Bab 69
“Suhu,” kata Oey Yong
kemudian. “Di dalam pertemuan di Yan
Ie Lauw itu, pihak sana
pasti bakal mengundang Auwyang
Hong, benar Loo Boan Tong tidak
bakal kalah tetapi dia berandalan, dia suka mengacau, aku khawatir nanti timbul
keonaran, maka itu aku pikir perlu kita pergi ke Tho Hoa To untuk mengundang
ayahku. Dengan begitu barulah kita akan merasa pasti akan kemenangan kita!”
“Kau benar,” berkata Cit Kong.
“Biar aku yang pergi dulu ke Kee-hin dan kamu berdua pergi ke Tho Hoa To.”
“Baiklah kita pergi bersama dulu ke Kee-bin,”
kata Kwee Ceng. Ia berkhawatir untuk gurunya itu.
“Tidak usah, biar aku pergi sendiri,” kata
guru itu. “Aku akan menunggang kudamu.
Umpama kata ada orang jahat, aku dapat
mengaburkannya. Siapa dapat menyusul aku?” Ia lantas lompat naik ke punggung
kuda, di mana ia menenggak araknya. Ketika ia menjepit kedua kakinya, kuda itu
berpekik menghadapi Kwee
Ceng, terus dia kabur ke arah
utara.
Pemuda itu mengawasi gurunya sampai guru itu
lenyap dari pandangan matanya, lantas dia mengingat sikap Kwa Tin Ok, gurunya
yang ke satu itu dari pihak Kanglam Cit
Koay, ia menjadi
sangat berduka.
Oey Yong tahu orang bersusah
hati, ia tidak membujuki, hanya ia terus menyewa perahu, untuk mengajak orang
menaikinya, guna berangkat ke Tho Hoa To. Di
dalam perjalanan ini, mereka tidak mengalami sesuatu, maka mereka tiba dengan
tidak kurang suatu apa di pulau yang dituju. Setelah mendarat dan membayar
sewaan perahu, hingga si tukang perahu
lantas pergi, baru ia kata kepada kawannya; “Engko Ceng
aku hendak memohon sesuatu kepadamu, kau suka meluluskan atau tidak?”
“Kau sebutkan dulu, aku mendengarnya,”
menyahut si anak muda, “Jangan nanti soal yang aku tidak dapat melakukannya.”
Oey Yong tertawa.
“Aku bukannya minta kau memotong kepalanya ke
enam gurumu itu!” katanya.
Pemuda itu tidak puas.
“Perlu apa kau menimbulkan urusan itu,
Yong-jie!” ia tanya.
“Kenapa aku tidak menimbulkannya?” si nona
balik menanya. “Mungkin kau dapat melupakan itu, aku tidak! Biarnya aku baik
dengan kau tetapi aku tidak suka kepalaku dipotong olehmu ……”
Anak muda itu menarik napas panjang.
“Sungguh aku tidak mengerti kenapa toasuhu
demikian gusar ……” katanya.
“Toasuhu ketahui baik sekali kaulah orang
yang aku cintai. Biar aku mesti mati seribu atau selaksa kali, tidak nanti aku
sudi melukai kau biar bagaimana kecil juga.”
Oey Yong bersyukur. Ia menarik tangan si anak muda, ia menyenderkan tubuhnya ke tubuhnya.
“Engko Ceng,
apakah kau anggap Tho Hoa To ini bagus?” ia tanya.
Ia menunjuk ke barisan pohon yangliu di tepi air. Perlahan suaranya.
“Mirip tempat dewa-dewi,” Kwee Ceng
menyabut.
Si nona menarik napas.
“Ingin aku tinggal hidup di sini, tidak sudi
aku di bunuh kau ……” bilangnya.
Kwee Ceng mengusap-usap rambut
nona itu.
“Anak tolol! Mana dapat aku membunuh kau ……”
“Bagaimana kalau kau didesak enam gurumu,
ibumu dan sekalian sahabatmu? Kau turun tangan juga atau tidak?”
“Biar semua orang di seluruh jagat memusuhkan
kau, aku tetap akan melindungimu!” berkata si anak muda.
Oey Yong memegang keras
tangan orang.
“Untukku, kau suka mengorbankan segala apa
bukan?” ia tanya.
Kwee Ceng berdiam, agaknya ia
bersangsi.
Oey Yong mengangkat
kepalanya, ia mengawasi mata orang. Sinar mata itu menunjuki roman kedukaan
atau ragu.
“Yong-jie,” kata si anak muda kemudian. “Aku
telah bilang padamu aku suka berdiam di Tho Hoa To untuk menemani kau seumur
hidupku, ketika aku mengatakan itu, aku telah mengambil keputusanku.”
“Bagus!” si nona berseru. “Mulai hari ini,
kau tidak akan meninggalkan pulau ini!”
Kwee Ceng heran.
“Mulai hari ini?” dia tanya.
“Ya, mulai hari ini!” berkata si nona. “Aku
akan minta ayah pergi ke Yan Ie Lauw untuk membantu pihakmu, aku bersama ayah
nanti pergi membunuh Wanyen
Lieh guna membalaskan sakit
hatimu, habis itu aku bersama ayahku nanti pergi ke Mongolia menyambut ibumu! Bahkan,
akan aku minta ayah menemui keenam gurumu guna memohon maaf untukmu. Aku hendak
membikin supaya hatimu lega dan tidak ada apa-apa lagi yang harus dipikirkan!”
Kwee Ceng heran. Aneh sekali
sikapnya nona ini.
“Yong-jie, apa yang aku bilang, semua itu
kata-kataku,” ia bilang. “Kau baiklah bertetap hati.”
Si nona menghela napas.
“Urusan di dalam dunia ini banyak yang sukar
dibilang pasti,” ia berkata. “Ketika dulu hari kau menerima baik perjodohan
putri Mongolia
itu, mana kau pernah ingat bahwa hari ini kau bakal menyangkal dia. Juga aku
sendiri, aku pikir aku dapat melakukan segala apa sesukaku. Sekarang baru aku
tahu …… Ah, apa yang kita pikir baik, Thian justru pikir sebaliknya.”
Kedua matanya si nona menjadi merah,
lekas-lekas ia tunduk.
Kwee Ceng pun berdiam,
pikirnya bekerja. Ingin ia menemani Oey Yong
seumur hidup di pulau Tho Ho To ini, tetapi berat untuk meninggalkan semua
urusan di dalam dunia, itulah tidak sempurna. Hanya kenapa ia tidak dapat
menyebutnya.
“Aku bukannya tidak percaya kau dan hendak
memaksa kau berdiam di sini,” si nona berkata pula sesaat kemudian, perlahan,
“Hanya …… hanya …… Di dalam hatiku, aku sangat takut
……” Ia lantas mendekam di pundak anak muda itu, ia menangis.
Kwee Ceng bengong. Inilah ia
tidak sangka. Ia juga heran.
“Kau takut apa, Yong-jie?” ia tanya.
Si nona tidak menjawab, ia hanya menangis
terus.
Kwee Ceng menjadi semakin
heran. Semenjak mengenal si nona, biar bagaimana hehat pengalaman mereka, belum
pernah nona itu menangis, dia lebih banyak tertawa, tetapi sekarang,
sepulangnya ke pulaunya ini? Inilah kampung halamannya. Apakah yang dia buat
takut? Bukankah dia justru bakal segera bertemu sama ayahnya?
“Apakah kau mengkhawatirkan keselamatan
ayahmu?” ia tanya akhirnya.
Oey Yong menggoyangi kepala.
“Apakah kau takut, kalau aku meninggalkan Tho
Hoa To, lantas aku tidak kembali?”
Oey Yong menggeleng kepala
pula. Dan ini dilakukan terus meski si
anak muda menanya pula ia hingga empat atau lima kali.
Maka berdiamlah mereka sekian lama.
“Engko Ceng,”
kata si nona kemudian seraya mengangkat kepalanya mengawasi si anak muda. “Aku
takut tetapi tidak dapat aku mengatakan apa sebabnya …… Kalau aku ingat sikap
dan romannya gurumu tempo ia hendak membinasakan aku, aku jadi bingung sekali.
Aku menjadi khawatir, akan ada satu harinya yang kau nanti mendengar perintah
gurumu itu hingga kau membunuh aku …… Maka itu aku minta kau jangan meninggalkan
lagi pulau ini. Kau berjanjilah!”
Kwee Ceng tertawa.
“Aku kira urusan besar bagaimana, tak tahunya
urusan begini!” katanya. “Ingatkah kau kejadian dulu hari di Pakhia ketika
keenam guruku mengatai kau sebagai siluman?
Ketika itu aku ikut kau pergi, lalu akhirnya
tidak terjadi apa-apa. Memang roman keenam guruku itu bengis tetapi hati mereka
baik, maka kalau nanti kau sudah mengenal baik mereka, mereka tentulah akan
menyukaimu …… Jiesuhu lihay ilmunya merabai saku orang, nanti kau bola belajar
padanya. Tentang Citsuhu, ia sangat halus dan sabar ……”
Tapi si nona memotong: “Dengan begitu,
artinya kau mau meninggalkan pulau ini?”
“Kita meninggalkannya bersama-sama,” berkata
si anak muda. “Kita sama-sama pergi ke Mongolia untuk menyambut ibuku.
Kita bersama-sama membunuh Wanyen
Lieh. Lalu bersama-sama juga kita
pulang! Bukankah itu bagus?”
Si nona melongo.
“Kalau begitu, tidak dapat untuk selamanya
kita pulang bersama dan tidak dapat juga untuk selamanya berada bersama,”
katanya selang sesaat.
Kwee Ceng menjadi heran.
“Kenapa begitu?” ia tanya.
“Aku tidak tahu,” si nona menggeleng kepala.
“Jikalau aku melihat romannya toasuhumu, aku dapat menerka sesuatu. Untuk dia,
tidak cukup dia mengutungi saja kepalaku! Dia membenci aku sampai di dalam
tulang-tulangnya!”
Kwee Ceng melihat orang bicara
secara sungguh-sungguh, nona itu jadi sangat berduka. Ia jadi memikir. Tanpa
merasa, ia pun berkhawatir. Ia ingat pula sikap gurunya yang kesatu yang sangat
bengis itu.
“Dia biasa pandai berpikir,” katanya di dalam
hati, “Kalau sekarang aku tidak turuti dia dan kemudian kekhawatirannya
berbukti bagaimana nanti jadinya?” Ia jadi sangat berduka. Tapi ia pun dapat
mengambil putusannya. Maka ia kata: “Baiklah, aku tidak akan berlalu dari
sini!”
Mendengar itu, Oey Yong
bengong mengawasi pemuda itu, air matanya meleleh dari kedua belah pipinya.
“Yong-jie, kau menghendaki apa lagi?” tanya si pemuda perlahan.
“Aku menghendaki apa lagi?” menyahut si nona.
“Apa juga aku tidak menghendaki pula.” Lantas sepasang
alisnya yang bagus bergerak, lantas dia tertawa. Ia kata pula:
“Kalau aku menghendaki apa-apa lagi, Thian
juga tidak bakal meluluskannya!”
Saking gembiranya, lantas di situ dia
menari-nari, tangan bajunya yang panjang berseliweran, gelang emasnya
berkilauan. Kadang-kadang ia menyambar-nyambar pohon bunga dengan bunganya
berwarna merah, putih kuning dan ungu, hingga dia mirip seekor kupu-kupu
Tiba-tiba ia berlompat naik ke atas pohon, ke pohon yang lain, kembali lagi.
Dalam kegembiraannya itu ia bersilat dengan Yan Siang Hui dan Lok Eng
Ciang.
Menyaksikan si nona, Kwee Ceng
seperti ngelamun: “Dulu ibu mendongeng kepadaku bahwa di laut Tang Hay ada
sebuah gunung dewa, bahwa di atas gunung itu ada sejumlah dewinya. Mustahilkah
di dunia ada gunung dewi yang terlebih indah daripada pulau Tho Hoa To ini?
Mungkinlah benar ada dewi yang melebihkan cantiknya Yong-jie?” Ia sadar ketika
mendadak Oey
Yong berseru seraya terus lompat
turun, tangannya menggapai padanya seraya dia terns lari ke depan, nerobos di
antara rimba.
Kwee Ceng menyusul. Ia pun
khawatir nanti kesasar.
Oey Yong lari berliku-liku
sampai ia berbenti dengan mendadak.
“Apakah itu?” tanyanya seraya tangannya
menunjuk ke depan di mana ada benda bertumpuk.
Kwee Ceng mendahului maju.
Itulah seekor kuda yang lagi rebah. Bahkan ia lantas mengenali itulah kudanya
Han Po Kie, samsuhu atau gurunya yang nomor tiga. Ia mengulur tangannya
memegang perut kuda itu. Dingin rasanya. Terang sudah kuda itu telah mati lama.
Berbareng heran, Kwee
Ceng berduka. Kuda ini pernah
turut pergi ke gurun pasir dan dengannya Kwee Ceng
kenal sejak ia masih kecil.
“Boleh dibilang inilah kuda luar biasa dan
kuat, kenapa dia mati di sini?” si anak muda berpikir. “Tentu sekali samsuhu
sangat berduka ……”
Mengawasi lebih jauh, Kwee Ceng
dapat memperhatikan, kuda itu bukan mati rebah melonjor hanya keempat kakinya
tertekuk meringkuk. Ia terkejut. Ia lantas ingat kudanya Gochin Baki,
yang terbinasa dihajar Oey
Yok Su.
Kuda putri itu mati melingkar, mirip dengan kuda ini. Maka dengan tangan
kirinya ia mengangkat lehernya kuda itu dan dengan tangan kanannya meraba dua kaki
depannya. Untuk kagetnya, ia mendapatkan tulang-tulangnya kuda itu remuk. Ia
lantas meraba punggung kuda itu. Tulang punggung itu juga patah! Ketika ia
mengangkat tangannya, ia melihat tangannya itu berlepotan darah - darah yang
sudah berubah menjadi hitam tetapi bau amisnya masih ada.
Mungkin sudah tiga empat hari matinya kuda
itu.
Oleh karena penasaran, Kwee Ceng
membalik tubuh binatang itu, untuk memeriksa.
Ia tidak mendapatkan luka di luar. Saking
heran, ia duduk dengan menjatuhkan diri di tanah, hatinya bekerja: “Mungkinkah
ini darahnya samsuhu? Habis dimana adanya guruku itu?”
Sekian lama Oey Yong
berdiam di samping menyaksikan kelakuannya Kwee Ceng, ia
pun heran, tetapi ia dapat menenangkan diri. Maka kemudian ia kata; “Kau jangan
bergelisah. Mari kita memeriksanya
dengan perlahan-lahan ……”
Nona ini maju, ia mementang kedua tangannya
membiak pohon-pohon bunga, sembari jalan ia memperhatikan tanah. Kwee Ceng
mengikuti, ia juga mengawasi ke tanah, maka terlihat olehnya titik-titik yang
disebabkan berceceran darah. Saking ketarikdan tegang hatinya, ia sampai
melupai jalan yang sesat, ia mendahului si nona, dari jalan perlahan, ia
menjadi membuka tindakan lebar. Tidak heran kalau beberapa kali ia kesasar.
Oey Yong berlaku teliti, ia
berjalan hingga di gombolan rumput, di pinggir batu karang. Di situ tanda darah itu sebentar kedapatan sebentar
lenyap. Ia memeriksa dan melihat tapak serta bulu kuda.
Tanpa mengenal capai, mereka berjalan terus
hingga beberapa lie, sampai di depan sekumpulan pohon bunga dan pepohonan lain
di mana ada sebuah kuburan. Melihat itu Oey Yong
lari menghampirkan.
Ketika dia pertama kali datang ke Tho Hoa To,
Kwee Ceng pernah melihat kuburan itu, yang ia
masih mengenalinya. Itulah kuburan dari ibunya si nona. Hanya kali ini, kuburan
itu tidak utuh seperti dulu hari itu. Batu nisannya telah roboh. Ia maju untuk mengangkat
itu. Ia membaca tulisan batu peringatan itu. Ibunya Oey
Yong ada orang she Phang. Terang
tulisan itu ada tulisan Oey
Yok Su
- tulisannya bagus dan tegak.
Oey Yong melihat pintu
pekuburan telah terpentang lebar-lebar. Ia merasa pasti
bahwa di pulaunya ini sudah terjadi sesuatu. Tadi pun ketika dari atas pohon ia
melihat melingkarnya kuda, hatinya sudah bercekat. Ia tidak lantas bertindak
masuk. Lebih dulu ia memasang mata ke sekitar kuburan. Di
kiri kuburan, rumput hijaunya bekas diinjak-injak. Di
muka pintu terlihat bekas-bekas senjata beradu. Ia memasang kuping. Ia tidak mendengar
suara apa-apa. Maka dengan membungkuk, ia masuk di pintu.
Kwee Ceng berkhawatir, ia
mengikuti masuk.
Begitu berada di dalam, muda-mudi ini
merasakan hati mereka tegang. Lebih-lebih si pemuda. Bukankah itu kuburan
ibunya? Tembokan pada gugur atau gugus, bekas terhajar senjata tajam akibat
suatu pertempuran dahsyat.
Oey Yong memungut suatu
barang ketika ia mulai bertindak masuk. Kwee Ceng
mengenali itulah batang timbangan atau dacin, yang menjadi senjata gurunya
keenam, Coan Kim
boat. Timbangan itu terbuat dari besi, ukurannya sebesar lengan, tetapi toh orang
dapat mematahkannya menjadi dua. Maka berdua mereka saling mengawasi, mulut
mereka bungkam, mereka seperti tidak berani membuka mulut. Mereka tahu, cuma
ada beberapa gelintir orang yang tenaganya kuat istimewa dan untuk di Tho Hoa To,
orang itu melainkan Oey
Yok Su
……
Kwee Ceng menyambut dari
tangan Oey Yong potongan dacin itu, ia lantas mencari
potongan yang lainnya, sembari mencari ia merasakan hatinya tertindih berat
sckali. Ia bersangsi, ingin ia mencari dapat, ingin ia tidak
dapat mencarinya ……
Lebih jauh ke dalam, tempat kuburan itu
menjadi terlebih suram. Kwee Ceng lantas
membungkuk, tangannya meraba-raba ke tanah. Mendadak tangannya itu membentur sesuatu yang
keras, yang lantas ternyata adalah batu timbangan, batu mana dapat dipakai Kim Hoat
sebagai senjata rahasia untuk menimpuk. Hatinya berdebaran. Iamasuki gandulan
itu ke sakunya, ia maju lehih jauh.
Untuk terkesiapnya hatinya, Kwee Ceng
kena meraba benda yang dingin tetapi lunak. Ia meraba-raba. Akhirnya ia kaget hingga ia berlompat bangun, ia kena pegang muka orang. Justru ia lompat,
justru – duk ……! Kepalanya membentur langit kuburan itu. Tapi disaat seperti
itu, ia melupakan nyeri. Maka ia lantas mengeluarkan bahan apinya dan
menyalakan itu. Begitu dapat melihat, begitu ia menjerit, begitu ia roboh pingsan!
Api di tangannya pemuda itu tidak padam,
dengan cahanya api, Oey
Yong bisa melihat tegas.
Coan Kim Hoat rebah terlentang
sebagai mayat, kedua matanya terbuka besar. Didadanya nancap potongan yang lain
dari dacinnya itu. Maka sekarang duduknya haltelah menjadi terang.
Oey Yong kaget tetapi ia
mencoba menentramkan diri. Dari tangannya Kwee Ceng
ia mengambil api, dengan itu ia mengasapi hidungnya si anak muda. Itulah daya untuk menyadarkan
orang pingsan.
Tidak lama, anak muda itu berbangkis dua
kali, lantas ia mendusin. Ia membuka matanya mengawasi si pemudi. Kemudian ia
bangun, untuk berdiri. Tanpa membilang suatu apa, ia masuk
lebih jauh. Oey Yong mengikuti.
Di ruang dalam, yang
merupakan liang kubur asli, segala apa kacau. Meja sembahyang
pecah ujungnya. Pikulan besi dari Lam Hie Jin nancap di lantai. Di pinggir kiri kamar itu, rebah melintang tubuh satu
orang, ikat kepalanya robek, sepatunya copot.
Dengan melihat dari punggung saja sudah dapat
dikenali dialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong
si Mahasiswa
Tangan Lihay.
Dengan tindakan perlahan, Kwee Ceng
menghampirkan. Ia membalik tubuhnya jiesuhu itu, gurunya yang nomor dua. Ia
melihat bibir yang bersenyum, tapi yang sudah dingin, seperti dinginnya seluruh
tubuhnya. Maka anehlah senyumannya Kanglam Cit
Koay yang kedua ini.
“Jiesuhu, teecu Kwee Ceng
datang!” kata si anak muda perlahan. Setelah itu dengan berhati-hati, ia
mengangkat tubuhnya guru itu, atau - tingtang! Ia mendengar suara barang jatuh
saling susul. Itulah
jatuhnya dari sakunya banyak barang permata, seperti batu kumala, yang
berserakan di lantai.
Oey Yong menjumput beberapa
potong barang permata itu, untuk ditelitikan. Segera ia melemparkannya pula,
dengan dingin, ia berkata: “Ini permata mulia yang dikumpul ayahku yang
disengaja dipakai untuk menemani ibuku!”
Kwee Ceng terkejut. Ia menoleh
kepada kekasih itu. Ia menjadi lebih kaget pula. Di
samping suara dingin dan tak sedap dari nona itu, ia melihat sinar mata yang mencorong
tajam dan bengis, dari mata yang merah bagaikan darah.
“Apakah kau maksudkan guruku datang ke mari mencuri permata ini?” ia menanya perlahan.
Mata si pemudi menatapsi pemuda akan tetapi
dia ini tidak dapat mundur, dia bahkan mengawasi, hanya sekarang sinarnya berubah.
Itulah sinar mata dari putus asa, darikedukaan.
“Guruku yang kedua seorang laki-laki sejati,”
kata Kwee Ceng. “Mana mungkin dia mencuri harta ayahmu? Lebih-lebih tak mungkin dia mencuri barang
permata di dalam kuburan ibumu ini!”
Oey Yong mendengar nada
orang, dari gusar menjadi berduka.
Memang juga pikiran Kwee Ceng
berubah dengan perlahan-lahan. Ia menyangka si nona menuduh gurunya itu,
seorang ksatria, ia menjadi tidak senang, ia menjadi gusar.
Segera setelah itu, ia memikir kepada
kenyataan. Bukankah gurunya itu terkenal sebagai si tangan lihay, yang sangat
pandai mencopet? Bukankah semua permata itu meluruk dari sakunya guru itu? Bukankah mereka justru berada di dalam liang kubur di mana harta itu
disimpan? Tapi,
benarkah gurunya datang ke situ untuk mencuri?
Bukankah guru itu laki-laki sejati? Ia
menyangsikan gurunya berbuat demikian busuk dan hina. Maka ia menduga kepada
sesuatu yang diluar dugaannya. Dalam kesangsian itu, antara kegusaran dan
kedukaan dan keragu-raguan ia mengepal keras tangannya hingga terdengar suara
meretek.
Oey Yong masih mengawasi lalu
ia berkata dengan perlahan. “Ketika itu hari aku melihat air mukanya gurumu
yang nomor satu, aku merasa aneh sekali, aku lantas seperti dapat firasat bahwa
di antara kita berdua sulit ada akhir yang baik, yang membahagiakan. Jikalau
kau hendak membunuh aku, sekarang kau boleh turun tangan.
Ibuku ada di sini, maka kau tolong saja
mengubur aku di sisinya. Setelah selesai kau mengubur aku, kau mesti lekas
mengangkat kaki dari sini, supaya jangan sampai kau bertemu dengan ayahku ……”
Kwee Ceng tidak menyahuti, ia
jalan mondar-mandir, tindakannya lebar dan cepat, napasnya pun memburu.
Oey Yong berdiam. Ia
mengawasi ke gambar lukisan dari ibunya. Ia melihat
sesuatu di situ, ia lantas menghampirkan. Nyata itulah dua senjata rahasia yang nancap.
Ia menurunkan itu.
Kwee Ceng melihat senjata itu,
ia mengenali tok-leng, atau lengkak rahasia, dari Kwa Tin Ok.
Oey Yong terus berdiam,
tangannya menyingkap toh-wie di belakang meja sembahyang. Di
situ ada pernahnya peti mati dari ibunya. Ketika ia menghampirkan, mendadak ia menghela napas panjang. Di belakang peti mati
ibunya itu rebah dua mayat dari kakak beradik, atau engko dan adik. Han Po Kie
dan Han Siauw Eng. Siauw Eng itu terang telah membunuh diri, sebab tangannya
masih memegang gagang pedang. Tubuh
Po Kie
sendiri menindih peti mati. Hanya yang hebat, batok kepalanya telah
meninggalkan liang bekas lima jari.
Kwee Ceng telah melihat kedua
mayat itu. Ia sekarang bisa berlaku tenang. Ia memondong turun tubuh gurunya
yang ketiga itu, seorang diri ia berkata: “Aku melihat sendiri kematiannya Bwee Tiauw
Hong. Di
kolong langit ini, orang yang pandai Kiu Im Pek-kut Jiauw, siapa lagi kecuali Oey Yok
Su?” Ia mengambil pedangnya Siauw Eng,
terus ia bertindak keluar, ketika ia melewati Oey Yong, ia tidak berpaling lagi
pada nona itu.
Nona Oey merasa hatinya
dingin secara tiba-tiba. ia terdiam. Justru itu, ruang
itu menjadi gelap, sebab apinya padam. Ia kaget, hatinya berdebaran. Itulah kuburan
yang ia kenal baik, tetapi di situ sekarang rebah empat mayat dalam caranya
yang berlainan, yang mengerikan, maka ia lantas lari keluar. Satu kali ia
terpeleset, hampir ia roboh.
Setibanya di luar baru ia ingat bahwa ia
kesandung tubuhnya Coan
Kim Hoat.
Sekarang ia melihat batu nisan yang roboh. Ia hendak menutup pintu kuburan ketika ia ingat satu hal. Ia lantas kata pada
dirinya sendiri: “Kalau ayah yang membunuh keempat anggota Kanglam Cit Koay
ini, kenapa pintu ini tidak dikunci? Ayah sangat mencintai ibu, biarnya ia sangat
kesusu, tidak nanti ia membiarkan pintu tinggal terpentang?” Maka ia menjadi ragu-ragu.
Ia menjadi ingat pula: “Cara bagaimana
ayah dapat membiarkan mayat keempat orang ini menemani ibu? Tidak mungkin!
Mungkinkah ayah sendiri yang nampak sesuatu yang tidak dinyana?”
Lantas Oey Yong membetulkan batu
nisan itu, ia mengunci pintunya, ialah dengan mendorong batu nisan ke kanan
tiga kali dan ke kiri tiga kali juga, habis itu ia lari ke arah rumahnya. Ia
dapat menyusul Kwee
Ceng meskipun si anak muda telah
keluar lebih dulu beberapa puluh tindak. Anak muda itu berputaran karena
kesasar. Kapan dia melihat si nona, dia lantas mengikuti. Mereka berjalan tanpa
membuka suara, mereka melintasi pengempang, sampai di rumah peranti bersemedi
dari Oey Yok Su.
Hanya sekarang rumah itu roboh tidak karuan, di bagian depan terlihat
tiang-tiang dan penglari yang patah.
Oey Yong kaget sampai ia
menjerit-jerit. “Ayah! Ayah!” Dia lari ke dalam rumahnya.
Di situ kursi meja pada
terbalik dan segala perabot tulis, buku semua berserakan di lantai. Di situ tidak ada sekalipun bayangannya Oey Yok
Su.
Nona ini berotak tajam, dia cerdas dan lekas
berpikir, tetapi kali ini pikirannya kacau.
Ia memegang meja tulis ayahnya, tubuhnya
bergoyang-goyang mau jatuh. Sampai sekian lama, baru ia bisa menetapkan hati.
Ia lari ke samping, ke kamarnya budak-budaknya yang gagu, sia-sia belaka ia
mencari, ia tidak dapat menemukan seorang budak juga. Di
dapur sunyi semua. Rupanya, meski orang tidak mati, semua telah pergi entah ke
mana. Rupanya di pulau itu, kecuali mereka berdua, tidak ada orang lainnya lagi
……
Dengan tindakan perlahan Oey Yong
menuju ke kamar tulis, di sana
Kwee Ceng berdiri menjublak, matanya mengawasi
lempang ke depan.
“Engko Ceng,
lekas kau menangis!” berkata si nona. “Kau menangis dulu, baru kita bicara!”
Kwee Ceng tidak menyahuti,
hanya dengan mata mendelik ia mengawasi nona itu. Ia sangat mencintai keenam
gurunya, sekarang ia mendapat pukulan begini hebat, kedukaannya sampai di
puncaknya hingga tak dapat ia menangis.
Oey Yong kaget.
“Engko Ceng!”
katanya. Cuma sebegitu ia bisa bilang, lantas ia berdiam.
Keduanya berdiri saling mengawasi.
Akhirnya si anak muda ngoceh seorang diri
“Tidak dapat aku membunuh Yong-jie, tidak dapat aku membunuh Yong-jie!”
Oey Yong lantas berkata:
“Gurumu telah mati, kau menangislah!”
“Tidak, aku tidak menangis!” kata Kwee Ceng
seorang diri.
Kembali keduanya berdiam. Sunyi kamar tulis
itu. Cuma di kejauhan terdengar samar-samar suara berdeburnya
gelombang.
Oey Yong berpikir keras, ia
mengingat segala apa, tetapi tetap ia berdiam.
“Aku mesti mengubur dulu guru-guruku ……”
Kemudian terdengar Kwee
Ceng mengoceh pula.
“Benar, semua guru mesti dikubur lebih dulu!”
menimpali Oey
Yong. Bahkan ia mendahului
berjalan kembali ke kuburan ibunya.
Tanpa bersuara, Kwee Ceng
mengikuti, selagi si nona hendak mendorong batu nisan, mendadak ia lompat
melewati, terus ia menendang batu nisan itu. Ia menggunai tenaga besar tetapi
batu besar dan berat, ia tidak dapat menggempur roboh, sebaliknya, kakinya yang
berdarah, hanya ia tidak merasakan itu. Bagaikan kalap, ia menyerang kalang
kabutan dengan pedangnya: menikam dan menebas, dan tangan kirinya juga menghajar,
hingga batu gugur dan gugusannya terbang berhamburan. Pedangnya tak tahan,
pedang itu patah. Ia menjadi panas, maka ia terus menyerang
dengan tangannya. Kali
ini ia berhasil membikin batu patah, hingga terlihat sebatang besi. Ia pegang
besi itu, ia menggoyang-goyang keras. Dengan satu suara nyaring, besi itu membuatnya
pintu kuburan terbuka sendirinya. Ia melengak, ia kata
seorang diri;
“Kecuali Oey
Yok Su,
siapa dapat membikin pintu rahasia ini dan siapa dapat memancing semua guruku
masuk ke dalam kuburan hantu ini?” Lalu dia berdongak dan berseru nyaring,
terus ia melemparkan pedang buntungnya, untuk lari masuk ke dalam kuburan itu!
Oey Yong mengawasi pedang
buntung dan batu nisan yang patah, yang terkena darahnya si anak muda, ia
bengong, hatinya bekerja. Ia melihat kebencian hebat dari Kwee Ceng
itu. Ia pikir; “Jikalau dia melampiaskan hawa marahnya dengan merusak peti
ibuku, lebih dulu aku akan membunuh diri dengan membenturkan kepalaku kepada peti
……” Lantas ia hendak menyusul pemuda itu atau ia melihat Kwee Ceng
berjalan keluar dengan memondong tubuhnya Coan Kim Hoat, setelah meletaki tubuh itu, dia masuk
pula, akan mengambil mayat Cu Cong.
Perbuatan itu dilanjutkan kepada
mayat Han Po Kie dan Han
Siauw Eng.
Dengan mata mendelong, Oey Yong
mengawasi si anak muda pada air muka siapa kentara sekali cintanya kepada
guru-gurunya itu. Hatinya menjadi dingin. Ia kata di dalam hatinya itu:
“Nyatalah dia mencintai gurunya melebihkan cintanya kepadaku. Ah, mesti aku
cari ayahku, mesti aku cari ayahku ……”
Kwee Ceng membawa mayat
keempat gurunya ke dalam rimba, terpisah dari kuburan ibunya Oey Yong
beberapa ratus tindak, di situ barulah ia menggali lobang. Ia menggali dengan
patahan pedang, hebat ia menggunai tenaganya. Sekian lama ia bekerja, mendadak
pedangnya itu bersuara keras - pedang itu patah pula!
Justru itu ia merasakan dadanya sesak, hawa
panas naik, ketika ia mementang mulutnya, ia memuntahkan darah hidup hingga dua
kali, tetapi ia bekerja terus, dengan kedua tangannya ia membongkar tanah, yang
ia saban-saban melemparkannya.
Melihat demikian, Oey Yong
lari mengambil dua buah sekop peranti bujang gagunya, yang satu ia kasihkan
pada si anak muda, yang lain ia pakai sendiri, untuk membantui menyingkirkan
tanah.
Kwee Ceng merampas sekop di
tangan si nona, ia patahkan itu kemudian dengan sekop yang satunya bekerja
sendiri, ia menggali terus lobangnya.
Oey Yong tahu artinya
perbuatan pemuda itu, merasakan hatinya sakit, tetapi ia tidak menangis, ia
lantas duduk mengawasi saja.
Kwee Ceng bekerja luar biasa. Ia berhasil menggali dua buah liang satu besar dan satu kecil. Ke lubang yang kecil
itu ia pondong tubuh Siauw
Eng, untuk diletak dengan hati-hati.
Ia lantas berlutut, ia paykui beberapa kali. Ia mengawasi muka guru wanita itu,
guru yang ketujuh, sesudah itu baru ia menguruknya. Setelah itu ia mengangkat
tubuh Cu Cong dimasuki ke dalam liang
kubur yang besar. Mendadak ia berpikir: “Permata mulia
kotor dari Oey Yok Su mendapat menemani jiesuhu?” Maka itu, ia merogoh saku
gurunya, ia mengeluarkan sisa batu permatanya. Paling akhir ia menarik keluar sehelai
kertas putih, yang ada suratnya. Ia membeber itu dan membaca:
“Yang rendah dari Kanglam, Kwa Tin Ok, Cu
Cong, Han Po Kie, Lam Hie Jin, Coan Kim Hoat
dan Han Siauw Eng,
dengan ini menghaturkan bertahu kepada cianpwe pemilik Tho Hoa To bahwa mereka
telah mendengar kabar bahwa Coan Cin Cit Cu, dengan tidak menaksir tenaganya
sendiri, hendak melakukan sesuatu terhadap Tho Hoa To. Mengenai itu, menyesal
kami tidak dapat berbuat apa-apa untukmengakurkannya, hanya mengingat bahwa
cianpwee adalah pantarannya Ong
Tiong Yang Cinjin, kami memikir
mana dapat cianpwee malayani anak-anak muda. Di
jaman dulu Lin
Siang Jie
telah mengalah terhadap Liam
Po, peristiwa itu menjadi buah
tutur yang berupa pujian. Karena siapa gagah, dadanya lapang bagaikan lautan,
dia tentu tidak menghiraukan segala
perbuatan di antara ayam dan kutu. Kalau nanti kejadian Coan Cin Cit Cu datang
ke depan Tho Hoa To, untuk nengakui kesalahannya sendiri, pastilah semua orang
gagah di kolong langit ini akan mengagumi kepribadian cianpwee.
Tidakkah itu bagus?”
Habis membaca itu, Kwee Ceng
berpikir; “Dulu hari Coan Cin Cit Cu bertempur sama OeyYok Su di Gu-kee-cun, lantas Auwyang Hong
secara diam-diam menggunai akal jahatnya dan membinasakan Tiang Cun Cu Tam Cie
Toan, kesalahan digeser kepada Oey
Yok Su.
Oey Yok Su
berkepala besar, dia tidak menghiraukan urusan itu tidak mau membersihkan diri,
maka kejadian Coan Cin Cit Cu jadi sangat membenci padanya.
Rupanya sekarang guruku mendapat dengar Coan
Cin Cit Cu datang untuk melakukan pembalasan, karena ia khawatir kedua pihak
itu rusak bersama, guruku menulis suratnya ini nenganjurkan Oey Yok
Su menyingkirkan diri untuk
sementara waktu,supaya kemudian di dapat jalan guna membeber duduknya hal.
Dengan begitu, guruku ini bermaksud baik, maka Oey Yok Su si tua, kenapa dia telah menurunkan
tangan jahatnya kepada guruku semua?” Baru ia berpikir begitu, atau ia lantas
berpikir pula:
“Jiesuhu sudah menulis suratnya ini, kenapa
dia tidak menyampaikan kepada alamatnya hanya dibiarkan berada di dalam
sakunya? Ah, mungkin waktu terlalu mendesak, Coan Cin Cit Cu telah keburu
datang, dia jadi tidak mendapat tempo lagi untuk menyerahkannya, maka mereka
lantas datang sendiri, guna maju si sama tengah di antara kedua pihak yang
bertempur itu. Oey Lao Shia, Oey Lao Shia, mungkin kau menyangka guruku adalah
kawan-kawan undangan dari Coan Cit Cin Cu, yang bakalmembantu pihak sana, maka dengan
sembrono kau telah menurunkan tangan jahatmu itu ……”
Kembali pemuda ini berdiam. Surat itu ia lipat, hendak dimasuki ke dalam
sakunya.
Selagi ia melipat tiba-tiba di belakang itu
ia melihat coretan beberap huruf, yang membikin ia kaget hingga hatinya
berdebaran. Tulisan itu, yang suratnya tidak karuan, berbunyi; “Segera bakal
terjadi hal yang tidak diduga-duga, maka semua bersiaplah berjaga-jaga ……”
Masih ada tulisan lainnya, yang belum tertulis lengkap, mungkin disebabkan bencana
sudah lantas tiba.
“Inilah terang huruf ‘Tong’ yang hendak
ditulisnya. Jiesuhu memperingati untuk bersiaga untuk ‘Tong Shia’ sayang sudah
terlambat ……”
Maka ia kepal-kepal surat itu menjadi gulungan kecil dengan
mengertak gigi, ia kata dengan sengit; “Jiesuhu, jiesuhu, maksudmu yang baik
telah dipandang sebagai maksud jahat oleh Oey Lao Shia ……”
Setelah itu, surat itu jatuh ke tanah, ia sendiri lantas
mengangkat tubuh Cu
Cong.
Oey Yong mengawasi terus
pemuda itu, ia melihat air muka orang yang seperti berubah-ubah. Ia menduga surat itu mesti penting sekali, maka perlahan-lahan ia
bertindak. Ia
pungut surat
itu untuk segera dibaca dua-duanya, yang di depan dan yang di belakang. Ia
pikir “Keenam gurunya datang ke Tho Hoa To dengan maksud baik, maka sayang Biauw
Ciu Sie-seng hatinya tidak lurus, sudah biasa dia menjadi pencopet melihat
hartanya ibuku hatinya terpincuk, hingga dia melanggar pantangan besar dari ayahku
……”
Ketika itu Kwee Ceng telah meletaki tubuhnya Cu Cong,
lalu dia membuka tangan kiri orang yang terkepal, mengambil dari situ serupa
barang.
Oey Yong melihat itulah
sebuah sepatu wanita, yang panjangnya satu dim lebih.
Terang itu ada sepatu mainan sebab terbuat
dari batu hijau tetapi buatannya indah sekali. Itulah benda yang berharga
mahal. Belum pernar ia ingat ibunya mempunyai barang mainan semacam itu maka
entahlah dari mana Cu
Cong mendapatkannya.
Kwee Ceng membulak-balik
sepatu-sepatuan itu bagian bawahnya ia melihat ukiran huruf “ciauw” sedang di
dasar sebelah dalam, ada ukiran huruf “pie”. Ia sengit ia banting sepatu batu itu, syukur tidak pecah. Kemudian ia
bergantian mengangkat tubuh Han Po Kie dan Coan Kim Hoat, dikasih masuk ke dalam lubang yang
besar itu diletaki dengan rapi. Ketika ia hendak mulai menguruk ia melihat muka
ketiga gurunya hatinya tak tega.
Maka ia mengawasi ke batu permata. Tiba-tiba
timbul pula hawa amarahnya. Ia pungut semua itu dengan kedua tangannva, ia lari
ke kuburan ibunya Oey
Yong.
Si nona khawatir orang nanti merusak peti
mati ibunya, ia pun lari. Ia lari, untuk mendahului. Ia bisa memotong jalan,
maka ia tiba lebih dulu. Lantas ia menghadang di
depan pintu kuburan, kedua tangannya dipentang.
“Kau mau apa?” ia tanya
si pemuda.
Kwee Ceng tidak menjawab,
dengan tangan kirinya ia menolak tubuh si nona, lalu kedua tangannya disempar
ke depan, maka terdengarlah suara nyaring, dari meluruk jatuhnya barang-barang
permata, di antaranya itu sepatu mainan dari batu hijau yang jatuh ke kaki si
nona.
Oey Yong membungkuk, ia
memungutnya.
“Ini bukannya barang ibuku,” ia kata, dan ia
membayarnya pulang.
Kwee Ceng menyambut, ia awasi
itu, terus ia masuki ke dalam sakunya. Setelah itu ia memutar tubuhnya. Kali
ini ia mulai menguruk tanah, hingga menutup rapat mayat keempat gurunya.
Lama sang waktu lewat, hari mulai magrib.
Oey Yong menyaksikan, Kwee Ceng
terus tidak menangis, ia merasa sangat berduka. Maka ia pikir, kalau dibiarkan
sendiri, mungkin hati pemuda itu lega. Dari itu ia pergi
pulang, untuk memasak nasi serta lauk-pauknya. Apabila semua itu sudah matang,
ia pernahkan di dalam naya, ia membawanya keluar.
Kwee Ceng terlihat berdiri
menjublak di depan kuburan gurunya. Dia berdiri tetap di
tempat dia berdiri semula, tubuhnya juga tidak berkisar atau berubah. Ia
berdiam setengah jam lebih selama si nona masak, hinggga dia mirip patung. Maka
si nona kaget sekali.
“Engko Ceng,
kau kenapa?” ia tanya.
Kwee Ceng tidak menyahuti,
tubuhnya tetap tidak bergerak.
“Engko Ceng,
mari dahar,” kata pula si nona. “Sudah
satu harian kau belum dahar ……”
“Mesti aku mati kelaparan tidak nanti aku
maka barang dari Tho Hoa To!” berkata si anak muda.
Mendengar itu, meskipun tidak sedap, hati Oey Yong
lega sedikit. Ia mengerti adat orang, tentu Kwee Ceng
pegang perkataannya itu. Dari itu ia meletaki naya, duduk di tanah.
Demikian, yang satu berdiri tegak, yang lain
berduduk, keduanya berdiammenghabiskan waktu, hingga rembulan mulai muncul di
permukaan laut. Si
Putri Malam naik terus, sampai dia
berada di atasan kepalanya dua orang itu, sedang sayur di dalam naya telah
menjadi dingin sendirinya. Hati mereka seperti sama dinginnya. Dengan kesunyian
itu, suara gelombang terdengar semakin nyata. Dari kejauhan pun terdengar beberapa
kali suara seperti suara srigala dan harimau, suara minip dengan jeritan. Sang angin
juga yang membikin suara itu lenyap sendirinya.
Oey Yong memasang kupingnya,
ia menyangsikan itu suara manusia atau suarabinatang yang sedang menderita,
karena perhatiannya tertarik, ia berbangkit, untuk lari menuju ke sana. Sebenarnya ia
berniat mengajak si anak muda atau ia membatalkan pikirannya itu setelah ia
berpikir pula: “Kebanyakan inilah urusan tidak bagus, aku akan cuma-cuma
menambah keruwetan pikirannya ……” Ia sebenarnya sedikit jeri
untuk suasana seperti itu, tetapi karena ia kenal baik pulaunya itu, ia maju
terus.
Selagi si nona berlari-lari, dia merasakan
angin menyambar di sampingnya. Segera ia mendapat
kenyataan, Kwee Ceng lagi mencoba mendahului dia. Pemuda ini tidak
kenal jalanan, maka itu ia maju dengan tangan dan kakinya saban-saban menghajar
pohon-pohon yang menghadang di hadapannya. Dilihat dari romannya, pemuda itu
seperti telah kehilangan pikirannya yang sehat.
“Kau ikut aku!” kata si nona.
Kwee Ceng tidak menyahuti,
hanya ia berteriak-teriak: “Soe-suhu! Soe-suhu!” Ia telah mengenali suara gurunya yang keempat, Lam Hie Jin.
Hati Oey Yong terkesiap. Ia tahu,
kalau Kwee Ceng bertemu sama gurunya itu, entah bakal
terjadi apa pula atas dirinya. Tapi ia tidak takut, maka ia lari terus, akan
menunjuki jalan. Ia lari ke timur, di mana ada banyak pepohonan. Tiba di situ,
ia melihat seorang berada di bawah sebuah pohon, tubuhnya bergulingan, tubuh
itu melingkar. Itulah Lam Hie Jin.
Kwee Ceng menjerit, ia
berlompat menubruk gurunya itu, untuk dipondong. Ia melihat mulut gurunya
terbuka, tertawa, tetapi suaranya bukan tertawa wajar. Ia kaget dan girang,
hingga ia menangis.
“Soe-suhu! Soe-suhu!” ia memanggil-manggil.
Lam Hie Jin tidak menyahuti, hanya sebelah
tangannya melayang.
Kwee Ceng tidak menyangka
tetapi ia sempat berkelit. Hanya habis menggaplok dan gagal, Hie Jin terus
meninju dengan tangan kirinya. Kali ini si anak muda
tidak berkelit, ia tidak menangkis. Ia menyangka guru itu menyesalkan atau
mempersalahkan padanya. Hebat serangan
guru yang nomor empat ini, Kwee
Ceng terpental jumpalitan.
Ia tidak menduga gurunya bertenaga demkian
besar. Dulu-dulu, di waktu berlatih dengannya, tenaga guru itu tidak sedemikian
besar. Ia baru bangun atau Hie Jin, yang sudah maju,
menyerang pula denga kepalannya. Masih si murid tidak
berkelit, ia mandah. Hajaran
ini terlebih hebat pula, Kwee
Ceng merasa matanya
berkunang-kunang, hampir ia roboh pingsan.
Setelah itu, Hie Jin memungut batu besar,
lagi-lagi dia menyerang. Kalau
Kwee Ceng
terhajar batu ini, mesti ia pecah batok kepalanya. Ia memang masih pusing
kepalanya.
Melihat demikian, Oey Yong
berlompat maju, dengan tangan kirinya ia menolak lengan Kanglam Cit
Koay yang nomor empat itu, atas
mana, bersama-sama batunya Hie Jin roboh ke tanah,
mulutnya mengasih dengar suaranya tertawa seperti tadi, habis itu dia tidak
merayap bangun lagi ……
Adalah maksudnya si nona untuk menolongi Kwee Ceng,
maka diluar sangkaannya, Hie Jin ada demikia tidak bertenaga, dia roboh hanya
karena tolakan tanga yang enteng. Dengan lantas si nona mengulur tangannya
untuk mengasih bangun. Atau ia melihat muka orang yang tertawa, tertawa yang
dipaksakan, hingga menjadi menyeringai, nampaknya sangat menakuti. Ia menjerit,
ia menarik pulang tangannya, untuk membikin tangan itu tidak mengenai tubuh
orang. Sebaliknya tangan kiri Hie Jin menyambar
pundak si nona. Atas itu dua-duanya, si nona dan si penyerang, mengasih dengar
seruan bahna sakit dan kaget.
Oey Yong mengenakan baju
lapisnya, meski begitu ia merasakan sakit sampai iaterhuyung beberapa tindak.
Hie Jin merasa
sakit karena ia menghajar baju yang ada durinya, karena mana tangannya lantas
mengucurkan darah.
“Soe-suhu!” Kwee Ceng
berteriak saking kagetnya.
Hie Jin menoleh
mengawasi si anak muda, suara siapa ia rupanya ia mengenalinya,hanya ketika ia
hendak membuka mulutnya cuma bibirnya bergerak sedikit, suaranya tidak
terdengar. Ia masih mengasih lihat senyuman hanya itulah senyum dari putus asa.
Sinar matanya pun guram.
“Soe-suhu, baik kau beristirahat,” kata Kwee Ceng:
“Sebentar lagi kita bicara.”
Hie Jin mencoba
mengangkat kepalanya, ia seperti memaksa mau bicara, lagi ia gagal, mulutnya
tidak dapat dibuka. Ia cuma dapat bertahan sebentar segera kepalanya teklok,
terus tubuhnya roboh terjengkang, lalu berbalik.
“Soe-suhu!” Kwee Ceng
berseru, ia berlompat maju, guna mengasih bangun.
“Jangan!” berkata si nona, “Gurumu lagi
menulis surat
……”
Tajam matanya si nona.
Kwee Ceng mengawasi. Benar,
dengan tangan kanannya, ‘Hie Jin lagi mencoret ketanah. Di
antara sinar rembulan, segera terlihat ia menulis: “Yang …… membunuh ……
aku …… ialah ……”
Oey Yong mengawasi, ia
mendapatkan Hie Jin menulis dengan susah sekali, ia lantas goncang hatinya. Ia
lantas ingat; “Da berada di Tho Hoa To, sekalipun orang yang paling tolol
tentulah tahu ayahku yang membunuh dia, maka kenapa dia begini susah menulis
nama ayahku itu? Apakah si pembunuh lain orang sebenarnya ……?”
Semakin lama dia menulis, tenaganya Hie Jin
makin habis. Hati si nona tegang, hingga ia memuji; “Kalau kau mau menulis nama
lain orang, lekaslah!”
Ketika Hie Jin menulis huruf yang kelima,
yang mesti menjadi she atau nama orang yang membunuh dia, baru dia menulis dua
coret, yang menjadi huruf “sip” - “sepuluh”, mendadak tangannya berhenti
bergerak.
Kwee Ceng melihat tubuh orang
bergerak, tanda dari pengerahan tenaga yang terakhir, habis itu berhentilah
napasnya sang guru. Ia sendiri menahan napas, ketika iamelihat huruf “sip” itu,
ia berteriak: “Soe-suhu, aku tahu kau hendak menulis huruf oey -huruf oey!”
Terus ia menubruk tubuh gurunya, terus ia menangis keras, kedua tangannya
menumbuki dadanya. Dengan demikian meledaklah amarah dan kedukaannya yang
sangat, yang sekian lama terbenam di dalam dadanya. Ia menangis menggerung-gerung
tidak lama atau ia pingsan di atas tubuh gurunya itu.
Berapa lama anak muda ini tak sadarkan diri,
ia tidak tahu, ketika kemudian ia mendusin, ia melihat sinar matahari, langit
telah menjadi terang. Ia bangun, untuk melihat ke sekitarnya. Ia tidak melihat Oey Yong,
entah ke mana perginya si nona. Ia mendapatkan tubuh Hie Jin,
yang kedua matanya terbuka besar. Ia lantas ingat
pembilangan, “mati tidak meram”, maka ia lantas menangis pula, air matanya
turun deras. Ia
mengulurkan kedua tangannya, guna merapatkan mata gurunya itu.
Mengingat gurunya begitu sengsara hendak
melepaskan napasnya yang terakhir, Kwee Ceng
menjadi heran maka ia membukai baju gurunya itu, untuk memeriksa tubuhnya.
Aneh, seluruh tubuh itu tidak kurang suatu apa, dari kepala sampai di kaki, tidak
ada yang luka, kecuali luka di tangan bekas terkena duri baju lapisnya Oey Yong.
Pula tidak ada luka di
dalam, kulitnya tidak hitam atau hangus.
Sesudah memeriksa dengan sia-sia, Kwee Ceng
memondong mayat gurunya,niatnya untuk dikubur bersama dengan ketiga gurunya
yang lainnya. Ketika ia sudah jalan beberapa puluh tindak ke tempat darimana
tadi dia datang, ia kehilangan jalanannya. Terpaksa ia menggali sebuah lubang
lain di bawah pohon, guna mengubur di situ mayat gurunya itu.
Habis itu, ia menjadi bingung. Ia pun merasa
sangat lapar. Sia-sia ia berjalan, untuk mencari jalanan keluar. Ia duduk di bawah
sebuah pohon, guna beristirahat, guna menentramkan pikirannya. Ketika ia
berjalan pula, ia mengambil putusan tidak perduli apa juga, ia mengambil satu
tujuan, ialah ke arah timur, terus menghadapi matahari.
Dengan begini, ia masih mengalami kesukaran,
dan pepohonan yang sangat lebat.
Sekarang di setiap pohon ia melihat adanya
rotan panjang dan duri tajam. Umpama kata ia jalan di atas pohon, di situ tidak
ada tempat untuk menaruh kaki ……
“Tapi hari ini, cuma ada maju, tidak ada
mundur!” ia pikir. Ia paksa berlompat naik ke atas
pohon. Ia
baru menindak atau “Bret!” maka
celananya robek kesangkut duri, hingga kulitnya lecet dan darahnya mengalir.
Rotan pun ada yang melilit kakinya. Maka dengan pisau belatinya, ia memotong
putus pohon oyot itu.
Memandang jauh ke depan, Kwee Ceng
melihat hanya oyot belaka.
“Biar habis daging betisku, aku mesti keluar
dari pulau iblis ini!” katanya di dalam hati.
Degan itu ia mengambil keputusannya. Ia mau bertindak pula, lalu mendadak ia mendengar suaranya OeyYong: “Kau
turun! Nanti
aku mengantarkanmu!” Ia lantas tunduk, maka ia melihat si nona, dengan pakaian
putih seluruhnya, lagi berdiri di bawah pohon. Tanpa membilang apa-apa, ia
lompat turun. Ia melihat muka Oey
Yong pucat sekali, seperti tidak
ada darahnya. Ia terkejut. Hendak ia menanya,
tetapi segera ia dapat menguatkan hati.
Oey Yong melihat orang hendak
bicara tetapi gagal. Ia menanti sekian lama, tetap ia
tidak mendengar suara orang. Ia menghela napas.
“Jalanlah!” katanya.
Dengan berliku-liku, mereka menuju ke timur. Oey Yong
lesu dan berduka. Ia baru sembuh, ia perlu beristirahat dan ketenangan hati,
siapa tahu ia telah mesti membuat perjalanan jauh dan menghadap peristiwa berat
dan gelap ini. Ia pikir tidak dapat ia menyesalkan Kwee Ceng
atau mempersalahkan ayahnya, ia juga tidak bisa menyesalkan Kanglam Liok Koay, Ia
hanya menyesalkan diri sendiri. Kenapa
Thian berbuat begini macam
terhadapnya? Apa
Thian membenci kepada orang yang
hidup terlalu senang?
Tanpa berkata-kata nona ini menunjuk jalan
kepada Kwee Ceng menuju ke tepi laut.
Ia mau percaya, dengan kepergiannya ini, anak
muda itu bakal tidak kembali. Maka itu setiap satu tindaknya, ia merasa hatinya
pecah satu potong.
Ketika akhirnya mereka keluar dari rimba
lebat dengan rotan dan duri itu, pesisir terlihat di depan mata.
Oey Yong merasa dirinya
sangat letih, ia mencoba menguati hati tetapi tubuhnya terhuyung juga,
lekas-lekas ia menggunai tongkatnya, untuk menekan tanah, guna menunjang, hanya
sekarang ia merasakan tangannva juga tidak bertenaga, tongkatnya itu miring,
hingga tubuhnya turut terguling.
Kwee Ceng melihat itu, segera
ia mengulur tangan kanannya, guna memegangi si nona, atau mendadak ia ingat
sakit hati hebat dari guru-gurunya itu, segera dengan tangan kirinya ia
menghajar tangan kanannya. Itulah pukulan ajarannya Ciu Pek Thong, yang dapat
memecah pikiran, hingga kedua tangannya dapat bergerak sendiri-sendiri.
Karena dihajar, tangan kanannya itu segera
membalas. Habis itu, ia berlompat mundur.
Dengan begitu, sendirinya robohlah Oey Yong.
Oleh karena jatuhnya ini tanpa pertolongan,
hati si nona pepat sekali. Ia menyesal, ia penasaran, ia berduka.
Juga Kwee Ceng
kaget, juga pemuda ini menyesal, penasaran dan berduka. Ia lompat maju, untuk
mengangkat tubuh si nona. Ia melihat kelilingan,
untuk membawa nona itu ke tempat di mana dia bisa beristirahat.
Juga Oey Yong
turut melihat ke sekitar mereka.
Di arah timur laut, di
mana ada sebuah batu besar, terlihat sepotong kain hijau tertiup angin. Ketika
melihat itu Oey
Yong lantas berteriak; “Ayah!” Ia lantas saja mendapat tenaga, ia lari.
Kwee Ceng juga lari bersama,
maka itu mereka saling berpegang tangan.
Tiba di batu itu, di situ pun kedapatan
sepotong kulit muka orang.
Oey Yong kenal baik topeng
kulit kepunyaan ayahnya itu, dengan kebingungan ia membungkuk akan memungutnya
begitu pun baju hijau itu di mana ada tapak tangan dari darah, tegas nampak
bekas telunjuk.
Melihat itu Kwee Ceng
berpikir; “Pasti ini tapak Kiu Im Pek-kut Jiauw dari Oey Yok Su, habis dia mencelakai samsuhu, dia
menyusut tangannya di sini ……” Ia tengah memegang tangan si nona ketika
mendadak ia melepaskannya sambil menyempar terus ia merampas baju hijau itu dan
merobeknya. Ketika itu ia melihat ujung baju itu pecah sedikit, maka ia ingat,
juiran itu pastilah yang telah dibawa burung rajawali tempo si nona minta ikan
emas istimewa.
Kwee Ceng berdiri diam kapan
ia telah mengawasi tapak jari tangan itu, kemudian ia lekas menggulung itu dan
mengasih masuk ke dalam sakunya, habis itu tanpa membilang apa-apa, ia lari ke
pinggir laut sekali di mana ada sebuah perahu layar, yang tidak ada anak
buahnya. Entah ke mana perginya semua budak gagu. Ia tidak berpaling pula pada Oey Yong
ketika ia memotong putus dadungnya perahu itu, ia mengangkat jangkarnya, ia
memasang layarnya, terus ia berlayar ……
Oey Yong dengan bengong
mengawasi perahu menuju ke barat. Mulanya ia masih mengharap si anak muda
berbalik pikir dan akan kembali, untuk mengajak ia pergi, maka ternyata,
habislah pengharapannya. Dengan lekas perahu layar itu seperti terbenam di
dalam lautan. Sekarang merasalah ia yang ia berada sebatang kara di
pulaunya itu. Engko Cengnya pergi, ayahnya entah
bagaimana, entah masih hidup atau telah terbinasa ……!
“Yong-jie, Yong-jie!” akhirnya ia kata pada
dirinya sendiri. “Siang hari masih panjang!
Kau tidak dapat berdiri diam saja di pesisir
ini! Ingat Yong-jie, tidak dapat kau memikir pendek!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar