bicara, juga mereka
tidak bisa bergerak, bukan main mendongkol dan masgulnya mereka.
“Benar dugaannya Yong-jie, Yo Kang ini bernyali besar,
berani dia main gila seperti ini,” pikir si anak muda. “Dia tentunya bakal
mendatangkan onar besar.”
Oey Yong sebaliknya lagi memikirkan, tindakan apa yang Yo
Kang bakal mengambil terhadap mereka berdua, sebab tentulah mereka tidak bakal
dilepaskan dengan begitu saja.
Yo Kang mengasih dengar suaranya: “Aku yang rendah, muda
usiaku dan cupat pengetahuanku, tidak berani aku menerimanya ini tugas yang
berat.”
“Pesan Ang Pangcu demikian rupa, janganlah Yo Siangkong
merendahkan diri,” kata Pheng Tiangloo.
“Benar!” berkata Lou Yoe Kiak, yang lantas batuk satu
kali, lalu ia berteriak dan meludah ke muka si anak muda.
Yo Kang tidak menyangka, tidak dapat ia berkelit, reak si
pengemis tua nemplok di pipi kanannya. Ia menjadi kaget. Baru ia mau menanyakan
ketiga tiangloo lainnya atau mereka itu pun bergantian telah lantas meludah
kepadanya, setelah mana keempat tiangloo itu, dengan menyilang tangan, mereka
lantas memberi hormat sambil berlutut dan mendekam. Yo Kang masih tidak
mengerti, ia tetap berdiri tercengang.
Perbuatannya keempat tiangloo ini disusul oleh semua
pengemis lainnya, dengan mengikuti runtunannya, mereka itu menghampirkan untuk
menludahkan, saban habis berludah, baru memberi hormat.
“Adalah ini cara meludah tanda hormat kepadaku?” Yo Kang
tanya dirinya sendiri. Ia tidak tahu, demikianlah aturan yang dihormati Kay
Pang, setiap pangcu baru mesti diperhina, sebab pengemis, mereka mesti bersedia
menerima penghinaan khalayak ramai. Ia tidak tahu itulah semacam latihan
kebathinan.
Selang sekian lama barulah semua pengemis memberi
hormatnya, lalu ramailah suara mereka: “Yo Pangcu, silahkan naik ke panggung
Hian Wan Tay!”
Yo Kang melihat panggung tidak terlalu tinggi, hendak ia
membanggakan kepandaiannya. Lantas ia menjejak kedua kakinya, untuk mengapungi
diri, berlompat naik. Bagus caranya ia berlompat naik itu, karena ia mempunyai
ilmu ringan tubuh yang baik. Hanya di matanya keempat tiangloo, terlihatlah
kepandaiannya itu masih rendah, tetapi mengingat usianya yang muda, ia tidak
dapat dicela. Keempat tiangloo itu percaya ialah murid seorang yang pandai.
Begitu lekas berada di atas panggung, Yo Kang mengasih
dengar suaranya yang nyaring: ” Penjahat yang mencelakai Ang Pancu masih belum
dapat dibinasakan tetapi dua pembantunya telah aku berhasil membekuknya!”
Mendengar itu, berisiklah semua pengemis itu, segera
terdengar teriakan mereka: “Di mana? Di mana? Lekas cincang padanya! Jangan
lantas dihukum mati, hukum picis dulu padanya biar dia tahu rasa!”
Kwee Ceng tidak mendiga jelek, maka ia kata di dalam
hatinya: “Aku hendak lihat siapa pembantunya pembunuh itu….”
Yo
kang lantas berseru: “Bawa mereka ke depan panggung!”
Pheng Tiangloo lantas bertindak
cepat kepada Kwee Ceng dan Oey
Yong, dengan masing-masing sebelah
tangannya, ia memegang dan mengangkat tubuh orang, buat dibawa ke depan
panggung di mana ia menggabruki dua muda-mudi itu.
Sekarang
baru Kwee Ceng mendusin.
“Ha,
binatang, kiranya kau maksudkan kami!” ia mendamprat di dalam hatinya.
Lou Yoe Kiak terperanjat kapan ia
melihat Kwee Ceng dan Oey
Yong, yang ia kenali, maka ia
lantas mengingat kepada keterangannya Lee Seng.
Ia lantas berkata: “Pangcu, dua orang ini ialah
murid-muridnya Ang Pangcu! Cara bagaimana mereka dapat mencelakai guru mereka?”
“Justru itulah sebabnya, yang membuat orang semakin
gemas!” berkata Yo Kang.
Pheng Tiangloo pun berkata: “Pangcu melihatnya sendiri,
mana bisa salah?”
Lee Seng dan Ie Tiauw Hian hadir di dalam rapat ini,
keduanya lantas maju dan berkata: “Harap pangcu ketahui, dua orang itu adalah
orang-orang gagah, untuk mereka, kami berdua bersedia menanggungnya dengan jiwa
kami. Pasti sekali kebinasaan Ang Pangcu tidak ada hubungannya sama mereka
ini!”
“Kalau bicara, biarlah tiangloo kamu yang bicara!” Nio
Tiangloo membentak. “Apa di sini dapat kamu campur mulut?!”
Kedua pengemis ini ada dari golongan Pakaian Kotor dan
berada di bawah pimpinan Lou Yoe Kiak, derajat mereka pun rendah, tidak berani
mereka berbicara lebih lanjut pula. Mereka mengundurkan diri dengan sangat
penasaran.
“Di dalam hal ini bukannya aku yang rendah tidak
mempercayai Pangcu,” berkata Lou Yoe Kiak kemudian, ” Akan tetapi mengingat
urusan membalas sakit hati ialah urusan sangat besar, aku mohon Pangcu nanti
memeriksanya denagn seksama.”
Yo Kang memang telah memikir, maka lantas ia menyahuti:
“Baiklah, nanti aku periksa.” Kemudian ia mengawasi Kwee Ceng dan Oey Yong
serta berkata: “Aku hendak menanya kamu, tidak usah kamu membuka mulutmu.
Jikalau apa yang aku katakan benar, kamu mengangguk, kalau tidak, kamu
menggoyang kepala. Jikalau kamu mendusta, sedikit saja, ingat golok dan pedang
tidak mengenal kasihan!”
Pangcu ini mengibaskan tangannya, maka Pheng Tiangloo dan
Nio Tiangloo lantas menghunus senjata mereka, dipasang di punggung Kwee Ceng
dan Oey Yong. Pheng Tiangloo memegang pedang, dan Nio Tiangloo mencekal golok.
Oey Yong gusar sekali hingga mukanya menjadi pucat. Ia
lantas mengingat peristiwa di Gu-kee-cun, tempo dari lain kamar ia mendengari
Liok Koan Eng berbicara sama Thia Yauw Kee, bicara hal lamaran sambil main
mengangguk-angguk. Ia tidak menyangka, sekarang ia mesti mengalami kejadian
itu.
Yo Kang tahu Kwee Ceng jujur dan polos dan dapat
dipermainkan, maka ia memegang tubuh orang, untuk diangkat ke samping. Segera
ia menanya dengan suaranya yang bengis: “Bukankah anak perempuan ini anak
kandung dari Oey Yok Su?”
Kwee Ceng menutup matanya, ia tidak mengambil mumat
pertanyaan itu.
Nio Tiangloo menekan dengan ujung goloknya.
“Benar atau tidak!” dia menanya. “Mengangguk atau
menggoyang kepala?”
Kwee Ceng sebenarnya tidak niat membuka mulutnya, ketika
ia berpikir, biarnya ia tidak dapat membuka, toh perkara akan menjadi terang
juga. Maka ia lantas mengangguk.
Begitu melihat orang mengangguk, banyak pengemis lantas
berteriak-teriak: “Buat apa ditanyakan terlebih jauh! Lekas bunuh! Lekas bunuh
padanya!” Mereka itu mau percaya benarlah pangcu mereka telah terbinasa di
tangan Oey Yok Su. Ada pula yang berteriak: “Lekas bunuh dia! Mari kita cari si
tua bangka pembunuh itu!”
“Saudara-saudara, jangan berisik!” Yo Kang berkata.
“Tunggu sampai aku sudah menanyakan dia terlebih jauh!”
Mendengar begitu, rapat menjadi sunyi pula.
“Oey Yok Su telah tunangkan gadisnya kepada kau,
benarkah?” Yo Kang menanya pula. Ia telah memikir matang runtun pertanyaannya
itu.
Kwee Ceng anggap itu benar, ia mengangguk pula.
Yo Kang meraba pinggang orang, dari situ ia menarik
keluar pisau belati yang tajam sekali.
“Inilah pisau yang dikasihkan kepadamu oleh Khu Cie Kee,
salah seorang dari Coan Cin Pay, dan imam tua she Khu itu mengukir namamu di
sini, benar?” Yo Kang tanya.
Kwee Ceng mengangguk.
“Ma Giok dan Coan Cin Cit Cu telah mengajari kau ilmu
silat dan Ong Cie It, salah satu anggota lain dari Coan Cin Pay itu pernah
menolongi jiwamu! Bukankah kau tidak dapat menyangkal itu?”
“Perlu apa aku menyangkal?” pikir si anak pemuda yang
polos itu. Dan ia mengangguk.
“Pangcu Ang Cit Kong menganggap kamu berdua orang
baik-baik dan dia pernah mengajari ilmu silatnya yang istimewa kepada kamu,
benar tidak?”
Kwee Ceng mengangguk.
“Ang Cit Kong telah dibokong musuhnya hingga dia terluka
parah. Kamu berdua berada di samping orang tua itu, benarkah?”
Untuk sekian kalinya, Kwee Ceng mengangguk.
Semua pengemis menyaksikan dan mendengari pemeriksaan
itu, selagi suaranya Yo Kang semakin bengis, Kwee Ceng terus mengangguk saja,
dari itu mereka menyangka Kwee Ceng itu mengakui kesalahannya, mereka tidak
memikir bahwa semua pertanyaan itu tidak ada hubungannya sama urusan Ang Cit
Kong. Yo Kang tengah memainkan peranannya yang teratur. Mendengar itu, Lou Yoe
Kiak pun kena terpengaruhi hingga ia menjadi sangat membenci Kwee Ceng dan Oey
Yong itu. Ia bertindak mendekati dan menendang Kwee Ceng beberapa kali.
Yo Kang tidak mencegah, ia berkata pula:
“Saudara-saudara! Nyata dua bangsat ini berlaku terus terang, maka itu baiklah
mereka dibebaskan dari siksaan terlebih jauh. Pheng Tiangloo, Nio Tiangloo,
silahkan kamu turun tangan!”
Mendengar begitu, Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi
sambil tersenyum sedih, hanya kemudian Oey Yong mendadak tertawa. Sebab ia
ingat: “Aku yang mati bersama-sama engko Ceng, bukannya putri Gochin Baki itu!”
Kwee Ceng lantas memandang ke langit, ia ingat ibunya
yang berada jauh di gurun pasir. Ia mengawasi ke langit di mana tampak
bintang-bintang bersinar. Maka ingatlah ia akan pertempuran hebat di antara
Coan Cin Cit Cu dan Bwee Tiauw Hong dan Oey Yok Su. Siapa bakal mati,
pikirannya menjadi jernih, demikian Kwee Ceng, ia menjadi ingat jelas barisan
Thian Kong Pak Tuaw Tin dari Coan Cin Cit Cu itu.
Sedang begitu, kedua tiangloo sudah siap untuk bekerja,
Kwee Ceng pun telah dihampirkan.
“Tunggu dulu!” mendadak terdengar cegahannya Lou Yoe
Kiak. Ia lantas mendekati Kwee Ceng, dari mulut siapa ia keluarkan biji yang
menyumpal mulut anak muda itu. Ia lantas menanya: “Bagaimana caranya pangcu
kami telah orang bikin celaka, kau tururkanlah biar jelas!”
“Tak usah tanya, aku tahu semua!” berkata Yo Kang yang
terkejut untuk perbuatan Tiangloo itu.
“Pangcu,” berkata Yoe Kiak, “Lebih jelas kita menanya dia
lebih baik. Di dalam hal yang mengenai pangcu kita itu, siapa pun tidak dapat
dilepaskan!”
Yo Kang berdiam. Permintaan Yoe Kiak ini pantas, tidak
dapat ia melarangnya.
Kwee Ceng telah dibebaskan dari sumbatannya, ia masih
tidak mau bicara, ia terus mengawasi langit di utara itu. Ia menjublak, hingga
beberapa kali Yoe Kiak mengulangi pertanyaannya, ia seperti tiadak
mendengarnya. Karena sekarang ia lagi memahamkan keletakan bintang-bintang itu,
tujuh bintang Pak-tauw, yang tepat sama barisannya rahasianya Coan Cin Cit Cu.
Ia tengah memperoleh kemajuan, maka ia tidak memperdulikan si tiangloo.
Oey Yong dan Yo Kang melihat orang tidak hendak menggunai
ketika yang baik itu untuk membela diri, yang satu berduka, yang lainnya
bergirang. Tapi Yo kang tidak sudi menyia-nyiakan ketikanya lagi, maka itu, ia
mengibasi tangannya, memberi tanda kepada kedua tiangloo Pheng dan Nio untuk
tidak menunda pula dijalankannya hukuman mati itu.
Tepat ketika kedua tiangloo itu hendak mengayunkan
senjatanya masing-masing, di situ terdengar satu suara yang diberikuti
berkelebatnya sinar merah tua melintas di permukaan telaga. Kedua tiangloo itu
heran, mereka mengawasi. Lalu terlihat pula dua sinar biru meluncur ke udara,
berpisah dari Kun San jauhnya beberapa lie. Terang sinar itu muncul dari tengah
telaga.
Kan Tiangloo lantas berkata: “Pangcu, ada tetamu agung!”
Yo Kang terperanjat. “Siapakah?” tanya dia.
“Pangcu dari Tiat Ciang Pang!” sahut Kan Tiangloo.
“Tiat
Ciang Pang?” Yo Kang menegasi. Ia tidak tahu halnya
partai Tangan Besi itu.
“Itulah sebuah partai besar di sekitar Su-coan dan
Ouwlam,” Kan Tiangloo menerangkan, “Pangcu mereka telah datang, dia harus
disambut dengan hormat. Maka dua jahanam ini, baik sebentar kita menghukumnya.”
“Baiklah,” sahut Yo Kang. “Silahkan tiangloo menyambut tetamu
terhormat itu.”
Kan
Tiangloo lantas memberikan titahnya. Maka di atas sebuah gunung Kun San
terlihat meluncurnya tiga buah panah api, yang warnanya merah.
Tidak
lama dari itu terlihatlah datangnya perahu, yang terus mendekati tepian. Pihak
Kay Pang memasang obor, mereka menyambut.
Panggung
Hian Wan Tay ada di atas puncak Kun San, dari kaki gunung ke puncak,
perjalanannya cukup jauh, maka itu meski tetamu lihay ilmunya ringan tubuh,
masih diperlukan waktu untuk mendakinya.
Kwee Ceng dan Oey Yong
telah dibawa ke dalam rombongan orang banyak, mereka dijagai murid-murid Pheng Tiangloo.
Oey Yong mengawasi Kwee Ceng, ia
heran sekali. Pemuda itu, seperti orang tolol, masih berdiam saja, dari
mulutnya terdengar suara sangat perlahan, entah apa yang dikatakannya.
Tengah nona ini heran, ia melihatnya tetamu telah tiba.
Obor ada sangat terang, maka terlihatlah tegas-tegas tetamu itu, yang diiringi
beberapa puluh orang dengan pakaian hitam. Dia mengenakan baju kuning yang
pendek, tangannya membawa kipas.
Siapakah dia kalau bukannya Khiu Cian Jin?
Kan Tiangloo maju menyambut, ia bicara dengan ramah
tamah, sikapnya sangat menghormati. Setelah itu ia memperkenalkannya kepada Yo
Kang. Ia kata: “Inilah Tiat Ciang Sui-siang-piauw Khiu Pangcu, yang kepalan
saktinya tak ada tandingan, yang namanya menggetarkan dunia.”
Yo Kang tidak memandang mata kepada tetamunya ini. Selama
di Kwie-in-chung, Thay Ouw, ia telah menyaksikan orang turun merek. Ia tidak
menyangka orang adalah pangcu dari suatu partai besar. Tapi karena orang telah
datang berkunjung dan ia tuan rumah, ia berpura-pura pilon.
“Sungguh aku girang dengan pertemuan kita ini!” katanya,
tertawa. Dengan mengulur tangannya untuk berjabatan tangan. Ia lantas
mengerahkan tenaganya berniat membikin orang kesakitan dan menjerit karenanya.
Di dalam hatinya ia kata: “Semua orang percaya kau lihay tetapi di sini hendak
aku merobohkanmu! Inilah ketika yang baik sekali! Tua bangka, hendak aku
meminjam kau untuk aku memamerkan kepandaianku di antara semua pengemis ini!”
Begitu lekas Yo Kang menggunai tenaganya, begitu lekas ia
merasa telapakan tangannya panas, seperti terkena bara, maka lekas-lekas ia
menarik pulang tangannya, akan tetapi tangannya itu seperti kena kecantol, tak
dapat dilepaskan, sedang hawa panasnya jadi semakin hebat. Tanpa merasa ia
menjerit: “Aduh! Mati aku!” Mukanya lantas menjadi pucat, air matanya mengucur,
saking sakitnya, pinggangnya menjadi lengkung, hampir dia pingsan.
Keempat tiangloo kaget, semua berlompat maju. Kan
Tiangloo sebagai tertua di antaranya, dengan tongkat baja di tangannya
menggetok batu gunung, hingga terdengar suara nyaring dan lelatu apinya
muncrat, lalu ia menanya: “Khiu Pangcu, Yo Pangcu kami masih sangat muda
sekali, mengapa kau menguji kepandaiannya?”
Pangcu she Khiu ini menyahuti dengan dingin: “Aku
berjabat tangan dengan baik-baik dengannya, adalah pangcu kamu yang telah
mencoba aku. Yo Pangcu telah berminat meremas hancur beberapa tulangku yang
tua!”
Sambil mulut mengatakan demikian, Khiu Pangcu tidak
melepaskan tangannya, maka itu Yo Kang terus berteriak teraduh-aduh, suaranya
makin perlahan. Rupanya ia tidak dapat bertahan leboh lama pula, lantas dia
pingsan.
Baru sekarang Khiu Cian Jin melepaskan tangannya, dengan
disemperkan, maka Yo Kang yang sudah tak sadarkan diri, lantas terguling
tubuhnya. Syukur Lou Yoe Kiak keburu lompat untuk memegangi.
Kan Tiangloo menjadi gusar.
“Khiu Pangcu apakah artinya ini?” ia menegur.
“Hm!” ketua Tiat Ciang Pang itu mengasih dengar suaranya
sedang tangan kirinya menyambar kemuka orang.
Kan Tiangloo mengangkat tongkatnya, untuk menangkis atau
- dengan kesebatannya yang luar biasa - Khiu Cian Jin telah dapat menangkap
tongkat orang, hanya belum sempat ia merampasnya, Kan Tiangloo sudah menarik
keras sekali. Karena itu ia lantas mengayunkan tangan kanannya ke kiri, tepat
mengenai tongkat itu. Kali ini Kan Tiangloo merasakan tangannya sakit, bahkan
telapakan tangannya itu pecah dan mengucurkan darah, hingga dia tidak dapat
memegang lebih lama pula dan senjatanya itu kena juga dirampas. Bahkan dengan
tongkatnya itu, tetamu ini lantas berhasil menangkis golok dan pedang Pheng Tiangloo
dan Nio Tiangloo, yang telah segera menyerang sebab mereka ini menyaksikan
rekan mereka sudah bertempur.
Khiu Pangcu lihay sekali hampir berbareng dengan itu, ia
juga menyikut mukanya Lou Yoe Kiak, hingga dia ini mesti mundur juga.
Semua pengemis menjadi kaget, semua lantas menghunus
senjata mereka, bersiap untuk menyerbu asal ada titah dari ketua mereka.
Khiu Cian Jin mencekal tongkat dengan tangan kiri dan
tangan kanannya, ia tertawa lebar dan panjang, sambil berbuat begitu ia
mengerahkan tenaganya, sembari berteriak ia hendak membikin patah tongkat itu,
tetapi ia tidak berhasil, karena tongkat itu terbuat dari baja pilihan, maka
itu sesudah terus ia mengerahkan tenaganya, ia cuma bisa menekuk melengkung
bundar beberapa lipat. Baru sekarang ia mengendorkan tenaganya, ia melemparkan
tongkat dengan tangan kirinya, hingga tongkat terlempat mengenai batu gunung,
keras suaranya, batu gunung itu pada meletik lelatunya, ujungnya tongkat
nancap.
Menyaksikan semua itu, kaum Kay Pang jagi kaget dan
kagum.
Yang
lebih kaget dan heran adalah Oey
Yong. Nona ini kata dalam hatinya:
“Tua bangka ini terang satu penipu besar yang tidak mempunyai guna, sekarang
kenapa dia menjadi begini lihay? Sungguh aneh!”
Rembulan
sedang bersinar terang sekali. Oey
Yong memandang tajam kepada orang
tua itu. Tidak salah, dialah Khiu Cian Jin si penipu
yang dula kali ia ketemukan di Kwie-in-chung dan Gu-kee-cun. Maka ia jadi mau
berpikir, apakah juga penipuan belaka ilmu kepandaiannya orang ini?
Kemudian
si nona menoleh pula kepada Kwee Ceng,
ia mendapat kenyataan pemuda itu
masih saja mengawasi bintang-bintang di langit, hingga ia menjadi bingung. Ia
tidak tahu, apa yang sebenarnya lagi dikerjakan kawannya itu.
Khiu Cian Jin dengan suaranya yang
dingin, terdengar berkata: “Tiat Ciang Pang serta partai tuan-tuan tidak ada
hubungannya satu dengan lain, karena aku mendengar hari ini ada harian Rapat Besar
kamu, aku sengaja datang berkunjung, karena itu kenapakah pangcu kamu dengan
tidak karu-karuan hendak merobohkan aku?”
Kan
Tiangloo telah menjadi jeri, sekarang
mendengar suara orang bukannya suara bermusuh, maka ia lantas memberikan
penyahutannya. Ia kata: “Khiu
Pangcu salah paham! Pangcu kesohor
di empat penjuru negeri, kami biasa sangat menhargainya, maka dengan kunjungan
pangcu ini, bagi kami itulah suatu kehormatan besar.”
Khiu Cian Jin mengangkat
kepalanya, ia tidak menyahuti, sikapnya jumawa. Hanya sejenak kemudian, baru ia
membuka pula mulutnya. Ia kata: “Aku mendengar kabar Ang Pangcu
telah berpulang ke dunia baka, maka dengan begitu di kolong langit ini
berkurang pula satu orang gagah, sungguh sayang! Sekarang partai kamu mengangkat satu pangcu yang baru seperti ini, ini pun
sayang, sayang!”
Ketika itu Yo Kang sudah mendusin, ia mendengar suara
yang sangat menghina itu, akan tetapi ia tidak berani membuka mulutnya. Ia
masih merasakan tangannya sakit, tangan itu bengkak berikut lima jejirinya.
Keempat tiangloo juga tidak tahu meski mengucap apa, maka
terdengarlah Khiu Cian Jin berkata pula: “Aku yang rendah hari ini datang
berkunjung, ada dua maksudku untuk mana aku ingin memohon sesuatu. Untuk itu
aku pun hendak menghadiahkan apa-apa.”
“Tolong Khiu Pangcu memberi petunjuk,” kata Kan Tiangloo
yang belum tahu orang menghendaki apa.
Khiu Cian Jin tidak langsung menjawab, ia hanya menyapu
dengan matanya kepada semua hadirin di seputarnya itu. Ketika ia telah melihat
Kwee Ceng dan Oey Yong, lantas sinar matanya menjadi tajam sekali.
Oey Yong tidak takut, ia membalas mengawasi dengan tajam
juga. Bahkan ia mengasih lihat senyuman memandang enteng. Ia telah pikir: “Buat
kau beraksi bagaimana juga, aku tentu menganggapmu satu penipu besar!”
Khiu Cian Jin berpaling kepada Kan Tiangloo.
“Nona kecil itu serta kawannya si bocah telah mencelakai
beberapa muridku,” katanya. “Maka itu dengan membesarkan nyali aku hendak minta
mereka untuk aku menghukumnya.”
Kan Tiangloo tidak berani mengambil keputusan.
“Yo Pangcu, bagaimana?” ia menanya ketuanya itu.
“Dua orang ini sebenarnya ada musuh-musuh besar partai
kami,” berkata Yo Kang, “Maka aku tidak menyangka, mereka juga telah berdosa
terhadap Khiu Pangcu. Kalau begitu mari kita menghukumnya bersama-sama!”
Khiu Cian Jin mengangguk.
“Itu boleh!” katanya. “Sekarang permintaan yang keduanya.
Kemarin ini ada beberapa muridku yang lagi bekerja atas titahku, entah kenapa
mereka itu menyebabkan kemurkaannya dua anggota dari partai kamu, mata mereka
telah dibikin buta!” Dia lantas menuding Kwee Ceng berdua dan menambahkan:
“Kabarnya kedua bangsat itu telah membantui menurunkan tangan. Orang-orangku
itu tidak punya guna, aku tidak bisa membilang suatu apa, hanya kalau kejadian
ini sampai teruwar, tentulah kami Tiat Ciang Pang menjadi hilang mukanya, maka
itu, aku si orang tua menjadi tidak kenal gelagat, aku ingin sekali belajar
kenal dengan kepandaiannya kedua sahabat itu!”
Yo Kang tidak mencintai orang-orang Kay Pang, tidak ada
niatnya untuk melindungi mereka, maka itu mana ia mau berbuat salah lagi hanya
untuk dua orang? Maka ia lantas menanya: “Siapakah sudah lancang menerbitkan
onar, yang telah bentrok dengan sahabat-sahabat dari Tiat Pangcu? Lekas kamu
keluar untuk memohon maaf dari Khiu Pangcu ini!”
Kay Pang itu semenjak dipimpin Ang Cit Kong belum pernah
hilang muka, maka itu bukan main mendongkolnya semua anggotanya mendengar ini
pangcu baru bersikap demikian lemah. Lee Seng dan Ie Tiauw Hin
lantas maju ke depan. Lee
Seng kata dengan nyaring: “Harap
dimaklumi pangcu. Peraturan partai kami yang nomor empat berbunyi menganjurkan
kami berlaku mulia, kami mesti bisa menolong sesamanya yang berkesusahan.
Kemarin ini kebetulan saja kami menyaksikan sahabat-sahabat dari Tiat Ciang
Pang membikin celaka rakyat jelata dengan mereka mengumbar ular mereka, sebab
kami tidak dapat menahan sabar lagi, kami lantas mencegah perbuatan mereka itu.
Kebetulan di situ ada ini dua sahabat kecil, jikalau tidak ada mereka yang
membantu, pastilah kami berdua pun terbinasa oleh ular-ular berbisa itu!”
“Tidak
peduli bagaimana, kamu mesti menghanturkan maaf kepada Khiu Pangcu!”
berkata Yo Kang bengis.
Lee Seng dan Ie Tiauw Hin
saling mengawasi. Mereka menghadapi kesukaran, hati mereka panas sekali. Kalau
mereka tidak menghanturkan maaf, mereka menentang titah pangcu; kalau mereka
menurut, mereka sangat penasaran. Tapi tak lama Lee Seng bersangsi, ia lantas
berseru kepada semua anggota partainya: “Saudara-saudara, jikalau Ang Pangcu
masih hidup, tidak nanti kami dibiarkan hilang muka, maka itu sekarang,
Siauwtee sekarang lebih suka terbinasa, tidak nanti Siauwtee menerima
penghinaan!”
Sembari
berkata begitu, Lee
Seng mencabut pisau belati dari betisnya,
dengan itu ia lantas menikam dadanya, ulu hatinya, maka di situ juga ia roboh
dengan jiwanya melayang.
Menampak
demikian, Ie Tiauw Hin menubruk saudaranya itu, untuk merampas pisau belatinya,
dengan apa ia pun menikam dirinya, maka ia juga roboh dengan jiwanya melayang.
Semua
pengemis terbangun semangatnya. Kejadian ini sangat hebat untuk mereka. Tapi mereka masih berdiam, tanpa ada titah pangcu, mereka tidak berani
lancang.
Setelah menyaksikan semua itu, Khiu Cian Jin tertawa
tawar.
“Permintaanku yang kedua ini sudah beres,” katanya. “Maka
sekarang kami hendak menghanturkan bingkisan kepada partai tuan-tuan!” Habis
berkata, ia memberi tanda dengan tangan kirinya. Maka beberapa puluh orang
bertubuh besar yang mengenakan pakaian hitam lantas maju bersama kopor mereka
yang besar, yang lantas dibuka tutupnya, dari situ mereka mengambil
masing-masing sebuah tetampan untuk diletaki di samping Yo Kang. Itulah uang
emas dan perak dan permata yang sinarnya berkeredepan!
Semua pengemis heran melihat orang mengeluarkan harta
sebesar itu.
“Tiat Ciang Pang kami,” berkata Khiu Cian Jin, “Meski
kami masih dapat makan, tidak nanti kami sanggup mengeluarkan bingkisan begini
berharga, maka itu baiklah tuan-tuan ketahui, ini adalah hadiah dari Chao Wang
dari negera Kim, yang meminta kami tolong menyampaikannya.”
Mendengar
keterangan ini, Yo Kang heran dan girang.
“Di mana adanya Chao Wang?” ia menanya lekas. “Aku ingin
bertemu dengannya!”
“Inilah kejadian pada beberapa bulan yang lalu,” menyahut
Khiu Cian Jin, menyahuti apa yang tidak ditanya. Karena ia memberikan
keterangannya. “Itu waktu Chao Wang telah mengirimkan utusannya kepadaku
membawa bingkisannya ini dan dia minta partaiku yang tolong menyampaikannya.”
Mendengar itu, Yo Kang tahu bahwa hal itu terjadi sebelum
ayahnya - ilaga Chao Wang - berangkat ke Selatan. Hanya ia belum tahu maksudnya
mengapa Kay Pang dikirimkan harta sebesar ini.
Khiu Cian Jin masih meneruskan keterangannya: “Chao Wang
mengagumi partai tuan-tuan, maka itu ia memerintahkan istimewa untuk aku
sendiri yang menyampaikan bingkisan ini.”
“Jikalau begitu kami membuat capai saja kepada pangcu!”
berkata Yo Kang girang.
Khiu Cian Jin tertawa.
“Yo Pangcu muda tetapi nyata kau luas pandangannya, kamu
menang jauh daripada Ang Pangcu!” ia memuji.
Yo Kang masih belum tahu maksud ayahnya berhubungan sama
Kay Pang, maka ia menanya pula: “Entah ada titah apakah dari Chao Wang untuk
perkumpulan kami? Tolong pangcu menitahkannya saja!”
“Menitahkan, itulah tak dapat disebutkan,” berkata Khiu
Cian Jin. “Hanya Chao Wang memesan untuk memberitahukan bahwa wilayah utara ini
tanahnya miskin dan rakyatnya melarat, jadi sukar untuk…..”
Yo Kang cerdas, segera ia dapat menduga.
“Jadinya Chao Wang menghendaki kami pergi ke Selatan?”
katanya.
“Sungguh Yo Pangcu cerdas sekali!” berkata Khiu Cian Jin,
memuji. “Maaf untuk sikapku tadi. Chao Wang membilang bahwa propinsi-propinsi
Kwietang dan Kwiesay serta Hokkien, tanahnya subur, rakyatnya makmur, maka itu
ia bertanya kenapa saudara-saudara dari Kay Pang tidak mau pergi ke Selatan
untuk menaruh kaki di sana? Wilayah Selatan jauh lebih menang daripada wilayah
Utara ini.”
“Terima kasih untuk petunjuk Chao Wang serta pangcu
sendiri,” berkata Yo Kang tertawa. “Percayalah, aku yang rendah pasti bakal
menurutinya.”
Khiu Cian Jin heran orang dengan gampang saja menerima
hadiah itu, tetapi karena ia khawatir Kay Pang nanti menyesal, ia lantas
berkata: “Kata-katanya seorang laki-laki cukup dengan sepatah kata! Dengan
semua saudara dari Kay Pang berangkat ke Selatan, bukankah itu berarti bahwa
kamu tidak bakal kembali ke Utara ini?”
Yo Kang hendak memberikan jawabannya ketika Lou Yoe Kiak
memotong: “Harap pangcu mengetahuinya! Kami semua hidup dari mengemis, maka
itu, apa perlunya kami dengan uang emas dan barang permata? Laginya partai kita
berada di seluruh negeri, kami merdeka, maka kapannya kami pernah dipengaruhi
lain orang? Oleh karena itu aku memohon pangcu memikirkan dengan seksama!”
Sekarang ini Yo Kang telah dapat menerka maksudnya Wanyen
Lieh. Di Kangpak ini, yaitu utara Sungai Besar, Kay Pang menjadi musuh bangsa
Kim, sering terjadi, kalau pihak Kim jauh ke utara, Kay Pang suka mengganggu
mengacau bagian belakang, baik dengan membunuh punggawa perangnya maupun dengan
membakar rangsum, maka kalau Kay Pang dipindah ke Selatan, jadi gampanglah
usaha bangsa Kim itu. Maka itu atas cegahannya Lou Yoe Kiak, ia berkata: “Ini
adalah maksud baik dari Khiu Pangcu, jikalau kita tidak menerima, itu tandanya
kita berlaku tidak hormat. Uang emas dan perak dan permata ini, aku sendiri
tidak membutuhkannya, maka itu Suwie Tiangloo, sebentar sebubarnya rapat,
silahkan kamu membagi-bagikannya kepada semua saudara!”
Tapi Yoe Kiak tidak memperdulikan perkataannya ini pangcu
baru. Ia berkata pula: “Ang Pangcu kami yang tua dikenal sebagai Pak Kay, maka
itu usaha kita di Utara ini mana dapat gampang-gampang ditinggalkan secara
begini? Laginya partai kita bercita-cita bersetia dan membela negera sedang
dengan bangsa Kim, kita adalah musuh turunan, dari itu tidak dapat bingkisannya
ini diterima! maka itu tidak dapat kita pindah ke Kanglam!”
Yo Kang menjadi tidak senang, air mukanya menunjuki itu.
Tapi belum lagi ia membuka mulutnya, Pheng Tiangloo sambil tertawa mendahului
padanya. Kata ini Tiangloo; “Lou Tiangloo, urusan besar dari partai kita
diputuskan oleh pangcu, bukan diputuskan kau seorang diri, bukankah?”
Yoe Kiak tetapi tetap sama sikapnya. Ia kata keras:
“Jikalau mesti melupakan kesetiaan dan kejujuran, biarnya mati, aku tidak suka
menurut!”
“Ketiga tiangloo Kan, Pheng dan Nio, bagaimana pikiran
kalian?” Yo Kang tanya ketiga tetua itu.
“Kami bersedia untuk titah pangcu!” menyahut ketiga
tiangloo itu serentak.
“Bagus!” berseru Yo Kang. “Mulai tanggal satu bulan
delapan, kita pergi menyeberangi Sungai Besar!”
Atas perkataan itu, sebagian besar orang Kay Pang menjadi
gaduh.
Di dalam Kay Pang ini, perbedaan di antara golongan
Pakaian Bersih dan Pakaian Kotor nyata sekali. Golongan Pakaian Bersih, meski
pakaian mereka banyak tambalannya, tetapi pakaian itu bersih seperti pakaian
orang kebanyakan dan cara hidupnya sama dengan khalayak ramai, tidak demikian
dengan golongan Pakaian Kotor yang teguh sama cita-citanya, sudah pakaiannya
butut dan dekil, mereka tidak menggunai uang untuk membeli barang, bahkan
mereka tidak duduk bersantap bersama-sama dengan lain orang, mereka tidak nanti
bertempur bersama orang yang tidak mengerti ilmu silat. Benar di antara empat
Tiangloo, tiga ada dari golongan Pakaian Bersih, walaupun demikian, jumlah
pengemis Pakaian Kotor terlebih banyak. Mereka inilah yang sekarang memberi suara
setuju kepada Lou Yoe Kiak.
Melihat sikapnya sebagaian pengemis itu, Yo Kang menajdi
bingung juga. Ketiga tiangloo she Kan, Pheng dan Nio lantas mengasih dengar
suara nyaring mereka, untuk meminta orang jangan gaduh, suaranya itu tidak
diambil mumat. Kan Tiangloo menjadi habis sabar, maka ia memandang Lou Yoe
Kiak.
“Lou Tiangloo, adakah kau hendak memberontak kepada
pangcu?” dia tanya bengis.
“Biarnya aku dihukum picis, tidak nanti aku berani
melawan yang tua!” menyahut Yoe Kiak keren. “Apapula untuk memberontak terhadap
pangcu, pasti aku lebih-lebih tak berani. Akan tetapi anjing Kim itu adalah
musuh besar dari Kerajaan Song kita! Apakah katanya Ang Pangcu kepada kita?”
Kan Tiangloo bertiga kena terdesak, mereka lantas tunudk.
Mereka mulai menyesal.
Khiu Cian Jin melihat suasana itu, maka ia pikir usahanya
bakal gagal kalau Lou Yoe Kiak tidak dipengaruhi, maka itu dengan tertawa
dingin, ia berkata kepada Yo Kang: “Yo Pangcu, hebat Lou Tiangloo ini!” Lalu
menyusuli penutup perkataannya itu, dengan kedua tangannya diulur ke arah
pundak si tiangloo.
Ketika mendengar orang tertawa dingin, Lou Yoe Kiak sudah
bercuriga, ia telah siap sedia, maka itu, ketika ia diserang, dengan cepat ia
berkelit sambil menunduk untuk nelusup masuk ke selangkangan orang. Sebab ia mengerti
dengan baik, tidak bisa ia melawan dengan kekerasan. Sembari nelusup itu, tanpa
menanti lempangnya pinggangnya, kakinya sudah menendang ke kempolan pangcu dari
Tiat Ciang Pang. Dia bernama Lou Yoe Kiak, Lou si Mempunyai Kaki, dari itu bisa
dimengerti ilmu dupakan itu.
Khiu Cian Jin heran untuk caranya orang berkelit itu,
Guna melindungi diri, ia lantas mengayun tangannya ke belakang, guna menghajar
kakinya si pengemis.
Yoe Kiak tahu tangan lawan itu hebat, ia menarik pulang
dupakannya ketiga. Ia khawatir kakinya nanti terluka. Sambil lompat ke samping,
ia meludah kepada lawannya itu!
Khiu Cian Jin boleh gagah dan luas pengalamannya, akan
tetapi serangan semacam itu ia tidak menyangka sama sekali, maka itu, belum
sempat ia berkelit, mukanya sudah kena diludahi. Ludah itu tidak mendatangkan
rasa sakit atau gatal, toh itu membuatnya tercengang.
“Lou Tiangloo, jangan kurang ajar kepada tetamu agung!”
Yo Kang membentak.
Yoe Kiak masih taat kepada ketuanya, tetapi justru ia
hendak merubah sikapnya, Khiu Cian Jin yang gusar sudah lantas menyerang
padanya, kedua tangannya yang kuat seperti kepit sudah menyambar ke arah
tenggorakan. Ia kaget, maka ia berlompat jumpalitan untuk menghindarkan diri
dari bahaya. Tapi ia terlambat, selagi kupingnya mendengar ejekan, “Hm!” kedua
tangannya kena disambar lawan itu. Dalam kagetnya ia berontak, tetapi sia-sia
saja. Ia sudah banyak pengalamannya, ia tidak menjadi bingung atau ketakutan,
maka ia berdaya pula. Dengan tiba-tiba ia menyeruduk dengan kepalanya!
Semenjak masih kecil, Yoe Kiak sudah melatih kepalanya
itu, maka itu, serudukannya dapat menggempur tembok hingga bolong. Pernah ia
bertaruh sama saudara-saudara separtai dengan ia melawan banteng, mengadu
kepala, kepalanya sendiri tidak kurang suatu apa, si kerbau sendiri roboh
kelenger. Hanya kali ini, ketika kepalanya mengenai perut, ia merasa membentur
benda lunak seperti kapas. Ia kaget, ia mengerti bahaya, dengan lekas ia
menarik pulang kepalanya itu. Untuk kagetnya lagi, perut orang itu mengikuti
kepalanya itu. Ia lantas mengerahkan tenaganya, untuk membebaskan kepalanya
itu. Sebagai kesudahan dari pergulatannya itu, ia merasa kepalanya mulai panas
sedang kedua tangannya yang terus dicekal menjadi panas sekali, seperti tangan
itu dimasuki ke dalam perapian marong….
“Kau takluk atau tidak?!” tanya Khiu Cian Jin membentak.
“Bangsat busuk, takluk apa!” menjawab Yoe Kiak membentak
juga.
Khiu Cian Jin mengerahkan tangan kirinya, maka lima jari
Lou Tiangloo mengasih dengar suara meretak, kelima jarinya kena dipencet patah.
“Kau takluk atau tidak?!” tanya pula ketua Tiat Ciang
Pang itu.
“Bangsat
busuk, takluk apa!” Yoe
Kiak membandel.
Khiu Cian Jin memencat pula, maka
sekarang kelima jari kiri dari Lou
Yoe Kiak
yang pada patah. Ia merasakan sakit bukan main, ia sampai menjadi was-was,
tetapi ia bernyali besar dan besar kepala, ia terus masih mencaci.
“Jikalau
aku menggeraki perutku, kepalamu pun bakal remuk!” Khiu Cian
in mengancam. “Aku maun lihat, kau masih dapat mencaci atau tidak…..”
Disaat Lou Yoe Kiak menghadapi waktu kematiannya itu, dari
antara rombongan pengemis mendadak terlihat seorang berlompat maju - seorang
yang tubuhnya tinggi dan dadanya lebar. Dialah si bocah Kwee Ceng!
Dengan
tindakan lebar, Kwee Ceng ini segera menghampirkan Lou Yoe Kiak, terus ia
mengangkat tangannya yang kanan, dengan itu tiga kali beruntun ia menghajar
kempolan si pengemis. Dia menghajar Yoe Kiak akan tetapi tenaganya itu
tersalur, dari kempolan terus ke kepala, terus juga ke perutnya ketua Tiat
Ciang pang itu, hingga tiga kali Khiu Cian Jin merasakan benturan yang kuat,
hingga sekejap itu juga, buyarlah kekuatannya menempel dan menyedot.
Begitu
lekas ia merasakan kepalanya merdeka, Yoe Kiak lantas mengangkat bangun
tubuhnya, hanya kedua tangannya, yang masih belum dilepaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar